Friday, August 30, 2013

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Keutamaan Berpuasa Enam Hari Di Bulan Syawwal

Posted: 30 Aug 2013 02:18 AM PDT

Pecinta Radio Kita FM Rahimakumullah, saat ini kita sudah berada di penghujung bulan Syawwal. Kiranya masih ada waktu yang tersisa bagi kita yang ingin melaksanakan amalan puasa sunnah selama 6 hari di bulan syawwal, karena banyak sekali keutamaan dari sunnah puasa sunnah ini. Nah, apakah Anda sudah mengetahui bagaimanakah penjelasan yang lebih lengkap tentang keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan syawwal ini?

Tulisan berikut ini kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan penambahan dan pengurangan tanpa merubah isi dan maksud) berupa hadits dan penjelasan mengenai keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan syawwal dari kitab Minhatul 'Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/83-85), karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan -hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-1, Rabi'ul Awwal, tahun 1428 H, Dammam, KSA.

Hadits tersebut adalah:

وَعَنْأَبِيأَيُّوبَالْأَنْصَارِيِّرَضِيَاللهعنه؛أَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللهعَلَيهِوَسَلَّمَقَالَ: «مَنْصَامَرَمَضَانَ،ثُمَّأَتْبَعَهُسِتًّامِنْشَوَّالٍ؛كَانَكَصِيَامِالدَّهْرِ»رَوَاهُمُسْلِمٌ.

Dari Abu Ayyub al-Anshari, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian ia iringi (setelahnya dengan berpuasa) enam hari di bulan Syawwal; maka ia seolah-olah berpuasa sepanjang masa".(HR.  Muslim).keutamaan shaum syawwal

Pembahasan hadits ini akan ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Dari sisi takhrijnya.

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits ini (dalam Shahih-nya) pada kitab ash-Shiyam, bab Istihbabu Shaumi Sittati Ayyamin min Syawwal Itba'an li Ramadhan, nomor 1164; dari jalur Sa'ad bin Sa'id bin Qais, dari Umar bin Tsabit bin al-Harits al-Khazraji, dari Abu Ayyub a secara marfu'.

Sungguh sebagian ulama hadits telah mempermasalahkan hadits ini. Disebabkan melalui periwayatan Sa'ad bin Sa'id al-Anshari, yang ia adalah saudara Yahya bin Sa'id al-Anshari. Dan ia telah dianggap dha'if (dilemahkan) oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i. Dan an-Nasa-i berkata, "Mereka tiga bersau-dara, Yahya bin Sa'id bin Qais; (seorang periwayat) yang kuat dan tepercaya, salah satu dari sekian para Imam. Abdu Rabbihi bin Sa'id; laa ba'sa bihi (tidak bermasalah). Dan yang ketiganya adalah Sa'ad bin Sa'id; (periwayat yang) lemah". [Lihat al-'Ilal karya Imam Ahmad (1/513), dan as-Sunanul Kubra (3/240)].

Akan tetapi, dia (Sa'ad bin Sa'id) diperkuat (dengan sesuatu yang) menunjukkan bahwa ia tidak keliru dalam periwayatan hadits ini, demikian pula Muslim telah meriwayatkan haditsnya ini. Ia diperkuat oleh Shafwan bin Salim, dari Umar bin Tsabit, dengan periwayatan hadits yang sama. [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (2433), dan an-Nasa-i (3/239)]. Sedangkan Shafwan bin Salim adalah seorang periwayat yang tepercaya dan (haditsnya) dikeluarkan oleh al-Jama'ah (para Imam hadits). Kemudian, Sa'ad bin Sa'id sendiri sebenarnya telah dianggap kuat oleh sebagian para Imam hadits. Dan celaan yang diungkapkan (oleh para Imam hadits terhadap-nya) bukanlah dengan ungkapan yang kasar dan keras, seperti; matruk (ditinggalkan), kadzdzab (pendusta), atau yang sejenisnya. Namun zhahir dari sebagian ulama hadits yang mempermasalahkannya adalah dengan sebab hanya kekuatan hafalannya yang buruk saja, sebagaimana dijelas-kan oleh at-Tirmidzi dan sebagai-mana yang telah ditunjukkan oleh Ibnu Hibban. [Lihat Jami' at-Tirmidzi (3/132), dan ats-Tsiqat (6/379)].

Hadits ini dikeluarkan pula oleh an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3/240), dan ath-Thahawi dalam Syarhu Musykilil Atsar (2347); dari jalur Syu'bah, dari Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub secara mauquf. Dan Abdu Rabbihi adalah perawi yang laa ba'sa bihi (tidak bermasalah) sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

Para ulama telah mempermasalahkan hadits ini dalam hal keberadaannya diri-wayatkan secara mauquf. Dan Imam Ahmad lebih cenderung kepada pendapat ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab. [Lihat al-Latha-if, halaman 256].

Kedua: Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal, sebagaimana menunjukkan pula bahwa orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah ia berpuasa penuh di bulan Ramadhan, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang masa. Maksudnya adalah setahun penuh. Jadi, seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun itu, yakni selama tiga ratus enam puluh hari. Dan telah diterangkan dalam hadits Tsauban , bahwa beliau mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

جَعَلَاللهالْحَسَنَةَبِعَشْرٍ،فَشَهْرٌبِعَشَرَةِأَشْهُرٍ،وَسِتَّةُأَيَّامٍبَعْدَالْفِطْرِتَمَامُالسَّنَةِ.

"Allah telah menjadikan satu kebaikan sepuluh kali lipatnya, maka sebulan seperti sepuluh bulan, dan (ditambah) enam hari setelah Idul Fithri, (maka jadilah seperti) setahun sempurna". [Dikeluarkan oleh an-Nasa-i dalam al-Kubra (3/239), dan Ibnu Majah (1715), dan Ahmad (37/94). Dan hadits ini hasan].

Dan pendapat yang mengatakan bahwa berpuasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya sunnah adalah pendapat mayoritas para ulama. Di antara mereka adalah para Imam yang tiga; Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan Ahmad. Adapun Imam Malik, maka beliau berpendapat bahwa hukumnya makruh. [Lihat al-Muwaththa' (1/311)]. Hal itu disebabkan; beliau tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu dan fikih yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal, sebagaimana beliau pun beralasan bahwa hal tersebut agar tidak dianggap termasuk puasa bulan Ramadhan (yang diwajibkan).

Dan Imam Ibnu Abdil Barr memberikan 'udzur dan alasan untuk Imam Malik; bahwa hadits Abu Ayyub ini belum sampai kepada beliau, walaupun hadits ini madani (para periwayatnya orang-orang Madinah). Dan adapun sebab beliau mengatakan bahwa berpuasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya makruh, adalah karena beliau khawatir terjadi adanya anggapan (dari kaum Muslimin) bahwa puasa tersebut termasuk puasa Ramadhan, padahal bukanlah demikian. Adapun jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawwal dengan tujuan mencari keutamaannya sebagai-mana yang dijelaskan pada hadits Tsauban, maka sesungguhnya Imam Malik tidak menghukuminya makruh, Insya Allah. [Lihat al-Istidzkar (10/259)].

Namun, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Imam Malik ini tidaklah terjadi. Karena adanya kekhawatiran bahwa enam hari di bulan Syawwal dapat dianggap termasuk ke dalam puasa Ramadhan, hal itu terjadi jika tidak ada pemisah sama sekali antara bulan Ramadhan dan bulan Syawwal. Namun pada kenyataannya, bulan Ramadhan terpisahkan dengan bulan Syawwal dengan adanya hari Idul Fitri (hari seluruh kaum Muslimin berbuka puasa kembali), sehingga tidak ada seorang pun yang terbingungkan atau sampai tidak mengetahui hal ini.

Dan utamanya; puasa enam hari di bulan Syawwal tersebut dilakukan secara berturut-turut. Dan boleh jika dilakukan secara terpisah-pisah selama masih dalam bulan Syawwal. Karena kata "tsumma" (dalam bahasa Arab) fungsinya untuk menunjukkan sesuatu yang tidak segera. Sehingga, setiap puasa yang dilakukan, selama itu masih di dalam bulan Syawwal, maka itu dianggap puasa yang mengiringi bulan Ramadhan, walaupun terdapat jeda. Akan tetapi, jika seseorang langsung melakukannya setelah Idul Fithri, ia akan mendapatkan banyak keistimewaan, di antaranya:

Pertama; hal itu merupakan bentuk pelaksanaan ibadah dengan segera (yang dianjurkan).

Kedua; orang yang melaku-kannya dengan segera, perbuatannya menunjukkan bahwa ia masih tetap bersemangat dalam melaksanakan puasa dan ia tidak merasa bosan dengannya.

Ketiga; agar orang yang segera melaksanakannya tidak tertimpa sesuatu yang mungkin dapat menghalanginya dari melakukan puasa tersebut jika ia tunda-tunda di akhir waktunya.

Kemudian, orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, hendaknya ia bayar (qadha) puasa Ramadhan-nya lebih dahulu. Baru kemudian ia berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi  di atas, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan…". Dan karena orang yang masih memiliki hutang puasa beberapa hari di bulan Ramadhan, ia tidak dapat dihukumi telah melakukan puasa Ramadhan (dengan sempurna) sampai ia betul-betul menyem-purnakannya seluruhnya. Juga, karena menyegerakan ibadah yang hukumnya wajib agar terlepas beban syariat darinya merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh setiap orang (Muslim) yang sudah mukallaf (terbebani syariat).

Dan pendapat yang lebih kuat dalam hal; apakah selepas bulan Syawwal seseorang masih dapat melakukan puasanya (yang enam hari tersebut)? Maka, (pendapat yang benar adalah) puasa tersebut tidak lagi disyariatkan dan tidak perlu diqadha. Karena hal itu adalah ibadah sunnah yang telah luput dari waktunya, yaitu dari waktunya yang telah dikhususkan, bulan Syawwal. Sehingga, orang yang melakukannya di luar bulan Syawwal, ia tidak akan mendapatkan keutamaannya. Karena ia tidak segera melakukannya pada waktunya yang disyariatkan dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Namun, jika seseorang tidak sempat melaksanakannya disebabkan 'udzur (yang syar'i), seperti sakit atau haid atau nifas; maka di antara para ulama ada yang membolehkan melakukan puasa tersebut walaupun telah keluar dari bulan Syawwal, dengan syarat jika ia telah membayar hutang puasa Ramadhan-nya tersebut. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdurrahman as-Sa'di [Lihat al-Fatawa as-Sa'diyyah, halaman 230]. Dan di antara para ulama ada pula yang mengatakan bahwa puasa tersebut tetap tidak disyariatkan, jika memang waktunya telah keluar dari bulan Syawwal tersebut. Baik ia terluputkan dengan 'udzur sekalipun atau tanpa 'udzur. Dan ini pendapat Syaikh Abdul 'Aziz bin Baaz [Lihat al-Fatawa (15/388-389)]. Wallahu A'lam

Penerjemah: Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali, dari Majalah Al Bayan Edisi 9. Dipublish oleh @buarfa.

No comments:

Post a Comment