Wednesday, April 24, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Memilih Caleg Non Muslim

Posted: 24 Apr 2013 03:00 AM PDT

Kita sudah mengenal bagaimana semboyan dalam politik, "Tak ada teman abadi. Tak ada musuh abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi." Dan kita dengar belakangan ini, beberapa partai Islam dan yang katanya memperjuangkan Islam mulai memasukkan nama caleg mereka termasuk pula caleg non-muslim. Bahkan ada pula partai yang terkenal membela Islam memasukkan pula caleg "pendeta". Lepas dari sistem demokrasi yang jelas bermasalah karena orang bodoh dan orang pintar disamakan, ahli maksiat dan seorang kyai pun suaranya sama dalam sistem ini, yang sekarang kita persoalkan adalah bolehkah memilih caleh dari kalangan non-muslim, apalagi seorang pendeta.

Berikut Fatwa no. 7796, Soal no. 3 dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta' (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

س3: هل يجوز للمسلم أن يدلي بصوته في الانتخابات، وهل يجوز إدلاء صوته لصالح الكفار.

ج3: لا يجوز التصويت من المسلمين لصالح الكفار؛ لأن في ذلك رفعة لهم، وإعزازا لشأنهم، وسبيلا لهم على المسلمين، وقد قال الله تعالى: { وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا } (1)

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس

عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Soal:

Apakah boleh bagi seorang muslim memberikan suara (baca: nyoblos) dalam pemilu? Apakah boleh memberikan suara kepada caleg non-muslim (yang kafir)?

Jawab:

Kaum muslimin tidak boleh memberikan suara kepada calon non muslim. Tindakan tersebut berarti memuliakan dan meninggikan posisi orang kafir serta memberi jalan bagi orang kafir agar bisa menguasai kaum muslimin. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. An Nisa': 141)

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud dan Syaikh 'Abdullah bin Ghudayan selaku anggota, Syaikh 'Abdur Rozaq 'Afifi selaku wakil ketua, dan Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz sebagai ketua]

Ada yang berdalil dengan kesahan memilih caleg non-muslim dengan hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha, di mana ia bercerita,

وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy. (HR. Bukhari no. 2264).

Ini memang menjadi dalil para ulama akan bolehnya mempekerjakan orang kafir. Namun pembolehannya dengan syarat:

  1. Orang kafir tidak memiliki kekuasaan menguasai kaum muslimin
  2. Orang kafir tidak merasa di atas kaum muslimin.

Jadi sah-sah saja jika mempekerjakan orang kafir di pabrik atau untuk proyek pembangunan. Sebagaimana Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam- pernah bekerjasama dalam mudhorobah (usaha bagi hasil) untuk mengurus tanaman dengan seorang Yahudi dari Khoibar. Yahudi tersebut lalu mendapatkan separuh dari hasil panen. Adapun jika mempekerjakan non-muslim lantas mereka memiliki kekuasaan pada kaum muslimin atau mereka bisa mengorek berita-berita kaum muslimin, maka seperti ini tidak dibolehkan. Lihat Tadzhib Tashil Al 'Aqidah Al Islamiyah, hal. 238, karya Syaikh 'Abdullah bin 'Abdul 'Aziz Al Jibrin.

Jika kita melihat kembali hadits Bukhari yang disebutkan di atas, diterangkan bahwa non-muslim tersebut bertindak sebagai penunjuk jalan saja, bukan ingin memperjuangkan Islam. Itu pun termasuk bentuk tolong menolong yang mubah selama syarat di atas yang kami sebutkan terpenuhi. Sedangkan dalam hal Pemilu, jika caleg non-muslim yang dipilih, maka mustahil ia bisa memperjuangkan Islam di negeri minoritas muslim. Jika yang muslim saja tidak bisa memperjuangkan dakwah Islam di negeri minoritas, bagaimana sampai mengharap dari non-muslim? Apa jika caleg non-muslim terpilih bisa mengajak masyarakat muslim untuk shalat dan menunaikan kewajiban yang lain? Lebih aneh lagi jika yang jadi caleg adalah seorang pendeta dan ia disuruh menyuarakan Islam. Padahal kita tahu sendiri bahwa pendeta itulah yang paling benci pada Islam. Lantas bagaimana bisa jadi penolong atau mau dianalogikan dengan penunjuk jalan di atas?!

Ditambah lagi jika kita kembali di awal dengan mengkritik sistem demokrasi yang jelas menyelisihi prinsip Islam. Dan tidak pernah di negeri kita ini dijumpai patai yang memperjuangkan Islam dengan masuk Parlemen bisa berhasil menegakkan syari'at Islam di tanah air. Bagaimana mungkin para kyai bisa mengalahkan para preman lewat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara?!

Yang bisa menyadari hal ini jika ia masih membuka hati dan menerima kebenaran.

Hanya Allah yang memberi hidayah dan taufik.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 13 Jumadal Akhiroh 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Soal-284: Setelah Adzan Langsung Pergi

Posted: 23 Apr 2013 08:00 PM PDT

Bolehkah seseorang itu adzan di mushalla, kemudian setelah adzan ia langsung pergi dan tidak shalat di mushalla tersebut?

Dijawab Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.

Jawabannya Klik Player:

Download

Peristiwa Hilful Fudhul

Posted: 23 Apr 2013 05:45 PM PDT

Seorang pedagang dari Yaman yang berasal dari kabilah Zabid datang ke kota Mekkah membawa barang dagangan. Lalu ada seorang lelaki dari suku Quraisy yang membeli barang darinya. Lelaki ini terkenal akan kekejaman, kejahatan dan kezalimannya. Ia adalah Al ‘Ash bin Wa’il As Sahmi, yang merupakan ayah dari sahabat Nabi Amr bin Al ‘Ash dan Hisyam bin Al ‘Ash radhiallahu’anhuma. Ketika Al ‘Ash mendapatkan barangnya dan sudah diletakkan di tempatnya, ia tidak mau membayar kepada si pedagang.

Si pedagang tersebut berusaha minta tolong kepada para penduduk dan pembesar Quraisy untuk membantunya namun usahanya sia-sia. Setelah putus asa, ia pergi ke tengah-tengah Masjidil Haram di samping Ka’bah lalu bersyair:

ياآل فهر لمظلوم بضاعتـه.. ببطن مكة نائي الدار والنفر
ومحرم أشعث لم يقض عمرته .. يا للرجال وبين الحِجر والحَجر
البيت هذا لمن تمت مروءته .. وليس للفاجر المأفـون والغدر

Wahai keturunan Fihr! Tolonglah orang yang perdagangannya dizhalimi
Di tengah kota Mekkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarga
Dalam kondisi berihram, rambut kusut, dan belum menyelesaikan umrahnya
Wahai para pembesar di antara dua batu (hajar Ismail dan hajar Aswad)
Sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya
Bukan untuk orang yang jahat dan suka berkhianat

Bangkitlah salah seorang pemuka Bani Abdil Muthallib pun datang, namanya adalah Az Zubair. Ia berkata kepada si pedagang: "Aku penuhi panggilanmu dengan membawa solusi. Sungguh kezaliman ini sudah tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa dibiarkan lagi". Lalu Az Zubair bergegas saat itu juga pergi ke rumah salah seorang pembesar Quraisy yang bernama Abdullah bin Jud’an, yang masih ada hubungan kerabat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu. Abdullah bin Jud’an dikenal kemuliaannya dan kedermawanannya. Abdullah bin Jud’an pun bersedia untuk bangkit dan bertindak. Ia pun memanggil penduduk Quraisy dan sekitarnya: "Ayolah para pemuka kota Mekkah, datanglah ke rumahku, kita buat perjanjian yang dapat menolong orang yang terzhalimi dan menghentikan perbuatan orang zhalim".

Panggilan ini diamini oleh banyak orang termasuk para pemuka dari Bani Hisyam, Bani Abdil Muthallib, Bani Asad, Bani Zahrah, Bani Tamim. Juga dihadiri oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang ketika itu belum diutus menjadi Nabi dan Rasul namun beliau sudah memiliki reputasi sebagai orang yang digelari Al Amin. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:

لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ

"Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islam, aku pun akan mendatanginya" (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1900)

Lalu mereka membuat satu perjanjian yang isinya: di Mekkah tidak boleh ada orang yang dizhalimi baik penduduk Mekkah sendiri maupun pendatang kecuali pasti akan dibantu dan kembalikan haknya dari pihak yang menzhalimi. Lalu orang-orang Quraisy menamai perjanjian itu dengan nama Hilful Fudhul, karena disepakati orang para afadhil (orang-orang yang memiliki keutamaan).

Saat itu juga, orang-orang yang menyepakati perjanjian tersebut mendatangi rumah Al ‘Ash lalu memintanya memenuhi hak si pedagang dari Yaman. Sejak itu orang-orang yang berada di Mekkah di jamin keamanannya oleh penduduk Mekkah dari segala bentuk kezhaliman.

 

Referensi:

  • Artikel “Hilful Fudhul“, Abdullah Husain Abdul Malik Asy Syanbari, http://uqu.edu.sa/page/ar/91203
  • Shahih Sirah Nabawiyyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment