Saturday, December 22, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fatwa Ulama: Peringatan Hari Ibu

Posted: 21 Dec 2012 09:30 PM PST

Fatwa Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullah

 

Soal:

Menurut Anda, apa hukum peringatan hari Ibu dan hari kelahiran lainnya. Apakah termasuk bid'ah hasanah ataukah bid'ah sayyi-ah?

Jawab:

Peringatan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi (Maulid Nabi), kelahiran ulama, kelahiran raja, kelahiran pemimpin, semua termasuk perayaan yang tidak dituntunkan dalam Islam. Allah tidaklah pernah menurunkan ajaran itu semua. Kelahiran yang paling diagungkan adalah kelahiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tidak ada satu keterangan dari beliau sendiri, begitu pula dari Khulafaur Rosyidin, begitu pula dari para sahabat, para tabi'in dan orang-orang yang berada di kurun terbaik bahwa mereka memperingati kelahiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Peringatan ini termasuk amalan yang dibuat-buat yang baru muncul setelah kurun terbaik dari umat Islam (masa sahabat dan tabi'in, -pen), yang direka-reka oleh orang yang tidak berilmu. Mereka hanya mengikuti Nashrani yang memperingati hari kelahiran Isa Al Masih 'alaihis salam. Nashrani telah membuat-buat ajaran yang sebenarnya tidak diajarkan oleh agama mereka sendiri. Isa Al Masih 'alaihis salam tidaklah pernah menganjurkan untuk memperingati hari kelahirannya sendiri. Jadi, Nashrani hanya mereka-reka, lantas hal ini diikuti oleh kaum muslimin selepas kurun terbaik dari umat Islam (yaitu generasi para sahabat).

Intinya, peringatan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan yang diperingati oleh Nashrani dalam acara Natal (kelahiran 'Isa), itu semua hanyalah perkara yang tidak ada tuntunan. Karena para Nabi tidaklah pernah memerintahkan pada umatnya untuk memperingati hari kelahiran mereka. Yang diperintahkan pada umat mereka adalah untuk mengikuti petunjuk para Nabi tersebut yaitu mengikuti syari'at Allah. Inilah yang dituntunkan.

Adapun peringatan hari kelahiran (termasuk pula peringatan hari Ibu yang ditanyakan, -pen), kesemuanya hanyalah membuang-buang waktu dan harta, dan hanya menghidupkan amalan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Ini semua hanya akan membuat umat Islam berpaling dari ajaran Islam yang dituntunkan. Wallahul musta'an. (*)

السؤال :

ما حكم الشرع في نظركم بالاحتفال بعيد الأم وأعياد الميلاد وهل هي بدعة حسنة أم بدعة سيئة؟

الجواب :

الاحتفال بالموالد سواء مواليد الأنبياء أو مواليد العلماء أو مواليد الملوك والرؤساء كل هذا من البدع التي ما أنزل الله تعالى بها من سلطان وأعظم مولود هو رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ولم يثبت عنه ولا عن خلفائه الراشدين ولا عن صحابته ولا عن التابعين لهم ولا عن القرون المفضلة أنهم أقاموا احتفالاً بمناسبة مولده صلى الله عليه وسلم ، وإنما هذا من البدع المحدثة التي حدثت بعد القرون المفضلة على يد بعض الجهال، الذين قلدوا النصارى باحتفالهم بمولد المسيح عليه السلام، والنصارى قد ابتدعوا هذا المولد وغيره في دينهم، فالمسيح عليه السلام لم يشرع لهم الاحتفال بمولده وإنما هم ابتدعوه فقلدهم بعض المسلمين بعد مضي القرون المفضلة.

فاحتفلوا بمولد محمد صلى الله عليه وسلم كما يحتفل النصارى بمولد المسيح، وكلا الفريقين مبتدع وضال في هذا؛ لأن الأنبياء لم يشرعوا لأممهم الاحتفال بموالدهم، وإنما شرعوا لهم الاقتداء بهم وطاعتهم واتباعهم فيما شرع الله سبحانه وتعالى، هذا هو المشروع.

أما هذه الاحتفالات بالمواليد فهذه كلها من إضاعة الوقت، ومن إضاعة المال، ومن إحياء البدع، وصرف الناس عن السنن، والله المستعان.

(http://www.saaid.net/mktarat/aayadalkoffar/37.htm)

 

* Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.

Sementara di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, Hari Ibu atau Mother's Day (dalam bahasa Inggris) dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (dalam bahasa Inggris) diperingati setiap tanggal 8 Maret.

** Syaikh Dr. Sholih Al Fauzan adalah salah satu ulama senior di Kerajaan Saudi Arabia, berdomisili di kota Riyadh. Beliau adalah lulusan Doctoral pertama dari Jami'atul Imam Muhammad bin Su'ud di Riyadh KSA, dari jurusan Fikih. Beliau banyak memiliki tulisan dalam akidah dan banyak menjelaskan kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, juga memiliki karya dalam bidang fikih seperti Al Mulakhos Al Fiqhiy. Kesibukan beliau saat ini adalah sebagai anggota Al Lajnah Ad Daimah dan juga anggota Hay-ah Kibaril 'Ulama.

 

Riyadh-KSA, 9 Shafar 1434 H

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah

Posted: 21 Dec 2012 07:01 PM PST

Alhamdulillah wa Shalatu wa Salamu 'ala Rasulillah wa 'ala Alihi wa As-habihi Ajma'in. Amma ba'du,

Masalah niat adalah masalah yang sering kita perbincangkan, karena ia adalah masalah yang sangat pokok dalam agama kita. Dengan niatlah sebuah amalan dapat menjadi amalan yang pahalanya dapat sebesar Gunung Uhud dan demikian pula sebaliknya sebuah amalan yang bernilai pahala sebesar Gunung Uhud dapat menjadi amalan yang tidak bernilai pahala sedikitpun bahkan dapat membinasakan pelakunya.

Masalah yang paling sering dibahas yang berhubungan dengan niat adalah bagaimana suatu hal yang mubah dapat menjadi bernilai pahala di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Untuk itulah pada kesempatan kali ini kami ketengahkan pembahasan dari perkataan para ulama dalam masalah ini.

Syaikh Nadzim Muhammad Sulthan Rahimahullah dalam kitabnya Qawaa'id wal Fawaa'id min Al Arba'in An Nawawiyah mengetengahkan sebuah sub-judul yang berkaitan dengan tema di atas. Beliau mengatakan, batasan penting dalam hal yang berhubungan perpindahan suatu hal yang mubah menjadi hal yang bernilai ibadah:

[1]. Tidaklah diperbolehkan menjadikan suatu hal yang mubah menjadi bentuk ibadah secara dzatiyah atau semata-mata melakukan hal mubah tersebut menjadi sebuah bentuk peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Semisal orang yang berjalan atau makan, berdiam diri atau mengenakan pakaian menganggap semata-mata mengerjakan hal itu maka ia sudah terhitung melakukan bentuk peribatan secara dzatiyah-nya. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengingkari Abu 'Isra'il ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihatnya berdiri/berjemur di bawah panas matahari. Beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bertanya mengapa ia melakukan hal itu, maka ada seseorang yang mengatakan kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwa Abu 'Isra'il sedang memenuhi nadzarnya yaitu berdiri, tidak duduk, tidak berteduh tidak berbicara ketika ia sedang puasa. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengatakan,

مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلِيُتِمَّ صَوْمَه

"Panggillah dia ajak bicara, berteduh, duduk dan katakana padanya untuk menyempurnakan/tetap melaksanakan puasanya"[1].

[2] Hendaklah hal yang mubah tersebut merupakan jalan/washilah menuju ibadah.

Ibnu Asy Syaath mengatakan, "Jika hal yang mubah diniatkan dalam rangka memperkuat keta'atan atau merupakan jalan/washilah maka hal-hal yang mubah tersebut akan bernilai ibadah, semisal makan, tidur, mencari nafkah, harta ……".

Al Izz bin Abdus Salam berpendapat bahwa, "Seorang muslim akan mendapatkan pahala dari hal-hal di atas berupa pahala atas niatnya bukan perbuatannya"[2].

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Seyogya kita tidak melaksanakan perkara-perkara yang mubah kecuali perkara mubah yang dapat membantu kita melaksanakan keta'atan atau perbuatan mubah yang kita maksudkan untuk membantu kita dalam keta'atan".

[3]. Hendaknya ketika melakukan hal yang mubah meyakini bahwasanya hal itu merupakan bagian dari syari'at

Seyogyanya bagi setiap muslim ketika melakukan hal mubah meyakini bahwa Allah 'Azza wa Jalla lah yang memubahkan hal tersebut dan Allah menyukai jika kita mengambil keringanan/rukhshah-Nya[3] sebagaimana Allah menyukai kita mengerjakan keta'atan-keta'atan kepada-Nya. Demikian juga Allah tidaklah menyukai kita bersikap mempersulit diri dalam perkara yang mubah[4]. Demikian juga Allah tidaklah ridha kita bersikap ghuluw/berlebihan dalam hal yang mubah.

 

[diringkas dari kitab Qowaa'id wa Fawaa'id min Al Arab'in An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Sulthan hal. 24 terbitan Darul Hijrah, Riyadh, KSA]

Penulis: Abu Syifa Aditya Budiman bin Usman
Artikel Muslim.Or.Id


[1] HR. Bukhari no. 6326

[2] Dari sini dapat kita pahami bahwa jika kita melakukan perbuatan mubah sebagai washilah menuju/untuk ibadah maka kita mendapatkan pahala dari Allah sebesar niatnya dan bukan perbuatan yang diniatkan menjadi washilah tersebut. Sebagai contoh seseorang yang meniatkan mencari nafkahnya untuk melaksanakan kewajiban Allah untuk menafkahi kepentingan hidup anak dan istrinya maka yang mendapatkan pahala/yang bernilai ibadah adalah niatnya tersebut dan bukan perbuatan mencari nafkahnya, Allahu a'lam.

[3] Dalam hal ini yang dimaksud adalah perkara yang mubah.

[4] Karena hal yang mubah adalah hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka orang yang mengerjakan suatu hal yang mubah ketika dia melakukan hal ini tertanam dalam hatinya/diniatkan karena hal ini maka ia akan medapatkan pahala sebesar niatnya tersebut.

No comments:

Post a Comment