Tuesday, July 30, 2013

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Mencari Malam Lailatul Qadr

Posted: 30 Jul 2013 08:15 AM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM Rahimakumullah .. Kini kita sudah berada di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Banyak sekali amalan yang bisa kita lakukan untuk mengisi hari-hari di penghujung bulan Ramadhan ini. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kita juga bisa mencari malam lailatul qadr, Apakah Anda sudah mengetahui apa itu malam lailatul qadr?  Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (Al-Qadr:1-3)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang bangun di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan keikhlasan, niscaya  akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam senantiasa mencari malam Lailatul Qadr dan  memerintahkan sahabat untuk mencarinya. Beliau membangunkan keluarganya pada malam  sepuluh terakhir dengan harapan mendapat malam Lailatul Qadr. Dalam Musnad Ahmad dari 'Ubadah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang bangun sebagai usaha untuk mendapat malam Lailatul Qadr, lalu ia benarbenar mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang."

Imam An-Nasai juga meriwayatkan seperti itu. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Sanadnya sesuai  dengan syarat shahih." Telah dinukil dari beberapa kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in bahwa mereka mandi  dan memakai minyak wangi pada sepuluh malam terakhir untuk mencari malam Lailatul Qadr,  malam yang telah dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah.

Wahai orang yang telah menyia-nyiakan umurnya, kejarlah segala yang terluput atas dirimu pada  malam Lailatul Qadr ini. Sebab malam inilah sebagai pengganti umur, beramal pada malam ini  lebih baik dari pada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikan pada malam itu,  niscaya merugi. Malam itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tepatnya pada  malam-malam ganjil, dan lebih diharapkan lagi pada malam kedua puluh tujuh. Berdasarkan  riwayat Muslim dari Ubay bin Ka'ab Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata:

"Demi Allah, sungguh aku mengetahui datangnya malam itu. Yaitu pada malam yang Rasulullah  memerintahkan kami untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh."  Sampai-sampai Ubay bersumpah untuk hal itu, beliau berkata: "Aku dapat mengenalnya melalui  tanda-tanda dan alamat yang diberitakan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam kepada kami.  Yaitu matahari terbit tanpa cahaya yang menyilaukan pada pagi harinya."  Dalam kitab Shahih diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: "Ya  Rasulullah, Apa yang aku baca bila bertepatan dengan malam itu?" Rasulullah bersabda:
"Bacalah:

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang yang memohon ampunan maka ampunilah aku."

Dari Buku Kiat-kiat menghidupkan bulan Ramadhan – Al Sofwa

Hikmah-Hikmah Puasa

Posted: 29 Jul 2013 10:56 PM PDT

Segala puji bagi Allah, pengatur malam, bilangan hari, bulan, dan tahun. Dia-lah Maharaja, Mahasuci, serta Pemberi keselamatan. Hanya Dia-lah yang memiliki segala keagungan an kekekalan. Dia tersucikan dari kekurangan dan penyerupaan dengan manusia. Dia melihat apa saja yang ada didalam urat dan tulang, serta mendengar ucapan yang tersembunyi dari ucapan yang halus. Dia-lah Ilah yang Maha Pengasih Yang banyak memberikan nikmat dan Rabb Mahakuasa Yang Mahakeras balasannya. Dia mentaqdirkan segala urusan dan melangsungkannya di atas sebaik-baik aturan, serta menetapkan berbagai syariat dan mengokohkannya dengan sekokoh-kokohnya. Dengan kekuasaan-Nya angin yang menjalankan awan berhembus, serta dengan hikmah dan rahmat-Nya terjadi perputaran hari, siang dan malam.

Aku memuji-Nya atas keagungan sifat-Nya dan keindahan nikmat-Nya, serta aku bersyukur kepada-Nya sebagai mana syukurnya orang yang meminta serta mengharap tambahan karunia-Nya.

Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah, Dzat yang tidak dapat dilingkupi oleh akal dan dugaan. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba, dan Rasul-Nya, sekaligus seutama-utama manusia. Shalawat dan salam semoga benar-benar senantiasa tercurau kepada beliau, kepada Abu Bakar, orang yang duluan masuk islam, kepada ‘Umar, yang syaitan lari jika melihatnya, kepada ‘Utsman, sahabat yang mempersiapkan pasukan yang kekurangan bekal (pasukan perang tabuk), kepada ‘Ali, lautan ilmu dan singa pertempuran, serta kepada seluruh keluarga, para Shahabat, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan.

Wahai hamba-hamba Allah, semoga Allah merahmati kalian, ketahuilah, sesungguhnya Allah memiliki hukum yang sempurna dan hikmah yang tinggi dalam ciptaan dan syari’at-Nya. Dia-lah yang Mahabijaksana dalam ciptaan dan syari’at-Nya. Dia tidak menciptakan para hamba-Nya dengan main-main, tidak membiarkan mereka begitu saja, dan tidak menjadikan syari’at kepada mereka itu sia-sia. Mereka diciptakan untuk suatu perkara yang agung dan mereka dipersiapkan untuk suatu urusan yang besar. Allah telah menjelaskan kepada mereka jalan yang lurus, dan mensyari’atkan kepada mereka berbagai syari’at untuk menambah keimanan serta menyempurnakan ibadah mereka. Tidak ada suatu ibadahpun yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya melainkan ia mempunyai hikmah yang agung, meskipun tidak semua orang mengetahuinya. Kebodohan kita terhadap suatu hikmah dari ibadah tidak menjadi dalil bahwa ibadah tersebut tidak mempunyai hikmah. Akan teteapi, hal itu menjadi dalil atas kekurangan dan kelemahan kita untuk mengetahui hikmah Allah subhanahu wata’ala.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَآ أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa’:85).

Allah telah mensyari’atkan berbagai bentuk ibadah dan aturan muamalah sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang beribadah kepada-Nya dan siapa yang beribadah kepada hawa nafsunya. Barangsiapa yang menerima berbagai syari’at dan aturan tersebut dengan lapang dada dan jiwa yang tenang, maka ia telah beribadah kepada Allah, ridha dengan syari’at-syari’at-Nya, dan mendahulukan ketaatan kepada Rabb-nya diatas hawa nafsunya. Dan barangsiapa yang tidak mau menerima sebagian ibadah dan aturan tersebut kecuali yang sejalan dengan tujuannya, maka ia telah beribadah kepada hawa nafsunya, murka dengan syari’at Allah, dan berpaling dari ketaatan kepada-Nya. Dia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesuatu yang diikuti dan bukan pengikut. Dia ingin agar syari’at Allah mengikuti seleranya meskipun ilmunya pendek dan hikmahnya sedikit.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mu’minuun: 71).

Termasuk diantara hikmah-hikmah Allah adalah Dia menjadikan ibadah itu beraneka ragam agar dapat diridhai dan diterima dengan baik, sekaligus menjadi pembersih orang-orang beriman. Terkadang, sebagian orang ridha dan mampu berpegang teguh dengan suatu bentuk ibadah tertentu, akan tetapi ia tidak menyukai dan menyia-nyiakan bentuk ibadah lainnya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan ibadah itu ada yang berkaitan dengan amalan badan, seperti shalat, ada yang berkaitan dengan harta yang dicintai, seperti zakat, ada yang berkaitan dengan keduanya sekaligus, seperti haji dan jihad, dan ada yang berkaitan dengan menahan diri dari syahwat dan keinginan, seperti puasa. Jika seorang hamba melaksanakan dan menyempurnakan ibadah-ibadah yang beraneka ragam ini sesuai anjuran syari’at, tanpa lalai dan benci, beramal hingga lelah, mengorbankan apa yang dicintainya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, dimana semua itu dilakukan karena ketaatan kepada Rabb-nya, menjalankan perintah-Nya, dan ridha dengan syari’at-Nya, maka itulah dalil atas kesempurnaan ibadah, ketundukan, kecintaan, dan pengagungan kepada Rabb-nya. Dan telah terrealisasikan dalam dirinya sifat ibadah kepada Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta.

Jika perkara tadi telah jelas, maka sekarang kita akan membicarakan puasa secara khusus. Sesungguhnya puasa itu mempunyai hikmah-hikmah yang banyak, sehingga ia menjadi salah satu kewajiban sekaligus rukun islam.

Diantara hikmah puasa adalah ia merupakan ibadah kepada Allah di mana seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya dengan meninggalkan apa-apa yang disukai dan diingini oleh hawa nafsunya, baik berupa makanan, minuman, ataupun jima’ (Hubungan suami istri). Oleh sebab itu, tampaklah kejujuran iman, kesempurnaan ibadah, dan kekuatan cinta kepada Allah, sekaligus pengharapan terhadap apa yang ada di sisi-Nya. Sesungguhnya manusia itu tidak akan mau meninggalkan apa yang ia cintai kecuali jika ia mencintai sesuatu yang lebih agung darinya. Tatkala seorang mukmin menyadari bahwa ridha Allah itu terdapat dalam puasa, maka ia meninggalkan syahwat yang ada pada dirinya meskipun sebenarnya ia menyukainya. Ia melakukan hal itu karena ia mendahulukan ridha Allah dibanding hawa nafsunya, sekaligus untuk mencari kelezatan dan ketenangan jiwa yang ia dapatkan ketika ia meninggalkan syahwatnya untuk Allah azza wa jalla. Oleh sebab itu, banyak diantara kaum muslimin yang sekiranya mereka dipukul dan ditahan agar mereka berbuka puasa satu hari saja dibulan Ramadhan tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, niscaya mereka tetap tidak mau melakukannya. Ini adalah salah satu hikmah puasa yang teragung.

Hikmah puasa lainnya, ia merupakan sebab menuju taqwa. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk melakukan amalan-amalan ketaatan dan menjauhi berbagai kemaksiatan. Rasullullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

منْ لَم يَدعْ قول الزورِ والعملَ به والجَهلَ فليس لله حاجةٌ في أنَّ يَدعَ طعامَه وشرابَه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kebodohan, perkataan dusta, dan mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan kepada perbuatannya dalam meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)

Jika seseorang yang berpuasa ingin melakukan maksiat, maka ia akan teringat puasanya, lalu menahan diri dari maksiat tadi. Oleh karena itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang berpuasa untuk berkata jika ada orang yang mencela atau menghinanya: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” sebagai peringatan untuk pencelanya bahwa orang yang berpuasa diperintahkan untuk menahan diri dari mencela dan menghina, dan untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berpuasa. Oleh karena itu, ia tidak bisa membalas dengan celaan dan hinaan serupa.

Termasuk diantara hikmah puasa lainnya adalah terfocusnya hati untuk berdzikir dan berfikir. Karena kelalaian itu timbul dari mengkonsumsi segala keinginan, bahkan hal itu sering kali mengeraskan hati dan membutakan kebenaran. Oleh karena itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mempersedikit makan dan minum.

Beliau sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مَلأ ابنُ آدمَ وِعَاءً شرّاً من بطنٍ، بحَسْبِ ابن آدمَ لُقيْماتٌ يُقمن صُلْبَه، فإِن كان لا مَحالَةَ فَثُلثٌ لطعامِه وثلثٌ لشرابه وثلثٌ لنفسِهِ

“Anak adam tidak pernah mengisi suatu bejana yang lebih jelek daripada perut. Cukuplah ia mengkonsumsi beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus lebih, maka hendaklah ia menjadikan sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.)

Disebutkan dalam Shahih muslim, dari Hanzhalah al-Usaidi, salah seorang juru tulis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, “Hanzhalah telah melakukan kemunafikan.” Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Mengapa demikian?” Dia menjawab, “Ya, Rasulullah, ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang Surga dan Neraka, hingga seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala kami. Namun jika kami pergi dari sisimu, kami bekerja untuk istri, anak, dan kebutuhan kami sehingga kami banyak lupa,… dan seterusnya.” Didalam hadits tersebut disebutkan: “Namun wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Sesungguhnya jika diri berada dalam keadaan lapar dan haus, maka hati menjadi bersih dan lembut, sedangkan jika ia kenyang, maka hati menjadi buta.”

Hikmah lainnya, orang kaya menyadari seberapa besar nikmat kekayaan yang telah Allah curahkan. Allah telah memberikan nikmat makan, minum, dan jima’ pada saat banyak orang tidak mendapatkannya. Kemudian ia memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat dan kemudahan yang diberikan. Dia juga mengingat saudaranya yang fakir dan terkadang melewati malam dalam keadaan lapar, lalu memberikan sedekah untuk menghentikan rasa laparnya dan menutupi auratnya. Oleh sebab itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, terlebih lagi disaat bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau untuk mengajarkan al-Qur-an.

Hikmah lainnya, puasa merupakan sarana untuk mengekang, menguasai dan mengendalikan jiwa. Sehingga pelakunya mampu untuk mengarahkan ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sesungguhnya jiwa itu memerintahkan kejelekan, kecuali jiwa yang dirahmati Allah. Seandainya seseorang membiarkan kehendak jiwanya lepas begitu saja niscaya jiwanya tadi menjerumuskan dirinya kedalam hal-hal yang membinasakan. Namun, jika dia mampu menguasai jiwanya, maka dia akan mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi.

Hikmah lainnya, puasa itu akan menghilangkan kesombongan jiwa pelakunya, sehingga dia menjadi orang yang tunduk kepada kebenaran dan bersikap lemah lembut kepada sesama mahluk. Sesungguhnya rasa kenyang dan jima’ itu menimbulkan rasa sombong terhadap sesama dan sikap menolak kebenaran. Sebab, ketika jiwa membutuhkan makan dan jima’, maka ia akan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, namun, setelah kebutuhannya terpenuhi, ia akan merasa bahwa dirinya telah menang, sehingga timbullah rasa senang yang tercela dan kesombongan yang semua itu bisa menyebabkan binasa. Orang yang terhindar dari dosa adalah yang dijaga oleh Allah subhanahu wata’ala.

Hikmah lainnya, rasa lapar dan dahaga akan menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, sehingga jalan-jalan syaitan ditubuh manusia juga akan menyempit. Sebab, syaitan itu berjalan di tubuh anak Adam melalui pembulu darah mereka. Sebgaimana hadits shahih yang tercantum dalam shahihain. Oleh karena itu, was-was syaitan, syahwat, dan kemarahan menjadi redam dengan puasa.

Inilah yang menjadi dasar sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:

يا مَعْشَر الشباب مَن استطاع منكم الْبَاءةَ فلْيتزوجْ فإنَّه أغَضُّ للبَصر وأحْصَنُ لِلفَرْجِ، ومَن لم يستطعْ فعليه بالصومِ فإنه له وِجاءُ

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Sesungguhnya itu lebihmenundukan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangispa yan belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, sesungguhnya puasa itu akan menjadi perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaih)

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai perisai dari syahwat pernikahan dan peredam gejolaknya.

Hikmah lainnya, puasa itu mengandung berbagai faedah kesehatan yang dihasilkan dari pengurangan makanan, pengistirahatan alat-alat pencernaan untuk beberapa waktu tertentu, pengendapan ampas-ampas yang berbahaya bagi tubuh, dan selainnya.

Sungguh, betapa tinggi dan agungnya hikmah Allah serta begitu baik dn bermanfaat syari’at-Nya bagi para hamba.

Ya Allah, jadikanlah kami adalah orang-orang yang memahami agama-Mu, berikanlah kami pengetahuan tentang rahasia syari’at-Mu, serta perbaikilah urusan dunia dan agama kami. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin, dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Mahapenyayang di antara para penyayang.

Shalawat dan salam semoga tetap senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para Shahabatnya.

Sumber:
1. http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17690.shtml

Disalin dari buku:
Majelis Bulan Ramadhan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

(Kajian MP3) Muqoddimah Buku Ensiklopedi Adab Islam

Posted: 29 Jul 2013 09:38 PM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM, buku kedua terbitan Pustaka Imam Syafi’i yang dibedah di Radio Sunnah Kita FM adalah buku yang berjudul “Ensiklopedi Adab Islam“. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada (Harga Buku Rp.120.000) dan dibahas secara on air di setiap hari Kamis Pagi pukul 05.30-06.30 dalam program acara SMART (Satu Jam Meraih Taqwa) dengan pemateri Ustadz Abu Islamah Imanudin, Lc (Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatunnajah Bekasi).

Ensiklopedi Adab Islam

Pecinta Radio Kita FM..

Sesungguhnya Allah telah menetapkan syari’at bagi para hamba-Nya. Jika mereka mengamalkan syari’at tersebut, niscaya akan baik kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak mereka termasuk orang-orang yang beruntung.

Seluruh syari’at Islam, baik perkara-perkara wajib, sunnah, maupun yang lainnya, bertujuan untuk memperbaiki keadaan setiap Muslim serta melatih hati dan anggota badan mereka. Mereka akan menjadi tinggi dengannya hingga layak untuk dekat dengan Ar-Rahman di Daarul Khuldi (Surga). Selain itu, bertujuan agar setiap muslim hanya beribadah kepada Allah. Dialah yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan dan mencurahkan kepada mereka berbagai macam rizki dan nikmat.

Maka dari itu, barang siapa yang menjadikan seluruh kehidupannya, malam maupun siangnya, tidur maupun terjaganya, safar maupun mukimnya, sakit maupun sehatnya, serta seluruh keadaanya bersesuaian dengan keadaan Rasulullah, berarti dia telah beradab dengan adab Islami. Dia telah menegakkan hak-hak Allah dalam ibadah. Dia telah melaksanakan ibadah sesuai dengan pemahaman benar dalam setiap keadaannya. Dia telah melatih dirinya untuk mengikuti syari’at yang telah Allah tetapkan atas dirinya dan Allah inginkan darinya.

Allah berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al Ahzab: 21)

Sungguh,  bahwasanya seorang Muslim harus beradab kepada Allah dengan Adab Islami. Yakni, dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, baik yang haram maupun yang makruh. Adapun dalam perkara-perkara mubah, yang paling sempurna adalah apa yang dipilih oleh Nabi. Sesungguhnya itu lebih sempurna dan lebih baik daripada apa yang tidak beliau lakukan, sebagaimana hal itu juga telah dibuktikan oleh ilmu-ilmu modern, kedokteran, dan yang selainnya, yakni berupa faedah-faedah darinya.

Hal itu disebabkan karena Islam telah membawa seluruh ajaran yang mengandung kebaikan bagi seorang muslim, baik dunia maupun agamanya. Islam memerintahkan setiap perkara yang membawa kebaikan bagi seorang Muslim, baik badan, akal, agama, harta, kesehatan, maupun yang lainnya. Maka barangsiapa yang menerapkan seluruh ajaran itu, berarti ia telah beradab dengan adab Islami. Sementara jika ia meninggalkan adab-adab ini, hal itu menunjukkan jauhnya ia dari manhaj Islam.

Untuk selengkapnya.. Mari kita simak dan dengarkan Kajian yang sangat bermanfaat berikut ini. Dalam pembahasan Muqoddimah Ensiklopedi Adab Islam yang disampaikan oleh Ustadz Imanudin, Lc.

Atau bisa anda download langsung disini (klik langsung)

Sekilas Tentang I’tikaf

Posted: 29 Jul 2013 05:02 PM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM, kini kita sudah memasuki 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan. Seharusnyalah sebagai seorang muslim yang selalu ingin mencari ridho dan ampunan Allah, dia bersungguh-sungguh dalam mengisi hari-hari di bulan Ramadhan yang akan kita tinggalkan sebentar lagi. Ada banyak macam ibadah yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan, diantaranya adalah i’tikaf. Nah, di postingan kali ini kami akan memberikan informasi sekilas tentang i’tikaf yang tentunya insya allah akan bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin mengamalkan sunnah itikaf ini.

Rasulullah biasa beri'tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Pada tahun beliau wafat,  beliau beri'tikaf selama dua puluh hari. (HR. Al-Bukhari).

I'tikaf adalah sebuah ibadah yang terkumpul pada-nya berbagai jenis ibadah lainnya. Berupa  tilawah Al-Qur'an, shalat, dzikir, doa dan lain-lain.  Orang yang belum pernah i'tikaf, menggambarkannya sebagai sebuah ibadah yang berat dan  sulit. Padahal i'tikaf sangatlah mudah bagi orang yang Allah beri kemudahan. Yaitu bagi orang
yang mempersenjatai dirinya dengan niat ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh. Allah pasti  akan menolongnya.

I'tikaf sangat dianjurkan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sekaligus untuk meraih  malam Lailatul Qadar. I'tikaf adalah mengurung diri dan mengikatnya untuk berbuat taat dan  selalu mengingat Allah. Ia memutuskan hubungandengan segala kesibukan-kesibukannya. Ia  mengurung hatinya dan jasmaninya untuk Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak  ada terbetik dalam hatinya sesuatu keinginan pun selain Allah dan yang mendatangkan ridhaNya. Disebabkan banyaknya umat Islam yang jahil tentang hukum-hukum i'tikaf, maka saya ingin  menjelaskan beberapa maklumat sederhana tentang i'tikaf.

Pertama: Definisi I'tikaf
Secara etimologi i'tikaf adalah menetapi sesuatu dan mengikat diri kepadanya.  Secara terminologi syariat: "menetapi masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan  diri kepada Allah“.

Kedua: Hikmah Disyariatkannya I'tikaf
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan beberapa hikmah i'tikaf berkata:
"Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah sangat bergantung kepada kuat tidaknya hati  itu berkon-sentrasi mengingat Allah. Dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya  secara total kepada Allah. Sebab kekusutan hati hanya dapat dirapikan dengan menghadapkan  secara total kepada Allah. Perlu diketahui bahwasanya makan dan minum yang berlebihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah  kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya, dan menghambat perjalanannya menuju  Allah atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa  lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hambaNya, Allah mensyari'atkan ibadah puasa atas mereka  untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan  hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanan-nya menuju Allah. Dan mensyariatkan  i'tikaf yang inti dan tujuannya ialah menambat hati untuk senantiasa mengingat Allah, menyendiri  mengingat-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan  memfokuskan diri bersama Allah semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat  diisi dan dipenuhi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap kepada-Nya.

Ketiga: Hukum I'tikaf
I'tikaf merupakan bentuk pendekatan diri dan ke-taatan kepada Allah. Mengamalkannya adalah  sunnat (dianjurkan). Dan sangat dianjurkan diamalkan pada bulan Ramadhan. Dan terlebih lagi  pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan hukumnya menjadi wajib jika dinadzarkan.

Dalilnya sebagai berikut:

Firman Allah:
"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yangthawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan  yang sujud." (Al-Baqarah: 125)

Hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf selama sepuluh hari pada setiap  bulan Ramadhan. Dan pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." (HR. Al-Bukhari)

Hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf pada setiap bulan Ramadhan.  Manakala selesai shalat Subuh, beliau segera memasuki tempat i'tikafnya." (HR. AlBukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Hingga beliau juga beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Syawal." (HR. Al-Bukhari dan  Muslim)

Masih dari 'Aisyah Radhiallaahu anha ia menuturkan:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan  Ramadhan. Hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istri-istri beliau  juga melakukannya sepeninggal beliau." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalil wajibnya i'tikaf jika dinadzarkan adalah sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam :
"Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah ia mentaati-Nya." (HR. AlBukhari dan Muslim)

Dan juga dari Abdullah bin Umar ia menceritakan bahwa Umar Radhiallaahu anhu  bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: "Pada masa jahiliyah dahulu

aku pernah bernadzar beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah nadzarmu."

Keempat: Syarat-syarat I'tikaf

  • Islam.
  • Berakal.
  • Baligh.
  • Niat.
  • Di dalam masjid.
  • Suci dari janabah, haidh dan nifas.

Alim ulama berbeda pendapat apakah seorang yang beri'tikaf harus dalam keadaan berpuasa?  Demikian pula mengenai jangka waktu beri'tikaf. Kelihatannya yang paling tepat adalah tidak  disyaratkan harus berpuasa dan tidak ada pembatasan waktu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Kelima: Amalan-Amalan Sunnat Bagi Orang Yang Beri'tikaf

  • Memperbanyak ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur'an, membaca buku-buku ahli ilmu  dan lain-lain.
  • Menjauhkan diri dari ucapan sia-sia, seperti berdebat, mencela, memaki dan lain-lain.
  • Berdiam di tempat i'tikaf dalam masjid. Berdasarkan riwayat Muslim dari Nafi' ia berkata: Abdullah bin Umar menunjukkan kepadaku tempat yang dipakai Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam  beri'tikaf di dalam masjid."

Keenam: Perkara-perkara Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Beri'tikaf

  • Keluar dari tempat i'tikaf untuk suatu keperluan yang mendesak. Berdasarkan hadits  shahih dari 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: "Tuntunan bagi orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak  menghadiri penyeleng-garaan jenazah, tidak menyentuh dan mendekati kaum wanita,  tidak keluar dari tempat i'tikaf kecuali untuk sebuah keperluan yang mendesak." (HR.  Abu Dawud dan dikatakan oleh Ibnu Hajar:"Para perawinya tidak bermasalah.")
  • Boleh makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan tetap menjaga kebersihan.
  • Berbicara yang dibolehkan dengan orang lain untuk suatu keperluan.
  • Merapikan rambut, memotong kuku, membersihkan badan, mengenakan pakaian bagus  dan memakai minyak wangi. Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha, ia berkata: "Ketika Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam sedang i'tikaf di dalam masjid, beliau mengeluarkan kepalanya  dari sela-sela kamar kemudian aku mencuci kepala beliau." Dalam riwayat lain  disebutkan: "Kemudian aku merapikan rambut beliau." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  • Melepas kepulangan keluarga yang menjenguknya, berdasarkan hadits Shafiyah Radhiallaahu anha yang  mengabarkan bahwa Rasulullah n melakukannya.

Ketujuh: Perkara-perkara Yang Dimakruhkan Atas Orang Yang Beri'tikaf

  •  Berjual-beli.
  • Berbicara yang mendatangkan dosa.
  • Diam dan tidak berbicara sama sekali. Jika ia meyakininya sebagai ibadah.

Kedelapan: Perkara-perkara Yang Membatalkan I'tikaf

  • Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa keperluan, sekalipun hanya sesekali.
  • Bersetubuh.
  • Gila dan mabuk.
  • Haidh dan nifas bagi kaum wanita, disebabkan hilang-nya syarat bersuci.
  • Murtad. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.

Kesembilan: Waktu Memasuki Tempat I'tikaf Dan Keluar Darinya
Bilamana seseorang memasuki masjid dan berniat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri  kepada Allah), maka ia telah terhitung beri'tikaf hingga keluar dari masjid. Apabila ia meniatkan  beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, hendaklah ia memasuki tempat i'tikaf sebelum  matahari terbenam (menjelang malam kedua puluh satu). Dan meninggalkan tempat i'tikaf pada  hari terakhir bulan Ramadhan setelah matahari terbenam.

Kesepuluh: Catatan-Catatan Penting

  • Bagi yang membatalkan i'tikaf sunnat yang tengah dilakukannya, hendaklah  menggantinya pada hari yang lain, berdasarkan amalan Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam yang mengganti i'tikaf bulan Ramadhan pada bulan Syawal. Sebagaimana yang telah disebutkan pada  hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha baru lalu. Sementara bagi yang membatalkan nadzar i'tikaf yang tengah  dilakukannya, maka ia wajib menggantinya.
  • Kaum wanita boleh beri'tikaf di dalam masjid. Jika terjaga dari fitnah dan diizinkan oleh  suaminya. Jika ia beri'tikaf tanpa izin suaminya, maka ia boleh diusir dari masjid tanpa  ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian dituturkan oleh An-Nawawi.  Hukum-hukum yang berkaitan dengan i'tikaf bagi kaum lelaki juga berlaku bagi kaum  wanita. Hanya saja i'tikaf kaum wanita otomatis batal jika mereka haidh. Dan mereka  boleh melanjutkannya kembali jika sudah suci.  Dan hendaknya kaum wanita menirai tempati'tikaf-nya dengan kemah dan memilih  tempat yang tidak dipakai untuk shalat bagi kaum pria.
  • Barangsiapa bernadzar beri'tikaf di Masjidil Haram, ia tidak boleh menunaikannya di  masjid lain. Jika ia bernadzar beri'tikaf diMasjid Nabawi, ia wajib menunaikannya di Masjid Nabawi atau boleh juga di Masjidil Haram.  Jika ia bernadzar beri'tikaf di Masjidil Aqsha, ia boleh menunaikannya di salah satu dari  tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Sementara bagi yang  bernadzar beri'tikaf di selain tiga masjid tersebut dan tidak menentukan masjid tertentu,  ia boleh menunaikannya di masjid mana saja. Sebab Allah Ta’ala tidak menjadikan  tempat tertentu untuk melakukan ibadah, dan juga semua masjid sama saja keutamaannya kecuali tiga masjid tersebut.

Wahai saudaraku, segeralah menghidupkan sunnah Nabi ini dan memasyarakatkannya di  tengah-tengah keluarga, kerabat dekat, saudara-saudara dan teman-temanmu serta di tengah  masyarakatmu. Semoga Allah menuliskan pahala bagimu dan pahala dari orang-orang yang  mengamalkannya.

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi dan dinyatakan hasan olehnya dari Katsir bin Abdillah  dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam berkata kepada Bilal bin Harits: "Ketahuilah!" ia bertanya:

"Wahai Rasulullah, apa yang harus kuketahui?" Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah diabaikan, maka ia akan  memperoleh pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi dari pahala mereka  sedikitpun."

Di sisi lain beberapa faidah yang dapat dipetik dari sunnah i'tikaf ini adalah pembinaan jiwa dan  melatihnya dalam mengerjakan ketaatan. Hal itu sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin dan  khususnya para da'i. (dikutif dari al-sofwa/ buku kiat-kiat menghidupkan bulan ramadhan -abuarfa)

No comments:

Post a Comment