Sunday, September 29, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Thawaf Wada’, Akhir Haji

Posted: 29 Sep 2013 03:30 PM PDT

thawaf wada

Thawaf wada' adalah sebagai penghormatan terakhir pada Masjidil Haram. Jadinya thawaf ini adalah amalan terakhir bagi orang yang menjalankan haji sebelum ia meninggalkan Mekkah, tidak ada lagi amalan setelah itu.

Dari  Ibnu 'Abbas, ia berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ

"Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thowaf wada', pen) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh." (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).

Adapun wanita haidh yang telah menjalani thowaf ifadhoh jika ia bisa menunggu sampai haidhnya suci, maka ia diperintahkan melakukan thowaf wada'. Jika tidak mampu menunggu karena harus meninggalkan Mekkah, thowaf wada' gugur darinya.

Thowaf wada' ini wajib menjadi akhir amalan orang yang berhaji di Baitullah dan ia tidak boleh lagi tinggal lama setelah itu. Jika ia tinggal lama setelah itu, thowaf wada'nya wajib diulangi. Adapun jika diamnya sebentar seperti karena menunggu rombongan, membeli makanan atau ada kebutuhan lainnya, maka itu tidaklah masalah. Begitu pula jika ada yang belum menunaikan sa'i hajinya, maka ia boleh menjadikan sa'inya setelah thowaf wada'. Karena melakukan sa'i tidak memerlukan waktu yang lama.

Sedangkan bagi penduduk Mekkah tidak ada kewajiban thowaf wada'. Begitu pula tidak ada kewajiban thowaf wada' bagi orang yang berumroh karena tidak ada dalil yang menjelaskannya sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.

Boleh pula mengakhirkan thowaf Ifadhoh  dan digabungkan satu niat dengan thowaf Wada'. Demikian menurut pendapat yang shahih.

Bagi yang telah selesaikan menunaikan seluruh manasik, segeralah pulang dan kembali pada keluarganya, karena demikian mendapatkan pahala yang besar dan inilah yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

"Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya." (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).

Semoga Allah menjadikan perjalanan haji kita penuh barokah dan menuai haji mabrur yang tiada balasan mulia selain Surga.

 

Referensi:

Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, terbitan Majalah Al Bayan, cetakan 1429 H.

Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Marzuq At Thorifiy, terbitan Maktabah Dar Al Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H.

 

@ Sakan 27 Jami'ah Malik Su'ud, Riyadh-KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Artikel Muslim.Or.Id

Haji Cuma Wajib Sekali Seumur Hidup

Posted: 29 Sep 2013 01:47 AM PDT

haji_wajib

Haji cuma wajib sekali seumur hidup, tidak setiap tahun. Bagi yang sudah menunaikannya, maka haji berikutnya cuma dihukumi sunnah.

Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Bulughul Marom dalam bahasan Kitab Haji membawakan hadits berikut ini pada hadits urutan 720.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – ” إِنَّ اَللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اَلْحَجَّ ” فَقَامَ اَلْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كَلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اَللَّهِ? قَالَ: ” لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ, اَلْحَجُّ مَرَّةٌ, فَمَا زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ ” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, غَيْرَ اَلتِّرْمِذِيِّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunnah.” Dikeluarkan oleh yang lima selain Imam Tirmidzi. (HR. Abu Daud no. 1721, Ibnu Majah no. 2886, An Nasai no. 2621, Ahmad 5: 331. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits di atas menunjukkan bahwa haji cuma wajib sekali seumur hidup. Hal ini berlaku bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani syari’at) dan bagi yang mampu. Jika ada yang melakukan haji lebih dari itu, maka dihukumi sunnha. Karena seandainya haji diwajibkan setiap tahun, maka itu akan memberatkan setiap orang. Jika di masa silam saja memberatkan seperti itu, bagaimana lagi dengan zaman ini yang perlu menunggu bertahun-tahun untuk sekali haji, bahkan bisa “ngantri” hingga 20 tahun.

Atas kemurahan dan rahmat Allah, alhamdulillah haji cuma diwajibkan sekali seumur hidup. Walhamdulillah ‘ala dzalika hamdan katsiron.

Bagi yang sudah pernah berhaji, tolonglah beri kesempatan pada saudaranya yang lain untuk berkesempatan berhaji. Karena banyak yang mampu namun kesempatan menunaikan kewajiban yang satu ini masih menunggu lama.

Semoga Allah memudahkan kita sekalian untuk menunaikan haji. Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.

 

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 189-190.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 23 Dzulqo’dah 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Jangan Latah Dalam Manasik Haji

Posted: 29 Sep 2013 12:00 AM PDT

badal haji shalat

Banyak cerita dari ustadz-ustadz pembimbing haji bahwa ada di antara jama'ah haji dari Indonesia yang latah, asal ikut-ikutan dalam melakukan ibadah manasik haji tanpa tahu dalilnya. Sehingga ia mengira apa yang dilihat itu dikiranya adalah bagian dari manasik haji atau sunnah, lalu ditiru begitu saja. Contohnya:

  • Melihat ada jama'ah haji yang mencium dan mengelus-elus maqam Ibrahim. Maka ia ikut-ikutan.
  • Melihat ada yang mencium rukun yamani, maka ia ikut-ikutan.
  • Melihat ada jama'ah yang shalat sunnah setelah manasik tertentu , maka ia ikut-ikutan.

Dan masih banyak lagi cerita-cerita seperti ini

Berilmu sebelum berangkat haji dan umrah

Dijelaskan oleh ulama bahwa ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang paling membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan di antara ibadah-ibadah yang lainnya. Ibadah shalat dan thaharah lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan dibandingkan ibadah haji dan umrah. Oleh karena itu hendaknya kita mempelajari ilmu sebelum mengamalkan. Sebagaimana dituliskan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya

باب العلم قبل القول و العمل

"berilmu sebelum berkata dan beramal"

Dan ini beliau simpulkan dari firman Allah Ta'ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

"Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad: 19)

Jamaah haji hendaknya menghadiri majelis ilmu para ustadz dan ulama untuk menuntut ilmu serta memperdalam pemahaman mengenai manasik haji sehingga ibadah lebih sempurna. Kemudian buku-buku petunjuk hendaknya dibaca, dan sebaiknya membaca beberapa buku petunjuk karena satu dengan yang lainnya saling melengkakapi. Hendaknya membaca dari buku yang paling ringkas hingga ke buku yang agak tebal karena ibadah haji lebih membutuhkan pemahaman dibandingkan yang lain.

Bertanya kepada ahlinya

Jika ragu-ragu mengenai ibadah haji, maka hendaknya bertanya kepada pembimbing haji sebelum melakukannya. Jangan asal-asalan dan latah (sembarang ikut-ikutan). Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya" (QS. Al-Anbiya: 7)

Sebagaimana kaidah fikih bahwa ibadah tidak boleh dibangun di atas keragu-raguan

الشك يزال

"keragu-raguan hendaknya dihilangkan"

Alhamdulillah dalam ibadah haji disediakan kontak telepon bebas pulsa bagi jamaah haji yang bisa bertanya dan berkonsultasi. Silahkan bertanya kepada pembimbing haji, karena tidak seterusnya pembimbing haji bisa memberikan jawaban dan bisa diajak konsultasi.

Jika tidak ada asalnya amalan akan tertolak dan tidak diterima

Jika kita beribadah asal-asalan, maka ibadah bisa tertolak dan tidak diterima karena syarat ibadah adalah ikhlas dan sesuai tuntunan syariat. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

"Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam" (Tafsir Ibnu Katsir 5/205).

Dan sering kita baca dalam ayat Al-Fatihah:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

"Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat"( QS. Al-Fatihah: 5 – 7)

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah berkata,

مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى

"Orang berilmu yang rusak dari orang-orang yang berilmu memiliki keserupaan dengan orang Yahudi (berilmu tidak mengamalkan). Sedangkan ahli ibadah yang rusak memiliki keserupaan dengan orang Nashrani (beramal tanpa ilmu)" (Majmu' Al Fatawa, 16/567)

Demikian semoga bermanfaat.

@perum PTSC, Cileungsi Bogor

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Saturday, September 28, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Sutrah Shalat (4) : Hukum Lewat Di Depan Orang Yang Sedang Shalat

Posted: 27 Sep 2013 11:00 PM PDT

shalat-sutrah

Hukum Lewat Di Depan Orang Yang Sedang Shalat

Mengenai hal ini perlu dirinci pembahasannya terkait beberapa keadaan:

Shalat Dengan Menggunakan Sutrah

Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa lewat di depan sutrah hukumnya tidak mengapa dan lewat di tengah-tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya hukumnya tidak boleh dan orang yang melakukannya berdosa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184). Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan" (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

"Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)" (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Dengan demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat dengan sutrahnya, hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat belakang orang yang shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang shalat, atau cara lain yang tidak melanggar larangan ini.

Shalat Tanpa Menggunakan Sutrah

Demikian juga terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak menghadap sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

"Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat" (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)

Namun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي (di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat yang tidak dibolehkan lewat? Dalam hal ini banyak pendapat yang dinukil dari para ulama:

  • Tiga hasta dari kaki orang yang shalat
  • Sejauh lemparan batu, dengan lemparan yang biasa, tidak kencang ataupun lemah
  • Satu langkah dari tempat shalat
  • Kembali kepada ‘urf, yaitu tergantung pada anggapan orang-orang setempat. Jika sekian adalah jarak yang masih termasuk istilah ‘di hadapan orang shalat’, maka itulah jaraknya.
  • Antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat

Yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).

Dengan demikian jika ingin lewat di depan orang yang shalat yang tidak menggunakan sutrah hendaknya lewat diluar jarak sujudnya, dan ini hukumnya boleh.

Shalat Berjama’ah

Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa makmum dalam shalat jama’ah tidak disunnahkan untuk membuat sutrah. Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum. Namun apakah boleh seseorang lewat di depan para makmum? Atau bolehkah lewat diantara shaf shalat jama’ah? Dalam hal ini ada dua pendapat diantara para ulama :

  1. Hukumnya tidak boleh, berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Juhaim. Selain itu gangguan yang ditimbulkan oleh orang yang lewat itu sama baik terhadap orang yang shalat sendiri maupun berjama’ah.
  2. Hukumnya boleh berdasarkan perbuatan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahihain, Ibnu Abbas berkata,

    قْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ ، وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

    "Aku datang dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak masa baligh. Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu" (HR. Al Bukhari 76, Muslim 504).
    Perbuatan sahabat Nabi, jika diketahui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan banyak sahabat namun tidak diingkari, maka itu adalah hujjah (dalil). Dan ini merupakan sunnah taqririyyah, sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap sebuah perkataan atau perbuatan. Sehingga sunnah taqririyyah ini merupakan takhsis (pengkhususan) dari dalil umum hadits Abu Juhaim.

Yang shahih, boleh lewat di depan para makmum shalat jama’ah, yang melakukan hal ini tidak berdosa dengan dalil perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Namun andaikan bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, itu lebih disukai. Karena sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada orang lain yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لا يؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه

"tidak beriman seseorang sampai ia menyukai sesuatu ada saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu itu ada pada dirinya"

(lihat Syarhul Mumthi, 3/279).

Shalat Di Masjidil Haram Atau Tempat Yang Banyak Dilalui Orang

Apakah boleh lewat di depan orang yang shalat di Masjidil Haram? Sebagian ulama membolehkan secara mutlak karena darurat dikarenakan banyaknya dan merupakan tempat lalu lalangnya orang-orang dalam rangka thawaf dan lainnya. Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan: "demikian juga jika seseorang shalat di Masjidil Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mekkah, orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah" (Mulakhash Fiqhi, 145).

Sebagian lagi tetap melarang berdasarkan keumuman hadits Abu Juhaim. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: "Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang shalat baik di Mekkah maupun di selain Mekkah. Inilah pendapat yang shahih. Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits

أنه كان يُصلِّي والنَّاسُ يمرُّون بين يديه، وليس بينهما سُترة

"Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau"
karena dalam hadits ini tedapat perawi yang majhul. Adanya perawi majhul adalah kecacatan bagi hadits. Andaikan hadits ini shahih pun, maka kita bawa kepada kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di tempat orang ber-thawaf. Dan orang yang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain ini. Sedangkan orang yang shalat, dia bisa shalat di tempat lain. Adapun orang yang thawaf tidak memiliki tempat lain selain sekeliling Ka’bah, sehingga ia lebih berhak. Demikian andaikan haditsnya shahih. Oleh karena itu Imam Al Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya memberi judul bab "sutrah di Mekkah dan tempat lainnya". Artinya, menurut beliau hukum sutrah di Mekkah dan tempat lain itu sama" (Syarhul Mumthi, 3/248). Dari penjelasan beliau ini juga dapat dipahami bahwa jika seseorang shalat di tempat melakukan thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak untuk berada di tempat thawaf.

Yang paling bagus dalam masalah ini adalah rincian yang dipaparkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah dan sebagian ulama Malikiyyah, yaitu sebagai berikut:

  • Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat, dan terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di depan orang shalat, maka orang yang lewat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat tidak berdosa.
  • Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain melewati orang shalat, maka dalam hal ini orang yang shalat berdosa. Adapun orang yang lewat tidak berdosa.
  • Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka keduanya berdosa.
  • Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat dan tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya tidak berdosa (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).

Perlu dicatat bahwa rincian ini berlaku dalam keadaan tempat shalat yang ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melakukan shalat semisal Masjidil Haram. Adapun di tempat biasa yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan untuk melewati orang yang shalat walaupun andaikan tidak ada celah dan ia ada keperluan untuk melewatinya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: "Tidak ada perbedaan antara orang yang punya keperluan untuk lewat atau pun tidak punya keperluan. Karena ia tidak punya hak untuk lewat di depan orang yang shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

"Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat"

arba’in di sini artinya 40 tahun (Syarhul Mumthi’, 3/247). Maka yang patut dilakukan adalah menunggu orang yang shalat selesai. Ibnu Rajab mengomentari hadits ini: "ini adalah dalil bahwa berdirinya seseorang selama 40 tahun untuk menunggu adanya jalan agar bisa lewat, itu lebih baik daripada lewat di depan orang yang shalat jika ia tidak menemukan jalan lain" (Fathul Baari Libni Rajab, 4/80).

Apakah Shalat Menjadi Batal Dengan Adanya Sesuatu Yang Lewat?

Shalat bisa menjadi batal jika ia dilewati oleh wanita, atau keledai, atau anjing. Adapun jika yang lewat adalah selain tiga hal ini, maka tidak batal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

"Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl" (HR. Muslim 511)

anjing yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:

إذا صلَّى الرَّجلُ وليسَ بينَ يدَيهِ كآخرةِ الرَّحلِ أو كواسطةِ الرَّحلِ قطعَ صلاتَه الكلبُ الأسودُ والمرأةُ والحمارُ

"Jika salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa dibatalkan oleh anjing hitam, wanita, dan keledai" (HR. Tirmidzi).

Batalnya shalat dalam hal ini berlaku baik jika yang shalat memakai sutrah, lalu wanita, atau keledai, atau anjing lewat di antara ia dan sutrahnya, maupun tanpa sutrah namun mereka lewat di daerah sujud orang yang shalat. Namun tidak berlaku untuk makmum shalat jama’ah karena sutrah imam adalah sutrah bagi makmum, dan makmum tidak disyari’atkan untuk menahan orang yang lewat di depannya. Sehingga jika wanita, atau keledai, atau anjing lewat diantara shaf shalat jama’ah maka tidak membatalkan shalat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa secara mutlak shalat tidak bisa dibatalkan dengan lewatnya sesuatu, sedangkan hadits di atas maksudnya batal pahala atau kesempurnaan shalatnya. Tentu saja ini merupakan ta’wil yang tidak memiliki dasar. Dan petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebaik-baik petunjuk.

Al Lajnah Ad Daimah menyatakan: "yang shahih, lewatnya hal-hal yang disebutkan itu di depan orang yang shalat atau antara ia dan sutrahnya itu membatalkan shalatnya. Karena terdapat hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl‘. Riwayat Imam Muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat tidak bisa batal dengan hal-hal tersebut. Namun pahalanya berkurang karena berkurangnya seluruh kekhusyukannya atau sebagian kekhusyukannya. Namun yang nampaknya lebih tepat adalah apa yang terdapat dalam hadits, sedangkan pendapat yang kedua tadi merupakan ta’wil yang tidak didasari oleh dalil" (Fatawa Lajnah Daimah, no. 6990 juz 7 hal 82).

Tapi, jika wanita, anjing hitam atau keledai lewat di depan orang yang shalat, sedangkan orang yang shalat ini sudah mencari tempat yang aman dari orang yang lewat, sudah menghadap sutrah, atau ia pun sudah berusaha menghadang dan menahan yang lewat tadi dengan sungguh-sungguh namun tetap saja bisa lolos, maka shalat tidak batal. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: "(jika wanita lewat) secara zhahir shalatnya batal, dan wajib diulang. Namun menurut saya, ada sesuatu yang kurang tepat dalam pendapat ini. Karena seorang yang melakukan shalat, ketika ia sudah melakukan apa saja yang diperintahkan oleh syari’at, lalu datang perkara yang bukan atas kehendaknya, dan ini pun bukan karena tafrith (lalai) ataupun tahawun (menyepelekan), bagaimana mungkin kita mengatakan ibadahnya batal karena sebab perbuatan pihak lain? Karena yang berdosa adalah yang lewat. Adapun jika hal itu terjadi karena menyepelekan atau lalai sebagaimana dilakukan kebanyakan orang, maka shalatnya batal tanpa keraguan" (Syarhul Mumthi’, 3/239). Inilah pendapat yang kami anggap sebagai pendapat yang lebih pertengahan dalam hal ini.

Mungkin ada yang bertanya, “bagaimana dengan wanita? apakah shalat seorang wanita batal jika dilewati wanita lain?”. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya pertanyaan serupa, beliau menjawab: “iya, batal. Karena tidak ada perbedaan hukum antara lelaki dan wanita kecuali ada dalil yang menyatakan berbeda hukumnya. Namun jika wanita tersebut lewat di luar sutrah jika ada sutrah, atau di luar sajadah jika shalatnya pakai sajadah, atau di luar area sujud jika tidak pakai sutrah dan sajadah, maka ini tidak mengapa dan tidak membatalkan” (Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, 13/318).

Hukum Menghalangi Orang Lewat

Disyariatkan bagi orang yang shalat untuk menahan atau menghalangi orang yang lewat di depannya. Baik ia memakai sutrah maupun tidak. Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan" (HR. Al Bukhari 509)

Sebagian ulama berdalil dengan mafhum hadits ini, bahwa yang disyariatkan untuk menahan orang yang lewat adalah jika shalatnya memakai sutrah. Pendapat ini tidak tepat karena dalam riwayat yang lain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menghalangi orang yang lewat secara mutlak.

إذا كان أحدُكم يصلِّى فلا يدعُ أحدًا يمرُّ بين يدَيه . وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه . فإنما هو شيطانٌ

"Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan" (HR. Muslim 505. 506).

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menahan orang yang lewat ketika sedang shalat, apakah wajib atau tidak? Karena lafadz-lafadz hadits mengenai hal ini menggunakan lafadz perintah, yaitu فليدفَعْهُ (cegahlah) dan وليدرَأْه (tahanlah) atau semacamnya, maka pada asalnya menghasilkan hukum wajib. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Lebih diperkuat lagi wajibnya karena diperintahkan untuk memerangi orang yang enggan dicegah untuk lewat (lihat Syarhul Mumthi’, 3/244).

Sedangkan jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena sibuk menahan orang yang lewat dapat menghilangkan tujuan dari shalat yaitu khusyuk dan tadabbur. Selain itu juga adanya perbedaan hukum melewati orang yang shalat, sebagaimana telah dijelaskan, mengisyaratkan tidak wajibnya menahan orang yang lewat. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187) dan serta pendapat mu’tamad madzhab Hambali (Syarhul Mumthi’, 3/243).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memaparkan kompromi yang bagus antara yang mewajibkan secara mutlak dengan yang mensunnahkan secara mutlak: "Dapat kita bawa kepada kompromi berikut: perlu dibedakan antara lewat yang membatalkan shalat dengan yang tidak sampai membatalkan shalat. Jika lewatnya tersebut membuat shalat batal, maka wajib ditahan. Namun jika tidak sampai membatalkan shalat, maka tidak wajib (sunnah) untuk ditahan. Karena dalam kondisi ini, adanya yang lewat tersebut maksimal hanya membuat shalat kurang sempurna, tidak sampai membatalkan. Berbeda halnya jika adanya yang lewat tadi dapat membatalkan shalat. Lebih lagi jika shalatnya adalah shalat fardhu, jika anda membiarkan sesuatu lewat hingga membatalkan shalat anda sama saja anda sengaja membatalkan shalat. Dan hukum asal membatalkan shalat fardhu adalah haram" (Syarhul Mumthi’, 3/245).

Cara Menahan Orang Yang Lewat

Sebagaimana hadits yang telah disebutkan, disebutkan cara menahan orang yang lewat adalah

وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه

"Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia"

Maksudnya ketika lewat pertama kali, maka tahanlah dengan cara yang ringan namun cukup untuk menahannya. Jika ia berusaha untuk lewat kedua kalinya, maka tahanlah dengan lebih bersungguh-sungguh. Sebagaimana perbuatan seorang sahabat Nabi, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:

بينما أنا مع أبي سعيدٍ يصلي يومَ الجمعةِ إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ, إذ جاء رجلٌ شابٌ من بني أبي مُعْيطٍ, أراد أن يجتازَ بين يديه , فدَفَعَ في نحرِه , فنظر فلم يجد مساغًا إلا بين يديْ أبي سعيدٍ, فعاد فدَفَعَ في نحرِه أشدَّ من الدفعةِ الأولى , فمثلَ قائمًا, فنال من أبي سعيدٍ , ثم زاحم الناسَ ، فخرج فدخل على مرْوانَ , فشكا إليه ما لقي قال ودخل أبو سعيدٍ على مرْوانَ , فقال له مرْوانُ: ما لك ولابنِ أخيك ؟ جاء يشكوك , فقال أبو سعيدٍ: سمعتُ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ : إذا صلى أحدُكم إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ، فأراد أحدٌ أن يجتازَ بين يديه, فلْيدْفعْ في نحرِه, فإن أبى فليقاتِلْه , فإنما هو شيطانٌ

"aku (Abu Shalih; perawi hadits) ketika itu bersama yang Abu Sa’id sedang shalat pada hari Jum’at dengan menghadap sutrah. Kemudian datang seorang pemuda dari Bani Abi Mu’yath hendak lewat di depan beliau. Kemudian beliau pun menahannya di lehernya. Lalu pemuda itu melihat-lihat sekeliling, namun ia tidak melihat celah lain selain melewati Abu Sa’id. Sehingga pemuda itu pun berusaha lewat lagi untuk kedua kalinya. Abu Sa’id lalu menahannya lagi pada lehernya namun lebih sungguh-sungguh dari yang pertama. Akhirnya pemuda itu berdiri sambil mencela Abu Said. Setelah itu dia memilih untuk membelah kerumunan manusia. Pemuda tadi pergi ke rumah Marwan (gubernur Madinah saat itu). Ia menyampaikan keluhannya kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Marwan bertanya kepadanya: ‘Apa yang telah kau lakukan kepada anak saudaramu sampai-sampai ia datang mengeluh padaku?’ Lalu Abu Sa’id berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah di lehernya. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan’" (HR. Muslim 505)

dalam riwayat lain:

عن أبي سعيد، أنه كان يصلي ومر بين يديه ابن لمروان، فضربه، فقال مروان: ضربت ابن أخيك؟ فقال: ما ضربت إلا شيطانا

"dari Abu Sa’id, ia pernah shalat lalu anaknya Marwan lewat di depannya, ia pun memukulnya. Marwan setelah kejadian itu bertanya kepada Abu Sa’id: ‘Apakah engkau memukul anak saudaramu?’. Abu Sa’id berkata: ‘Tidak, aku tidak memukulnya. Yang aku pukul adalah setan’".

Ishaq bin Ibrahim pernah melihat Imam Ahmad shalat, ketika ada yang hendak lewat di depannya, beliau menahannya dengan lembut. Namun ketika orang itu mencoba lewat lagi, Imam Ahmad menahannya dengan keras (Fathul Baari Libni Rajab, 4/83).

Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan makna فليقاتِلْه (perangilah ia) beliau berkata"maksudnya adalah menahan. Dan menurutku makna perkataan ini bukanlah melakukan kekerasan, karena segala sesuatu itu ada batasnya". Beliau juga berkata: "para ulama bersepakat maksudnya memerangi di sini bukanlah memerangi dengan pedang (senjata), dan tanpa menoleh, dan tidak sampai pada kadar yang membuat shalatnya batal" (Fathul Baari Libni Rajab, 4/84).

Para ulama juga bersepakat bahwa hendaknya cara yang digunakan untuk menahan orang yang shalat itu bertahap, dimulai dari yang paling ringan dan lembuat setelah itu jika berusaha lewat lagi maka mulai agak keras dan seterusnya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187).

Adapun mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan), ada dua tafsiran dari para ulama:

  1. Orang tersebut disertai dan ditemani setan yang setan ini memerintahkan dia untuk melewati orang shalat. Ini pendapat yang dikuatkan Abu Hatim. Sebagaimana dalam sebagian riwayat dikatakan:

    فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

    "karena bersamanya ada qarin (setan)"

  2. Perbuatan melewati orang shalat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini adalah setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat Al Jurjani. (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/88)

Demikian risalah singkat mengenai sutrah shalat. Semoga dengan mengetahui fiqih mengenai sutrah, kaum Muslimin dapat lebih menjaga dan meningkatkan kualitas shalatnya, sehingga shalat tidak hanya sekedar gerakan bungkuk-berdiri. Melainkan sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menggapai ridha-Nya. Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Yulian Purnama

Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.Sos., M.Pi.

Artikel Muslim.Or.Id

Friday, September 27, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Bolehkah Melempar Jumrah Sebelum Zawal?

Posted: 27 Sep 2013 04:18 PM PDT

lempar_jumrah

Di antara wajib haji adalah melempar jumroh pada hari-hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, atau 13 Dzulhijjah. Dalam pelaksanaannya karena mengingat kondisi jama’ah yang begitu padat, jama’ah kita mengambil pelemparan jumroh ini sebelum waktunya. Padahal yang diperintahkan adalah melempar jumroh dilakukan setelah waktu zawal (setelah matahari tergelincir ke barat). Lalu bagaimana jika dilakukan sebelum zawal?

Hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama tidak membolehkan hal ini. Sebagian yang lain membolehkannya terkhusus jika ada hajat seperti padatnya jama’ah.

Berbagai pendapat ulama dalam hal ini

Mayoritasnya mengatakan tidak bolehnya. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah serta kebanyakan ulama lainya.

Sebagian ulama menganggap bolehnya melempar sebelum zawal pada hari nafer (hari kepulangan dari Mina). Inilah salah satu pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan Ishaq. Ada murid Abu Hanifah yang menyelisihi perkataan gurunya dan berpendapat tidak bolehnya. Yang berpendapat bolehnya, berdalil dengan hadits riwayat Al Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas: Jika siang telah tiba dari hari tasyriq, maka boleh untuk melempar jumrah. Namun hadits ini tidak shahih.

Sebagian ulama membolehkan melempar jumroh sebelum zawal pada tiga hari tasyriq seluruhnya. Yang berpendapat demikian adalah ‘Atho’ bin Abi Robaah, Thowus bin Kaisan, Imam Al Haromain, Abul Fath Al Ar’inaaniy sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaasyi dan Ar Rofi’i dan Ibnul Jauzi. Dan juga pendapat ini dipegang oleh Ibnu Az Zaghuniy dari ulama Hambali.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, akan tetapi tidak tegas menjelaskan masalah melempar jumroh pada hari tasyriq. Al Hafizh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab mushonnafnya dengan sanad shahih dari Muslim. Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata, “Aku melihat Ibnu 'Abbas melempar jumroh sebelum waktu zawal“.

Dan itu pun tidak tegas dari Ibnu ‘Abbas, perkataan di atas masih umum. Bisa jadi maknanya adalah jumroh aqobah dan jika waktunya sebelum zawal maka itu disepakati oleh para ulama.

Diriwayatkan oleh Al Fakihiy dalam ‘Akhbar Makkah’ dengan sanad shahih dari Ibnu Az Zubair, bahwa beliau membolehkan melempar jumroh sebelum zawal pada hari tasyriq.

Dan hal ini dikatakan pula oleh ‘Atho’ bahwa beliau mengaitkannya dengan kejahilan.

Yang tepat dalam masalah ini, bolehnya melempar jumroh pada hari tasyriq sebelum zawal pada kondisi hajat saja. Namun waktu yang afdhol adalah setelah zawal karena hal ini disepakati oleh para ulama.

Lebih baik menjamak daripada mengerjakan sebelum waktu zawal

Sekali lagi tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah melempar jumrah pada hari tasyriq sebelum zawal tanpa ada hajat sebagaimana dilakukan kebanyakan orang. Jika kondisi begitu padat, atau si pelempar sudah tua, atau dalam kondisi sakit, maka boleh melempar jumrah diakhirkan di hari terakhir dan dijamak (digabungkan) untuk seluruh hari. Namun hal ini dilakukan pada hari terakhir setelah zawal. Penjelasan seperti ini yang mesti dijelaskan pada Jama'ah Haji dan dijelaskan pada orang-orang yang lemah di antara mereka, seperti inilah yang bisa dilakukan. Rukhsoh atau keringanan seperti ini lebih tepat dibanding melempar jumrah sebelum zawal.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H, hal. 184-186.

 

@ Maktab Jaliyat Bathaa’, Riyadh, KSA, saat waktu Dhuha,  3 Dzulhijjah 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Saat Thawaf Keliling Ka’bah, Wudhu Batal

Posted: 27 Sep 2013 01:30 AM PDT

thawaf

Bagaimana jika di tengah-tengah sedang thawaf, wudhu batal?

Thawaf adalah mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali dan Ka'bah berada di sebelah kiri orang yang berthawaf. Di dalam thawaf berisi dzikir dan do'a, boleh pula diisi dengan membaca Al Qur'an. Perlu diketahui bahwa di musim haji, apalagi saat-saat puncak haji ketika thawaf ifadhoh (yang termasuk rukun haji), keadaan akan penuh sesak. Sehingga jika ada yang batal wudhunya di pertengahan thawaf, maka akan sulit keluar dari jalur. Lalu bagaimana mengenai masalah ini? Misalnya jika sudah mengitari thawaf sebanyak empat kali, lalu thawafnya batal, haruskah diulangi dari awal ataukah boleh dilanjutkan sisa tiga putaran yang ada?

Perlu diketahui bahwa thoharoh (harus bersuci) bukanlah syarat dalam ihram dan bukan pula syarat dalam amalan umrah atau haji lainnya selain thawaf (yang masih diperselisihkan). Ketika sa'i, melempar jumrah, mabit dan wukuf tidak disyaratkan untuk berthoharoh (dalam keadaan suci).

Menurut mayoritas ulama (baca: jumhur), orang yang berhadats (besar atau kecil) tidak boleh berthawaf mengelilingi Ka'bah. Dari Ibnu 'Abbas, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلَامِ

"Thawaf di Ka'bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara." (HR. An Nasai no. 2922)

Dalam hadits lainnya disebutkan,

الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ فِيهِ الْمَنْطِقَ ، فَمَنْ نَطَقَ فِيهِ فَلاَ يَنْطِقْ إِلاَّ بِخَيْرٍ

"Thawaf di Ka'bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar." (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).

Jika kita mengikuti pendapat jumhur ulama, maka barangsiapa yang batal wudhunya di tengah-tengah thawaf, wajib baginya mengulangi wudhu. Apakah thawafnya diulangi lagi dari awal (putaran pertama) atau boleh melanjutkan thawaf sebelumnya? Hal ini ada dua pendapat di antara para ulama. Kembali pada permasalahan apakah thoharoh merupakan syarat dalam thawaf tadi. Jika kita menyatakan bahwa thoharoh bukan syarat sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin rahimahumallah, maka tidak ada masalah untuk melanjutkan thawaf.

Berbagai alasan yang mendukung thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh

Pertama: Hadits yang menyatakan bahwa thawaf itu seperti shalat, tidaklah marfu' (sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Hadits ini hanya mauquf (perkatan sahabat) sampai pada Ibnu 'Abbas. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh At Tirmidzi, Al Baihaqi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan selainnya (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1: 144).

Kedua: Jika kita katakan hadits tersebut shahih, maka tidak selamanya kita katakan bahwa thawaf itu sama dengan shalat sehingga dipersyaratkan pula thoharoh sebagaimana shalat. Thawaf jauh berbeda dengan shalat. Di antara perbedaannya:

  1. Shalat disyaratkan berdiri, thawaf tidak disyaratkan demikian. Seandainya ada yang thawaf sambil merangkak, thawafnya sah.
  2. Shalat disyaratkan takbiratul ihram, thawaf tidak demikian.
  3. Shalat disyaratkan menghadap kiblat, sedangkan thawaf hanya disyaratkan Ka'bah berada di sebelah kiri.
  4. Shalat diwajibkan membaca Al Fatihah, sedangkan thawaf hanya dianjurkan membaca Qur'an namun tidak disyaratkan mesti Al Fatihah.
  5. Shalat diwajibkan ruku' dan sujud, thawaf tidak demikian.
  6. Shalat tidak dibolehkan makan dan minum, thawaf masih dibolehkan. (Syarhul Mumthi', 7: 260)

Dalam Fathul Qadir dan Al Mabsuth disebutkan bahwa thawaf itu mirip shalat dalam sisi pahala, bukan dalam hal hukum. Karena berbicara dan berbicara dalam shalat itu membatalkan shalat, berbeda dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 319).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, "Yang benar, thawaf mengelilingi Ka'bah bukanlah seperti shalat. Thawaf adalah ibadah yang berdiri sendiri seperti halnya i'tikaf." (Syarhul Mumthi', 7: 261)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, "Inilah pendapat yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh dari hadats kecil. Namun jika seseorang berthoharoh (dengan berwudhu'), maka itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi darurat, kita memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya ketika dalam kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk berwudhu ketika wudhunya batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam keadaan padat jama'ah, lebih-lebih lagi jika thawafnya masih tersisa beberapa putaran saja, maka ini tentu jadi beban yang amat berat. Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun kita masih berpegang dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak perlu mewajibkan untuk thoharoh dalam kondisi demikian. Namun hendaklah mengambil sikap yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al Baqarah: 185)." (Syarhul Mumthi', 7: 262-263)

Jadi, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan thawaf selama tidak mengalami kesulitan. Jika sulit seperti kondisi yang penuh sesak saat thawaf, maka kita boleh ambil keringanan untuk terus melanjutkan thawaf kala wudhu batal.

Wanita Haidh Terhalang untuk Thawaf

Perlu dipahami terlebih dahulu:

  1. Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan berthoharoh (bersuci). Tidak boleh wanita haidh berthawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
  2. Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thowaf yang disyari'atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka'bah) dan thawaf wada' (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
  3. Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhoh. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).

Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?

Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thoharoh adalah syarat thowaf, maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu ('ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 311-312).

Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi yang berhaji, atau yang punya niatan haji dan umrah.

Wallahu waliyyut taufiq.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Referensi:

  1. An Nawazil fil Hajj, 'Ali bin Nashir Asy Syal'an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
  2. Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Maktabah At Tauqifiyah.
  3. Syarhul Mumthi, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.
  4. Islam web

 

Disusun @ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 5 Dzulhijjah 1432 H (01/11/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Badal Haji untuk Orang yang Tidak Pernah Shalat

Posted: 26 Sep 2013 08:38 PM PDT

badal haji shalat

Mengenai badal haji pernah diulas oleh Muslim.Or.Id dalam tulisan Syarat dan Ketentuan Badal Haji dan Hukum Badal Haji. Bagaimana jika badal haji dilakukan untuk orang yang dahulu tidak shalat, apakah sah badal haji tersebut?

Yang jelas, hukum meninggalkan shalat itu kafir menurut pendapat terkuat di kalangan para ulama. Pendapat ini merupakan hasil kesimpulan dari ayat Al Qur’an, hadits dan bahkan dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Sampai Umar bin Khottob mengatakan, “Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat." Lihat bahasan Muslim.Or.Id mengenai Hukum Meninggalkan Shalat.

Guru kami, Syaikh 'Abdul Karim Khudair -semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau-, salah satu ulama besar di kota Riyadh Saudi Arabia, ditanya:

Pamanku telah meninggal dunia dan belum berhaji. Kadang ia mengerjakan shalat dan kadang ia meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan. Apakah boleh aku melakukan badal haji untuknya?

Jawab Syaikh Khudair hafizhohullah:

Lihat keadaan pada akhir hidupnya dan lihat keadaan akhir shalatnya ketika ia hidup, saat ia masih bisa berpikir dengan baik. Perhatikan apakah ia shalat ataukah tidak? Jika di masa akhir hidupnya ia shalat, maka ia muslim. Kita hukumi ia muslim, sehingga kita boleh membadalkan haji untuknya, bersedekah atas namanya dan berdo'a untuk kebaikannya.  Namun jika akhir hidupnya saat ia masih dalam keadaan pikirannya sehat, ia tidak shalat, maka tidak boleh membadalkan haji untuknya. Begitu pula tidak boleh mendoakan kebaikan untuknya, juga tidak bersedekah atas nama dirinya.

[Diambil dari sesi tanya jawab saat kajian membahas berbagai permasalah seputar haji, http://www.khudheir.com/text/5508]

Fatwa di atas juga menunjukkan tidaknya bermanfaat kirim pahala bagi si mayit yang tidak shalat. Sehingga kita perlu hati-hati dalam perkara shalat, jangan sampai meremehkan dan malas-malasan. Kita pun perlu mengingatkan saudara kita akan masalah ini.

Wallahu a’lam, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

Disusun saat perjalanan Jogja-Panggang (GK), 21 Dzulqo’dah 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


(Kajian MP3) Adab-Adab Dalam Masjid

Posted: 27 Sep 2013 01:57 AM PDT

Bismillah.. Pecinta dan pendengar Radio Kita FM Rohimakumullah.. Masjid adalah tempat pembinaan umat yang sangat penting. Di tempat yang mulia ini ada adab-adab yang perlu diperhatikan ketika kita berhubungan dengan masjid, namun banyak kaum muslimin yang melalaikan adab-adab tersebut padahal mereka berada di rumah-rumah milik Allah. Di dalam kajian kali ini insya Allah dibahas adab-adab di dalam masjid yang tentunya harus diketahui oleh setiap muslim.

adab di masjid

Kajian di sampaikan oleh Ustadz Kurnaedi, Lc yang disampaikan di Masjid Assunnah Kota Cirebon. Semoga bermanfaat dan semoga kita bisa mengambil faidahnya. Insya Allah Aamiin..

Silakan simak di player berikut ini:

Atau Anda bisa langsung mendownloadnya disini:

Adab-adab Di Dalam Masjid – Ustadz Kurnaedi Lc (klik)