Friday, August 16, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Penerimaan Santri Baru Ma’had al-Mubarok Tahun 1434/1435

Posted: 16 Aug 2013 01:01 AM PDT

Ma'had al-Mubarok Yogyakarta membuka penerimaan santri baru untuk angkatan I tahun ajaran 1434/1435 H dengan perincian sebagai berikut:

 

Sifat Program:

Terbuka untuk umum (mahasiswa dan non mahasiswa)

Materi Pelajaran:

Tauhid, Tazkiyatun Nafs, Tafsir al-Qur'an, dan Fiqih Ibadah

Masa Belajar:

1 Tahun

Staf Pengajar:

Ust. Afifi Abdul Wadud, Ust. Zaid Susanto, Ust. Ahmad Mz., Ust. M. Abduh Tuasikal

Tempat Belajar:

Masjid al-Mubarok, 400 m sebelah utara Kampus UMY (belakang toko bangunan)

Jadwal Belajar:

Setiap Sabtu (Pkl. 13.00 – Pkl. 17.00 WIB) dan Ahad (Pkl. 08.00 – Pkl. 11.30 WIB)

 

Masa Pendaftaran:

Pendaftaran Gelombang I:  7 – 21 Juli 2013

Pendaftaran Gelombang II: 11 – 25 Agustus 2013

Pengumuman Penerimaan: Kamis, 29 Agustus 2013

Daftar Ulang: 30 Agustus – 1 September 2013

Briefing Kegiatan Belajar Mengajar: Ahad, 1 September 2013

Mulai Kajian: Sabtu, 7 September 2013

 

Ketentuan Pendaftaran:

Syarat Pendaftar: Muslim/muslimah, bisa membaca al-Qur'an, bisa baca tulis

Biaya Administrasi: Rp.50.000,- [dibayarkan saat daftar ulang]

SPP Bulanan: Rp.30.000,-

Biaya Kitab/Buku Panduan: Rp.300.000,- [bisa dicicil selama 3 bulan]

 

Pendaftaran Via SMS

Ketik: Nama#Usia#Status#Alamat#Daftar#Ma'had al-Mubarok

Contoh:

Mu'awiyah#25 thn#Mahasiswa UMY#Kasihan, Bantul#Daftar#Ma'had al-Mubarok

Dikirimkan ke no:

Putra: 0857 2951 1779

Putri: 0853 1175 5473

 

Penyelenggara:

FORSIM (Forum Studi Islam Mahasiswa)

Situs: http://www.kajianmahasiswa.wordpress.com

Alamat: Wisma Aflah, Jl. Lingkar Selatan Gg. Kenanga No. 11B Tegalrejo, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta (selatan Masjid al-Mubarok)

Penghalang Ittiba’ (3) : Mendahulukan Pendapat Nenek Moyang Dan Para Tokoh Di Atas Dalil

Posted: 15 Aug 2013 07:32 PM PDT

taqlid

Termasuk penghalang ittiba' yang terbesar adalah mendahulukan pendapat nenek moyang, para guru dan para tokoh pembesar, atas nash-nash yang shahih. Allah berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

"Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Maidah: 104)

Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, "Jika mereka diajak kepada agama dan syariat Allah, kepada hal-hal yang Allah wajibkan dan meninggalkan hal-hal yang Allah haramkan, mereka berkata, cukup bagi kami jalan-jalan yang ditempuh oleh nenek moyang kami. Allah berfirman, 'Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?' Yakni, mereka tidak mengetahui, memahami dan mengikuti kebenaran. Lalu kenapa mereka tetap mengikutinya padahal demikian keadaannya?! Tidak ada yang mengikuti mereka melainkan orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya"1.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

"Pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, aduhai, seandainya dulu kita mentaati Allah dan Rasul. Mereka berkata, wahai Rabb kami, sesungguhnya kami (dahulu) mentaati tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus), wahai Rabb kami, berikanlah kepada mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar" (QS. Al-Ahzaab: 66-68)

Asy-Syaukani berkata, "Yang dimaksud dengan tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar adalah para pemimpin yang dipatuhi perintahnya di dunia dan diteladani. Dan di dalam firman Allah ini terdapat larangan keras dari taklid. Alangkah banyaknya peringatan-peringatan di dalam al-Qur'an terhadap taklid. Akan tetapi hal itu hanyalah bagi orang yang memahami dan mengikuti firman Allah serta bersikap adil terhadap dirinya, bukan bagi orang yang sejenis dengan binatang ternak di dalam pemahaman yang buruk, keras kepala dan kefanatikan"2.

Dan telah datang banyak riwayat dari salaf (ulama terdahulu) yang memperingatkan hal itu. Diantaranya:

Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu kepada 'Urwah bin Zubair ketika dia berkata dalam suatu masalah, "Adapun Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melakukannya". Ibnu Abbas berkata, "Demi Allah, aku melihat kalian tidak akan berhenti kecuali Allah mengadzab kalian. Kami menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kalian, namun kalian menyampaikan kepada kami perkataan Abu Bakar dan Umar"3.

Dan perkataan Ibnu Mas'ud, "Ketahuilah, janganlah salah seorang di antara kalian taqlid kepada seseorang di dalam agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Dan jika kalian harus mengambil teladan, maka terhadap orang yang telah mati. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah (ujian/kesesatan-pen)"4.

Di dalam satu riwayat dari beliau, "Janganlah salah seorang di antara kalian taklid kepada seseorang di dalam agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Karena tidak ada keteladanan di dalam keburukan."5.

Umar bin Abdil Aziz berkata, "Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam"6.

Asy-Syafi'i berkata, "Manusia telah bersepakat, barangsiapa yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena perkataan/pendapat seorang manusia." Dan telah shahih riwayat dari beliau bahwa beliau berkata, "Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam"7.

Ibnu Khuzaimah berkata, "Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama dengan adanya (hadits-pen) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, jika telah shahih hadits dari beliau"8.

Dan Ibnu Taimiyah memiliki perkataan yang sangat berharga tentang hal ini. Beliau berkata, "Agama Allah dibangun di atas pondasi ittiba' (mengikuti) Kitabullah, sunnah Nabi-Nya dan kesepakatan umat ini. Maka tiga pondasi inilah yang terjaga (dari kesalahan-pen). Segala sesuatu yang diperselisihkan umat ini, mereka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada seorangpun yang berhak mengangkat seorang individu bagi umat ini yang dia dakwahkan jalannya, dia tegakkan sikap loyal dan permusuhan karenanya kecuali perkataan Allah dan RasulNya serta kesepakatan umat ini. Bahkan sikap ini adalah perbuatan ahlu bid'ah, yang mengangkat seorang individu bagi mereka atau mengangkat suatu perkataan untuk memecah belah umat. Mereka menyandarkan sikap loyal dan permusuhan mereka di atas perkataan atau jalan tesebut"9.

Dan perkataan Al-Karkhi – semoga Allah mengampuninya – menunjukkan kepada puncak kejahatan yang dicapai oleh sikap mendahulukan pendapat manusia – siapapun orangnya – di atas nash yang shahih. Dia berkata, "Setiap ayat yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami, maka ayat itu di-takwil (dipalingkan maknanya-pen) atau di-mansukh (dihapus hukumnya-pen). Begitu pula setiap hadits (yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami-pen), maka di-takwil atau di-mansukh"10.

Saya katakan, "Inilah yang dipegangi oleh kebanyakan manusia pada zaman ini, yang mendahulukan pendapat guru-guru mereka atau kelompok-kelompok mereka atau partai-partai mereka di atas nash-nash yang telah tetap dan shahih. Laa haula walaa quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim."

Catatan Kaki

1 Tafsir al-Qur'anil 'Azhim (2/108, 109).

2 Fathul Qadir (4/431).

3 Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi (2/1209-1210) no. 2377.

4 Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah karya Al-Lalikai (1/903) no. 130.

5 I'laamul Muwaqqi'in (2/135).

6 Idem (2/201).

7 Idem (2/201).

8 Idem (2/202).

9 Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (20/164).

10 Ar-Risalah fi Ushulil Hanafiyah karya Al-Karkhi, 169-170, (dicetak bersama kitab Ta'sis An-Nazhar karya Ad-Dabusi).

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment