Thursday, September 12, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kurban Atas Nama Mayit

Posted: 12 Sep 2013 03:30 PM PDT

kurban_gunungkidul

Bolehkah berkurban atas nama mayit?

Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi'i, qurbannya tidak salah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj,

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا

"Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut."

Kita dapat membagi berqurban untuk mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:

Pertama: Berqurban untuk mayit hanya sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.

Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya,

كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

"Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya."[1]

Asy Syaukani mengatakan, "(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih."[2]

Kedua: Berqurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta'ala,

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."(QS. Al Baqarah: 181).

Ketiga: Berqurban dengan niatan khusus untuk mayit, bukan sebagai ikutan, maka seperti ini tidak ada sunnahnya (tidak ada contoh dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berqurban atas nama pamannya, Hamzah -radhiyallahu 'anhu-, padahal ia termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui pula kalau beliau berqurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah -radhiyallahu 'anha-. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia di antara mereka.[3]

Syaikh Muhammad bin Rosyid bin 'Abdillah Al Ghofiliy dalam buku kecil beliau yang menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Di antaranya beliau menerangkan mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berqurban. Beliau berkata,

7 – Di antara kekeliruan yang dilakukan oleh orang yang berqurban adalah bersengaja menjadikan (niat) qurban untuk mayit (orang yang telah tiada). Ini jelas keliru karena asalnya qurban diperintahkan bagi orang yang hidup (artinya yang memiliki qurban tadi adalah orang yang hidup, pen). Namun dalam masalah pahala boleh saja berserikat dengan orang yang telah tiada (mayit). Yang terakhir ini tidaklah masalah. Adapun menjadikan niat qurban tadi untuk si mayit seluruhnya, ini jelas tidak ada dalil yang mendukungnya.

Dalam penjelasan di halaman selanjutnya beliau hafizhohullah menjelaskan,

Jika yang berdo'a dengan do'a, "Ya Allah jadikanlah pahala qurban ini seluruhnya untuk kedua orang tuaku yang telah tiada", ini sama sekali tidak ada dalil yang mendukungnya, ini termasuk perkara (amalan) yang mengada-ada. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak" (Muttafaqun 'alaih)[4]

Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi pengunjung Muslim.Or.Id sekalian.

Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberi petunjuk (taufik).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id



[1] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa' no. 1142.

[2] Nailul Author, Asy Syaukani, 8: 125, Mawqi' Al Islam.

[3] Dikembangkan dari keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, hal. 12-13.

[4] Diambil dari buku Syaikh Muhammad bin Rosyid bin 'Abdillah Al Ghofiliy yang berjudul "Min Akhtoi fil 'Usyri', terbitan Darul Masir, cetakan pertama, Dzulhijjah, 1417 H, hal. 20-21.

Sutrah Shalat (1) : Hukum Sutrah

Posted: 11 Sep 2013 11:56 PM PDT

shalat-sutrah

Diantara sunnah yang mulai luntur di tengah kaum muslimin sekarang terkait ibadah shalat adalah menghadap sutrah ketika shalat. Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini dapat memberikan pencerahan kepada umat mengenai sutrah dalam shalat.

Sutrah secara bahasa arab artinya apapun yang dapat menghalangi (lihat Qamus Al Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang. Dalam terminologi ilmu fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang disusun, atau semacamnya untuk mencegah orang lewat di depannya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177).

Menghadap sutrah ketika shalat adalah hal yang disyariatkan. Banyak hadits yang mendasari hal ini diantaranya hadits Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها

"Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah padanya" (HR. Abu Daud 698, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

juga hadits dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhani radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ

"Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah" (HR. Ahmad 15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: "semua perawi Ahmad dalam hadits ini adalah perawi Shahihain").

juga sabda beliau:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

"Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)" (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Hukum Menghadap Sutrah Ketika Shalat

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah ketika shalat dalam 4 pendapat:

  1. Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukani dan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
  2. Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Malik
  3. Sunnah jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah.
  4. Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/178, Tamaamul Minnah, 300).

Jika melihat beberapa hadits yang telah lalu tentang sutrah, di sana digunakan lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Namun tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ akan hal ini. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا

"kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat" (Al Mughni, 2/174). Mengenai validitas ijma Ibnu Qudamah dan ulama lain yang mengklaim ijma sunnahnya sutrah perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam tulisan ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Syahrul Mumthi’ (3/277) menyebutkan beberapa qarinah yang menunjukkan tidak wajibnya shalat menghadap sutrah:

  1. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

    "Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan" (HR. Al Bukhari 509)
    perkataan Nabi ‘jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah‘ menunjukkan orang yang shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.

  2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:

    رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ

    "Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok" (HR. Al Bukhari 76, 493, 861)

  3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:

    أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

    "Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa" (HR. Ahmad 3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273)

  4. Hukum asal tata cara ibadah adalah bara’atu adz dzimmah (tidak adanya kewajiban).

Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas :

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ

"Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa"

ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al Hajjaj bin Arthah yang statusnya "shaduq katsiirul khata’ wat tadlis" (shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis), dan di dalam sanadnya Al Hajjaj pun melakukan ‘an’anah. Namun hadits ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad (5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia berkata:

مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ الْأَرْضِ ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ شَيْئًا

"Aku pernah di menunggangi keledai bersama Al Fadhl (bin Abbas) dan melewati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu"

Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata: "ia shaduq, buruk hafalannya". Juga hadits ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (718), dari Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin Ubaidillah, dari Al Fadhl bin Abbas beliau berkata

أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ، «فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا، وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ

"Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya"

Yahya bin Ayyub dikatakan oleh Ibnu Ma’in: "tsiqah", sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis haditsnya namun tidak dapat berhujjah denganya’. Ibnu Hajar mengatakan: ‘ia shaduq, terkadang salah’. Insya Allah, statusnya shaduq. Adapun perawi yang lain tsiqah. Namun riwayat ini memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqitha pada Abbas bin Ubaidillah dari Al Fadhl. Ibnu Hazm dan Asy Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini tidak bisa menjadi penguat.

Wallahu’alam, dua jalan di atas sudah cukup mengangkat derajat hadits Ibnu ‘Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dalam Hasyiyah-nya terhadap Bulughul Maram (185) juga oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (3/431). juga Bahkan Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (365) mengatakan hadits ini shahih. Sehingga ini menjadi dalil yang kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah.

Kesimpulan hukum

Selain hadits Ibnu ‘Abbas ini, diperkuat juga dengan argumen dari hadits Abu Sa’id Al Khudri sebagaimana penjelasan yang disampaikan Syaikh Al Utsaimin maka wallahu’alam yang rajih hukum menghadap sutrah ketika shalat adalah sunnah, tidak sampai wajib. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama, termasuk para ulama kibar abad ini semisal Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahumallah demikian juga Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahumullah.

Namun sunnahnya menghadap sutrah ketika shalat itu berlaku bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendiri) karena para sahabat Nabi mereka shalat bermakmum kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat sutrah (Syarhul Mumthi’, 3/278). Para fuqaha bersepakat bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada disisi maupun di belakang imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak disunnahkan membuat sutrah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184).

 

[bersambung insya Allah]

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Jatah Kurban untuk Orang Kafir

Posted: 11 Sep 2013 06:55 PM PDT

kurban_sapi

Apakah boleh jatah kurban untuk orang kafir misal pada tetangga atau kerabat? Apa alasannya jika masih dibolehkan?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan hal di atas dan beliau menjawab,

يجوز للإنسان أن يعطي الكافر من لحم أضحيته صدقة بشرط أن لا يكون هذا الكافر ممن يقتلون المسلمين فإن كان ممن يقتلونهم فلا يعطى شيئاً لقوله تعالى : ( لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ ) الممتحنة /8-9 اهـ .

"Boleh seseorang menyerahkan hasil qurban berupa daging sebagai sedekah kepada non muslim dengan syarat ia bukan kafir harbi (yang sedang berperang dengan kaum muslimin). Jika yang ia termasuk kafir harbi, maka tidak boleh. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

[Fatawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin, 2: 663]

Al Lajnah Ad Daimah juga pernah ditanyakan hal yang sama, para ulama yang duduk dalam lembaga tersebut menjawab,

يجوز لنا أن نطعم الكافر المعاهد والأسير من لحم الأضحية، ويجوز إعطاؤه منها لفقره أو قرابته أو جواره، أو تأليف قلبه؛ لأن النسك إنما هو في ذبحها أو نحرها؛ قربانًا لله، وعبادة له، وأما لحمها فالأفضل أن يأكل ثلثه، ويهدي إلى أقاربه وجيرانه وأصدقائه ثلثه، ويتصدق بثلثه على الفقراء، وإن زاد أو نقص في هذه الأقسام أو اكتفى ببعضها فلا حرج، والأمر في ذلك واسع، ولا يعطى من لحم الأضحية حربيًّا؛ لأن الواجب كبته وإضعافه، لا مواساته وتقويته بالصدقة، وكذلك الحكم في صدقات التطوع    "لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ" ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنها أن تصل أمها بالمال وهي مشركة في وقت الهدنة.

"Kita boleh saja memberikan hasil qurban berupa daging kepada orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. Boleh memberikan hasil qurban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya. Yang namanya ibadah qurban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya. Adapun daging qurban, lebih afdhol dimakan oleh shohibul qurban sepertiganya, lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya, kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan.

Namun daging hasil qurban tidak boleh diserahkan pada kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Karena kafir harus ditekan dan dilemahkan, tidak boleh simpati dan malah menguatkan mereka dengan diberi sedekah. Demikian berlaku dalam sedekah sunnah. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al Mumtahanah: 8). Dalil bahwasanya boleh berbuat baik dengan orang non muslim selain kafir Harbi adalah praktek Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyuruh Asma' binti Abi Bakr radhiyallahu 'anha untuk tetap berbuat baik pada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian)."

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah soal ketiga no. 1997, 11: 425, ditandatangani oleh Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, Syaikh 'Abdurrozaq 'Afifi, Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud]

Wallahu waliyyut taufiq.

 

@ Sakan 27 Jami'ah Malik Su'ud, Riyadh, KSA, 1 Dzulhijjah 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment