Sunday, August 18, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Adakah Larangan Puasa pada Hari Ahad?

Posted: 18 Aug 2013 07:26 AM PDT

20130818-213402.jpg

Adakah larangan berpuasa pada hari Ahad (Minggu)? Misalnya saja ada yang ingin puasa Syawal atau puasa yang punya sebab lainnya bertepatan pada hari Ahad, apakah masih dibolehkan?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun hari Ahad, sebagian ulama menyunnahkan puasa ketika itu dan sebagian lainnya memakruhkan.
Adapun ulama yang menyunnahkan karena hari tersebut adalah hari ‘ied (hari yang diagungkan) oleh orang Nashrani. Biasanya hari ‘ied adalah hari makan-makan dan bersenang-senang. Sehingga menyelisihinya adalah dengan berpuasa.

Adapun ulama yang menganggap makruh karena menganggap bahwa berpuasa berarti mengagungkan suatu hari. Jika hari Ahad adalah hari ‘iednya orang kafir, maka berpuasa saat itu berarti mengagungkan hari tersebut. Sehingga tidak boleh melakukan pengagungan seperti yang dilakukan oleh orang kafir karena itu adalah syi’ar mereka.

Ringkasnya, berpuasa pada hari Selasa dan Rabu itu dibolehkan. Namun tidak disunnahkan dan tidak dimakruhkan berpuasa pada dua hari tersebut. Sedangkan untuk hari Jum’at, Sabtu dan Ahad dimakruhkan mengkhususkan (menyendirikan) puasa ketika itu. Mengkhususkan puasa pada hari Jum’at sangat dilarang keras karena ada hadits yang melarangnya tanpa ada perselisihan sengit di antara para ulama. Sedangkan berpuasa pada hari Jum’at lalu ditambah dengan berpuasa pada hari sesudahnya, maka tidak ada masalah. Adapun berpuasa pada hari Senin dan Kamis ada sunnahnya.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

Adapun larangan berpuasa pada hari Ahad secara khusus adalah hadits dari Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر ما كان يصوم من الأيام يوم السبت والأحد ، كان يقول : « إنهما يوما عيد للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم »

Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak puasa pada hari Sabtu dan Ahad. Beliau berkata bahwa hari Sabtu dan Ahad adalah hari ‘ied orang musyrik dan aku ingin menyelisihi mereka ketika itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).

Hadits di atas menunjukkan larangan berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad. Namun itu bila dikhususkan atau diistimewakan kedua hari tersebut. Bila berpuasa pada kedua hari tadi lalu diikuti dengan puasa hari sebelum atau sesudahnya atau karena bertepatan dengan kebiasaan puasa, maka tidak ada masalah. Sehingga melakuan puasa Syawal atau puasa Daud atau puasa yang punya sebab lainnya yang bertepatan dengan hari Ahad, maka tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1424 H.

Disusun @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, diselesaikan pada 11 Syawal 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Penghalang Ittiba’ (4) : Mendahulukan Akal Di Atas Dalil Yang Shahih

Posted: 18 Aug 2013 06:25 AM PDT

p4b790e250c101_palu-timbangan

Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

"Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran" (QS. Ar-Ra'du: 19)

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ

"Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran" (QS. Shaad: 29)

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:

  1. Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
  2. Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan zhanniyyat (yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah "al-yaqin laa yazuulu bisy syakk" (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).

Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu1. Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An-Nisaa: 65)

Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, "Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah)". Beliau berkata, "Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima"2.

Catatan Kaki

1 Lihat Al-I'tisham karya Asy-Syathibi (2/349).

2 Syarh Ath-Thahawiyah (1/231) dan lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (13/512).

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment