Wednesday, June 26, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fikih Puasa (9): Yang Mendapat Keringanan Tidak Puasa

Posted: 26 Jun 2013 03:00 PM PDT

syarat-sah-puasa

Abu Syuja’ selanjutnya menjelaskan mengenai orang-orang yang mendapat keringanan tidak puasa. Beliau rahimahullah berkata, “Orang yang sudah tua renta (sepuh) ketika tidak mampu berpuasa, maka ia tidak berpuasa. Setiap hari tidak puasa, hendaklah ia memberi makan (kepada orang miskin) seukuran satu mud. Adapun wanita hamil dan menyusui, jika mereka berdua khawatir pada dirinya, maka boleh tidak puasa dan mereka berdua punya kewajiban qodho’. Jika mereka khawatir pada anak mereka, maka keduanya boleh tidak puasa, mereka wajib tunaikan qodho’ dan kafaroh, yaitu satu hari tidak puasa memberi satu mud makanan. Ukuran mud adalah 4/3 rithl takaran Irak. Sedangkan orang yang sakit dan musafir yang melakukan perjalanan jauh, mereka boleh tidak puasa dan mengqodho’ puasanya nantinya.”

Ada tiga orang yang disebutkan oleh Abu Syuja’ yang dapat keringanan tidak puasa:

Pertama: Orang yang sudah tua renta (sepuh)

Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184).

Begitu pula yang mendukungnya adalah riwayat berikut,

عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR. Bukhari no. 4505).

Kedua: Wanita hamil dan menyusui

Dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar, jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka, semisal khawatir pada ASI-nya, maka ia boleh tidak puasa dan ia punya kewajiban qodho’ sebagaimana orang sakit. Terserah ketika itu membawa bahaya pada anaknya ataukah tidak sebagaimana kata Al Qodhi Husain. Dalam kondisi ini tidak ada fidyah sebagaimana pada orang sakit.

Namun jika keduanya khawatir pada anaknya, seperti khawatir keguguran pada wanita hamil dan kekurangan ASI pada wanita menyusui, maka kedunya boleh tidak puasa, punya kewajiban qodho’ dan menunaikan fidyah menurut pendapat terkuat. Demikian nukilan secara ringkas dari Muhammad Al Hishni dalam Kifayatul Akhyar.

Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat (shalat empat raka’at menjadi tiga raka’at), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad 5: 29, Ibnu Majah no. 1667, Tirmidzi no. 715, An Nasai no. 2277. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).

Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud no. 2318).

Ketiga: Orang sakit dan musafir

Yang dimaksud orang sakit yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa adalah yang memiliki sakit yang berat yang sulit untuk puasa. Bahkan jika berpuasa malah dapat membinasakan diri, maka wajib tidak puasa, sebagaimana hal ini disinggung dalam Kifayatul Akhyar.

Adapun musafir yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa -sebagaimana yang dipilih dalam madzhab Syafi’i- adalah yang melakukan perjalanan jauh dan safarnya adalah safar yang mubah. Adapun jika safarnya adalah safar maksiat, maka tidak ada keringanan mengqoshor shalat maupun keringanan untuk tidak puasa. Lihat pula penjelasan dalam Kifayatul Akhyar.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ” (QS. Al Baqarah: 185). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang sakit yang masih bisa diharapkan sembuhnya dan musafir yang melakukan safar mubah. Ayat ini bermakna, siapa saja yang sakit di bulan Ramadhan, lantas tidak bisa menjalani puasa atau ia adalah seorang musafir, maka ia boleh tidak puasa jika ia mau. Lalu hendaklah ia puasa di hari lainnya setelah Ramadhan ketika tidak ada lagi ada uzur. Ia berpuasa sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Lihat At Tadzhib karya Syaikh Musthofa Al Bugho, hal. 115.

Semoga sajian ini bermanfaat. Masih berlanjut dalam bahasan berikutnya mengenai i’tikaf. Hanya Allah yang memberi taufik.

@ Karawaci, Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Puasa (8): Masih Memiliki Utang Puasa Ketika Meninggal Dunia

Posted: 26 Jun 2013 01:00 AM PDT

keutamaan-puasa

Selanjutnya Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang puasa ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”

Satu mud yang disebutkan di atas adalah 1/4 sho’. Di mana satu sho’ adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar zakat fithri. Satu sho’ sekitar 2,5-3,0 kg seperti yang kita setorkan saat bayar zakat fithri.

Yang lebih utama dari fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah dengan membayar utang puasa dengan berpuasa yang dilakukan oleh kerabat dekat atau orang yang diizinkan atau ahli waris si mayit. Dalil yang mendukung hal ini hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”

Pembahasan di atas adalah bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit) lalu ia masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk mengqodho’ ketika uzurnya tersebut hilang sebelum meninggal dunia.

Sedangkan bagi yang tidak berpuasa karena uzur lantas tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utang puasanya dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur atau ia meninggal dunia setelahnya namun tidak memiliki waktu untuk mengqodho’ puasanya, maka tidak ada qodho’ baginya, tidak ada fidyah dan tidak ada dosa untuknya. Demikian keterangan dari Syaikh Musthofa Al Bugho yang penulis sarikan dari At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 114.

Intinya, orang yang dilunasi utang puasanya adalah orang yang masih memiliki kesempatan untuk melunasi qodho’ puasanya namun terlanjur meninggal dunia. Sedangkan orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqodho’ lalu meninggal dunia, maka tidak ada perintah qodho’ bagi ahli waris, tidak ada kewajiban fidyah dan juga tidak ada dosa.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula,

ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم ومن

“Barangsiapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’, 6: 367).

Dalil bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah beberapa riwayat berikut,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qodho’. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu Daud no. 2401, shahih kata Syaikh Al Albani).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ  مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa” (HR. Tirmidzi no. 718. Abu ‘Isa berkata, “Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadits ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.” Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani).

Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qodim) mewajibkan bagi yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, tidak diharuskan dilunasi dengan memberi makan (fidyah), namun boleh bagi kerabatnya melunasi utangnya dengan berpuasa atas nama dirinya. Bahkan pendapat terakhir inilah yang disunnahkan sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi dari Syarh Muslim. Kata Imam Nawawi, pendapat qodim dari Imam Syafi’i itulah yang lebih tepat karena haditsnya yang begitu kuat. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru), tidak bisa dijadikan hujjah (dukungan) karena hadits yang membicarakan memberi makan bagi orang yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa adalah hadits dho’if, wallahu a’lam. Demikian nukilan kami dari Kifayatul Akhyar.

Intinya, orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara:

  1. membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa,
  2. menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Adapun bentuk memberikan fidyah, bisa dengan makanan siap saji dengan memberi satu bungkus makanan bagi satu hari tidak puasa, bisa pula dengan ketentuan satu mud yang disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas.

Namun ukuran mud ini bukanlah ukuran standar dalam menunaikan fidyah. Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Ukuran mud dalam fidyah di sini sebaiknya dirujuk pada ukuran zaman ini, yaitu ukuran pertengahan yang biasa di tengah-tengah kita menyantapnya, yaitu biasa yang dimakan seseorang dalam sehari berupa makanan, minuman dan buah-buahan. Karena saat ini makanan kita bukanlah lagi gandum, kurma, anggur atau sejenisnya. Fakir miskin saat ini biasa menyantap khubz (roti) atau nasi dan kadang mereka tidak menggunakan lauk daging atau ikan. Sehingga tidaklah tepat jika kita mesti menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh ahli fikih (fuqoha) di masa silam. Karena apa yang mereka tetapkan adalah makanan yang umum di tengah-tengah mereka.” (At Tadzhib, hal. 115).

Semoga sajian singkat ini dari penjelasan Abu Syuja’ bermanfaat bagi pengunjung Muslim.Or.Id sekalian. Masih dilanjutkan dengan beberapa penjelasan lainnya. Nantikan saja di Muslim.Or.Id. Wallahu waliyyut taufiq.

Saat rehat @ Karawaci Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment