Thursday, June 20, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fatwa Ulama: Mana Yang Dipilih Jika Fatwa Ulama Berbeda-Beda Dalam Suatu Masalah?

Posted: 19 Jun 2013 11:02 PM PDT

pertanyaan

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Abdillah As Suhaim

Soal:

Jika kami mengetahui sebuah fatwa yang menyelisihi pendapat masyaikh lain dalam suatu masalah, manakah yang lebih layak untuk diikuti? Demi Allah karena ini membuat kami bingung. Semoga Allah memberikan ridha kepada engkau baik di dunia maupun di akhirat.

Jawab:

Terima kasih atas kehadiran anda (pada pengajian ini). Aku memohon kepada Allah semoga engkau diridhai Nya dan tidak menimpakan kemurkaan kepadamu setelah ini dan selamanya.

Tentang perbedaan fatwa dalam satu masalah, maka diambil fatwa yang lebih terpercaya dan lebih hati-hati, dan lebih banyak kesesuaiannya dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Jika si peminta fatwa adalah orang yang menguasai ilmu-ilmu alat yang bisa digunakan untuk menelaah, maka hendaknya ia menelaah dalil-dalil pada fatwa tersebut dan merajihkan fatwa yang menurutnya lebih sesuai dalil.

Adapun jika ulama tersebut sama dalam hal keahlian berfatwa, sama dalam sifat wara'-nya, dan sama dalam pengambilan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, maka seorang muslim hendaknya mengambil fatwa yang lebih menjaga agama dan kehormatannya. Sebagaimana Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعِرضه

"Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya…" (Muttafaqun 'alaih)

Dan hendaknya ia mengambil pendapat ulama sesuai dengan bidang dan keahlian ulama tersebut. Ulama yang kompeten di suatu bidang, pendapatnya lebih didahulukan dibandingkan yang tidak kompeten di bidangnya.

Renungkanlah suatu kaedah syariat berikut:

Jika suatu perkara hukumnya berada di antara haram dan mubah, maka mengambil pendapat yang haram lebih di dahulukan dalam rangka hati-hati menjaga agama. Dan jika suatu perkara statusnya diperselisihkan antara ‘dinafikan dan ‘ditetapkan’, maka status ‘ditetapkan’ lebih didahulukan, karena di dalamnya ada tambahan ilmu.

Jika seseorang memilih fatwa yang mana saja, namun sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah kami sebutkan di atas, ia tidaklah berdosa kepada Allah karena mengambil pendapat dari ulama yang terpercaya.

Semoga Allah menjagamu dan melindungimu.

Penerjemah: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Puasa (5): Sunnah Puasa

Posted: 19 Jun 2013 08:00 PM PDT

sunah puasa kurma

Setelah sebelumnya dibahas mengenai syarat, rukun dan pembatal puasa, kali ini Muslim.Or.Id melanjutkan dengan pembahasan sunnah puasa atau hal-hal yang dianjurkan saat puasa.

Abu Syuja' rahimahullah dalam Matan Ghoyatul Ikhtishor atau Matan Al Ghoyah wat Taqrib berkata,

Ada tiga hal yang disunnahkan ketika puasa: (1) menyegerakan berbuka puasa, (2) mengakhirkan makan sahur, (3) meninggalkan kata-kata kotor.

 

(1) Menyegerakan berbuka puasa

Yang dimaksud di sini adalah ketika matahari telah benar-benar tenggelam, langsung disegerakan waktu berbuka puasa. Dalilnya adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Bahkan menyegerakan waktu berbuka bertujuan  untuk menyelisihi Yahudi dan Nashrani sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ

Islam tetap terus jaya ketika manusia menyegerakan waktu berbuka karen Yahudi dan Nashrani sering mengakhirkannya.” (HR. Abu Daud no. 2352 dan Ahmad 2: 450. Hadits ini hasan kata Syaikh Al Albani).

Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat Maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat Maghrib selesai dikerjakan. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah), maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air." (HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad 3: 164. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Yang dianjurkan ketika berbuka adalah dengan ruthob (kurma basah), lalu tamr (kurma kering). Jika tidak didapati kurma, maka boleh digantikan dengan makanan yang manis-manis. Di sini dianjurkan dengan yang manis-manis ketika berbuka karena yang manis tersebut semakin menguatkan orang yang berpuasa. Sedangkan berbuka puasa dengan air bertujuan untuk menyucikan atau menyegarkan. Adapun jika berada di Makkah, dianjurkan berbuka dengan air zam-zam. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251-252.

Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 562) disebutkan bahwa hukum berbuka puasa adalah wajib karena diharamkan melakukan puasa wishol yaitu berpuasa terus menerus selama dua hari atau lebih, tanpa berbuka.

(2) Mengakhirkan makan sahur

Makan sahur itu disepakati oleh para ulama, hukumnya sunnah (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

"Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Kata Muhammad Al Khotib rahimahullah, waktu makan sahur dimulai dari tengah malam, lihat Al Iqna’, 1: 410. Waktu sebelum itu tidak disebut makan sahur sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah Al Baijuri, 1: 563.

Namun waktu makan sahur yang terbaik adalah diakhirkan, artinya masih dibolehkan makan selama belum yakin tibanya fajar shubuh. Tujuan mengakhirkan makan sahur adalah untuk lebih menguatkan badan. Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur di sini disebutkan dalam hadits,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ »

Dari Abu Dzar, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Ahmad 5: 147. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).

Dalil lain yang mendukung hadits di atas adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makan sahur sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

Dari Anas bin Malik, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat. Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur dan waktu pengerjaan shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097).

Ibnu Hajar berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir makan sahur dan mulai shalat.” (Fathul Bari, 4: 138). Ibnu Abi Jamroh mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)

Kata penulis Fathul Qorib, makanan sahur bisa sedikit maupun banyak. Lihat Hasyiyah ‘alal Qoulil Mukhtar, 1:264.

(3) Meninggalkan kata-kata kotor

Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Betapa banyak orang yang hanya dapati dari puasa rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat malam hanya mendapatkan rasa capek saja.” (HR. Ahmad 2: 373 dan Ibnu Majah no. 1690. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa mencela, berdusta, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347.

Semoga Allah memudahkan puasa Ramadhan kita dengan amalan sholih. Moga bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

  1. Mukhtashor Abi Syuja', Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi'i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  2. At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al Iqna' fii Halli Alfazhi Abi Syuja', Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  5. Al Fiqhu Al Manhaji,  Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1431 H.
  6. Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri 'ala Syarh Al 'Allamah Ibnul Qosim Al Ghozzi 'ala Matan Abi Syuja', terbitan Darul Kutub Al 'Ilmiyyah.
  7. Hasyiyah ‘alal Qoulil Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor (Muhammad bin Qosim Al Ghozzi), Dr. Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, Kamis, 11 Sya'ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

 

No comments:

Post a Comment