Monday, May 6, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis

Posted: 06 May 2013 08:00 AM PDT

membeli barang mewah

بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan sebuah kisah yang pantas untuk kita jadikan renungan.

Dikisahkan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya (yang membawa banyak harta dan barang dagangan). Tapi kemudian, (di tengah lautan) kapal tersebut rusak (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan, beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Kemudian ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu (agama) sebagai (barang) perniagaan (kalian)”1.

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita semua tentang hakikat kemuliaan dan kebahagiaan yang seharusnya kita utamakan dalam kehidupan ini, yaitu kemuliaan yang selalu menyertai diri kita dalam semua perjalanan yang kita lalui sampai di akhirat nanti.

Adapun kemuliaan semu dan sesaat maka akan berakhir seiring dengan berakhirnya dunia ini dan itu sangatlah cepat terjadinya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Hasyr:18).

Imam Qatadah bin Di'amah al-Bashri berkata tentang ayat ini: "Senantiasa Tuhanmu (Allah Ta’ala) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok"2.

Cobalah renungkan nasehat berharga dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini: “Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (kemuliaan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):

  1. Kebahagiaan (kemuliaan) di luar zat (diri) manusia, bahkan kebahagiaan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
    Kebahagiaan seperti ibaratnya seperti kebahagiaan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
  2. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang kedua: kebahagiaan (kamuliaan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Kebahagiaan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan kebahagian yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:

    Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu

    3Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:

    وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ

    Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).
    Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka4.

  3. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang ketiga: inilah kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu kebahagiaan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
    Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan”5.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan untuk kita semua, serta menjadi sebab untuk kebaikan diri kita di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 26 Shafar 1434 H

 

1 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107).

2 Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahfan” (hal. 152-Mawaaridul amaan).

3 Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis.

4 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/472), “Tafsir al-Qurthubi” (18/124-125) dan “Fathul Qadiir” (7/226).

5 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107-108).

 —

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel Muslim.Or.Id

Memakmurkan Masjid (1)

Posted: 05 May 2013 06:25 PM PDT

shaf-awal

Cukuplah kemuliaan dan keutamaan masjid itu, ketika masjid disebut sebagai rumah Allah. Allah menggandengkan namaNya untuk menyebut masjid sebagai bentuk pemuliaan kepada masjid, menunjukkan tingginya derajat masjid dan menjelaskan agungnya kedudukan masjid. Allah Ta'ala berfirman,

 وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

"Dan sesungguhnya masjid itu hanyalah kepunyaan Allah, maka janganlah kalian menyembah siapapun selain Allah di dalamnya" (al Jin: 18)

Allah 'azza wa jalla juga berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan shalat (An Nur: 36-37)

Pada firman Allah

أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ

“agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya”

Ayat ini menggabungkan semua hal yang terkait tentang masjid, baik berupa hukum maupun adab. Makna "membangunnya" termasuk di dalamnya, menguatkan, membangun, membersihkan, memperbaiki dan menghindarkannya dari segala sesuatu yang bisa merusak mesjid. Makna "disebut nama Allah" termasuk di dalamnya: sholat, membaca Quran, belajar ilmu agama dan lain-lain.

Pada firmanNya

يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ

"Di dalamnya ada orang-orang yang bertasbih memujinya di pagi dan sore hari"

Karena hati mereka selalu terpaut dengan masjid. Mereka mengetahui kedudukan dan hak-hak rumah Allah ini. Mereka senantiasa menjaga apa yang harus ditegakkan di dalamnya.

 

[di terjemahkan dari kitab Ta'zhimus Shalah karya Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad]

Penerjemah: Amrullah Akadinta, ST.
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?

Posted: 05 May 2013 09:11 AM PDT

shalat-ketat

Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil

Soal:

Bagaimana pendapat kalian –semoga Allah memberikan ganjaran kepada kalian-, tentang seorang makmum yang hendak shalat maghrib bersama imam, ia telah tertinggal 1 raka'at. Apakah jika imam duduk tawarruk pada tasyahud akhir, makmum mengikuti duduk sang imam dalam keadaan tawarruk, ataukah iftirasy? karena duduk tasyahud akhirnya imam adalah tasyahud awal bagi si makmum.

Jawab:

Yang ditegaskan oleh para ulama fikih kita, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka'atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka'at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits,

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه

"Imam itu diangkat untuk ditaati, maka janganlah kalian menyelisihinya"1

Dikatakan dalam Al-Iqna' dan syarahnya Kasyful Qina'2: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka'at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka'at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka'at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Disebutkan dalam Al-Muntaha dan syarahnya: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam pada saat tasyahud akhir dalam shalat yang jumlah raka'atnya 4 dan shalat maghrib”.

Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuhaa fi Syarhi Ghayatil Muntaha: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam dalam duduk tasyahud yang ia dapatkan bersama imam disebabkan karena itu akhir shalat bagi si imam, walaupun bukan bagi si makum. Sebagaimana ia juga duduk tawarruk pada tasyahud ke-2 yang setelah ia menyelesaikan rakaat sisanya. Maka, seandainya makmum  mendapatkan 2 raka'at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka'at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka'at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Wallahu A'lam.

 

1 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (722), dengan lafazh hadits Abu Hurairah (414) tanpa kata "diangkat"

2 (1/248)

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/27464

Penerjemah: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel Muslim.Or.Id

Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

Posted: 04 May 2013 06:20 PM PDT

menuntut_hak

Dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya,

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِي اللَّهم عَنْه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ)) رواه البخاري.

Dari al-Miqdam Radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)"1.

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Bahkan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimussalam dan orang-orang yang shaleh. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nabi Zakariya ‘alaihissalam adalah seorang tukang kayu"2.

Dalam biografi imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi'ut tabi'in, imam Abdullah bin Al-Mubarak engkau mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram/Mekkah (untuk dijual), bagaimana ini?". Maka Abdullah bin Al-Mubarak menjawab: "Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku (agar tidak menjadi beban bagi orang lain), dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah". Lalu Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Wahai Abdullah bin Al-Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu itu jika semuanya benar-benar terbukti"3.

Beberapa faidah penting dari hadits di atas:

  • Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimussalam dan orang-orang yang shaleh adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri, dan ini tidak melalaikan mereka dari amal shaleh lainnya, seperti berdakwah di jalan Allah Ta’ala dan memuntut ilmu agama.
  • Usaha yang halal dalam mencari rezki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang shalih:

    رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

    laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).

  • Imam Ibnu Katsir berkata: "Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi"4.
  • Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak"6.
  • Mulianya sifat 'iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا

    "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak" (QS al-Baqarah: 273).

  • Keutamaan berdagang (berniaga) yang halal, dan inilah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabat radhiallahu’anhum, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih7. Adapun hadits "Sembilan persepuluh (90 %) rezki adalah dari perniagaan", maka ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani8.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Jakarta, 8 Jumadal ula 1434 H

1 HSR al-Bukhari (no. 1966).

2 HSR Muslim (no. 2379).

3 Kitab "Tahdzibul Kamal" (16/20) dan "Siyaru A'laamin Nubala'" (8/387).

4 Kitab "Tafsir Ibnu Katsir" (3/390).

5 Lihat kitab "Bahjatun Naazhiriin" (1/598).

6 HSR al-Bukhari (no. 1402) dan (no. 1410).

7 HR ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jamul Kabiir" (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam "Silsilatul Ahaa-ditsish Shahiihah" (no. 2929).

8 Dalam "Silsilatul Ahaa-ditsidh Dha'iifah" (no. 3402).

 

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Jika Tidak Punya Syaikh, Maka Syaikhnya Adalah Setan?

Posted: 04 May 2013 09:41 AM PDT

orang-shalih

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz

Soal:

Tersebar di sebagian kalangan sebuah perkataan: “barangsiapa yang tidak punya syaikh (guru) maka syaikh-nya adalah setan“. Bagaimana kita menyikapi perkataan ini wahai Syaikh?

Jawab:

Ini adalah kesalahan yang dilakukan orang awam dan orang jahil dari kalangan sufiyah. Tujuan mereka mengatakan demikian adalah untuk memotivasi orang untuk bergabung bersama mereka dan taqlid kepada mereka dalam kebid’ahan dan kesesatan yang mereka lakukan. Jika seseorang berusaha mempelajari agama dengan hadir di majelis-majelis ilmu agama atau dengan men-tadabburi Al Qur’an dan Sunnah atau menggali faidah dari Al Qur’an dan Sunnah, maka orang seperti ini tidak dikatakan bahwa gurunya adalah setan. Justru kita katakan bahwa ini adalah orang yang berusaha mempelajari agama dan ia mendapatkan kebaikan yang banyak.

Hendaknya orang yang mempelajari agama itu datang kepada para ulama yang dikenal memiliki aqidah dan reputasi yang baik. Sehingga bisa bertanya kepada mereka mengenai hal-hal yang membingungkan. Karena jika ia tidak bertanya kepada ulama, ia akan banyak salahnya dan banyak perkara yang salah paham.

Namun dengan ia menghadiri majelis ilmu agama dan mendengar nasehat dari para ulama di sana, dengan itu ia mendapatkan banyak kebaikan dan faidah yang besar. Walaupun ia tidak memproklamirkan diri bahwa ia murid Syaikh tertentu. Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang menghadiri majelis ilmu atau mendengar khutbah jum’at atau khutbah Idul Fitri/Idul Adha, atau menghadiri pengajian-pengajian di masjid ia sesungguhnya memiliki banyak Syaikh, sekalipun ia tidak menisbatkan diri pada Syaikh tertentu yang selalu ia taqlidi dan ia ikuti pendapatnya.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/315

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Hadits Dhaif Tentang Keutamaan Bersedekah Untuk Menyembuhkan Penyakit

Posted: 03 May 2013 04:34 PM PDT

Sedekah

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

داووا مرضاكم بالصدقة، وحصنوا أموالكم بالزكاة، فإنها تدفع عنكم الأعراض والأمراض

"Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah, dan bentengilah hartamu dengan (mengeluarkan) zakat, karena sesungguhnya hal itu akan mencegah berbagai keburukan dan penyakit".

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami dalam “Musnadul Firdaus”1 dengan sanad beliau dari jalur Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari Badal bin al-Muhabbar, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yunus bin 'Ubaid, dari Hurr bin ash-Shayyah, dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dia tertuduh memalsukan hadits.

  • Imam Abu Bakr bin Wahb at-Tammar berkata: "Abu Dawud tidak menampakkan (tuduhan) dusta terhadap seseorang kecuali terhadap al-Kudaimi dan Ghulam khalil"2.
  • Imam Ibnu 'Adi berkata: "Dia tertuduh memalsukan dan mencuri hadits, mengaku bertemu orang-orang (para rawi hadits) padahal dia tidak pernah bertemu mereka, serta mengaku meriwayatkan (hadits) dari mereka padahal mereka tidak mengenalnya. Mayoritas guru-guru kami meninggalkan riwayat (hadits) darinya"3.
  • Imam Ibnu Hibban berkata: "Dia memalsukan hadits atas (nama) rawi-rawi hadits yang terpercaya secara jelas, dan barangkali dia telah memalsukan lebih dari seribu hadits"4.
  • Imam ad-Daraquthni berkata: "Dia tertuduh memalsukan hadits"5.

Rawi ini juga telah melakukan kesalahan dalam hadits ini, karena dia meriwayatkannya dari jalur lain dengan lafazh hadits yang agak berbeda dengan tambahan di akhir hadits. Jalur ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam "Syu'abul iman" (3/282, no. 3556) dari Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari al-Muhabbar al-Yarbu'i, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yunus bin 'Ubaid, dari Nafi', dari 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu’anhu.

Imam al-Baihaqi berkata, setelah membawakan hadits ini: "Hadits ini mungkar (sangat lemah) dengan sanad ini".

Hadits ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh syaikh al-Albani dalam kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" (8/87, no. 3591).

Hadits ini juga dihukumi tidak shahih oleh al-Lajnah ad-Daimah (komite para ulama besar di Arab Saudi) yang dipimpin oleh Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz, dalam fatwa no. 18369.

Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh beberapa shahabat radhiallahu’anhum dan al-Hasan al-Bashri secara mursal, tapi semua riwayat tersebut sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.

1. Riwayat 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani dalam "al-Mu'jamul kabiir" (10/128), Ibnu 'Adi dalam "al-Kaamil" (6/341), al-Khathib al-Bagdadi dalam "Tarikh Bagdad" (6/334), Ibnul Jauzi dalam "al-'Ilalul mutanaahiyah" (3/493), dan imam-imam lainnya, semuanya dari jalur Musa bin ' Umair, dari al-Hakam, dari Ibrahim, dari al-Aswad, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini derajatnya minimal sangat lemah, karena Musa bin 'Umair Abu Harun al-Kuufi dinyatakan sebagai pendusta oleh Imam Abu Hatim ar-Raazi6. Imam al-Haitsami berkata: "Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang fatal"7.

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Imam Ibnu 'Adi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi8, al-Haitsami9 dan Syaikh al-Albani10.

2. Riwayat 'Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani dalam dalam "al-Mu'jamul kabiir" (10/128) dan Ibnu 'Asakir dalam "Tarikh Dimasq" (40/164) dari jalur 'Arak bin Khalid bin Yazid, dari bapaknya, dari Ibrahim bin Abi 'Ulbah, dari 'Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah. Imam Abu Hatim ar-Razi berkata: "Ini adalah hadits yang mungkar (sangat lemah), Ibrahim belum pernah bertenu dengan 'Ubadah dan 'Arak haditsnya mungkar"11.

Syaikh al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits mungkar (sangat lemah)12.

3. Riwayat Abu Umamah radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam "Syu'abul iimaan" (3/282) dari jalur Thalut bin 'Abbad, dari Fadhdhal bin Jubair, dari Abu Umamah, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Muttaqi al-Hindi13 menisbatkan hadits ini kepada imam Abu asy-Syaikh dalam kitab "ats-Tsawaab".

Hadits ini juga sangat lemah, karena Fadhdhal bin Jubair riwayat haditsnya sangat lemah. Imam Ibnu 'Adi berkata: "Hadits-hadits (yang diriwayatkan)nya tidak terjaga (banyak kesalahan)". Ibnu Hibban berkata: "Tidak halal sama sekali untuk berargumentasi dengan (riwayat hadits)nya, dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya"14.

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Imam al-Baihaqi, beliau berkata: "Fadhdhal bin Jubair pemilik (suka meriwayatkan) hadits-hadits yang mungkar"15. Ucapan beliau ini disetujui oleh Imam as-Sakhawi16.

4. Riwayat Samurah bin Jundub radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam "Syu'abul iimaan" (3/282) dari jalur al-Hasan bin al-Fadhl bin as-Samh, dari Giyats bin Kalub al-Kufi, dari Mutharrif bin Samurah bin Jundub, dari bapaknya, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini juga sangat lemah, karena al-Hasan bin al-Fadhl riwayat haditsnya sangat lemah. Imam Abul Husein Ibnul Munadi berkata: "(Awalnya) orang-orang banyak (meriwayatkan hadits) darinya, kemudian tersingkaplah (keburukannya), lalu orang-orang meninggalkannya dan membakar hadits-hadits (yang diriwayatkannya). Imam Ibnu Hazm berkata: "Dia majhul (tidak dikenal)"17.

Demikian pula rawi setelahnya, Giyats bin Kalub al-Kufi, Imam al-Baihaqi berkata: "Giyats bin Kalub majhul (tidak dikenal)". Imam ad-Darquthni berkata: "Dia lemah (riwayat haditsnya)"18.

Hadits ini diisyaratkan kelemahannya oleh Imam al-Baihaqi19 dan as-Sakhawi20.

5. Riwayat Anas bin Malik radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami21 dari Jalur Muhammad bin Ahmad bin Shaleh, dari bapaknya, dari Muhammad bin Abi as-Sari, dari ar-Rabi' bin Shabih, dari Atha' bin Abi Rabah, dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dengan lafazh "Tidaklah orang yang sakit disembuhkan dengan (pengobatan) yang lebih utama dari bersedekah".

Hadits ini juga sangat lemah, Muhammad bin Abi as-Sari, dia adalah Muhammad bin al-Mutawakkil al-'Asqalani, Imam Abu Hatim ar-Razi berkata: "(Riwayat) haditsnya lemah". Ibnu 'Adi berkata: "Banyak kesalahannya (dalam meriwayatkan hadits)"22. Imam adz-Dzahabi berkata: "Dia mempunyai riwayat-riwayat (hadits) yang mungkar"23.

Rawi setelahnya, ar-Rabi' bin Shabih, dinyatakan lemah riwayat haditsnya oleh Imam Yahya bin Ma'in, Ibnu Sa'ad, an-Nasa-i, Ya'qub bin Syaibah, dan lain-lain24.

6. Riwayat al-Hasan al-Bashri secara mursal

Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam "al-Mara-siil" (no. 105) dan Ibnul Jauzi dalam "al-'Ilalul mutanaahiyah" (no. 816) dari jalur Muhammad bin Sulaiman al-Anbari, dari Katsir bin Hisyam, dari 'Umar bin Sulaim al-Bahili, dari al-Hasan al-Bashri, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara mursal.

Riwayat ini sanadnya hasan sampai ke al-Hasan al-Bashri dan riwayat inilah yang dibenarkan oleh para ulama ahli hadits, seperti al-Baihaqi25, Ibnul Jauzi26, al-Mundziri27 dan Syaikh al-Albani28.

Maka riwayat ini hukumnya lemah karena mursal (tidak bersambung), Hasan al-Bashri tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Khususnya mursal al-Hasan al-Bashri termasuk riwayat yang sangat lemah. Imam Muhammad bin Sa'ad berkata: "Semua hadits (riwayat) al-Hasan al-Bashri yang bersambung sanadnya atau riwayatnya dari orang yang pernah didengarnya maka itu adalah baik lagi bisa dijadikan sebagai argumentasi, adapun riwayatnya secara mursal maka tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi". Imam al-'Iraqi berkata: "Riwayat-riwayat mursal (dari) al-Hasan al-bashri menurut para ulama ahli hadits (adalah) seperti angin (sangat lemah)"29.

Kesimpulannya, Hadits ini sangat lemah bahkan sebagian dari jalur periwayatannya palsu. Yang paling ringan kelemahannya adalah riwayat mursal al-Hasan al-Bashri, akan tetapi tidak ada riwayat lain yang bisa mendukung atau menguatkannya, karena semua sangat lemah. Maka hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau argumentasi, meskipun sebagian dari para ulama ada yang mengamalkan kandungannya.

Adapun penukilan dari dua kitab Syaikh al-Albani30 bahwa hadits ini adalah hadits hasan, maka ini tidak bisa diterima karena beberapa hal:

  • Di dalam kitab "Shahiihul jaami'ish shagiir" sendiri terdapat tiga nukilan dari beliau bahwa hadits ini lemah, sangat lemah dan palsu31, ditambah lagi tiga nukilan yang telah lalu dari kitab kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" (no. 3591, 3492 dan 575) bahwa hadits ini palsu, sangat lemah dan mungkar
  • Nukilan dari dua kitab di atas hanya bersifat kesimpulan tanpa perincian, sedangkan nukilan dari kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" disertai keterangan rinci dan detail, maka tentu didahulukan
  • Nukilan dari dua kitab tersebut telah kami jelaskan secara rinci beserta sebab-sebab kelemahannya dalam riwayat-riwayat yang kami telah jelaskan di atas.
  • Ada kemungkinan hadits ini termasuk hadits-hadits yang diteliti ulang oleh Syaikh al-Albani kemudian beliau rujuk, jadi awalnya beliau menghukuminya sebagai hadits hasan, kemudian setelah beliau teliti kembali dan jelas kelemahannya yang sangat, maka beliau menghukuminya sebagai hadits yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran, wallahu a'lam.

Kelemahan hadits ini yang sangat fatal menjadikannya tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk membolehkan bersedekah dengan niat untuk kesembuhan penyakit. Karena ini termasuk keinginan duniawi yang asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala32. Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allah Ta’ala.

Ibadah dan amal shaleh yang dilakukan dengan niat untuk mendapatkan balasan duniawi adalah termasuk bentuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala yang bisa menjadikan gugur pahala amal shaleh tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan" (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan33.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya34.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin ketika menyebutkan contoh-contoh perbuatan ini, beliau menyebutkan di antaranya adalah orang yang beribadah dengan tujuan untuk menolak gangguan, penyakit dan keburukan (dalam urusan dunia) dari dirinya35.

Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari segala bentuk keburukan yang merusak agama kita dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 10 Jumadal akhir 1434 H

1 Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “al-Gara-ibul multaqathah min musnadil firdaus” (no. 244 – Disertasi S2).

2 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam "Tahdziibut tahdziib" (9/476).

3 Kitab "al-Kaamil fi dhu'afaa-ir rijaal" (6/292-293).

4 KItab "al-Majruuhiin" (2/313).

5 Kitab "Suaalaatu Hamzah as-Sahmi" (hal. 111, no. 74).

6 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab "Lisaanul miizaan" (7/407).

7 Kitab "Majma'uz zawaa-id" (3/64).

8 Kitab "Siyaru a'laamin nubalaa'" (4/51).

9 Kitab "Majma'uz zawaa-id" (3/64).

10 Kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" (7/487, no. 3492).

11 Kitab "'Ilalul hadiits" (1/220).

12 Kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" (2/45, no. 575).

13 Dalam kitab "Kanzul 'ummaal" (no. 28181).

14 Keduanya dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam "Miizaanul i'tidaal" (3/347).

15 Kitab "Syu'abul iimaan" (3/282).

16 Kitab "al-Maqaashidul hasanah" (hal. 309).

17 Keduanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab "Lisaanul miizaan" (2/244).

18 Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam "Miizaanul i'tidaal" (4/423).

19 Kitab "Syu'abul iimaan" (3/282).

20 Kitab "al-Maqaashidul hasanah" (hal. 309).

21 Kitab "Musnadul Firdaus" (4/118).

22 Keduanya dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam "Miizaanul i'tidaal" (4/24).

23 Kitab "Miizaanul i'tidaal" (3/560).

24 Semuanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab "Tahdziibut tahdziib" (3/214-215).

25 Kitab "as-Sunanul kubra" (3/382).

26 Kitab "'Ilalul mutanaahiyah" (2/494).

27 Kitab "at-Targiibu wat tarhiib" (1/301).

28 Kitab "Silsilatul ahaadiitsidh dha'iifah wal maudhuu'ah" (7/488).

29 Keduanya dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab "Tadriibur raawi" (1/204).

30 Kitab "Shahiihut targiibi wat tarhiib" (1/182, no. 744) dan "Shahiihul jaami'ish shagiir" (no. 5669).

31 Lihat kitab "Shahiihul jaami'ish shagiir" (no. 6469, 6470 dan 6702).

32 Lihat keterangan Syaikh al-'Utsaimin dalam kitab "al-Qaulul mufiid 'ala kitaabit tauhiid" (2/245).

33 Lihat kitab "Fathul Majiid" (hal. 451).

34 Ibid.

35 Kitab "al-Qaulul mufiid 'ala kitaabit tauhiid" (2/243).

 

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA.
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment