Monday, September 9, 2013

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Bahaya Fanatisme

Posted: 09 Sep 2013 01:58 AM PDT

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz..
Penggunaan Istilah Salaf nampaknya sudah banyak dipakai di kalangan masyarakat kita. Pertanyaanya bagaimana jika ada 2 kelompok kajian yang sama-sama menisbatkan dirinya pada salafy tapi dianta keduanya itu ada perbedaan dan sebagai orang awam saya suka ikut kajian pada kajian pertama dan yang kedua tapi untuk orang-orang tertentu ada yang fanatik hanya pada kelompok kajian A saja enggan kepada kelompok kajian B.. begitupun sebaliknya ada yang hanya maunya ke kajian B tidak mau ke kelompok kajian A bagaimanakan sikap yang benar untuk menghadapi masalah seperti ini.. syukron.

Jawaban:
Memang betul fenomena seperti ini terjadi, bahwa ada sebagian ma’had atau sebagian pengajian yang menisbahkan diri mereka kepada salaf yang A demikian yang B juga demikian menisbahkan masing-masing kepada salaf atau ahlussunnah tapi koq terjadi perbedaan antara A dan B tersebut. Lalu bahkan sebagian kaum muslimin yang mengikuti kajiannya pun fanatik terhadap masing-masing kelompoknya saja. Bagaimana sikap kita sebagai orang yang mungkin baru mengaji atau seorang muslim yang ingin benar dalam masalah ini apa yang harus kita lakukan?

bahaya fanatisme

Yang pertama.. bahwa pengakuan seseorang tatkala dia menisbahkan diri kepada salaf ini harus terbuktikan dan dibuktikan dengan hakikat atau kebenaran yang ada. Tatkala seseorang misalkan mengaku bahwasanya saya salafy atau kajian disini bermanhaj salaf, itu dilihat apakah benar sesuai dengan manhaj salaf seperti itu ataukah bagaimana? tarolah misalkan kajian yang ada di A ataukah kajian yang ada di B ternyata sebetulnya kitab yang dikaji sama, kemudian ulama yang di ambil ilmu mereka juga ternyata sama tapi lalu kenapa terjadi fanatik terhadap satu dan yang lainnya? Atau yang A tidak mau mengaji ke yang B atau sebaliknya. Nah ini berarti yang masalah bukan manhaj salafnya, berarti yang masalah adalah personilnya itu, orang-orangnya. Karena perlu diketahui ada Islam dan ada Muslim, ada Salaf dan ada Salafi.

Islam berbeda dengan Muslim, Islam adalah satu ajaran, satu agama, satu manhaj, satu tata acara beragama yang sempurna, itulah Islam dan yang melakukannya atau pelakunya adalah Muslim dan Muslim inilah yang tidak terjaga dan tidak ma’shum dari kesalahan. Adapun Islam itu itulah yang terpelihara dari kesalahan dan tidak mungkin salah karena itu datangnya dari Allah dan Rosul-Nya. demikian pula sama tatkala salaf dan salafy salaf adalah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah yang merupakan islam yang masih murni dan orisinal dan Salafinya adalah orangnya. Orang yang mengaku-ngaku mengikuti manhaj salaf tetapi terjadi perbedaan berarti yang bermasalah adalah orangnya ini yang tidak ma’shum dan tidak terpelihara dari kesalahan. Lalu bagaimana solusinya tatkala kita dihadapkan dengan fenomena dan peristiwa seperti ini yakni memang nyata dan terjadi?

Maka kita ikuti apa yang haq, kita ikuti apa yang benar, ikuti saja terlebih dahulu boleh mengikuti kajian A, kajian B bahkan Kajian C dan D dan seterusnya selama kajian yang dibawakan oleh masing-masing kajian tersebut adalah benar mengacu kepada Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan dengan ra’yu (akal) masing-masing mereka. Namun tatkala mungkin mereka ada di salah satu kajian A, entah B, C, D atau seterusnya tatkala ditanya misalkan menurut pengajian kami begini .. atau menurut Ustadz yang mengisi di pengajian kami begini.. gak boleh mengaji pada yang lain misalkan. Nah yang seperti ini sudah termasuk fanatisme dan kesalahan dalam bermanhaj salaf karena ajaran atau manhaj salaf itu sendiri tidak mengajarkan pelakunya untuk fanatisme atau ta’ashub kepada satu orang saja dan sudah dibahas bahwa boleh seseorang ketika mereka yang menisbahkan kepada Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki tidak bermasalah selama tidak berta’ashub kepada masing-masing mereka, itu tidak bermasalah apalagi tatkala seseorang menisbahkan kepada Salaf maka ini harusnya tidak boleh lebih ta’ashub lagi.

Tidak boleh untuk ta’ashub atau fanatisme kepada orang-orang tertentu atau kajian-kajian tertentu yang sama sekali tidak terjamin akan keterpeliharaan mereka dari kesalahan. Sehingga sekali lagi sikap kita ikuti apa yang benar dari mana pun al haq itu bisa kita ambil. Darimana saja .. terutama apabila masing-masingnya mengkaji dari Al quran dan Sunnah dan pemahaman benar dari para ulama.

Tatkala misalkan ada perbedaan, berarti dari orangnya bukan dari manhajnya, bukan dari islamnya, dan bukan dari salaf itu sendiri. Jadi ikuti dan boleh mengkajinya tapi tidak boleh ta’ashub kepada satu pendapat saja akan tetapi kita harus hati-hati dan waspada karena di zaman ini pun banyak orang yang mengatasnamakan dakwah salafiyah tapi ada maksud dan tujuan tertentu dan membawa target tertentu sehingga kita harus panda-pandai dalam belajar dan memilih dan terakhir selalu diiringi dengan do’a kepada Allah agar Allah memberikan taufik kepada kita dan memberikan kelurusan kepada kita dalam belajar Islam ini sampai akhir hayat kita.Wallahu A’lam.

Pertanyaan di jawab oleh Ustadz Arif Budiman, Lc dalam kajian Manhaj (Meniti Jejak Rosul) Hari senin, pukul 05.30-06.30.

Adapun untuk rekaman audio tanya jawab ini Anda bisa simak di bawah ini:

Atau Anda bisa download langsung disini.

Hukum Sholat Jum’at Bagi Orang Yang Sakit

Posted: 09 Sep 2013 01:11 AM PDT

Pertanyaan:
Pak Ustadz saya sakit seperti orang lumpuh jadi apabila sholat, saya lakukan di rumah saja. Bagaimanakah dengan sholat jum’at saya tidak kuat untuk berjalan menuju masjid apakah ada pengganti sholat jum’at bagi saya?

Jawaban:
Semoga Allah ‘azza wa jalla segera menyembuhkan sakit dari penanya, dilimpahkan pahala baginya dan kesabaran tentunya dalam menghadapi ujian tersebut. Adapun tentang orang yang sakit yang tidak bisa beraktivitas melebihi tempat tidurnya atau maksimal di dalam rumahnya maka termasuk orang-orang yang mendapatkan udzur untuk tidak sholat jumat sebagaimana disebutkan hal itu oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tentang orang-orang yang mendapatkan udzur dari sholat jum’at atau tidak wajib untuk melaksanakan sholat jumat, yaitu wanita, anak-anak, budak, orang yang sakit dan di riwayat lain disebutkan juga yaitu orang yang safar, adapun bagi mereka yang tidak wajib sholat jumat atau mendapatkan uzur maka cukuplah baginya sholat dzuhur di mana dia berada, demikian Wallahu a’lam. 

hukum sholat jum'at bagi orang sakit

Hadits 1

وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: مَمْلُوكٌ, وَاِمْرَأَةٌ, وَصَبِيٌّ, وَمَرِيضٌ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَقَالَ: لَمْ يَسْمَعْ طَارِقٌ مِنَ اَلنَّبِيِّ . وَأَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ مِنْ رِوَايَةِ طَارِقٍ اَلْمَذْكُورِ عَنْ أَبِي مُوسَى

Dari Thariq Ibnu Syihab bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sholat Jum’at itu hak yang wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit.” Riwayat Abu Dawud. Dia berkata: Thoriq tidak mendengarnya dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Dikeluarkan oleh Hakim dari riwayat Thariq dari Abu Musa.

Pertanyaan di jawab oleh Ustadz Tata Abdul Ghoni dalam program acara KISAH (Kajian Ilmiyah Siang Hari) Meraih Kehidupan Bahagia pukul 13.00-14.00

Adapun untuk rekaman audio tanya jawab ini Anda bisa simak di bawah ini:

Atau Anda bisa download langsung disini.

Dibuka! Pendaftaran Petuah Institute

Posted: 08 Sep 2013 05:46 PM PDT

Pesantren Sabtu Ahad (PETUAH) merupakan lembaga pendidikan diniyyah yang diselenggarakan Bidang Dakwah Yayasan Pondok Pesantren Assunnah Cirebon.  Program ini bertujuan memberikan bekal pengetahuan dasar kepada para peserta didik untuk memahami Din Al-Islam berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahamman salafushshalih.

Dengan masa pendidikan selama 2 (dua) tahun dan dengan bimbingan asatidz lulusan LIPIA, Universitas Islam Madinah dan lulusan  Pesantren Ahlusunnah yang memiliki kompetensi di bidangnya, maka diharapkan sasaran dan target pembelajan dapat tercapai dengan optimal. Insya Allah.

petuah institutePROGRAM STUDI:

Takhasus Diniyyah (Program Studi Keagamaan)
Program ini disiapkan bagi mereka yang berminat mengenal materi-materi pokok diniyyah (Keagamaan). Adapun mata kuliah yang diselenggarakan:

  1. Aqidah
  2. Manhaj
  3. Bahasa Arab
  4. Al-Qur`an

Takhasus Al-Qur`an (Program Studi Al-Qur'an)
Program ini disiapkan bagi mereka yang berminat mempelajari baca tulis Al-Qur`an dari awal dan bagi mereka yang ingin lebih mendalami  cara baca yang benar dan menghafal Al-Qur`an.
Adapun mata kuliah yang diselenggarakan

  1. Baca tulis dasar Al-Qur`an (pemula)
  2. Metoda membaca benar Al-Qur`an
  3. Tahfidzul Al-Qur`an

Tempat & Waktu Perkuliahan:

Program Takhasus Dinniyah:
Tempat    : Masjid Pondok Pesantren Assunnah
Jl. Kalitanjung no. 52B Kota Cirebon

  • Sabtu, pukul 13.00 s/d 17.00
  • Ahad, pukul 08.00 s/dDzuhur

Program Takhasus Al-Qur`an
Tempat    : Masjid Al-Bina
Jl. Satria Kesambi Kota Cirebon

  • Sabtu, pukul 15.30 s/d 17.30
  • Ahad, pukul 08.30 s/d Dzuhur

Waktu & Tempat pendaftaran:

Waktu    : 09.00 s/d 16.00 WIB (Setiap hari kerja)
Tempat    : Kantor Dakwah Yayasan As-Sunnah
Jl. Kalitanjung 52B Kota Cirebon (0231) 483543

Syarat Pendaftaran:

  1. Laki-laki, usia minimal 16 tahun
  2. Menyertakan surat izin orang tua/wali bagi calon santri yang bersetatus pelajar
  3. Mengisi formulir pendaftaran
  4. Menyerahkan photo ukuran 4×6
  5. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp 10.000,-
  6. Siap mengikuti kegiatan studi dan mentaati peraturan yang ditetapkan lembaga

Biaya Perkuliahan:

  • SPP/bulan Rp 15.000,-
  • Biaya Buku Pegangan/Muqarar:

      -    Takhasus Dinniyah: Rp.150.000
-    Takhasus Al-Qur`an: Rp. 50.000

Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Kantor Dakwah Yayasan As-sunnah Jl. Kalitanjung 52B Kota Cirebon (0231) 483543. Cp 089-630-642-866 (Yasin)

Untuk Brosurnya silakan Anda download di bawah ini:

Brosur Petuah Institute

Pembahasan Fiqh Haidh (Bagian 2)

Posted: 08 Sep 2013 05:06 PM PDT

Bismillah, pecinta Radiosunnah Kita FM yang semoga Allah memberi keberkahan kepada Anda semuanya. Di postingan sebelumnya, kita sudah membahas mengenai Fiqh Haidh diantaranya adalah mengenai Definisi dan Hikmah Haidh,  Usia Dan Masa Haidh, Hukum Darah Berhenti pada Masa Haidh, Hukum Shufroh (Lendir Kuning) dan Kudroh (Lendir Keruh), dan Tanda Suci Dari Haidh. Dan postingan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan mengenai fiqh haidh yang selanjutnya, semoga bermanfaat.

fiqh haid 2Beberapa Hukum yang Berkaitan dengan Haidh

Shalat

Wanita haidh haram mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada Fathimah Bintu Abi Hubais Radiyallahu ‘anhaa:

إِذَاأَقْبَلَتِالْحَيْضَةُفَدَعِيالصَّلاَةَ

"Jika datang masa haidhmu maka tinggalkanlah shalat ….". (HR.  Bukhari (331) dan Muslim (751)

Adapun dzikir, takbir, tahmid, tasbih, membaca hadits, fiqh, do'a maka tidak haram baginya. Telah tsabit dalam shohihain bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam  membaca Al-Qur'an sambil bersandar pada pangkuan 'Aisyah Radiyallahu ‘anhaa yang sedang haidh.

Adapun wanita haidh membaca al-Qur'an, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini sebagian membolehkan dan yang lain melarang, namun yang rojih (kuat) adalah wanita haidh boleh membaca Al-Qur'an karena tidak ada dalil yang shohih dan shorih (jelas) yang melarang perbuatan ini (Lihat Jaami' Ahkaamin Nisaa', jilid 1, halaman: 182 oleh Syaikh Mushthofa al-'Adawy حفظهالله), sedangkan  perintah untuk membaca Al-Qur'an bersifat umum, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an)". (QS. Al-Ankabut: 45)

Dan juga berdasarkan hadits 'Aisyah Radiyallahu ‘anhaa berkata:

"Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam seluruh keadaannya".(HR.  Muslim (117)

Imam Bukhari, Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata: "Boleh (wanita haidh membaca Al-Qur'an)".

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: "Tidak ada asalnya dalam sunnah wanita haidh dilarang membaca Al-Qur'an, adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam:

لاَتَقْرَأُالْحَائِضُوَلاَالْجُنُبَشَيْئًامِنَالْقُرْآنِ

"Wanita haidh dan junub tidak boleh membaca Al-qur'an sedikitpun".

Hadits ini dhaif menurut kesepakatan Ahli Hadits. Wanita pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam mengalami haidh, seandainya membaca Al-Qur'an diharamkan bagi wanita haidh sebagaimana shalat, maka pastilah hal ini dijelaskan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada umatnya dan diketahui oleh ummahatul mu'miin serta dinukilkan dikalangan manusia. Ketika tidak ada seorangpun yang menukil larangan ini dari Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam, maka tidak boleh menjadikannya haram, sebagaimana diketahui hal ini tidak dilarang. Jika tidak dilarang padahal banyak wanita haidh pada zamannya maka diketahui bahwa hal ini (membaca Al-Qur'an bagi wanita haidh) tidak diharamkan". (Al-Fatawa 26/191), Wallahu A'lam.

 Shaum

Haram bagi wanita haidh melaksanakan shaum. Berdasarkan hadits dari Abu Said Al-Khudry bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

أَلَيْسَإِذَاحَاضَتْلَمْتُصَلَّوَلَمْ َتصُمْ

"Bukankah jika wanita haidh maka dia tidak shalat dan juga tidak shaum ?" (HR.  Bukhari (304) dan Muslim (80).

Akan tetapi wajib baginya mengqodho shaum tersebut. Berdasarkan hadits 'Aisyah Radiyallahu ‘anhaa:

كُنَّانُؤْمَرُبِقَضَاءِالصَّوْمِوَلاَنُؤْمَرُبِقَضَاءِالصَّلاَةِ

"Kami diperintahkan untuk mengqodho shaum dan tidak diperintahkan mengqodho shalat".(HR.  Bukhari 1/120 dan Muslim 1/262.)

Thawaf di Baitullah.

Diharamkan bagi wanita haidh thawaf di Baitulloh, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada 'Aisyah ketika haidh:

افْعَلِيمَايَفْعَلُالْحَاجُّغَيْرَأَلاَّتَطُوْفِيبِالْبَيْتِحَتَّىتَطْهُرِي

"Kerjakanlah seluruh manasik yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali janganlah engkau thawaf di Baitulloh sampai engkau suci". (HR. Bukhari 1/77 dan Muslim 2/873).

Jima'

Diharamkan bagi suami berjima' dengan isterinya yang sedang haidh di farji, berdasarkan kitabullah, sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dan ijma kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّحَتَّىيَطْهُرْنَ

"Dan janganlah kamu mendekati (jima dengan) mereka sebelum mereka suci". (QS. Al-Baqarah: 222.)

Dihalalkan bagi suami segala sesuatu selain jima, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam:

اصْنَعُوْاكُلَّشَيْئٍإِلاَّالنِّكاَح

"Lakukanlah apapun juga kecuali nikah (yakni jima' di farji)". (HR.  Muslim 1/246).

Talaq

Haram bagi suami mentalaq isterinya yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَطَلِّقُوْهُنَّلِعِدَّتِهِنَّ

"Dan hendaklah kamu ceraikan mereka (isteri-isterimu) pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)". (QS.  At-Thalaq: 1)

Hukum Menggunakan Obat Penunda Haidh

Haidh adalah sesuatu yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan bagi para putri Adam ‘alaihissalam. Maka hendaknya seorang wanita sabar dan ridho dengan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuknya.

Pintu-pintu kebaikan amatlah banyak وللهالحمد jika dia tidak dapat shalat dan shaum karena haidh, maka dihadapannya masih banyak pintu ketaatan yang lain dia dapat berdzikir, tasbih, tahmid, tahil, takbir membaca buku hadits, fiqih, dan lain-lain. Namun jika seorang wanita karena kebutuhan mendesak memerlukan obat-obatan penunda haidh maka ada beberapa fatwa ulama yang membolehkannya, diantaranya:

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah berkata:

Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah beliau berkata: "Tidak mengapa seorang wanita meminum obat pencegah haidh jika obat tersebut dikenal (tidak berbahaya)". (Al-Mughny:  1/368)

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

Seorang wanita boleh menggunakan obat penunda haidh dengan dua syarat:

Tidak membahayakan keselamatannya, jika membahayakan maka tidak boleh, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلاَتُلْقُوْابِاَيْدِيْكُمْإِلىَالتَّهْلُكَةِ

"Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan".(QS. Al-Baqarah:195)

وَلاَتَقْتُلُوْاأَنْفُسَكُمْإِنَّاللهَكَانَبِكُمْرَحِيْمًا

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".(QS.  An-Nisaa: 29)

Seizin suami jika suami memiliki kaitan dengannya.  Misal wanita tersebut sedang dalam masa iddah yang wajib bagi suami menafkahinya, lalu dia menggunakan obat penunda haidh untuk memperpanjang waktu dan menambah nafkahnya, maka ketika itu dia tidak boleh menggunakan obet penunda haidh kecuali dengan izin suaminya. Demikian juga jika telah pasti bahwa obat penunda haidh dapat mencegah kehamilan maka harus dengan izin suami. Ketika ditetapkan hukum bahwa boleh mengkonsumsi obat tersebut  namun yang lebih utama adalah tidak menggunakannya kecuali karena kebutuhan  mendesak. Karena membiarkan suatu tabiat sebagaimana adanya akan lebih menjaga kesehatan dan keselamatan". (Risalah Fi Ad-Dimaa' At-Thobi'iyyah Li An-Nisaa' hal: 43)

Syaikh Dr. Shalih Bin fauzan Al-Fauzan hafidzahullah  berkata:

Diantara permasalahan yang wajib diperhatikan, yaitu bahwa sebagian wanita mengkonsumsi obat pencegah keluarnya darah haidh sehingga memungkinnya untuk shaum Ramadhan dan menunaikan haji.

Jika obat-obatan (pil) tersebut mencegah haidh beberapa waktu saja tidak selamanya, maka tidak mengapa mengkonsumsinya. Namun jika mencegah haidh selamanya, tidak diperbolehkan kecuali dengan izin suami, karena hal tersebut akan menyebabkan terputusnya keturunan. (Al-Mulakhosh Al-Fiqhy, Hal: 90)

Syaikh Musthofa Al-'Adawy berkata:

Jika seorang wanita mengkonsumsi obat pencegah haidh karena udzur, misal dia berhaji bersama rombongan manusia, lalu khawatir akan tertinggal rombongan atau tertinggal jadwal penerbangan dan dia merasa kesulitan  jika tetap tinggal,  maka tidak mengapa mengkonsumsi obat penunda haidh. Dan setelah dia yakin haidhnya berhenti, dia mandi dan shalat kemudian thowaf di Baitullah jika dia mau". (Jaami' Ahkaam An-Nisaa': 198).

Cara Mandi Haidh

Wanita haidh apabila telah suci wajib mandi dengan mensucikan seluruh tubuhnya, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada Fatimah Bintu abi Hubaisy Radiyallahu ‘anhaa:

فَإِذَاأَقْبَلَتِالْحَيْضَةُفَدَعِيالصَّلاَةَوَإِذَاأَدْبَرَتْفَاغْتَسِلِيوَصَلِّي

"Jika datang masa haidh maka tinggalkanlah shalat dan jika telah berlalu maka mandilah dan shalatlah".(HR. Bukhari)

Tidak wajib mengurai rambut kepala ketika mandi haidh  kecuali apabila terikat kuat dan menghalangi sampainya air ke pangkal rambut, berdasarkan hadits  Ummu Salamah Radiyallahu ‘anhaa beliau bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam: "Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub? Dalam riwayat lain ketika mandi junub dan haidh? maka Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda

لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِأَنْتُحْثِيعَلَىرَأْسِكِثَلاَثًاحَثيَاتٍثُمَّتُفِيْضِيْنَعَلَيْكِاْلمَاءَفَتَطْهُِريْنَ

"Tidak, cukup bagimu menyiramkan air ke atas kepalamu tiga cidukan kemudian engkau menyiramkan air ke seluruh tubuhmu, maka engkau suci". (HR. Muslim 1/178).

Kewajiban mandi minimal dengan menyiramkan air ke seluruh tubuh sampai pangkal rambut. Sedangkan yang lebih utama sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam ketika Asma Bintu Syak bertanya kepada beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam tentang mandi haidh, maka beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

تَأْخُذُإِحْدَاكُنَّمَاءَهَاوَسِدْرَتَهَافَتَطَهَّرُفَتُحْسِنُالطُّهُوْرَ،ثُمَّتَصُبَّعَلَىرَأْسِهَافَتُدَلِّكُهُدَلْكًاشَدِيْدًاحَتَّىتَبْلُغَشُؤُوْنَرَأْسِهَاثُمَّتَصُبُّعَلَيْهَاالْمَاءَثُمَّتَأْخُذُفُرْصَةًمُمْسَكَةًأَيْقِطْعَةَقُمَاشٍفِيْهَامِسْكٌفَتَطَهَّرُبِهَا،فَقَالَتْأَسْمَاءُكَيْفَتَطَهَّرُبِهَا؟فَقَالَسُبْحَانَاللهفَقاَلَتْعَائِشَةُلَهَاتَتَّبِعِيْنَأَثَرَالدَّمَ

"Salah seorang diantara kalian menyiapkan air dan daun bidara (atau sesuatu yang dapat menggantikannya misalnya sabun), kemudian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu menyiramkan air ke atas kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga mengenai pangkal rambutnya, kemudian menyiramkan air  ke seluruh tubuhnya, lalu dia mengambil sehelai kapas atau secarik kain yang diberi minyak wangi dan bersuci dengannya". Asma berkata: "Bagaimana cara bersuci dengan kapas tersebut?" Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam berkata: "Mahasuci Allah".  Maka 'Aisyah berkata kepadanya: "Engkau mengusap bekas darah (farji) dengan kapas tersebut". (HR. Muslim 1/179).

Inilah sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang banyak dilupakan dan diremehkan oleh wanita –kecuali yang dirahmati oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala–  maka seharusnya kita mengikuti petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam seluruh aktivitas keseharian kita. Semoga Allah  Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan taufiq kepada kita sehingga dapat mengamalkan sunnah nabawiyah baik yang besar ataupun yang kecilnya. Semoga Allah  Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan sholawat dan salam untuk panutan kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam. Wallahu A'lam

Maroji':

Al-Qur'an Al-Karim dan terjemahnya, Mujamma' Al-Malik Fahd Li Thiba'at Al-Mush-haf Asy-Syarif, Madinah  – KSA

Al-Mulakhosh Al-Fiqhy, Syaikh Dr. Sholih Bin Fauzan Bin Abdullah al-Fauzan. Dar Al-'Ashimah Riyadh -  KSA, cetakan: pertama, tahun 1423 H

Tanbiihaat 'Ala Ahkam Takhtashshu Bil Mu'minat, Syaikh Dr. Sholih Bin fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan. Muassasah al-Haromain Al-Khoiriyah Riyadh – KSA, cetakan pertama tahun 1416 H

Risaalah Fi Ad-Dimaa' Ath-Thobi'iyyah Li An-Nisaa, Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin . Dar Al-Wathon Riyadh – KSA, tahun 1410 H

Jaami' Ahkaam An-Nisaa, Syaikh Mushthofa Al-'Adawy. Dar Ibni Affan  Kairo – Mesir. Cetakan pertama tahun 1419 H

Masaail Fii Al-Haidh Wa Al-Istihadhoh Min Durus Manar As-Sabiil, Syaikh Kholid Bin Ali Al-Musyaiqih. Dar Al-Ashol, tahun 1420 H

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Abdillah Lilis Ikhlasiyah Bintu Hasyim – dipublish ulang oleh Abu Arfa & radioassunah.com dari Majalah Al Bayan Edisi 9.

No comments:

Post a Comment