Tuesday, September 17, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Sutrah Shalat (3) : Jarak Sutrah

Posted: 17 Sep 2013 12:11 AM PDT

shalat-sutrah

Jarak antara orang yang shalat dengan sutrah-nya

Para ulama berselisih pendapat mengenai berapa jarak antara orang yang shalat dengan sutrah-nya. Karena dalam hal ini sekurang-kurangnya terdapat tiga hadits yang sekilas nampak tidak sejalan.

Hadits 1

Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

"Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya" (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Hadits 2

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ

"Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat" (HR. Al Bukhari 496).

An Nawawi mengomentari hadits ini : "yaitu jarak dari tempat sujud" (Syarah Shahih Muslim, 4/225).

Hadits 3

Hadits Bilal bin Rabbah radhiallahu’anhu yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6060),

قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ: مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ هُوَ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ، وَبِلَالٌ ، وَعُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ الْحَجَبِيُّ فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِينَ خَرَجَ: “ مَاذَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: جَعَلَ عَمُودًا عَنْ يَسَارِهِ وَعَمُودَيْنِ عَنْ يَمِينِهِ وَثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ ، وَكَانَ الْبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةِ أَعْمِدَةٍ ، ثُمَّ صَلَّى وَجَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ

“Aku membaca dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Malik menuturkan padaku, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam Ka’bah bersama Usamah bin Zaid, Bilal, Utsman bin Thalhah Al Hajabi kemudian menutup pintunya. Lalu Abdullah bin Umar bertanya kepada Bilal ketika keluar: "apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ?". Bilal menjawab: "Beliau memasang satu tiang di sebelah kirinya, dua tiang di sebelah kanannya, dan tiga tiang dibelakangnya. Sehingga Ka’bah saat ini memiliki enam tiang. Kemudian beliau shalat dan menjadikan jarak antara beliau dengan tembok sejauh tiga hasta" (HR. Ahmad 6060, hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah tanpa keraguan).

Kompromi hadits

Para ulama memberikan beberapa kompromi hadits-hadits di atas:

  1. Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: "andaikan kita kompromikan hadits Sahl dan hadits Ibnu Umar dengan mengambil hadits Ibnu Umar untuk shalat sunnah, sedangkan hadits Sahl untuk shalat wajib, ini kompromi yang ada benarnya. Karena shalatnya Nabi di dalam Ka’bah adalah shalat tathawwu’, sedangkan yang dikabarkan Sahl adalah mengenai tempat shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di masjidnya yang biasa didirikan shalat fadhu" (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29). Jadi menurut kompromi ini, dalam shalat wajib jarak sutrah adalah sejarak domba lewat sedangkan dalam shalat sunnah sejauh 3 hasta, dihitung mulai dari tempat sujud.
  2. Ad Dawudi menyatakan bahwa sejarak domba lewat itu jarak minimal sedangkan tiga hasta adalah jarak maksimal (Nailul Authar, 3/7). Inipun dihitung dari tempat sujud.
  3. Sebagian ulama mengkompromikan bahwa sejarak domba lewat itu dihitung dalam keadaan sujud dan rukuk, sedangkan tiga hasta itu dihitung dalam keadaan berdiri (Nailul Authar, 3/7).
  4. Ibnu Shalah berkata: "para ulama menyatakan bahwa kadar jarak domba lewat itu adalah tiga hasta" (Nailul Authar, 3/7). Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa jarak sutrah itu tiga hasta, ini pendapat Asy Syafi’i, Atha dan lainnya.

Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan : "hadits Ibnu Umar sanadnya lebih shahih daripada hadits Sahl, namun keduanya baik". Artinya menurut beliau boleh membuat jarak sejarak domba lewat atau boleh juga 3 hasta. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa jarak sutrah tidak ada batasannya (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29 ).

Wallahu’alam, ketika ada beberapa dalil yang nampak tidak sejalan, yang paling baik adalah mengkompromikan semua dalil yang ada tanpa mengabaikan satu dalil pun. Dan nampaknya kompromi pada poin 3 lebih mencakup semua dalil, yaitu sejarak domba lewat itu dihitung dalam keadaan sujud dan rukuk, sedangkan tiga hasta itu dihitung dalam keadaan berdiri, dengan demikian orang yang shalat pun lebih mendekat kepada sutrah sebagaimana diperintahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri. Imam Ahmad pernah ditanya, "berapa jarak antara orang yang shalat dengan kiblatnya (sutrah)?", beliau menjawab: "hendaknya ia mendekat kepada kiblat (sutrah) sedekat mungkin". Lalu Imam Ahmad membacakan hadits Ibnu ‘Umar (Fathul Baari Libni Rajab, 4/29 ). Ini mengisyaratkan Imam Ahmad berpandangan bahwa 3 hasta dalam hadits Ibnu Umar itu sangat-sangat dekat dengan sutrah yaitu dihitung dalam keadaan berdiri.

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menyatakan: "tidak ragu lagi bahwa sangat tepat apa yang dikatakan oleh Al Baghawi: ‘para ulama menganjurkan untuk mendekat kepada sutrah sekadar jarak yang memungkinkan untuk sujud, demikian juga (kaidah) jarak antar shaf (dalam shalat berjama’ah)’" (Fathul Baari, 1/575).

Kehilangan Sutrah Di Tengah Shalat

Jika orang yang shalat kehilangan sutrahnya di tengah shalat, misalnya sutrah yang ia gunakan terbawa angin, diambil orang, atau orang yang ia jadikan sutrah sudah beranjak pergi, maka apa yang mesti dilakukan? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

  1. Bergerak atau berjalan mencari sutrah lain jika tidak menyibukkan. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah menyatakan:
    "Ini merupakan pendapat Imam Malik dan beberapa ulama yang lain. Dan telah aku jelaskan hal ini dalam kitab Al Qaulul Mubin Fii Akhta’i Al Mushallin. Adapun dalilnya adalah dalil-dalil umum. Semisal sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

    "Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya"

    walyadnu minha artinya mendekat. Dan ada riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat kemudian ada domba yang hendak lewat, maka beliau pun melangkah ke depan sampai perutnya menyentuh tembok. Lalu domba tadi lewat di belakang beliau. Maka sudah selayaknya setiap orang untuk bersemangat dalam hal ini.Orang-orang awam berkeyakinan bahwa bergerak dalam shalat itu tidak terpuji, bahkan sebagian orang berkeyakinan bahwa bergerak lebih dari 3 kali itu membatalkan shalat. Ini adalah khurafat yang telah saya peringatkan sejak dahulu. Yang benar, jika bergerak dalam shalat itu dalam rangka mengusahakan kesempurnaan atau kebaikan dalam shalat, maka gerakan ini terpuji. Jika seseorang shalat di tempat yang biasa dilalui orang, maka ia bergerak melangkah menjauhi tempat manusia berlalu lalang hingga ia merasa tenang pikirannya, maka ini gerakan yang terpuji. Hukum asal bergerak dalam shalat adalah makruh, berdasarkan hadits ‘Ubadah bin Ash Shamit dalam Shahih Muslim:

    اسكنوا في صلاتكم

    berlaku tenanglah dalam shalatmu

    namun jika dengan bergerak sedikit dapat tercapai kebaikan shalat, maka ini terpuji. Patokan gerakan sedikit atau banyak, kembali kepada ‘urf. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong sedikit, maka itu gerakan yang sedikit. Jika orang-orang menganggap suatu gerakan itu tergolong banyak, maka itu gerakan yang banyak".

    ( Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30916)

  2. Tidak perlu melakukan apa-apa. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
    "Ketika imam salam, makmum menjadi munfarid. Maka dalam keadaan ini ‘sutrah imam adalah sutrah bagi makmum‘ tidak berlaku, karena si imam saat ini bukan lagi imam, ia sudah berpindah dari posisinya sebagai imam. Namun setelah itu jika makmum kembali berdiri meneruskan shalat, apakah disyari’atkan bagi makmum untuk mencari sutrah?Yang menurutku lebih tepat, tidak disyariatkan untuk mencari sutrah. Karena para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mereka masbuk dan hendak menyelesaikan sisa shalatnya, mereka tidak mencari sutrah. Lalu jika kita katakan bahwa sebaiknya mencari sutrah, atau bahkan wajib bagi yang berpendapat wajibnya sutrah, maka pada umumnya diperlukan melangkah dan gerakan yang tentunya tidak bisa kita bolehkan kecuali dengan dalil yang tegas.

    Maka yang nampaknya lebih tepat, kita katakan kepada makmum bahwa sutrah anda sudah berakhir dengan berakhirnya imam dan anda tidak perlu mencari sutrah. Karena tidak ada dalil mengenai mencari sutrah di tengah-tengah shalat. Yang ada dalilnya adalah mencari sutrah sebelum mulai shalat." (Liqa Babil Maftuh, kaset no. 155, fatwa no. 16, Asy Syamilah)

Wallahu’alam, jika seseorang yang shalat merasa perlu bergerak melangkah sedikit untuk menghindari orang yang lalu lalang, maka ini tidak mengapa dan tidak membatalkan shalatnya. Namun asalnya, diam dan tidak melakukan gerakan tambahan itu lebih baik. Bila ada yang lewat di depannya cukup dihalau dengan tangan. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab:

"Gerakan melangkah tersebut tidak membatalkan shalatnya insya Allah. Melangkah sedikit sehingga orang-orang bisa lewat di belakang orang yang shalat, ini tidak membatalkan shalatnya, insya Allah. Jika masih ada raka’at yang tersisa, maka sempurnakanlah. Namun jika ia tetap pada tempatnya, shalat tetap pada tempatnya, walhamdulillah, ini lebih utama daripada melangkah".
( Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/14420 )

Semoga bermanfaat. Wallahu Waliyyut Taufiq.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

5 Sifat Haji Mabrur

Posted: 16 Sep 2013 05:01 PM PDT

haji_mabrur

Haji mabrur itulah yang didambakan setiap orang karena balasannya tentu saja surga. Namun haji mabrur bukanlah suatu slogan atau titel. Ada beberapa sifat yang mesti dipenuhi, barulah seseorang yang berhaji bisa menggapai derajat mulia tersebut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Di antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada bahasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Hadits di atas disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengawali pembahasan dalam kitab haji pada hadits no. 708. Hadits tersebut menerangkan mengenai keutamaan haji mabrur dan balasannya adalah surga.

Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39) mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal.

Kita dapat katakan bahwa sifat haji mabrur ada lima:

  1. Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
  2. Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

    Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).

  3. Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,

    الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).

  4. Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
  5. Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah. Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
    Di antara bentuk mengagungkan syi’ar Allah, hendaklah ketika berhaji menyibukkan diri dengan dzikir, yaitu memperbanyak takbir, tasbih, tahmid dan istighfar. Karena orang yang berhaji sedang dalam ibadah dan berada dalam waktu-waktu yang mulia.

Demikianlah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditilik, maka di dalamnya benar-benar berisi pengagungan terhadap syi’ar Allah. Itu nampak dari perkataan dan perbuatan beliau, semoga shalawat dan salam tercurahkan pada beliau.

Hanya Allah yang memberi taufik untuk menggapai haji mabrur.

ReferensiMinhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 158-161.

 

Diselesaikan di pagi hari, 11 Dzulqo’dah 1434 H di Pesantren Tercinta Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment