Tuesday, August 20, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Hari-Hari Terlarang Puasa

Posted: 20 Aug 2013 03:27 AM PDT

20130820-182650.jpg

Ada beberapa hari yang dilarang untuk puasa di mana tidak boleh melakukan puasa kala itu, namun hal itu butuh perincian sebagai berikut.

Pertama: Hari Idul Fithri dan Idul Adha

Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat 'ied bersama 'Umar bin Al Khottob –radhiyallahu 'anhu-. 'Umar pun mengatakan,

هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

"Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam larang untuk berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian." (HR. Bukhari no. 1990 dan Muslim no. 1137)

Dari Abu Sa'id Al Khudri –radhiyallahu 'anhu-, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri dan Idul Adha." (HR. Muslim no. 1138)

Kaum muslimin telah bersepakat (berijma') tentang haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin 'Ali Asy Syaukani, hal. 220, Darul 'Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H)

Kedua: Hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah)

Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

"Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum." (HR. Muslim no. 1141, dari Nubaisyah Al Hudzali). Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab "Haramnya berpuasa pada hari tasyriq".

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, "Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari 'ied. Hukum yang berlaku pada hari 'ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari 'ied, pen) dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu."(Syarh Shahih Muslim, 6: 184). Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu (Syarh Shahih Muslim, 8: 17).

Imam Malik, Al Auza'i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi'i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu' jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa ketika itu. (Syarh Shahih Muslim, 8: 17). Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu 'Umar dan 'Aisyah, mereka mengatakan,

لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ

"Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu." ( HR. Bukhari no. 1997 dan 1998).

Ketiga: Puasa Hari Jum'at Secara Bersendirian

Tidak boleh berpuasa pada Jum'at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ

"Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum'at kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya." ( HR. Bukhari no. 1985 dan Muslim no. 1144, dari Abu Hurairah). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab "Terlarang berpuasa pada hari Jum'at secara bersendirian."

Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu 'anha-, ia mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ « أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum'at dan ia sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, "Apakah engkau berpuasa kemarin?" "Tidak", jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, "Apakah engkau ingin berpuasa besok?" "Tidak", jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan, "Hendaknya engkau membatalkan puasamu." (HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no. 1143, dari Juwairiyah binti Al Harits)

Catatan penting: Puasa pada hari Jum'at dibolehkan jika:

1- Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho' puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu'.

2- Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma't sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.

3- Jika bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).

4- Berpuasa pada hari Jum'at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa Syawal. (Lihat pembahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 142-143)

Keempat: Berpuasa pada Hari Syak (Yang Meragukan)

Yang dimaksud di sini adalah tidak boleh mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka hati-hati mengenai masuknya bulan Ramadhan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka berpuasalah." (HR. An Nasai no. 2173, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam hadits lainnya, dari 'Ammar bin Yasir disebutkan,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia berarti telah mendurhakai Abul Qosim, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. An Nasai no. 2188, At Tirmidzi no. 686, Ad Darimi no. 1682, Ibnu Khuzaimah no. 1808. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Catatan penting: Berpuasa pada hari meragukan ini dibolehkan jika:

1- Untuk mengqodho' puasa Ramadhan.

2- Bertepatan dengan kebiasaan puasanya seperti puasa Senin Kamis atau puasa Daud.

Kelima: Berpuasa Setiap Hari Tanpa Henti (Puasa Dahr)

Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang tidak sah puasa ketika itu (yaitu hari 'ied dan hari tasyriq).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ

"Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti." (HR. Muslim no. 1159, dari 'Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash)

Hadits di atas menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya. Begitu pula tidak boleh berpuasa setiap hari sampai-sampai melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa. Yang terakhir ini jelas haramnya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 144.

Yang paling maksimal adalah melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah rukhsoh (keringanan) terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan puasa Dahr tadi asalnya ditujukan pada Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash. Namun sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin 'Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun menyesal karena tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud. (Syarh Shahih Muslim, 8: 40).

Alhamdulillah, semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi hidayah dan petunjuk.


Disusun saat perjalanan di pesawat dari Lombok – Surabaya, 13 Syawal 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Aturan dalam Puasa Sunnah

Posted: 19 Aug 2013 05:32 PM PDT

20130820-083216.jpg

Ada beberapa aturan dalam puasa sunnah yang mesti diperhatikan.

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

Dalil masalah ini adalah hadits 'Aisyah berikut ini.

Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

"Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154).

Imam Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, "Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. "

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah.

Dalil dari hal ini adalah hadits ‘Aisyah yang telah kami sebutkan di atas.

Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari hadits 'Aisyah di atas sebagaimana penjelasan An Nawawi rahimahullah:

Puasa sunnah niatnya boleh di siang hari sebelum waktu zawal (sebelum matahari bergeser ke barat). Inilah pendapat mayoritas ulama.

Puasa sunnah boleh dibatalkan dengan makan di siang hari karena ia hanya puasa sunnah saja. Jadi puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi'i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut. (Syarh Muslim, 8: 35)

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

"Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya." (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026). Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab: Puasa sunnah si istri dengan izin suaminya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi'iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan." (Syarh Muslim, 7: 115)

Lalu bagaimana jika suami tidak di tempat seperti ketika suami bersafar?

Jawabannya, boleh ketika itu si istri berpuasa karena sebab pelarangan tadi tidak ada.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya." (Idem)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Selesai disusun di Panggang-GK, 20 Jumadil Awwal 1431 H (04/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment