Friday, December 28, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid

Posted: 28 Dec 2012 04:00 PM PST

Salah satu diantara keistimewaan para pengikut manhaj salaf adalah memiliki semangat yang sangat besar dalam menyebarkan aqidah sahihah, memberikan pengajaran dan nasehat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala bentuk bid’ah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-orang yang menyimpang dan kaum ahli bid’ah (lihat Khasha’ish al-Manhaj as-Salafi oleh Prof. Dr. Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)

Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)

Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal seluk-beluk tauhid dengan jelas (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karya guru kami al-Ustadz Abu ‘Isa hafizhahullah, hal. 12 penerbit Pustaka Muslim cet. IV, 1430 H)

Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya ‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid.” atau, “Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain.” Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I’tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!" (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])

Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, "Nuh -’alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), "Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr." (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), "Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah." (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan." (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, "Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya." (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)

Wallahu a’lam bish shawaab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Bolehkah Sebutan Almarhum?

Posted: 27 Dec 2012 11:57 PM PST

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah

Soal:
Apa hukum perkataan "fulan almarhum" atau "taghammadahullah bi rahmatih (semoga limpahan rahmat Allah tercurah padanya)", atau perkataan "intaqala ila rahmatillah (telah berpulang ke rahmatullah)"?

Jawab:
Untuk perkataan "fulan almarhum" atau ucapan "taghammadahullah bi rahmatih" (keduanya bermakna: semoga Allah merahmati, -pen) tidaklah mengapa. Perkataan "almarhum" termasuk kalimat harapan, bukan termasuk kalimat berita (yang memastikan ia mendapatkan rahmat Allah, -pen). Sehingga jika maksudnya sebagai harapan, maka tidaklah mengapa.

Adapun kalimat "intaqola ila rahmatillah (telah berpulang ke rahmatullah)", yang saya pahami adalah termasuk harapan, bukan maksud pemastian. Ini semua termasuk perkara ghaib sehingga tidak boleh memastikannya dengan kalimat tersebut. Sedangkan kalimat "ia telah berpulang ke rafiqil a'la (ke surga)", jika maksud memastikan, maka tidak dibolehkan. (*)

[Fatawa Arkanil Islam, hal. 193, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, terbitan Daruts Tsaroya, cetakan kedua, tahun 1426 H]

* Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin adalah ulama dari 'Uyainah, Qosim, Saudi Arabia. Beliau terkenal sebagai seorang fakih, ulama pakar fikih di abad ini.


Riyadh-KSA, 14 Shafar 1434 H
Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Laksana Kebun Yang Kandas Sebelum Disabit

Posted: 27 Dec 2012 07:26 PM PST

Di antara metode Al Qur'an dalam menyampaikan ajarannya adalah dengan menggunakan permisalan, karena permisalan itu akan lebih mendekatkan pemahaman dari selainnya. Di antara sekian banyak permisalan yang terdapat dalam Al Qur'an adalah permisalan dan perumpamaan kehidupan dunia.

Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman,

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Perumpamaan kehidupan dunia ituhanyalah laksana air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir." (QS Yunus: 24)

Tentang permisalan ini, Syaikh 'Abdurrahman As Sa'di rahimahullah mengatakan, "Perumpamaan ini termasuk perumpamaan yang paling bagus. Permisalan ini sesuai dengan keadaan dunia. Karena sesungguhnya kelezatannya, syahwatnya, kedudukannya , dan semacamnya membuat silau penghuninya meski hanya sesaat. Maka apa bila telah lengkap dan sempurna (keindahannya), seketika lenyap, atau pemiliknya yang hilang darinya (mati). Jadilah kedua tangannya kosong, dan hati dipenuhi rasa kesedihan, keresahan, dan kerugian." (Taisirul Karimirrahman, hal. 339, cet. Dar Ibnu Hazm)

Kehidupan dunia ini merupakan perhiasan indah yang menggoda mata orang yang memandangnya, menarik perhatian dan mengagumkan, menimbulkan hasrat keinginan untuk memilikinya, dan membuat setiap orang di sekitarnya merasa menguasainya. Kehidupan dunia yang demikian ini Allah umpamakan dengan tanah yang dihujani air, kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan yang berwarna-warni yang menarik dipandang, menggiurkan, serta mendorong orang-orang di sekitarnya menguasainya secara penuh. Dari tumbuhan-tumbuhan itu ada yang dimakan manusia dan adapula yang dimakan hewan-hewan.

Sampai ketika bumi itu di puncak keindahan dan keelokannya sehingga penduduknya mengira akan segera memetik dan menikmatinya, tiba-tiba Allah membalikkan keadaan dengan datangnya petir atau angin dingin yang kencang sehingga membuat kering daun-daunnya dan merusak buah-buahannya. Oleh karena itu Allah berfirman (yang artinya), "Tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit," yaitu menjadi kering setalah sebelumnya hijau dan elok dipandang, seakan-akan sebelumnya tidak bagus atau, sebagaimana kata Qatadah rahimahullah, seakan-akan belum pernah menyenangkan.

Demikianlah perkara-perkara setelah lenyapnya, seakan-akan tidak pernah ada. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Didatangkan (di hari kiamat) orang yang paling menikmati dunia, dari kalangan penduduk neraka, lalu dicelupkan ke dalam neraka dengan satu celupan. Ditanyakan kepadanya, 'Hai anak adam, apakah kamu melihat kebaikan sedikit saja? Apakah kamu merasakan kenikmatan sekecil pun?' Ia menjawab, 'Tidak,demi Allah, wahai Rabb-ku.' Dan didatangkan orang yang paling merasakan kepedihan ketika di dunia, dari kalangan ahli surga, kemudian dicelupkan pada kesenangan (surga). Ditanyakan kepadanya, 'Apakah Anda meraskan kesusahan sedikit pun?Dan apakah Anda merasakan kesulitan sekecil pun?' Ia menjawab, 'Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku. Sedikit pun aku tidak mersakan kesudahan, tidak pula kesusahan sekecil pun.' (HR. Muslim dan Ahmad)

Allah berfirman dalam surat Al 'Ankabut ayat 37 yang menceritakan orang-orang yang binasa, "Lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 351 dengan penyusaian)

Permisalan serupa juga dijumpai dalam surat Al Kahfi ayat ke-45: "Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Permisalan semacam ini hanya akan dapat dipahami oleh orang berakal yang menggunakan akalnya untuk berfikir atau, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh As Sa'di dalam tafsirnya, orang-orang yang menggunakan akal mereka yang bermanfaat bagi mereka. Adapun orang lalai yang berpaling, maka ayat-ayat itu tidak bermanfaat bagi mereka, tidak pula penjelasan itu melenyapkan keraguan mereka. Oleh karena itu, Dia berfirman: "Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir."

Begitulah dunia. Allah sendiri dalam Al Qur'an menyebut kesenangan dunia dengan zahrah yang berarti bunga (Periksa QS Thaha: 131). Bunga itu indah dan menyenangkan bagi siapa saja yang memandangnya sehingga membuatnya berhasrat untuk memetiknya. Ketika bunga tersebut benar-benar dipetik, tidak lama lagi akan segera layu dan tidak lagi elok dipandang apalagi dimakan. Namun jika sebentar saja ia mau bersabar menunggunya sampai menjadi buah, tentu ia akan mendapatkan kenikmatan yang lebih. Oleh karena itu kaidah fiqih mengatakan, "Siapa yang terburu-terburu dengan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan diharamkan baginya sesuatu tersebut." (Al Fawaid Al Janiyyah, 2: 310 dan Al Qawa'id wal Ushulta'liq Al 'Utsaimin, hal. 108)

Perhatikan ayat berikut (yang artinya),  "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." (QS Hud: 15). Kemudian Allah jelaskan dengan firman-Nya (yang artinya), "Siapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalai dengan baik." (QS Al Isra': 18-19)

Di antara pelajaran dari ayat yang mulia di atas adalah hendaknya seorang muslim menyikapi dunia ini seperti ia menyikapi bunga yang dipandangnya. Jangan terburu-buru menikmatinya sehingga ia terjerumus kepada kebinasaan yang abadi.

Maka hendaknya setiap muslim selalu membekali dirinya dengan pertanyaan dan jawabannya: "Kenapa aku diciptakan?" Tentu jawabannya adalah firman Allah Ta'ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku." (QS. Adz Dzariyat: 56)

Jika seseorang sudah mengetahui untuk apa ia diciptakan dan tujuan hidupnya, ia akan membatasi jalan hidup yang hendak ia tempuh dan memilih arah tepat yang ia jalani. (dikutip dari Limadza Khuliqt, dengan penyesuaian)

Jangan sampai seseorang hidup sebagaimana hidupnya hewan, dan inilah hidupnya orang kafir. Allah berfirman (yang artinya), "Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka." (QS. Muhammad: 16). Dengan demikian hendaknya orang mukmin jangan tertipu dengan cara hidup orang kafir. " Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya." (QS. Ali 'Imran: 196-197)

Manusia di dunia ini bagai musafir dan pelawat untuk mencari bekal sebanyak mungkin untuk membangun rumahnya di kampung halamanannya, yaitu surga. Bukankah negeri asal orangtua mereka adalah surga? Maka bisa dibenarkan ungkapan, "Cinta negeri bagian dari iman," jika yang dimaksud negeri adalah negeri akhirat.

Cukup dunia itu dijadikan bagaikan ladang untuk menanam amal shalih supaya bisa dipanen di akhirat. Alangkah indahnya syair yang dibawakan Imam An Nawawi dalam muqaddimah kitabnya, Riyadhush Shalihin, yang konon syair Imam Asy Syafi'i:

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdik,

Mereka menceraikan dunia dan takut akan fitnah bencana.

Mereka memperhatikan perkara dunia, sampai ketika mereka mengetahui

Dunia bukanlah tanah air abadi untuk hidup

Mereka menganggap dunia ini bagaikan samudera

Dan mereka menjadikan amal-amal shalih sebagai bahtera untuk mengarunginya

Terakhir, berikut adalah seruan Allah 'Azza wa Jalla kepada orang-orang yang mengaku dirinya beriman yang sepantasnyadirenungkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al Hasyr: 18)

يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي  فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ

"Dia mengatakan: 'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini'. Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya." (QS Al Fajr: 24-25)

Allahua'lam. Semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan shahabat-Nya hingga hari kiamat kelak.

 

Referensi:

  • Al Qur'an Al Karim
  • Shahih Muslim beserta syarahnya Minnatul Mun'im, karya Shafiyyurrahman bin 'Abdullah Al Mubarakfuri
  • Tamsilul Quran (judul asli Amtsalul Quran), karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, alih bahasa Anwar Wahdi Hasi, Pustaka Panjimas Jakarta
  • Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, karya Abul Fida' Ibnu Katsir
  • Taisirul Karimirrahman fi Tafsir Kalamil Mannan, 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di
  • Nuzhatul Mukminin syarh Riyadhish Shalihin, karya Mushthafa Dib Al Bugha dkk.
  • Limadza Khuliqt?, khutbah jum'at Muhammad Hassan
  • dll.

Penulis: Firman Hidayat
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment