Wednesday, September 4, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Syarat dan Ketentuan Badal Haji

Posted: 04 Sep 2013 04:00 PM PDT

ketentuan badal haji

Apa saja yang mesti diperhatikan dalam badal haji? Ketentuannya seperti apa? Apa syarat yang mesti dipenuhi? Tulisan Muslim.Or.Id kali ini akan membahasnya.

1- Tidak sah badal haji dari orang yang mampu melakukan haji Islam dengan badannya.

Ibnu Qudamah mengatakan, "Tidak boleh menggantikan haji wajib dari seseorang yang mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Ini disepakati (ijma') oleh para ulama. Ibnul Mundzir berkata, "Para ulama sepakat bahwa siapa yang punya kewajiban menunaikan haji Islam dan ia mampu untuk berangkat haji, maka tidak sah jika yang lain menghajikan dirinya." (Al Mughni, 3: 185)

2- Badal haji hanya untuk orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau untuk orang yang tidak mampu secara fisik, atau untuk orang yang telah meninggal dunia.

Komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) ditanya, "Bolehkah seorang muslim menghajikan salah seorang kerabatnya di negeri Cina yang tidak mampu pergi menunaikan haji yang wajib?"

Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah menjawab, "Boleh bagi seorang muslim menunaikan haji wajib untuk orang lain (badal haji) jika orang lain tersebut tidak mampu menunaikan haji dengan dirinya sendiri dilihat dari umurnya yang sudah tua, atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau karena telah meninggal dunia. Bolehnya hal ini karena ada hadits shahih yang menerangkannya. Namun jika orang yang dihajikan tidak mampu berhaji saat itu saja semisal tertimpa penyakit yang bisa diharapkan sembuhnya, atau karena keadaan politik dalam negeri, atau perjalanan yang tidak aman, maka tidak sah membadalkan haji untuknya." [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Syaikh 'Abdur Rozaq, Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud. Fatawa Al Lajnah 11: 51]

3- Membadalkan haji bukan untuk orang yang tidak mampu secara harta. Karena jika yang dibadalkan hajinya itu miskin (tidak mampu berhaji dilihat dari hartanya), maka gugur kewajiban haji untuknya. Membadalkan haji cuma untuk orang yang tidak mampu secara fisik saja.

Al Lajnah Ad Daimah ditanya, "Bolehkah seseorang mengumrohkan atau menghajikan kerabatnya yang jauh dari Mekkah dan memang ia tidak punya apa-apa untuk ke Mekkah, namun ia mampu untuk melakukan thowaf?"

Jawab para ulama di Lajnah, "Kerabat yang engkau sebut tidak wajib untuk berhaji karena ia tidak mampu berhaji secara finansial (tidak punya kecukupan harta). Sehingga tidak sah membadalkan haji atau umroh untuknya. Yang dianggap sah adalah jika ia sebenarnya mampu untuk menunaikan haji atau umroh dengan badannya, yaitu ia bisa hadir di tempat-tempat haji. Sehingga boleh menghajikan mayit dan orang yang tidak mampu untuk berhaji secara fisik (tapi punya kemampuan finansial, pen)." [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Syaikh 'Abdur Rozaq, Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud. Fatawa Al Lajnah 11: 52]

4- Tidak boleh seseorang membadalkan haji orang lain kecuali ia telah menunaikan haji yang wajib untuk dirinya. Jika ia belum berhaji untuk diri sendiri lantas ia menghajikan orang lain, maka hajinya akan jatuh pada dirinya sendiri.

Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah berkata, "Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sebelum ia berhaji untuk dirinya sendiri. Dalil dari hal ini adalah riwayat dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, "Labbaik 'an Syabromah [Aku memenuhi panggilan-Mu, dan ini haji dari Syabromah]". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri?" "Tidak", jawabnya. Lantas beliau bersabda, "Berhajilah untuk dirimu terlebih dahulu, baru engkau menghajikan Syabromah." [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Syaikh 'Abdullah bin Ghudayan. Fatawa Al Lajnah 11: 50]

5- Wanita boleh membadalkan haji laki-laki, begitu pula sebaliknya.

Para ulama Lajnah berkata, "Membadalkan haji itu dibolehkan jika orang yang membadalkan telah berhaji untuk dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang menyuruh wanita untuk membadalkan haji ibunya, itu boleh. Sama halnya pula jika seorang wanita membadalkan haji untuk wanita atau pria, itu pun boleh. Sebagaimana adanya dalil shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan hal ini." [Fatwa Al Lajnah 11: 52]

6- Tidak boleh seseorang membadalkan haji dua orang atau lebih dalam sekali haji.

Para ulama yang duduk di Lajnah berkata, "Tidak boleh seseorang dalam sekali haji membadalkan haji untuk dua orang sekaligus, badal haji hanya boleh untuk satu orang, begitu pula umrah. Akan tetapi seandainya seseorang berhaji untuk orang dan berumrah untuk yang lainnya lagi dalam satu tahun, maka itu sah asalkan ia sudah pernah berhaji atau berumrah untuk dirinya sendiri." [Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Syaikh 'Abdullah bin Ghudayan, Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud. Fatawa Al Lajnah 11: 58]

Catatan: Demikianlah banyak di antara warga kita yang tertipu di Mekkah. Perlu diketahui bahwa badal haji yang saat ini dilakukan sebagian warga kita di Mekkah kadang cuma dijadikan bisnis. Buktinya (dan banyak yang menceritakan hal ini), ada yang membadalkan haji untuk 10 orang sekaligus dalam sekali haji. Bagaimana mungkin hal ini dibenarkan?! Jadi jangan sampai tertipu dengan sindikat para penipu dalam ibadah badal haji.

7- Tidak boleh bagi seorang pun membadalkan haji dengan maksud untuk cari harta. Seharusnya tujuannya membadalkan haji adalah untuk melakukan ibadah haji dan sampai ke tempat-tempat suci serta berbuat baik kepada saudaranya dengan melakukan badal haji untuknya.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin berkata, "Badal haji dengan tujuan hanya ingin cari harta, maka Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan bahwa barang siapa berhaji dan cuma ingin cari makan, maka di akhirat ia tidak akan mendapat bagian sedikit pun. Namun barangsiapa yang niatannya memang ingin berhaji, maka tidaklah mengapa. Jadi barangsiapa melakukan badal haji untuk orang lain, maka niatan ia seharusnya adalah untuk menolong dan untuk memenuhi hajat saudaranya. Karena yang dibadalkan adalah orang yang butuh. Tentu ia senang jika ada orang lain menggantikan dirinya. Maka niatannya adalah berbuat baik untuk menunaikan hajat saudaranya dan dengan niatan yang baik pula." [Liqo' Al Bab Al Maftuh, kaset no. 89, pertanyaan 6]

8- Pahala amalan haji apakah untuk yang membadalkan ataukah yang dibadalkan?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin berkata, "Pahala badal haji jika berkaitan dengan kegiatan manasik, maka semuanya akan kembali pada orang yang diwakilkan (orang yang dibadalkan). Adapun untuk berlipatnya pahala dari sisi shalat, thowaf yang sunnah yang tidak berkaitan dengan amalan manasik haji, begitu pula dengan bacaan Al Qur'an akan kembali pada yang menghajikan (orang yang membadalkan)." [Adh Dhiyaa' Al Laami' min Khitob Al Jawaami', 2: 478]

Namun Ibnu Hazm rahimahullah berkata dari Daud, ia berkata, "Aku berkata pada Sa'id bin Al Musayyib: Wahai Abu Muhammad, pahala badal haji untuk orang yang menghajikan ataukah yang dibadalkan? Jawab beliau, Allah Ta'ala bisa memberikan kepada mereka berdua sekaligus."

9- Lebih afdhol, anak membadalkan haji kedua orang tuanya atau kerabat membadalkan haji kerabatnya. Namun jika orang lain selain kerabat yang membadalkan, juga boleh.

Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah ditanya mengenai apakah si anak membadalkan haji ortunya sendiri ataukah menyewa orang lain untuk menghajikannya. Beliau menjawab, "Jika engkau menghajikan orang tuamu dengan dirimu sendiri, lalu engkau bersungguh-sungguh menyempurnakan hajimu tersebut, maka itu lebih baik. Namun jika engkau mempekerjakan orang lain untuk menghajikan orang tuamu di mana orang yang menghajikan punya agama yang bagus dan amanah, maka tidak mengapa." [Fatwa Syaikh Ibnu Baz, 16: 408]

10- Seharusnya betul-betul perhatian untuk memilih orang yang membadalkan haji yaitu carilah orang yang amanat dan memahami benar ibadah haji.

Para ulama Al Lajnah Ad Daimah berkata, "Seharusnya bagi orang yang ingin mencari siapa yang ingin membadalkan haji, hendaklah ia memilih yang bagus agamanya dan amanah sehingga ia merasa tenang ketika ibadah wajib tersebut ditunaikan oleh orang lain."[Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11: 53][1]

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Diselesaikan 28/11/1433 H, di Sakan 27 Jami'ah Malik Su'ud, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id



[1] Sumber-sumber fatwa di atas: http://www.islamqa.info/ar/ref/111794. Selengkapnya mengenai ketentuan badal haji dapat dilihat dari link tersebut, telah dikumpulkan dengan sangat baik oleh Syaikh Sholeh Al Munajjid, semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau.

Fatwa Ulama: Hukum Shalat Jum’at Di Mina Bagi Jama’ah Haji

Posted: 04 Sep 2013 06:00 AM PDT

manasik haji

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Apa hukum mendirikan shalat jumat pada salah satu kelompok (biro perjalanan) di Mina sebagaimana yang ada sekarang ini?

Jawab:

Ini adalah amalan yang tidak dibenarkan. Wajib bagi mereka shalat zhuhur. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dzuhur pada hari jumat di Arafah. Ketika berkhutbah (Arafah), beliau shalat zhuhur dan ashar pada hari Jumat, beliau tidak shalat Jum’at. Orang yang berhaji tidak berkewajiban shalat Jum’at akan tetapi wajib shalat zhuhur di Arafah dan pada hari-hari di Mina.

 

Sumber: Majmu' Fatawa syaikh bin Baz 30/274

Penerjemah: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Serial 15 Alam Jin: Setan Bisa Berubah Wujud Jadi Manusia

Posted: 03 Sep 2013 11:00 PM PDT

setan berubah wujud

Di antara kemampuan yang diberikan pada jin atau setan adalah setan dapat berubah bentuk menjadi manusia. Berikut di antara buktinya.

Setan Menyamar Menjadi Suraqah bin Malik

Setan milik orang musyrik pada saat perang Badr pernah datang dalam bentuk Suraqah bin Malik. Kaum musyrikin pun dijanjikan kemenangan olehnya. Lantas turun firman Allah,

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لَا غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ

Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.” (QS. Al Anfaal: 48).

Namun ketika dua pasukan berhadapan dan datang pula pertolongan malaikat dari langit, setan tersebut pun lari,

فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ

Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah.” (QS. Al Anfaal: 48).

Ibnu Katsir berkata, “Setan datang dalam wujud Suraqah bin Malik bin Ja’syam, pembesar Bani Madlaj”. Setelah itu Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan hal ini di antaranya diriwayatkan oleh Ath Thobari dengan sanad tsabit (shahih) dari jalur ‘Ali. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 216-217.

Kisah Setan dan Sahabat Abu Hurairah

Ketika Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjaga makanan zakat, malam harinya ada jin yang berubah wujud jadi orang remaja dan mencuri. Ketika ditangkap dan hendak dilaporkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berusaha memelas dan berjanji tidak akan kembali. Tapi dia dusta, dia tetap kembali, hingga terjadi selama 3 malam. Di malam ketiga, Abu Hurairah tidak memberi ampun dan akan dilaporkan kepada Rasulullah. Setelah diajari bacaan ayat kursi, Abu Hurairah melepaskannya. Pagi harinya, kejadian ini beliau sampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda,

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ

Kali ini dia benar, meskipun aslinya dia pendusta." (HR. Bukhari no. 2311).

Dua kisah di atas menunjukkan bahwa setan bisa saja berubah wujud jadi manusia. Dan setan pun bisa berubah bentuk jadi hewan seperti keledai, anjing dan yang paling sering adalah anjing hitam. Insya Allah, perubahan wujud jadi hewan ini akan dikaji dalam serial ke-16.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:
  • 'Alamul Jin wasy Syaithon, Syaikh Prof. Dr. 'Umar bin Sulaiman bin 'Abdullah Al Asyqor, terbitan Darun Nafais, cetakan kelimabelas, tahun 1423 H.
  • Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Selesai disusun di pagi hari 28 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fidyah Dan Damm Dalam Haji

Posted: 03 Sep 2013 04:00 PM PDT

haji-fidyah-damm

Bagi yang ingin menunaikan haji, perlu sekali mengetahui dan membekali diri dengan ilmu ini. Karena ada yang tidak menyadari bahwa ia telah melakukan pelanggaran ihram dan mesti menunaikan fidyah. Dan ada pula yang tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajiban saat ia berhaji, di mana jika ditinggalkan wajib menunaikan damm.

Secara jelasnya, kami dapat merinci fidyah bagi orang yang berhaji sebagai berikut:

1- Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakain berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita.

Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:

  1. Menyembelih satu ekor kambing
  2. Memberi makan kepada enam orang miskin
  3. Berpuasa selama tiga hari

2- Fidyah karena meninggalkan wajib haji yaitu melempar jumroh, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, thowaf Wada', berihram dari miqot.

Bentuk fidyah dari meninggalkan wajib haji adalah kewajiban damm, yaitu menyembelih satu ekor kambing. Jika tidak mendapati, maka berpuasa sebanyak sepuluh hari, yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari saat kembali ke negerinya. Jika berpuasa saat haji tidak mampu, maka boleh berpuasa dengan tujuh hari tadi di negerinya.

3- Fidyah jaza' atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat.

Bentuk fidyahnya adalah memilih salah satu dari tiga hal:

  1. Menyembelih hewan yang semisal, lalu memberi makan kepada orang miskin di tanah haram.
  2. Membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu memberi makan setiap orang  miskin dengan ½ sho' (2 mud, sekitar 1,5 kg).
  3. Berpuasa setiap satu makanan yang diberikan kepada orang miskin senilai satu hari puasa. Misal kewajiban memberi makan dari hewan sembelihan tadi disalurkan pada 10 orang miskin, maka berarti puasanya selama 10 hari.

4- Fidyah damm bagi yang menjalani manasik tamattu' dan qiron.

Bentuk fiyahnya yaitu menunaikan hadyu dengan menyembelih (dzabh) kambing atau sapi, atau melakukan nahr (penyembelihan pada unta). Jika tidak mampu, maka berpuasa selama sepuluh hari yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari saat kembali ke negerinya.

5- Fidyah muhshor, yaitu terhalang tidak bisa menyelesaikan ibadah haji atau umroh, baik karena dihadang musuh, karena kecelakaan, karena kemataian mahrom (suami atau istri) atau karena lainnya yang membuat seseorang terpaksa tidak bisa melanjutkan hajinya. Orang yang terhalang itu disebut muhshor. Ia boleh bertahallul tidak melanjutkan ibadahnya setelah menyembelih hadyu (seekor kambing). Jika tidak didapati, maka diganti dengan berpuasa selama sepuluh hari, yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya.

Allah Ta'ala berfirman,

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya." (QS. Al Baqarah: 196). Jika ia terhalangi dan tidak bersabart, maka ia menyembelih hadyu, lalu menggundul rambut kepala, lalu bertahallul. Jika haji tersebut, haji yang wajib, maka ia harus mengulangi hajinya, begitu pula dengan umroh. Namun jika haji atau umrah sunnah, maka tidak ada kewajiban untuknya.

6- Fidyah jima' (hubungan seksual suami istri) sebelum tahallul awwal dan melakukan perbuatan yang mengantar pada jima'.

Hajinya tidaklah sah namun tetap harus diselesaikan hingga tuntas ditambah menunaikan fidyah. Bentuk fidyahnya adalah menyembelih unta. Jika tidak didapati, maka berpuasa selama sepuluh hari, yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya.

Semoga Allah senantiasa menganuriakan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

 

@ Sakan 27 Jami'ah Malik Su'ud, Riyadh, KSA, 22/11/1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment