Thursday, July 4, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fatwa Ulama: Sisa Makanan Yang Tersangkut Di Gigi Ketika Shalat Atau Puasa

Posted: 04 Jul 2013 06:20 AM PDT

makan-saat-adzan

Fatwa Syaikh Abdul Karim Al Khudhair

Soal:

Sisa makanan yang tersangkut di antara gigi jika baru terasa ketika sedang shalat apakah boleh ditelan?

Jawab:

Tidak boleh ditelan. Orang yang menelan sisa makanan di gigi maka batal shalatnya dan puasanya. Namun jika ia kesulitan untuk menyingkirkannya yaitu karena sulit dikeluarkan (sehingga tertelan, pent.), semoga itu tidak mengapa.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/38519

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Mengenal Pasar Di Surga

Posted: 04 Jul 2013 02:10 AM PDT

surga-dunia

Di surga kelak akan terdapat pasar bagi penduduk surga. Bagaimanakah pasar tersebut? Apakah ada jual beli di surga? Jika ada, barang dagangannya apa saja? Atau hanya sebagai kiasan?

Dalil mengenai adanya pasar di surga

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَسُوقًا يَأْتُونَهَا كُلَّ جُمُعَةٍ فَتَهُبُّ رِيحُ الشَّمَالِ فَتَحْثُو فِي وُجُوهِهِمْ وَثِيَابِهِمْ فَيَزْدَادُونَ حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَرْجِعُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ وَقَدِ ازْدَادُوا حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَقُولُ لَهُمْ أَهْلُوهُمْ: وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً. فَيَقُولُونَ: وَأَنْتُمْ وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً

"Sungguh di surga ada pasar yang didatangi penghuni surga setiap Jumat. Bertiuplah angin dari utara mengenai wajah dan pakaian mereka hingga mereka semakin indah dan tampan. Mereka pulang ke istri-istri mereka dalam keadaan telah bertambah indah dan tampan. Keluarga mereka berkata, 'Demi Allah, engkau semakin bertambah indah dan tampan.' Mereka pun berkata, 'Kalian pun semakin bertambah indah dan cantik'" (HR. Muslim no. 7324)

Keadaan di pasar surga

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, pasar disurga adalah tempat berkumpul penduduk surga. Beliau berkata,

المراد بالسوق مجمع لهم يجتمعون كما يجتمع الناس في الدنيا في السوق ، ومعنى ( يأتونها كل جمعة ) أي : في مقدار كل جمعة أي أسبوع ، وليس هناك حقيقة أسبوع لفقد الشمس والليل والنهار

"yang dimaksud dengan pasar adalah tempat berkumpulnya manusia sebagaimana manusia di dunia berkumpul di pasar. Maksud dari 'mereka mendatangi setiap hari Jumat' adalah sebagaimana perkiraan lama waktu tiap jumat yaitu sepekan. Bukanlah makna 'sepekan' yang sebenarnya karena tidak ada matahari, siang dan malam (di surga)."[1]

Dan salah satu kenikmatan manusia adalah berjumpa dengan saudara dan teman-teman akrab mereka, saling menyapa, menanyakan keadaan, saling bercanda ringan, saling curhat. Ini menimbulkan kebahagiaan dan kenikmatan, apalagi sudah lama sekali tidak bertemu. Maka di surga juga disediakan kenikmatan seperti ini. Maka di surga juga disediakan sarana untuk menikmati hal ini. Dijelaskan dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

إن سوق الجنة هو مكان اللقاء للمؤمنين بعضهم لبعض؛ لازدياد النعيم بما يجدونه من لذة وسؤدد ، وتحدث بعضهم لبعض؛ وتذاكرهم بما كان في الدار الدنيا وما آلوا إليه في الدار الآخرة؛ ويتجدد هذا اللقاء كل جمعة كما جاء في الحديث؛ لرؤية بعضهم لبعض وأنس بعضهم ببعض

"Pasar di surga adalah tempar bertemunya kaum muslimin satu sama lain supaya bertambah kenikmatan. Merasakan kelezatan saling berbincang-bincang. Dan saling mengenang apa yang terjadi di dunia dan membicarakan apa yang mereka dapatkan di akhirat. Mereka bertemu setiap Jumat sebagaimana pada hadits, agar mereka bisa saling berjumpa satu sama lain."[2]

Demikianlah ahli surga, sebagaimana jika kita bertemu dengan kawan lama dan berkumpul (reuni) maka sangat terasa nikmat dan bahgia jika kita mengnang masa-masa lalu yang indah, misalnya masa-masa ketika merintis dakwah, masa-masa ketika belajar bersama dan menjalani kehidupan bersama.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada jual-beli di surga. Yang ada hanya barang dagangan yang bisa diambil semaunya. Ini juga merupakan kenikmatan walaupun sebenarnya mereka bisa meminta apa yang mereka inginkan di sruga. Karena ada orang yang hobinya belanja, maka kenikmatan itu juga ada di surga. Allah Ta'ala berfirman,

وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

"dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya" (QS. Az-Zukhruf: 71)

dan Allah Ta'ala berfirman,

لَهُم مَّا يَشَاؤُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

"Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya" (QS. Qaaf: 35)

Hanya laki-laki saja yang ke pasar surga?

Syaikh Abdullah Al Faqih menyatakan,

فظاهر هذا الحديث أن الذين يذهبون إلى السوق هم الرجال وحدهم دون النساء. وذلك لأن الحديث ذكر أنهم يرجعون من السوق إلى أهليهم، يعني زوجاتهم، فدل رجوعهم إليهن على أنهن لم يكن يرافقنهم

"Dzahir hadits menunjukkan bahwa yang pergi ke pasar surga hanyalah laki-laki tanpa wanita. Karena dalam hadits disebutkan bahwa mereka kembali kepada keluarga mereka dari pasar yaitu istri-istri mereka. Kembalinya laki-laki kepada istri mereka menunjukkan bahwa istri mereka tidak ikut ke pasar surga."[3]

Akan tetapi para wanita tidak perlu kecewa seandainya pendapat ini benar. Karena berkumpul dan keluarnya penduduk surga tidak hanya di pasar surga saja. Akan tetap mereka saling mengunjungi di rumah dan saling bertemu. Dijelaskan dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

ولم يكن لقاء بعضهم لبعض في سوق الجنة فحسب ، بل يتزاورون في المنازل ، وفي مخير المنازل من مرافق ، تحت الأشجار ، وعلى شواطئ الأنهار ، وفي جميع المنتزهات المختلفة ، متى شاءوا من الأوقات التي تتناسب معهم ويرتاحون لها بل ويرغبونها

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : إن أهل الجنة ليتزاورون فيها
إنها الزيارات الممتعة ، والحياة السعيدة ، والأنس الذي لا ينقطع ، واللذة المستمرة

"tidaklah pertemuan penduduk surga hanya di pasar saja akan tetapi mereka saling mengunjungi di rumah (kerajaan) mereka, Di rumah (kerajaan) siapa saja terserah mereka. Bisa bertemu di bawah pohon, di pinggir sungai dan di semua tempat rekreasi yang bermacam-macam. Kapan saja mereka ingin jika waktunya sesuai, mereka menikmatinya dan menginginkannya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya penduduk surga saling mengunjungi". Inilah saling mengunjungi yang memuaskan, kehidupan yang bahagia, hubungan sosial yang tidak terputus dan kelezatan yang terus-menerus."[4]

Catatan kaki

[1] Syarh Muslim 16/170, syamilah

[2] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 54/214

[3] Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=63070

[4] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 54/214

Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Fatwa Ulama: Hukum Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Posted: 03 Jul 2013 01:30 AM PDT

puasa-setahun

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Bagaimana hukum puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban?

Jawab:

Puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban dilarang oleh sebagian ulama dengan berdasarkan pada hadits yang ada di Sunan At Tirmidzi (738), Abu Daud (2337), Musnad Ahmad (9414) dari jalan Thariq bin Al ‘Ala bin Abdirrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا انتصف شعبان فلا تصوموا حتى يكون رمضان

Jika Sya’ban sudah sampai pertengahan, janganlah kalian berpuasa hingga datang Ramadhan

Hadits ini di-dhaif-kan oleh para ulama hadits seperti Imam Ahmad, Ibnu Mahdi, Abu Zur’ah, dan di-shahih-kan oleh At Tirmidzi dan beberapa ulama selain beliau. Adapun Jumhur ulama tidak mengamalkan hadits ini karena bertentangan dengan hadits-hadits shahih lain yang menunjukkan disyariatkannya puasa. Larangan untuk berpuasa sebelum Ramadhan yang benar adalah satu-dua hari sebelum Ramadhan, sebagaimana dalam hadits Bukhari (1914) dan Muslim (1082) dari jalan Abu Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا تقدموا رمضان بصوم يوم أو يومين إلا رجلاً كان له صوم فليصمه

Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu-dua hari sebelumnya, kecuali seseorang yang memang sudah biasa berpuasa (sunnah) maka silakan berpuasa

hadits ini menunjukkan bolehnya puasa pada hari-hari setelah pertengahan bulan Sya’ban. Sebagaimana juga ditunjukkan dalam hadits, bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam:

كان يصومُ شعبانَ إلا قليلًا

Biasanya beliau berpuasa di bulan Sya’ban hampir di seluruh harinya, kecuali hanya beberapa hari saja beliau tidak berpuasa

hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari jalan ‘Urwah dari Hisyam dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33664

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Ramadhan Sudah Tiba, Masih Ada Hutang Puasa

Posted: 02 Jul 2013 06:36 PM PDT

puasa_syarat_wajib

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin

Soal:

Orang yang menunda penunaian hutang puasa Ramadhan hingga akhirnya bulan Ramadhan sudah tiba lagi, apa yang seharusnya ia lakukan?

Jawab:

Jika ia menunda penunaian hutang puasa karena adanya udzur, misalnya ia sakit selama 11 bulan harus berbaring terus di ranjang selama itu dan tidak mampu berpuasa maka ia hanya diwajibkan meng-qadha (setelah Ramadhan, pent.). Adapun jika ia menunda penunaian hutang puasa karena lalai atau meremehkan padahal sebenarnya ia mampu melakukannya, maka ia wajib meng-qadha dan juga membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ia tinggalkan sebagai kafarah atas kelalaiannya.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/31635

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Pengumuman Puasa dan Hari Raya Bukan Urusan Ormas atau Individu

Posted: 01 Jul 2013 09:00 PM PDT

taat penguasa

Di negeri kita berbeda dengan di negara lainnya yang rakyat begitu bersabar mendengar keputusan pemerintah atau mufti mereka dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya. Di negeri kita memang terkenal bebas. Semua ormas dan orang awam sekalipun bisa angkat bicara dan mengumumkan kapankah kita mesti berpuasa dan berhari raya. Padahal yang jadi sunnah Rasul dan dipraktekkan para sahabat, ketika salah seorang di antara mereka melihat hilal awal Ramadhan, ia pun melaporkannya pada penguasa, lalu biarlah penguasa yang memutuskan kapan mesti berhari raya atau berpuasa.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah membawakan dalam Bulughul Marom hadits no. 654,

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkannya, namun An Nasai lebih cenderung pada pendapat bahwa riwayat tersebut mursal.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

  1. Hadits ini merupakan dalil cukup adanya satu saksi dalam melihat hilal Ramadhan, baik saksinya adalah laki-laki maupun perempuan. Dengan syarat saksi tersebut adalah muslim. Hal ini berbeda dengan bulan selain Ramadhan yang mesti dengan dua saksi. Inilah pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnul Mubarok, pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat yang dipilih Imam Syafi’i.
  2. Dianjurkan untuk melihat hilal pada malam ke-30 dari bulan Sya’ban.
  3. Siapa saja yang melihat hilal hendaklah ia melaporkan hasil penglihatannya pada imam atau penguasa atau pada pemerintah supaya penguasa tersebut yang mengumumkannya kepada khalayak ramai (kaum muslimin). Sehingga pengumuman awal atau akhir Ramadhan, kita dapat ambil pelajaran bukanlah urusan satu ormas, namun jadi wewenang penguasa.
    Bahkan mentaati penguasa punya maslahat besar sebagaimana disebut dalam hadits dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
    اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
    Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh  Al Albani menshahihkan hadits ini). Jika mentaati penguasa termasuk takwa, maka berarti amalan ini adalah jalan menuju surga karena takwa adalah syarat masuk surga.
  4. Jika ada yang melihat hilal Ramadhan lantas persaksiannya ditolak, apa yang mesti dilakukan?
    Mayoritas ulama berpendapat bahwa hendaklah ia tetap berpuasa. Karena ada hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِى الثَّالِثَةِ – فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ
    Bulan adalah seperti ini, seperti ini, seperti ini -lalu beliau menggenggam ibu jarinya pada ucapan yang ketiga-, berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihat hilal. Jika kalian tertutupi, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Muslim no. 1080).

Pendapat yang lainnya yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bahwa orang seperti itu tidaklah wajib puasa. Karena hilal yang teranggap jika telah masyhur, tidak cukup hanya dilihat. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir karena lebih mementingkan persatuan kaum muslimin, ditambah penguatan dari sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, dari Abu Hurairah). Lihat bahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hilal dalam tulisan: Hilal Bukan Sekedar Fenomena di Langit.

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, "Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat 'ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha"

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

"Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung."

Imam Ahmad juga mengatakan,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

"Allah akan senantiasa bersama para jama'ah kaum muslimin". (Majmu' Al Fatawa, 25: 117)

Referensi:

Minhatul 'Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh 'Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 15-17.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 2: 92.

 

@ Pertamina Cirebon, 23 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Puasa (10): Amalan I’tikaf

Posted: 01 Jul 2013 05:30 AM PDT

itikaf

Di antara yang disunnahkan di bulan Ramadhan adalah melakukan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan tujuan supaya bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Berikut keterangan Al Qodhi Abu Syuja’ mengenai i’tikaf.

Kata Abu Syuja’ rahimahullah, “I’tikaf itu sunnah yang dianjurkan. Namun disebut i’tikaf jika memenuhi dua syarat yaitu (1) berniat, (2) berdiam di masjid.

Tidak boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau ada udzur semisal haidh atau sakit yang tidak mungkin berdiam di masjid.

I’tikaf itu batal dengan berhubungan intim (bersenggama).”

Pengertian I’tikaf

I’tikaf berarti tetap atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah berarti berdiam di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat khusus. (Lihat Al Iqna’, 1: 424).

Hukum I’tikaf

Hukum i’tikaf adalah sunnah muakkad dan dianjurkan dilakukan di setiap waktu di Ramadhan atau selain Ramadhan. Namun di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari hari lainnya karena dicarinya lailatul qadar pada malam tersebut. Lailatul qadar hendaklah dihidupkan dengan shalat, membaca Al Qur’an, dan memperbanyak do’a karena malam tersebut adalah malam yang utama dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ” (QS. Al Qadar: 3).

Maksudnya adalah amalan pada malam lailatul qadar lebih baik adari amalan di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. Sebagaimana kata Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, malam ini diperoleh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lihat pembahasan dalam Al Iqna’, 1: 424-425.

Syarat I’tikaf

Syarat i’tikaf sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ ada dua:

1- Niat

Niat cukup dalam hati sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat jika i’tikafnya wajib seperti berniat i’tikaf nadzar. Niat ini supaya bisa membedakan dengan niatan nadzar sunnah. Jika i’tikafnya mutlak, yaitu tidak dibatasi waktu tertentu, maka cukup diniatkan.

2- Berdiam

Yang dimaksud di sini adalah i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu yang dikatakan thuma’ninah dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama.

Ditambahkan oleh Muhammad Al Khotib dalam Al Iqna’ yaitu syarat ketiga dan keempat.

3- Berdiam di masjid

Hal ini berdasarkan ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun ayat adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Masjid jami’ yang ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya lebih utama daripada masjid lainnya supaya yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at di masjid lainnya. Akan tetapi, jika seseorang sudah berniat i’tikaf di Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsho, maka tidak bisa diganti dengan masjid lainnya karena keutamaan besar dari masjid tersebut.

4- Syarat yang berkaitan dengan orang yang beri’tikaf yaitu Islam, berakal, suci dari hadits besar

Tidak Keluar dari Masjid Selama I’tikaf

Yang menjalani i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikafnya adalah i’tikaf nadzar, atau i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu. Hanya boleh keluar dari masjid jika ada kebutuhan mendesak seperti kencing, buang hajat, dan keperluan lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Di antara udzur lagi adalah karena haidh -menurut ulama yang tidak membolehkan wanita haidh diam di masjid- dan orang yang sakit yang juga tidak bisa berdiam di masjid.

Pembatal I’tikaf

Yang membatalkan i’tikaf adalah dengan bersenggama atau bersetubuh. Dalilnya adalah ayat,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

I’tikafnya jadi batal jika dilakukan dalam keadaan tahu dan ingat sedang beri’tikaf baik dilakukan di dalam atau di luar masjid. Adapun bercumbu (mubasyaroh) selain di kemaluan seperti saling menyentuh dan mencium bisa membatalkan i’tikaf jika keluar mani. Lihat Al Iqna’, 1: 427-428.

Selesai sudah kajian fikih dari kitab Matan Abi Syuja’. Semoga bermanfaat untuk amalan kita di bulan Ramadhan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Referensi:

  1. Mukhtashor Abi Syuja', Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi'i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428
  2. At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al Iqna' fii Halli Alfazhi Abi Syuja', Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, Senin malam, 22 Sya'ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Bolehkah Wanita Memakai Celak Ketika Keluar Rumah?

Posted: 01 Jul 2013 03:00 AM PDT

celak

Fatwa Syaikh Khalid bin Ali Al Musyaiqih

Soal:

Bolehkah wanita memakai celak ketika keluar rumah?

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وآلأه وصحبه أجمعين، أما بعد

Bercelak itu sunnah baik bagi laki-laki maupun wanita. Dan dibolehkan bagi wanita untuk bercelak dimanapun ia berada. Namun wanita muslimah tidak boleh menampakkan matanya yang bercelak kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram). Karena celak itu termasuk perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seorang wanita kecuali kepada sesama wanita atau kepada mahramnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS. An Nuur: 31).

Sumber: http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=37792

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Apakah Najis Yang Sedikit Itu Dimaafkan?

Posted: 01 Jul 2013 12:35 AM PDT

air-mata

Fatwa Syaikh Khalid bin Ali Al Musyaiqih

Soal:

Apakah benar bahwa najis yang ringan dan sedikit itu dimaafkan? Seberapa batasan sedikit itu? Misalnya jika pakaian terkena percikan air kencing kira-kira 1/3 tetes apakah perlu dibersihkan ataukan dimaafkan (tidak mengapa jika tidak dibersihkan)?

Jawab:

الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد

Menurut Abu Hanifah dan juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa najis yang sedikit itu dimaafkan. Para ulama selain mereka juga mentoleransi najis yang sedikit namun dengan beberapa rincian. Adapun Syaikhul Islam (dan Abu Hanifah) memandang bahwa semua najis yang sedikit itu dimaafkan secara mutlak (tanpa rincian, pent.).

Dalil yang digunakan dalam pendapat ini adalah hadits-hadits tentang bolehnya istijmar (cebok dengan selain air). Karena jika seseorang ber-istijmar setelah selesai buang air kecil atau buang air besar, tentu masih akan tersisa sedikit najis. Karena cebok dengan batu atau selainnya tidak menghilangkan najis secara sempurna. Ini menunjukkan bahwa najis yang sedikit itu dimaafkan. Dan dalam hal ini tidak ada batasan dari syariat mengenai kadarnya. Sehingga mengenai batasan sedikitnya dikembalikan pada ‘urf (adat setempat). Najis yang dianggap sedikit oleh kebiasaan setempat, maka itu dimaafkan. Misalnya seperti yang ditanyakan penanya yaitu 1/3 tetesan, ini dianggap sedikit oleh ‘urf, maka dimaafkan.

 

Sumber: http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=40357

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Ujian Keimanan Di Balik Mendoan

Posted: 30 Jun 2013 02:54 AM PDT

Prolog

Mendoan, bukanlah suatu nama yang asing di telinga sebagian kalangan, terutama untuk 'suku' yang berbahasa ngapak. Yakni penduduk daerah Barlingmascakeb (Kab. Banjarnegara, Kab. Purbalingga, Kab. Banyumas, Kab. Cilacap dan Kab. Kebumen) di Jawa Tengah.

Tempe Mendoan adalah sejenis masakan tempe yang terbuat dari tempe yang tipis, dan digoreng dengan tepung sehingga rasanya gurih dan renyah.

Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Walaupun setelahnya ditiriskan, karena menggorengnya harus terendam dalam minyak, maka minyaknya pun masih banyak terserap di dalam mendoan. Ini barangkali salah satu rahasianya, mengapa gorengan ini terasa begitu gurih.

Saya pribadi sejak kecil suka sekali dengan spesies gorengan yang satu ini, apalagi jika ditemani cabe rawit dan ketupat atau lontong, rasanya maknyuss!

Ujian keimanan

Di awal bulan ini; Juni 2013, saya merasa kondisi kesehatan menurun. Badan lemes, pusing dan perut rasanya ndak enak. Tapi karena jadwal mengisi pengajian sudah terlanjur tertata rapi sejak lama, akhirnya kondisi itu agak saya abaikan. Pagi, sore, malam, lalu paginya lagi, jadwal pengajian tetap dilakoni sesuai rencana. Ternyata fisik kewalahan, badanpun ambruk, makanan yang sudah masuk selalu memaksa untuk keluar lagi. Sehari semalam muntah dan muntah, sampai tidak tahu lagi apa yang bisa dimuntahkan. Berbagai upaya penanganan pertama dilakukan, namun tidak juga kunjung membaik. Terakhir ujung-ujungnya terpaksa harus menginap di rumah sakit.

Setelah hasil cek laboratorium keluar, diketahuilah bahwa liver dan empedu saya bermasalah. Itu terlihat dari kadar SGOT dan SGPT yang sudah jauh melebihi batas normal. Idealnya 40-45an, ini sudah di atas 1000an.

Pengobatan segera dijalankan, suntik, pil, infus dan lain-lain. Satu lagi yang diwanti-wantikan dokter adalah supaya menjauhi makanan berlemak, termasuk gorengan dan santan, untuk beberapa waktu.

Bahkan salah satu jamaah pengajian yang besuk menceritakan pengalamannya, bahwa ia pernah menderita penyakit serupa. Supaya sembuh total, kata dokternya, harus puasa gorengan selama satu tahun! Ternyata beliau berhasil melewati ujian melelahkan tersebut, dan setelahnya dinyatakan bebas virus hepatitis.

Raehan: informasi tambahan, dengan tidak makan gorengan akan meringankan pekerjaan hati yang berfungsi utama sebagai peetral racun dan bahan yang tidak dibutuhkan tubuh. Tubuh sembuh dari virus hepatitis dengan kekebalan/imunitas tubuh atau obat anti virus

Begitu mendengar kata gorengan, langsung benak saya tertuju ke makanan favorit sejak kecil; mendoan! Wah, bakal puasa mendoan lama nih! Berat juga ya berdisiplin menjauhi pantangan? Setiap hari makan bersayur dan berlauk serba godogan. Memang antara teori yang terucap dan praktek di dunia nyata, tidak semulus yang dibayangkan.

Padahal sebenarnya, di saat bugar pun, banyak teori kesehatan mengatakan bahwa makanan yang baik adalah yang segar dan fresh. Kalaupun harus melalui proses, sebaiknya dengan cara dikukus atau dipanggang, dan menghindari pengolahan dengan minyak.

Sebab dalam gorengan, terdapat kandungan lemak trans (trans fat) yang tinggi. Di mana lemak ini berasal dari minyak yang dikandung oleh makanan yang digoreng. Tanpa disadari, kadar kolesterol di dalam tubuh kita pun dapat terganggu. Resiko terjangkit penyakit jantung koroner pun meningkat pesat.

Raehan: tambahan info, tidak semua gorengan berbahaya, sebenarnya jika kita menggunakan minyak goreng dengan mayoritas kandungan lemak tak jenuh dengan bahan dasar lemak tumbuhan, seperti coconut oil, maka minyak goreng seperti ini tidak mengapa asal tidak digunakan berlebihan. Jadi gorengan buatan sendiri dirumah lebih sehat (tentu tidak berlebihan juga)

Sedangkan gorengan yang dijual dopinggir jalan atau oleh penjual gorengan, minyaknya mungkin "asal" minyak goreng, bisa jadi minyak goreng dengan kandungan lemak jenuh yang tinggi. Belum lagi minyak gorengnya dipakai berulang-ulang (sampai hitam), penggorengan yang berulang bisa mengubah lemak tak jenuh menjadi lemak jenuh. Inilah yang berbahaya yaitu gorengan memakai minyak goreng yang sudah dipakai berulang-ulang kali. Dan penjual gorengan tentu tidak mau rugi mengganti minyak goreng setiap kali menggoreng.

Ini baru berbicara tentang gorengan yang dibuat di rumah sendiri, yang cenderung lebih memperhatikan etika menggoreng, terutama para ibu rumah tangga yang peduli dengan kesehatan. Bagaimana dengan gorengan yang biasa dijual di luar sana? Di pinggir-pinggir jalan? Tentu rapornya lebih merah lagi.

Segudang bahaya gorengan pinggir jalan

Dengan harga yang murah, maka tidak heran jika gorengan banyak sekali dikonsumsi berbagai kalangan. Sebuah kantin atau warung, jarang sekali tidak menjual gorengan. Abang penjual gorengan pun begitu menjamur di pinggir-pinggir jalan dan gang.

Namun, di balik citarasa gorengan yang lezat tersebut, ternyata makanan ini menyimpan segudang bahaya untuk kesehatan Anda di waktu mendatang.Sebab, seringkali gorengan tersebut mengumpulkan berbagai faktor negatif berikut, atau sebagiannya1:

1) Sering terkontaminasi bakteri yang berbahaya

Hal ini disebabkan karena gorengan yang telah matang diletakkan di tempat yang terbuka, sehingga mudah dihinggapi lalat, terpapar debu dan udara kotor.

Terlebih lagi, makanan yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Seperti besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka akan mengalami karatan. Kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, bagaimana bila ditambah telah lama dibiarkan di udara terbuka. Akibatnya, perut yang bertugas mengolah makanan ini memerlukan enzim yang lebih banyak.2

2) Sayur-sayuran yang dipakai banyak yang sudah tidak segar

Karena harga sayuran yang sudah tidak segar tersebut jauh lebih murah dari harga sayuran segar. Padahal nilai gizinya sudah jauh berkurang dibandingkan dengan sayuran yang masih segar.

3) Pemakaian minyak goreng curah yang berbahaya dan minyak jelantah

Tidak semua minyak goreng curah berbahaya. Yang berbahaya adalah yang berasal dari penjernihan secara kimia minyak jelantah sisa-sisa restoran.

Penggunaan minyak jelantah saja sudah berbahaya; karena semakin sering minyak goreng dipakai; maka akan terjadi perubahan sifat fisika dan kimia pada minyak goreng. Yaitu terbentuknya gugusan benzena yang bisa menyebabkan munculnya kanker.

Dalam minyak jelantah terdapat zat radikal bebas, seperti peroksida dan epioksida yang mutagen dan karsinogen sehingga berisiko terhadap kesehatan manusia. Seperti gangguan peroksida pada minyak bekas yang menyebabkan pemanasan suhu tinggi yang mengganggu kesehatan yang berhubungan metabolisme kolesterol.

Bagaimana bila minyak jelantah yang sudah bermasalah tadi, dijernihkan lagi dengan bahan kimia berbahaya dan digunakan lagi sampai berulang kali. Berapa kiranya banyak gugus benzena yang terbentuk dan masuk ke dalam tubuh kita??

4) Penambahan plastik ke dalam minyak goreng panas

Kalau yang ini, teman saya pernah melihat sendiri seorang penjual gorengan melakukannya. Apa tujuannya dan tahukah si penjual kalau hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan? Ternyata hal itu dilakukan agar gorengan lebih renyah dan tetap renyah setelah beberapa jam digoreng.

Plastik mengandung bahan kimia yang sangat berbahaya yaitu Bisphenol A (BPA). Bahan ini mampu merangsang pertumbuhan sel kanker atau memperbesar risiko keguguran kandungan.

5) Efek kertas bekas pembungkus gorengan

Selain karena kertas bekas tidak terjamin kebersihannya, ternyata kertas sebagai pembungkus gorengan pun dapat menyebabkan keracunan. Hal ini disebabkan karena tinta tulisan di kertas mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan yaitu timbal.

Timbal dalam tinta bila terkena panas dari gorengan akan larut ke dalam gorengan yang akan kita konsumsi. Apabila timbal yang masuk ke dalam tubuh kita terakumulasi ke dalam jaringan tubuh yaitu pada gigi, tulang dan otak, pada akhirnya akan menimbulkan efek pada ginjal, hati, darah, syaraf, alat reproduksi dan endokrin dari sistem kekebalan.

6) Bahaya kantong plastik kresek hitam pembungkus gorengan

Kantong plastik kresek hitam adalah hasil dari daur ulang plastik-plastik bekas. Selain karena tidak higenis (sebab kita tidak pernah tahu sebelumnya, plastik-plastik bekas itu digunakan untuk membungkus apa), kantong plastik kresek hitam bila digunakan untuk mewadahi langsung makanan akan melepaskan bahan-bahan berbahaya ke dalam makanan, yang akhirnya dapat menimbulkan kanker dan kegagalan ginjal.

Demikian sedikit paparan rapor merah gorengan pinggir jalan. Masihkah Anda tertarik untuk mengkonsumsinya?

Ragam ujian

Selama ini jika berbicara tentang "nafsu", konotasinya di benak banyak orang, adalah yang kaitannya dengan zina (baca: nafsu kemaluan). Padahal pengertian nafsu itu lebih luas dari prasangka tersebut. Ada nafsu kekuasaan, nafsu kekayaan, nafsu perut (makanan) dan lain-lain. Bahkan jenis nafsu terakhir ini, kerap mengantarkan muslim kepada kemurtadan. Karena desakan dapur, iman pun bisa dijual dengan sekardus mie.

Di antara potret nafsu perut lainnya, adalah dorongan selera untuk melahap beberapa jenis makanan atau minuman enak, padahal dia tahu akan berdampak buruk bagi kesehatannya. Apalagi bila berdasarkan penuturan pakar kesehatan, jelas-jelas bahwa mengkonsumsi makanan tersebut akan memperparah penyakit yang dideritanya. Seperti pantangan makanan yang banyak mengandung glukosa bagi penderita diabetes mellitus (kencing manis). Pantangan makanan yang banyak mengandung lemak untuk penderita penyakit asam urat, hepatitis, kelebihan kolesterol dan yang semisal.

Berkenaan dengan resiko dari apa dan seberapa yang kita masukkan ke perut kita, Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam mengingatkan,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

"Tidaklah seorang anak manusia memenuhi sebuah kantung yang lebih buruk dibanding perutnya. Cukup baginya beberapa suap untuk menegakkan tubuhnya. Jika tidak ada pilihan lain, maka hendaklah sepertiga dari perutnya untuk makanan, sepertiga lain untuk minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya". HR. Tirmidzy dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.

Ujian ini memang terasa berat, apalagi bila pantangan tersebut berkenaan dengan makanan kesukaan penderita. Seperti kasus saya dengan mendoan. Rasanya begitu berat, namun begitulah ujian nafsu.

Terkadang saya menghibur diri dengan ungkapan yang sering bapak saya; Allahyarham Ust. Zaeni Muhajjat sampaikan di berbagai kesempatan. Kata beliau, "Perbedaan antara makanan enak dengan yang tidak enak hanya sepuluh senti, tidak lebih! Lezat tidaknya makanan itu hanya terasa di mulut dan berakhir di kerongkongan (jarak + 10 cm). Setelah itu, keluarnya sama saja! Sate dengan tempe setelah diproses di perut, pembuangan limbahnya tidak beda". Jadi mengapa hanya untuk kenikmatan sepuluh senti, kita musti mengorbankan kesehatan puluhan tahun??

Toh sekarang saya juga sudah mulai merasakan dampak positif dari perubahan gaya dan pola makan tersebut. Dengan mengkonsumsi lebih banyak sayur-mayur dan buah-buahan, serta mengurangi olahan yang menggunakan minyak, ternyata tubuh terasa lebih segar dan nyaman. Semoga ke depannya bisa 'istiqomah' demikian.

Epilog

Tulisan ini bukan untuk menyimpulkan bahwa hukum memakan mendoan adalah haram. Sama sekali bukan. Apalagi jika kesehatan tubuh sedang prima, lalu konsumsinya tidak terlalu sering, tidak berlebihan, dan makanan tersebut diolah dengan cara yang sehat.

Tujuan saya di sini adalah bercerita tentang sekelumit hikmah yang bisa dipetik dari sakit yang memaksa saya untuk bedrest minimal sebulan ini. "Ujian di balik mendoan", begitu saya mengistilahkannya. Bahwa ternyata kadangkala ujian menghadapi nafsu perut bisa lebih berat dibanding ujian nafsu lainnya.

Sebenarnya masih ada hikmah-hikmah lain di balik cobaan yang sedang saya hadapi saat ini. Semoga di lain kesempatan bisa dituangkan dalam tulisan, untuk berbagi pengalaman dengan para pembaca yang budiman. Entah kapan. Karena mohon maaf, saat ini di antara rekomendasi dokter untuk pemulihan, tidak boleh ngoyo dan terlalu berat dalam memeras otak.

Semoga goresan yang sederhana ini bermanfaat!

Pesantren "Tunas Ilmu" Purbalingga, 17 Sya'ban 1434 / 26 Juni 2013

2 The Miracle of Enzyme, karya Prof. Hiromi Shinya, MD (hal. 124-125).

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Editor: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Bolehkah Wanita Memotong Rambutnya?

Posted: 29 Jun 2013 11:01 PM PDT

scissor

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Bolehkah wanita memangkas rambutnya untuk mempercantik diri? dan dalam melakukannya ia tidak berniat untuk tasyabbuh.

Jawab:

Tidak mengapa bagi wanita untuk memangkas rambutnya untuk mempercantik diri dengan bentuk potongan model apa saja, selama tidak tasyabbuh (menyerupai; menyamai) model rambut laki-laki atau wanita-wanita fasik penggemar maksiat, atau lebih lagi menyerupai wanita-wanita kafir.

Adapun yang anda sebutkan soal tasyabbuh, ketahuilah tasyabbuh itu diharamkan baik orang yang melakukannya memang berniat untuk tasyabbuh maupun tidak berniat demikian. Karena inti tasyabbuh itu keserupaan dalam ciri-ciri dan bentuk fisik, walaupun tidak diniatkan demikian.

Wallahu’alam.

 

Sumber: http://www.almosleh.com/Fatwa_Disp.aspx?hid=342

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment