Sunday, June 2, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

Posted: 02 Jun 2013 02:39 AM PDT

tafsir-alquran

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1]

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

[Ayat ke-2]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.

[Ayat ke-3]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara

[Ayat ke-4]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)

Berikut ini isi surat Hathib:

أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ

Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:

  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik

[Ayat ke-7]

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah“ (QS. An Nisa: 139)

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

[Ayat ke-8]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]

وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Maidah: 81)

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).

Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).

Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Antara Shalat Dan Memandang Allah

Posted: 01 Jun 2013 10:40 PM PDT

nama_allah

Sesungguhnya merupakan kesempurnaan anugerah dan kenikmatan penduduk surga adalah memandang Rabb mereka Yang Maha Agung, Pemilik Kemuliaan dan Keindahan. Pandangan yang menggembirakan hati, menyejukkan mata, penuh keindahan dan kelezatan yang paling agung di dalam surga yang penuh kenikmatan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Shuhaib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إذا دخل أهل الجنة الجنة قال يقول الله تبارك وتعالى تريدون شيئا أزيدكم فيقولون ألم تبيض وجوهنا ألم تدخلنا الجنة وتنجنا من النار قال فيكشف الحجاب فما أعطوا شيئا أحب إليهم من النظر إلى ربهم عز وجل

Apabila penduduk surga telah masuk surga, Allah Tabaaraka wa Ta'ala berfirman, 'Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan dari-Ku?' Mereka menjawab, 'Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?'". Kemudian Nabi bersabda, "Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla" (HR. Muslim no. 181)

Ada hubungan antara memandang Allah dengan shalat. Barangsiapa yang senantiasa menegakkan shalat, maka dia akan selalu mendapatkan anugerah yang agung ini. Namun barangsiapa yang menyia-nyiakan shalat maka dia tak kan mendapatkan anugerah ini dan dia menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesia-siaan dan kesengsaraan. Quran dan Sunnah telah menunjukkan hubungan ini. Dalam Quran, Allah Ta’ala berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَ‌ةٌ ﴿22﴾ إِلَىٰ رَ‌بِّهَا نَاظِرَ‌ةٌ ﴿23﴾ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَ‌ةٌ ﴿24﴾ تَظُنُّ أَن يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَ‌ةٌ ﴿25﴾ كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَ‌اقِيَ ﴿26﴾ وَقِيلَ مَنْ ۜ رَ‌اقٍ ﴿27﴾ وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَ‌اقُ ﴿28﴾ وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ ﴿29﴾ إِلَىٰ رَ‌بِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ ﴿30﴾ فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّىٰ ﴿31﴾ وَلَـٰكِن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (32)

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia),dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Rabb-mu lah pada hari itu kamu dihalau. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran)” (QS al-Qiyamah: 22-31)

Firman Allah,

 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَ‌ةٌ

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri

di sini maksudnya adalah baik, indah, cerah lagi bahagia. Sedangkan,

إِلَىٰ رَ‌بِّهَا نَاظِرَ‌ةٌ

Kepada Rabb-nyalah mereka melihat

maksudnya adalah melihat Allah dengan mata kepalanya. Hasan al-Bashri rahimahullah menafsirkan maknanya, “Wajah yang pasti berbahagia karena melihat kepada Sang Pencipta” (Tafsir At-Thabari, 72/24)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bagian yang lain: pemilik wajah yang muram lagi suram, di antara amalan mereka yaitu meninggalkan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk bagian yang pertama, pemilik wajah yang melihat Allah dengan berseri-seri adalah mereka yang menegakkan shalat.

[diterjemahkan dari kitab Ta'zhimus Shalah karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al Badr]

Penerjemah: Muhammad Oksa
Artikel Muslim.Or.Id

Tata Cara Bersedekap Dalam Shalat

Posted: 31 May 2013 06:22 PM PDT

shalat-ramadhan

Hukum Bersedekap

Para ulama bersepakat bahwa bersedekap ketika shalat adalah hal yang disyariatkan, berdasarkan hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhu:

كان الناسُ يؤمَرون أن يضَع الرجلُ اليدَ اليُمنى على ذِراعِه اليُسرى في الصلاةِ

"Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya ketika shalat" (HR. Al Bukhari 740)

Sebagian orang ada yang menukil pendapat Imam Malik bahwa beliau menganggap makruh bersedekap dalam shalat dan beliau menganjurkan irsal, yaitu membiarkan tangan terjulai disamping. Namun yang shahih adalah bahwa beliau juga berpendapat disyari’atkannya bersedekap. Buktinya dalam kitab Al Muwatha, beliau membuat judul bab:

باب وضع اليدين إحداهما على الأخرى في الصلاة

"Bab: Meletakkan kedua tangan, yang satu di atas yang lain, ketika shalat"

Walaupun dalam hadits Bukhari tadi terdapat ungkapan perintah untuk bersedekap, namun tidak diketahui perkataan dari salaf, baik dari sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in atau pun para imam madzhab yang menyatakan wajibnya bersedekap dalam shalat (lihat Sifat Shalat Nabi Lit Tharifi, 84). Dengan demikian bersedekap dalam shalat hukumnya sunnah tidak sampai wajib.

Bentuk Sedekap

Para ulama bersepakat bahwa tangan kanan berada di atas tangan kiri, namun mereka berbeda pendapat mengenai rincian bentuk sedekap, yang merupakan khilaf tanawwu’ (perbedaan dalam variasi). Walaupun demikian, cara yang bersedekap yang benar dibagi menjadi dua cara:

  1. Cara pertama yaitu al wadh’u (meletakkan kanan di atas kirim tanpa melingkari atau menggenggam). Letak tangan kanan ada di tiga tempat: di punggung tangan kiri, di pergelangan tangan kiri dan di lengan bawah dari tangan kiri. Dalilnya, hadits dari Wa’il bin Hujr tentang sifat shalat Nabi,

    ثم وضَع يدَه اليُمنى على ظهرِ كفِّه اليُسرى والرُّسغِ والساعدِ

    "..setelah itu beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan atau di atas lengan" (HR. Abu Daud 727, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
    Dalam Madzhab Maliki dan Hambali, mereka menganjurkan meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri. Sedangkan dalam Madzhab Syafi’i, tangan kanan diletakkan di punggung tangan kiri, di pergelangan tangan kiri dan di sebagian lengan (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/87).

  2. Cara kedua yaitu al qabdhu (jari-jari tangan kanan melingkari atau menggenggam tangan kiri). Dalilnya, hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:

    رأيتُ رسولَ اللَّهِ إذا كانَ قائمًا في الصَّلاةِ قبضَ بيمينِهِ على شمالِهِ

    "Aku Melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri dalam shalat beliau melingkari tangan kirinya dengan tangan kanannya" (HR. An Nasa-i 886, Al Baihaqi 2/28, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

Adapun di luar dua cara ini, seperti meletakkan tangan kanan di siku kiri, atau di lengan atas, adalah kekeliruan dan tidak ada satupun ulama yang membolehkannya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: "Kita pernah melihat orang yang bersedekap dengan memegang sikunya, apakah ini ada dasarnya? Jawabnya, ini tidak ada dasarnya sama sekali" (Syarhul Mumthi’, 3/36).

Sebagian ulama membedakan tata cara bersedekap laki-laki dengan wanita, namun yang tepat tata cara bersedekap laki-laki dengan wanita adalah sama. Karena pada asalnya tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Nabi itu berlaku untuk laki-laki dengan wanita kecuali ada dalil yang membedakannya.

Letak Sedekap

Para ulama berbeda pendapat mengenai letak sedekap. Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa letak sedekap adalah di bawah pusar. Berdasarkan hadits:

أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ

"Ali radhiallahu’anhu berkata: Termasuk sunnah, meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar" (HR. Abu Daud 758, Al Baihaqi, 2/31)

Namun hadits ini sangat lemah karena ada perawinya yang bernama Ziad bin Zaid Al Kufi statusnya majhul ‘ain, dan Abdurrahman bin Ishaq yang berstatus dhaiful hadits.

Adapun Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat di bawah dada dan di atas pusar. Dalilnya hadits Wail bin Hujr:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

"Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengencangkan keduanya di atas dadanya ketika beliau shalat" (HR,. Abu Daud 759, Al Baihaqi 4/38, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 3322)

Syafi’iyyah dan Malikiyyah memaknai bahwa maksud lafadz عَلَى صَدْرِهِ adalah bagian akhir dari dada. Namun keshahihan hadits ini diperselisihkan oleh para ulama. Yang tepat insya Allah, hadits ini lemah. Letak kelemahannya pada perawi Mu’ammal bin Isma’il, yang dapat dirinci sebagai berikut:

  • Sebagian ulama men-tsiqah-kannya, bahkan termasuk Ishaq bin Rahawaih dan Yahya bin Ma’in. Namun Adz Dzahabi menjelaskan: "Abu Hatim berkata: ‘Ia shaduq, tegar dalam sunnah, namun sering salah’. Sebagian ulama mengatakan bahwa kitab-kitabnya dikubur, lalu ia menyampaikan hadits dengan hafalannya sehingga sering salah". Ibnu Hajar juga mengatakan: "Shaduq, buruk hafalannya". Sehingga yang tepat ia berstatus shaduq, wallahu’alam.
  • Dengan statusnya yang shaduq, ia tafarrud dalam meriwayatkan hadits ini.
  • Periwayatan Mu’ammal dari Sufyan Ats Tsauri bermasalah.
  • Periwayatan Mu’ammal menyelisihi para perawi lain yang tsiqah yang meriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri dengan tanpa tambahan lafadz عَلَى صَدْرِهِ (di atas dadanya). Menunjukkan riwayat ini syadz.

Terdapat jalan lain yang diriwayatkan secara mursal dari Thawus bin Kaisan dengan sanad yang shahih. Dengan demikian hadits tentang letak sedekap di atas dada lebih tepat kita katakan hadits mursal.

Juga dinukil sebagai salah satu pendapat imam Ahmad bahwasanya letak sedekap adalah persis di atas dada, sesuai zhahir hadits. Ini juga yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan juga Syaikh Al Albani rahimahumallah. Namun karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang ini maka yang tepat tidak ada batasan letak sedekap. Dalam hal ini perkaranya luas. Sedekap boleh di atas dada, di bawah dada, di perut, di atas pusar maupun di bawah pusar (lihat Sifat Shalat Nabi Lit Tharifi, 90).

Adapun bersedekap di dada kiri atau di rusuk kiri, dan orang yang melakukannya sering beralasan bahwa itu adalah tempatnya jantung, ini adalah alasan yang dibuat-buat yang tidak ada asalnya. Selain itu ada hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:

نهى أن يصلي الرجل مختصرا

"Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang seseorang bertolak pinggang ketika sedang shalat" (HR. Bukhari 1220, Muslim 545)

dan perbuatan demikian walaupun tidak sama dengan tolak pinggang, namun itu mendekati tolak pinggang. Selain itu juga, perbuatan ini membuat badan tidak seimbang (lihat Syarhul Mumthi’, 3/37-38).

Sedekap Setelah Ruku’

Sebagian ulama salaf menganjurkan bersedekap setelah bangun dari ruku, diantaranya Al Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Hazm, dan Al Kasani. Mereka berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:

رأيتُ رسولَ اللَّهِ إذا كانَ قائمًا في الصَّلاةِ قبضَ بيمينِهِ على شمالِهِ

"Aku Melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri dalam shalat beliau melingkari tangan kirinya dengan tangan kanannya" (HR. An Nasa-i 886, Al Baihaqi 2/28, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

Lafadz إذا كانَ قائمًا في الصَّلاةِ (ketika beliau berdiri dalam shalat) dipahami bahwa sedekap itu dilakukan dalam setiap kondisi berdiri dalam shalat kapan pun itu, baik sebelum rukuk maupun sesudah rukuk. Namun ini adalah pendalilan yang tidak sharih. Karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih mengenai hal ini, maka khilaf ulama dalam hal ini adalah khilaf ijtihadiyyah, perkaranya luas dalam masalah ini. Imam Ahmad mengatakan:

أرجو أن لا يضيق ذلك

"Saya harap masalah ini tidak dibuat sempit"

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  • Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
  • Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
  • Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Rahmat Allah Mengalahkan Murka-Nya

Posted: 30 May 2013 11:20 AM PDT

nama_allah2

Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya. Ini adalah berita gembira bagi hamba yang penuh dosa agar tidak berputus asa dari rahmat Allah. Rahmat Allah begitu luas bagi pelaku dosa yang dapat kita ambil dari nama Allah Al 'Afwu (Maha Pemaaf) dan Al Ghofur (Maha Pengampun). Jadi janganlah berputus asa dan segeralah bertaubat.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ – هُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ ، وَهْوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى الْعَرْشِ – إِنَّ رَحْمَتِى تَغْلِبُ غَضَبِى

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, "Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas 'Arsy, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku." (HR. Bukhari no. 7404 dan Muslim no. 2751)

Hadits ini adalah hadits yang amat mulia yang berisi kumpulan sifat-sifat Allah yang diselisihi oleh para penentang sifat Allah (mu'attilah). Sifat Allah yang ditentang adalah sifat menetap tinggi di atas 'Arsy, sifat kitabah (menulis), sifat rahmat,  dan sifat ghodob (marah).  Padahal seluruh sifat tadi didukung oleh dalil Al Qur'an dan hadits serta ijma' para ulama salaf. Dalil yang mendukung adalah,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ

"Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (rahmat)" (QS. Al An'am: 54). Ayat ini menunjukkan sifat kitabah dan sifat rahmat bagi Allah.

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

"Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)." (QS. An Nahl: 50). Ayat ini menunjukkan sifat fauqiyah bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

"(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang menetap tinggi di atas ‘Arsy" (QS. Thoha: 5).

وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ

"Dan Rabbmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat." (QS. Al Kahfi: 58).

Dalam kitab musnad dan sunan disebutkan lafazh hadits,

كَتَبَ بِيَدِهِ

"Allah menulis dengan tangan-Nya." (HR. Tirmidzi no. 3543, Ibnu Majah no. 4295 dan Ahmad 2: 433, shahih)

Dalam lafazh Muslim terdapat lafazh,

لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ إِنَّ رَحْمَتِى تَغْلِبُ غَضَبِى

"Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku" (HR. Muslim no. 2751).

Beberapa faedah dari hadits di atas:
  1. Alam ini memiliki awal. Yang dimaksud dengan makhluk yang disebutkan dalam hadits di atas adalah langit, bumi dan seluruh makhluk yang berada di antara keduanya yang diciptakan Allah dalam waktu enam hari.
  2. Sesungguhnya alam itu diciptakan dan sesuatu yang baru, bukan sesuatu yang tanpa berawal atau muncul bersamaan dengan keberadaan Allah sebagaimana anggapan kalangan filsafat.
  3. Kitabah (menulis) adalah di antara perbuatan Allah. Kitabah memiliki dua makna: (1) ijaab (mengabulkan) dan (2) menulis dengan tangan dan pena.
  4. Allah mewajibkan sesuatu pada diri-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Sebagaimana Allah mengharamkan sesuatu pada diri-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Namun tidak ada seorang pun yang mewajibkan atau mengharamkan sesuatu bagi Allah. Hal ini mengandung faedah.
  5. Bantahan terhadap Asya'iroh yang berkata bahwa Allah tidaklah mewajibkan sesuatu pada diri-Nya.
  6. Menetapkan sifat nafs (diri) bagi Allah sebagai sifat dzatiyah.
  7. Allah memiliki sifat fouqiyah pada Allah (yaitu Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya) dan sifat istiwa' (menetap tinggi di atas 'Arsy) bagi Allah.
  8. Allah memiliki kitab yang berisi, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku."
  9. Kitab tadi berada di atas 'Arsy.
  10. Allah memiliki sifat rahmat.
  11. Allah memiliki sifat ghodob (marah).
  12. Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya.
  13. Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya dibuktikan dengan nama Allah Al 'Afwu (Maha Pemaaf), Al Ghofur (Maha Pengampun), At Tawwab (Maha Penerima Taubat) di mana Allah begitu pemaaf, begitu mengampuni dosa-dosa hamba dan menerima taubat mereka.
  14. Rahmat (sifat penyayang) merupakan lawan dari sifat ghodob (marah), ridho lawan dari sifat sakhoth (murka), sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam berbagai ayat Al Qur'an di antaranya:
    أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
    "Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. Ali Imran: 162).
    Juga ditunjukkan dalam hadits,
    اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ
    "Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari murka-Mu" (HR. Muslim no. 486).
  15. Hadits di atas menunjukkan bahwa sifat harap mengalahkan rasa takut.
  16. Sifat Allah itu bertingkat-tingkat.
  17. Hadits di atas menunjukkan kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat dosa, janganlah mereka berputus asa dari rahmat Allah.
  18. Penetapan sifat 'indi' (sisi) bagi Allah yang menunjukkan tempat.
  19. Hadits di atas menunjukkan bantahan bagi Jahmiyah dan Mu'tazilah serta yang mengikuti pemahaman mereka di mana mereka menolak berbagai sifat yang telah disebutkan dalam hadits ini.

Semakin merenungi nama dan sifat Allah, semakin hati ini menjadi tenang.

 

(*) Faedah tauhid di sini adalah kumpulan dari faedah pelajaran tauhid bersama Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir Al Barrok hafizhohullah. Beliau seorang ulama senior yang sangat pakar dalam akidah. Beliau menyampaikan pelajaran ini saat dauroh musim panas di kota Riyadh di Masjid Ibnu Taimiyah Suwaidi (28 Rajab 1433 H). Pembahasan tauhid tersebut diambil dari kitab Shahih Bukhari yang disusun ulan oleh Az Zubaidi dalam Kitab At Tauhid min At Tajriid Ash Shoriih li Ahaadits Al Jaami' Ash Shohih.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 4 Sya'ban 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Lebih Utama Menyembunyikan Sedekah Atau Menampakkannya?

Posted: 29 May 2013 08:16 PM PDT

Sedekah

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al Aqil

Soal:

Seorang laki-laki berkata : "Saya memiliki 2 orang teman, salah satu diantara keduanya bersedekah dengan sesuatu yang sedikit atau banyak, akan tetapi ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tidak diketahui oleh orang lain. Sedangkan teman yang lain, bersedekah dengan terang-terangan dan tidak peduli dengannya, serta saya mengetahui dari sifatnya mengenai kejujuran niatnya, ikhlas, serta jauh dari perbuatan riya’. Maka manakah yang lebih utama, menampakkan sedekah atau menyembunyikannya? Mohon beri kami fatwa, semoga Alloh memberikan pahala kepada anda.

Jawab:

Pada asalnya bersedekah dnegan sembunyi-sembunyi itu lebih utama. Berdasarkan firman Allah ta’ala

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيرٌ لَّكُمْ

"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu"1.

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairoh -rodhiallahu’anhu- dari Nabi -shollallahu ‘alaihi wasallam- ia bersabda :

سبعة يظلهم الله في ظله، يوم لا ظل إلا ظله…”، وذكر منهم: “ورجل تصدق بصدقة فأخفاها؛ حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

"Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya …(dan disebutkan salah satu dari mereka)… dan laki-laki yang bersedekah kemudian menyembunyikan sedekahnya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” (Muttafaq ‘alaih)2.

Ini adalah hukum asal dari sedekah, bahwa menyembunyikannya lebih utama. Akan tetapi jika terdapat manfaat yang lebih besar dengan menampakkannya, seperti contohnya (pada masalah zakat) jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka akan terdapat prasangka buruk yaitu dianggap tidak membayarkan zakat. Atau manusia akan mencontoh untuk bersedekah jika menampakkan zakatnya, maka hal tersebut termasuk dalam makna hadits

من سنّ سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

"Barangsiapa yang membuat contoh yang baik maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang beramal dengannya sampai hari kiamat" 3.

Dan yang serupa dengan itu dari amal-amal sholih lainnya. Maka pada keadaan seperti itu, menampakkan sedekah adalah lebih utama. Allahu a’lam.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/23871

Catatan Kaki

1 QS Al Baqoroh : 271

2 HR. Al Bukhari 660, Muslim 1031 dengan riwayat sampai "hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya"

3 Dikeluarkan oleh Muslim 4/2060

Penerjemah: Ndaru Tri Utomo
Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Tauhid, Dakwah Prioritas

Posted: 29 May 2013 04:00 PM PDT

realisasi-tauhid

Dakwah itu mesti butuh prioritas dalam hal materi yang disampaikan. Dakwah pada tauhid dan supaya muslim menjauhi syirik harus lebih diprioritaskan daripada pengingkaran maksiat lainnya seperti korupsi, berzina dan pembunuhan. Karena syirik berkaitan dengan hak Allah, juga merupakan larangan dan tindak kezholiman yang paling besar. Sedangkan dosa korupsi masih menempati urutan di bawahnya.

Kita dapat mengambil pelajaran bahwa mendakwahi masyarakat untuk menjauhi syirik lebih diutamakan daripada perkara lainnya dari hadits berikut berikut ini. Dari Ibnu 'Abbas ia berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُعَاذًا نَحْوَ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ « إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ ، فَإِذَا صَلُّوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ ، فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ »

"Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz ke Yaman, ia pun berkata padanya, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta'ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang mereka miliki." (HR. Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19).

Beberapa faedah dalam hadits di atas:
  1. Disyari'atkan mengutus da'i untuk mendakwahkan tauhid.
  2. Yang dijadikan prioritas wajib dan utama dalam dakwah adalah mendakwahkan kalimat laa ilaha illallah yang konsekuensinya beribadah pada Allah saja dan menjauhi kesyirikan.
  3. Makna syahadat laa ilaha illallah adalah mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam ibadah dan meninggalkan peribadahan pada selain Allah.
  4. Islamnya orang kafir barulah terbukti dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
  5. Sebagaimana ahli kitab, maka seseorang bisa saja membaca dan mengetahui namun tidak paham akan makna laa ilaha illallah, atau tahu tetapi tidak mau mengamalkannya.
  6. Mendakwahi orang yang berilmu seperti ahli kitab berbeda dengan mendakwahi orang jahil.
  7. Seseorang yang berdakwah hendaklah membekali diri dengan ilmu agar selamat dari pemikiran menyimpang.
  8. Shalat merupakan amalan yang utama setelah dua kalimat syahadat.
  9. Zakat merupakan amalan yang utama setelah shalat.
  10. Di antara penerima zakat adalah orang fakir. Dan hadits di atas menjadi dalil bolehnya mencukupkan penyaluran zakat pada orang fakir saja.
  11. Tidak boleh mengambil zakat dari harta yang berharga -yang dituntut adalah yang pertengahan- kecuali dengan ridho pemiliknya.

Alhamdulillah, moga Allah beri hidayah.

 

Referensi:

Al Mulakhosh fii Syarh Kitabit Tauhid, -guru kami- Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin 'Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul 'Ashimah, cetakan pertama, tahun 1422 H, hal. 56.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 3 Jumadal Akhiroh 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Makna Hadits “Tidak Masuk Surga…”

Posted: 29 May 2013 02:04 AM PDT

200982_sign_3_forbidden_access

Sering kita dapati hadits-hadits yang menyebutkan dosa-dosa besar dengan menggunakan lafadz "tidak masuk surga yang demikian dan demikian " apakah maksudnya orang yang melakukan perbuatan dosa yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak akan masuk surga dan kekal di neraka sebagaimana pemahaman kaum Khawarij? Simak pembahasan berikut.

Hadits "Tidak Masuk Surga…"

Beberapa hadits tersebut diantaranya:

لا يدخل الجنة منان ولا عاق ولا مدمن خمر

"Tidak masuk surga orang yang suka menyebut-nyebut pemberian, orang yang durhaka terhadap orang tua, dan pecandu khamr" (HR. Ahmad 11/99, An Nasa-i 5688, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad)

لا يدخل الجنة مدمن خمر لا مؤمن بسحر لا قاطع

"Tidak masuk surga pecandu khamr, tidak juga orang yang membenarkan sihir, tidak juga orang yang memutus silaturahim" (HR. Ibnu Hibban 6271, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 678)

ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ

"Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, dayyuts (suami yang membiarkan keluarganya bermaksiat), dan wanita yang menyerupai laki-laki" (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 10/226, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid 861/2, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 3063)

لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه

"Tidak masuk surga orang yang tetangganya merasa tidak aman dari keburukannya perilakunya" (HR. Ahmad 14/262, dishahihkan Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad)

من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة إن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما

"Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahhad, ia tidak mencium wangi surga padahal wangi surga itu tercium dari jarak empat puluh tahun" (HR. Al Bukhari 3166)

صنفان من أمتي لم أرهما قوم معهم سياط مثل أذناب البقر يضربون بها الناس ونساء كاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن مثل أسنمة البخت المائلة لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا

"Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalan sekian dan sekian" (HR. Muslim 2128)

secara zhahir hadits-hadits ini menunjukkan bahwa pelaku dosa-dosa tersebut tidak akan masuk surga. Kaum Khawarij memahami dari hadits-hadits ini bahwa pelaku dosa besar itu kafir dan kekal di neraka. Ini adalah pemahaman yang menyimpang.

Dalil-Dalil Tidak Kafirnya Pelaku Dosa Besar

Ahlussunnah Wal Jama’ah berkeyakinan bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tidaklah kafir selama masih ada iman di hatinya, selama ia tidak mati dalam keadaan musyrik. Ia akan diadzab di neraka namun tidak kekal di dalamnya. Diantara dalilnya, firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (QS. An Nisa: 48)

sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنَ إِيمَانٍ

"Tidak akan masuk neraka orang yang masih memiliki iman seberat biji sawi" (HR. Muslim 91)

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ النَّارَ

"Barangsiapa bersyahadat ‘Laailaaha Illallah’ dan ‘Muhammad Rasulullah’, Allah mengharamkan neraka baginya" (HR. Al Bukhari 6938, Muslim 29)

من مات وهو يعلمُ أنَّه لا إلهَ إلَّا اللهُ دخل الجنَّةَ

"Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, ia masuk surga" (HR. Muslim 26)

dan dalil-dalil yang lain…

Dua Buah Kaidah

Untuk memahami makna hadits "tidak masuk surga…", perlu dipahami 2 kaidah:

Kaidah 1: Surga itu banyak dan bertingkat-tingkat

Diantara dalilnya, firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى

"Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia),

(yaitu) surga-surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)" (QS. Thaha: 75-76)

sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إنَّ في الجنةِ مائةَ درجةٍ ، أعدَّها اللهُ للمجاهدين في سبيلِه ، كلُّ درجتيْنِ ما بينهما كما بين السماءِ والأرضِ ، فإذا سألتم اللهَ فسلُوهُ الفردوسَ ، فإنَّهُ أوسطُ الجنةِ ، وأعلى الجنةِ ، وفوقَه عرشُ الرحمنِ ، ومنه تَفجَّرُ أنهارُ الجنةِ

"Surga itu ada 100 tingkatan, yang dipersiapkan oleh Allah untuk para Mujahid di jalan Allah. Jarak antara dua surga yang berdekatan sejauh jarak langit dan bumi. Dan jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena itulah surga yang paling tengah dan paling tinggi yang di atasnya terdapat Arsy milik Ar Rahman, darinya pula (Firdaus) bercabang sungai-sungai surga" (HR. Al Bukhari 2790)

من أراد بحبوحةَ الجنةِ فلْيلزمِ الجماعةَ

"Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama'ah" (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: "Hasan shahih gharib dengan sanad ini")

Kaidah 2: Ada orang yang masuk surga sebelum yang lain

Diantara dalilnya:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka" (QS. At Thur: 21)

firman Allah Ta’ala:

وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ

"Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah)" (QS. Al Waqi’ah: 10-11)

sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أول زمرة تلج الجنة صورتهم على صورة القمر ليلة البدر ، لا يبصقون فيها ولا يمتخطون ولا يتغوطون ، آنيتهم فيها الذهب ، أمشاطهم من الذهب والفضة ، ومجامرهم الألوة ، ورشحهم المسك ، ولكل واحد منهم زوجتان

"Rombongan yang pertama kali masuk surga berbentuk rembulan di malam purnama. Mereka tidak akan meludah, tidak akan berdahak, dan tidak akan buang air di dalamnya. Bejana-bejana dan sisir-sisir mereka terbuat dari emas dan perak. Tempat bara api mereka terbuat dari kayu wangi. Keringat mereka adalah minyak kesturi. Setiap mereka memiliki dua istri.." (HR. Al-Bukhari no. 3245 dan Muslim no. 5065)

يَدخُلُ فُقراءُ المسلِمينَ الجَنةَ قَبلَ أغنيائِهم بِنصفِ يَومٍ وهُو خَمسُمِائةِ عَامٍ

"Orang-orang miskin diantara kaum muslimin masuk surga lebih dulu dari orang-orang kayanya dengan selisih lamanya setengah hari akhirat, yaitu lima ratus tahun dunia" (HR. Tirmidzi 2354, ia berkata: "Shahih")

dan dalil-dalil lainnya…

Dan perlu diketahui, orang mukmin ditinjau dari proses masuknya ke surga dapat kita golongkan menjadi 3 macam:

  1. Masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Diantara dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    أنه يدخل الجنة من أمته سبعون ألفا بغير حساب ولا عذاب فسأله الصحابة عنهم فقال: هم الذين لا يسترقون ولا يكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم يتوكلون

    "Sesungguhnya akan masuk surga 70.000 orang dari umatku tanpa hisab dan tanpa adzab. Para sahabat bertanya mengenai siapa mereka. Nabi lalu menjawab: mereka adalah orang yang tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan kay dan tidak ber-thathayyur dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka" (HR. Al Bukhari 5705, Muslim 219)

  2. Dihisab terlebih dulu namun Allah mengampuni semua dosanya hingga ia masuk surga tanpa adzab. Diantara dalilnya adalah hadits shahih panjang yang disebut dengan hadits bithaqah. Yaitu seorang lelaki yang dihisab oleh Allah memiliki 99 lembar catatan keburukan, yang tiap satu lembar catatannya sejauh mata memandang. Namun ada satu kartu (bithaqah) saja yang berisi catatan kebaikan yaitu berupa tauhid yang murni sehingga Allah mengampuni 99 lembar catatan keburukannya (HR. Ahmad 11/176, At Tirmidzi 2639, Ibnu Majah 3488).
  3. Dihisab terlebih dahulu, lalu diadzab dineraka sesuai kadar dosanya, lalu masuk surga. Diantara dalilnya,

    يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بَعْدَ مَا مَسَّهُمْ مِنْهَا سَفْعٌ، فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، فَيُسَمِّيهِمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ: الْجَهَنَّمِيِّينَ "

    Kelak akan keluar dari neraka satu kaum yang telah hangus terbakar api neraka. Lalu mereka dimasukkan ke dalam surga. Mereka dinamakan oleh penduduk surga dengan sebutan Al-Jahannamiyyin (mantan penghuni neraka)" (HR. Al Bukhari 6559)

Apa Makna "Tidak Masuk Surga…" ?

Setelah mengetahui kaidah-kaidah di atas, sekarang simak penjelasan para ulama mengenai makna ‘tidak masuk surga…‘. Imam An Nawawi ketika menjelaskan makna lafadz ‘tidak akan masuk surga..‘ beliau mengatakan: “lafadz ini dita’wil dengan dua kemungkinan dengan menimbang beberapa pertimbangan. Pertama, maksudnya yaitu jika pelakunya menganggap halal perbuatan haram. Sehingga, karena sebenarnya ia tahu itu diharamkan agama, ia menjadi kafir kekal di neraka, tidak masuk surga. Kedua, maksudnya yaitu ia tidak masuk surga bersama rombongan pertama dari kalangan orang-orang yang beruntung” (Syarh Shahih Muslim, 17/191).

Al Munawi juga menjelaskan makna "tidak masuk surga…" dengan berkata, “tidak masuk surga secara mutlak jika ia menghalalkan perbuatan dosa tersebut atau maksudnya tidak masuk surga bersama rombongan pertama yang masuk surga jia ia tidak menganggap itu halal” (Faidhul Qadir, 4/428).

Asy Syaukani ketika menjelaskan makna hadits Tidak masuk surga pecandu khamr, tidak juga orang yang membenarkan sihir, tidak juga orang yang memutus silaturahim", beliau berkata: “hadits ini merupakan dalil bahwa sebagian ahli tauhid ada yang tidak masuk surga. Yaitu mereka yang melakukan perbuatan dosa yang sebutkan oleh dalil bahwa pelakunya tidak masuk surga, semisal tiga perbuatan dosa tersebut, juga yang bunuh diri, juga yang membunuh kafir mu’ahhad dan perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Banyak riwayat yang menyatakan bahwa perbuatan dosa mereka itu menghalangi mereka untuk masuk surga. Sehingga hadits Abu Musa yang telah disebutkan dan juga hadits-hadits lain yang semakna di sini menjadi mukhashish (pengecualian) terhadap makna umum dari hadits-hadits semisal di atas, yang menyatakan bahwa ahli tauhid akan dikeluarkan dari neraka untuk masuk ke surga” (Nailul Authar, 7/213).

Syaikh Musthafa Al Adawi menjelaskan bahwa makna "tidak masuk surga…" tidak lepas dari dua kemungkinan:

  1. Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk surga bersama golongan orang-orang yang masuk surga pertama kali. Ia mendapatkan adzab  atas dosa yang ia lakukan (jika Allah tidak mengampuni dosanya), baru setelah itu dikeluarkan dari neraka dan masuk surga.
  2. Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk pada jenis surga tertentu dari surga-surga yang ada (Mafatihul Fiqhi, 1/20).

Bisa Jadi Benar-Benar Tidak Masuk Surga

Orang-orang yang disebut hadits-hadits tersebut bisa jadi benar-benar tidak masuk surga dan kekal di neraka jika mereka menganggap halal (istihlal) dosa besar yang mereka lakukan, lalu mati dalam keadaan belum bertaubat. Semisal seseorang yang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu halal, bukan karena hawa nafsu, padahal ia sudah mengetahui bahwa Islam melarangnya. Para ulama menyebut hal ini sebagai kafir juhud, yaitu orang yang meyakini kebenaran ajaran Rasulullah namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya, menentang karena kesombongan. Ini seperti kufurnya iblis terhadap Allah ketika diperintahkan sujud kepada Adam ‘alaihissalam, padahal iblis mengakui Allah sebagai Rabb,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir" (QS. Al Baqarah: 34)

juga kufurnya Fir'aun terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam dan kufurnya orang Yahudi terhadap Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: "Seorang hamba jika ia melakukan dosa dengan keyakinan bahwa sebenarnya Allah mengharamkan perbuatan dosa tersebut, dan ia juga berkeyakinan bahwa wajib taat kepada Allah atas segala larangan dan perintah-Nya, maka ia tidak kafir". Lalu beliau melanjutkan, "..barangsiapa yang melakukan perbuatan haram dengan keyakinan bahwa itu halal baginya maka ia kafir dengan kesepatakan para ulama" (Ash Sharimul Maslul, 1/521).

Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

 

Fatwa Ulama: Menuntut Ilmu Agama Ataukah Jihad?

Posted: 28 May 2013 08:30 PM PDT

jihad-islam

Fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz

Soal:

Apakah afdhol saat ini untuk  berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?

Jawab:

Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah. Artinya jika sebagian sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Akan tetapi menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia untuk berjihad, maka tidaklah masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib saat kaum muslimin diserang oleh musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut untuk berjihad. Mereka hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula kaum wanita hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk menyerang musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap pria." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)

السؤال: ما الأفضل في هذا الوقت : الجهاد في سبيل الله أم طلب العلم ونفع الناس وإزالة الجهل؟ وما حكم الجهاد لمن لم يستأذن والديه في الجهاد وخرج للجهاد؟

الجواب:

الحمد لله

“طلب العلم من الجهاد ، وهو واجب للتفقه في الدين وطلب العلم، وإذا وَجد جهادا في سبيل الله، الجهاد الشرعي شارك فيه إذا وَجد ذلك وهو من أفضل الأعمال، ولكن عليه أن يتعلم ويتفقه في الدين ، وهو أفضل ومقدم على الجهاد؛ لأنه واجب عليه أن يتفقه في دينه، والجهاد مستحب فرض كفاية ، إذا قام به البعض سقط عن الباقين، لكن تعلم الإنسان العلم أمر مفروض عليه ليتفقه في دينه، وإذا يسر الله له جهادا إسلاميا فلا بأس ، يشرع له المشاركة إذا قدر ولكن بإذن والديه.
أما الجهاد الواجب الذي يهجم العدو على البلد، فيجب على الجميع الجهاد إذا هجم العدو على بلاد المسلمين وجب عليهم كلهم أن يجاهدوا، وأن يدفعوا شر العدو كلهم، حتى النساء يجب عليهن أن يدفعن شر العدو بما استطعن ، أما جهاد الطلب فكونه يذهب إلى العدو في بلاده ويجاهد في بلاده فهذا فرض كفاية على الرجال” انتهى .

“مجموع فتاوى ابن باز” (24/74) .

* Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz adalah ketua Al Lajnah Ad Daimah atau komisi fatwa kerajaan Saudi Arabia di masa silam.

Panggang, Gunungkidul, 19 Rajab 1434 H

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Serial 11 Alam Jin: Kemampuan Jin Bergerak Cepat

Posted: 28 May 2013 05:30 PM PDT

jin-cepat

Di antara kemampuan yang Allah berikan kepada jin yang tidak ditemukan pada manusia adalah berjalan cepat.

Yang membuktikan hal ini adalah Ifrit yang termasuk bangsa jin membuat janji pada Nabi Sulaiman 'alaihis salam untuk menghadirkan singgasana kerajaan Yaman ke Baitul Maqdis. Ia janjikan singgasana tersebut akan datang dalam waktu singkat yaitu tidak sampai Sulaiman berdiri dari tempat duduknya.

Hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta'ala,

قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ (39) قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآَهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (40)

"Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia”." (QS. An Naml: 39-40).

Mujahid berkata bahwa 'Ifrit adalah jin yang durhaka.

Dahulu Sulaiman itu biasa duduk untuk menyelesaikan permasalahan rakyatnya mengenai qodho', hukum dan ia pun duduk untuk menyantapkan makanannya. Hal itu dilakukan dari awal siang hingga terbenam matahari. Demikian penjelasan As Sudi.

Ifrit membawa singgasana kerajaan Yaman dalam waktu cukup singkat. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ia membawanya sebelum Sualiman berdiri dari duduknya. Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tempat duduknya. Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 5: 673.

Masih akan dilanjutkan kembali mengenai kemampuan-kemampuan jin lainnya di web tercinta Muslim.Or.Id. Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  • 'Alamul Jin wasy Syaithon, Syaikh Prof. Dr. 'Umar bin Sulaiman bin 'Abdullah Al Asyqor, terbitan Darun Nafais, cetakan kelimabelas, tahun 1423 H.
  • Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, di pagi hari penuh berkah, 19 Rajab 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kajian Umum Bersama Ustadz Firanda Andirja, MA (Yogyakarta, 6-7 Juni 2013)

Posted: 28 May 2013 07:07 AM PDT

Ikutilah Kajian Umum di Yogyakarta

Bersama Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, sekaligus pengisi kajian Islam di Masjid Nabawi Madinah
Al-Ustadz Firanda Andirja, MA

Waktu
Kamis, 6 Juni 2013
Ba’da Maghrib-Selesai
Tempat
Masjid Kampus UGM
Tema
Siapkan Kesabaran Ekstra Dalam Berdakwah

Waktu
Jumat, 7 Juni 2013
Ba’da Subuh-Selesai
Tempat
Masjid Ponpes Jamilurrahman Bantul
Tema
Menata Hati Merajut Ukhuwwah

Waktu
Jumat, 7 Juni 2013 12.45
Ba’da Shalat Jumat-Selesai
Tempat
Masjid KH Ahmad Dahlan, Kampus UMY
Tema
Sahabat Dihujat, Sahabat Dibela”

Gratis, Terbuka untuk Umum
Putra dan Putri

Kontak
085799205557

Live via www.RadioMuslim.Com

firanda 3

No comments:

Post a Comment