Thursday, April 11, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Santet vs Harga Bawang

Posted: 11 Apr 2013 05:00 PM PDT

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segenap makhluk untuk tunduk beribadah kepada-Nya. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan pembawa rahmat bagi seluruh alam. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, kehidupan tak lepas dari cobaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "[Allah] yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), "Apakah manusia itu dibiarkan untuk mengatakan; "Kami beriman" lantas mereka tidak diuji." (QS. Al-’Ankabut: 2)

Fitnah Kemusyrikan

Diantara bentuk ujian dan cobaan yang Allah berikan di atas muka bumi ini adalah segala bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Dan perangilah mereka itu [orang-orang musyrik] sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama [ketaatan] itu seluruhnya murni untuk Allah." (QS. Al-Anfal: 39)

Yang dimaksud dengan ‘fitnah’ di dalam ayat di atas adalah kesyirikan. Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata, "Artinya perangilah mereka sampai tidak ada lagi kesyirikan dan tidak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya; sehingga dengan sebab itulah akan terangkat bencana dari hamba-hamba Allah di atas bumi ini…" (lihat dalam Fiqh al-Fitan, hal. 36-37 karya Dr. Abdul Wahid al-Idrisi)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan." (QS. Al-Baqarah: 217). Mujahid rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘fitnah’ di dalam ayat ini adalah kekafiran (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [3/427]). Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan istilah ‘fitnah’ di dalam ayat tersebut adalah kesyirikan (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 121)

Tentu, setiap muslim akan merasa gerah apabila syirik dibiarkan dan kekafiran merajalela. Sebab syirik adalah dosa terbesar, kemaksiatan paling buruk, dan kezaliman tertinggi yang harus diberantas dari permukaan bumi ini. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisaa’: 48)

Allah ta’ala juga menegaskan (yang artinya), "Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah telah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong." (QS. Al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar." (QS. Luqman: 13)

Sepak Terjang Dukun Di Negeri Kita

Perdukunan adalah bagian tak terpisahkan dari kejahatan syirik yang berkembang di tengah umat manusia. Tradisi perdukunan di muka bumi ini memang sudah berurat berakar dan sangat sulit untuk diberantas. Tidak terkecuali di negeri-negeri Islam seperti halnya Indonesia yang kita cintai ini (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita, hal. 93)

Para dukun yang lebih senang disebut sebagai ahli hikmah, orang pinter, paranormal, hiper metafisik dan nama keren lainnya ini, tidak lagi membuka praktek di kampung-kampung. Tetapi di tempat-tempat elit seperti perhotelan, membuka studio tempat praktek sekaligu sebagai kantornya atau bahkan ada yang berani membuka pesantren untuk mengelabui para pasiennya. Mereka juga berani melakukan seminar-seminar ilmiah dan beriklan di media cetak dan elektronik dan bahkan lewat internet (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita, hal. 94)

Diantara bentuk layanan yang ditawarkan dukun adalah jasa santet dan pertenungan dengan berbagai ragam model akibat yang diderita oleh korban yang ditenung, sejak gangguan jiwa, perpecahan keluarga, bahkan sampai bagaimana caranya agar berakibat meninggal dunia (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita, hal. 102)

Sihir dan Dukun Meresahkan Masyarakat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.." diantaranya beliau sebutkan, "Syirik kepada Allah dan sihir." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz alusy Syaikh hafizhahullah menyatakan, bahwa sihir termasuk salah satu bentuk syirik akbar (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 296)

Hakikat sihir itu adalah meminta bantuan kepada setan dalam memberikan pengaruh [buruk] kepada tubuh orang yang disihir. Seorang penyihir bisa menerapkan sihirnya dengan cara mendekatkan diri [baca; beribadah] kepada setan. Apabila tukang sihir telah menghamba kepada setan maka setan dari bangsa jin akan memberikan bantuan dalam rangka mempengaruhi tubuh orang yang disihir. Setiap tukang sihir pasti memiliki khodim [pembantu] dari kalangan setan [jin]. Dan penyihir tidak akan bisa memberikan pengaruh secara nyata kepada orang yang disihir tanpa mengabdi kepada setan. Oleh sebab itulah sihir termasuk dalam kategori kesyirikan (lihat at-Tam-hid, hal. 297)

Syaikh Shalih alusy Syaikh berkata, "Bahkan saya pernah membaca di dalam sebagian kitab sihir, saya menemukan bahwasanya seorang penyihir -sebagaimana yang digambarkan oleh sang penulis buku itu- tidak akan bisa mencapai hakikat sihir dan memperoleh bantuan jin sebagaimana yang diharapkan kecuali setelah dia menghinakan al-Qur’an, melecehkan Mushaf, sampai dia mau kufur kepada Allah, mencela Allah jalla wa ‘ala dan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian ini pula yang dituturkan oleh sebagian orang yang mencermati hakikat sebenarnya mengenai hal itu." (lihat at-Tam-hid, hal. 297)

Dukun [kahin] yaitu orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib pun memiliki relasi yang kuat dengan setan. Mereka [dukun] akan melakukan pemujaan kepada setan -apakah dengan cara bersujud atau memberikan sembelihan- demi mendapatkan informasi yang mereka inginkan; semisal lokasi barang yang hilang atau dicuri orang (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/475] karya Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Sihir Memang Ada dan Berbahaya

Sihir dalam pembicaraan syari’at terbagi menjadi dua macam; sihir yang hakiki dan sihir berupa khayalan. Sihir hakiki bisa mempengaruhi badan atau hati, sehingga bisa menyebabkan jatuh sakit bahkan kematian. Demikian pula sihir yang hakiki bisa membuat orang merasa melakukan sesuatu padahal dia tidak melakukannya. Termasuk dalam kategori sihir hakiki adalah yang menyebabkan orang cinta menjadi benci atau sebaliknya [baca; pelet], begitu pula yang membuat suami istri menjadi bercerai. Adapun sihir khayalan adalah yang mempengaruhi pandangan atau penglihatan saja sehingga orang akan melihat sesuatu tidak sebagaimana kenyataannya (lihat Durus fi Syarh Nawaqidh al-Islam, hal. 142-143 oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga memaparkan, bahwa sihir membawa dampak yang merusak bagi masyarakat. Sebab dengan adanya sihir akan mengobarkan permusuhan, kebencian dan keburukan di tengah-tengah manusia. Oleh sebab itu tidak boleh membiarkan penyihir berkembang di tengah masyarakat islam dalam bentuk apapun juga. Sihir adalah kemungkaran serta wajib untuk diingkari dan dilenyapkan. Sudah semestinya negeri-negeri kaum muslimin dibersihkan dari kejahatan semacam ini (lihat Durus fi Syarh Nawaqidh al-Islam, hal. 151-152)

Dalam kesempatan lain Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menegaskan, bahwa sihir adalah sesuatu yang hakiki [nyata] dan bisa memberikan pengaruh kepada badan orang yang disihir. Meskipun demikian pengaruh itu hanya akan bisa muncul dengan takdir Allah; tidak berjalan dengan sendirinya di luar kekuasaan-Nya. Kedua macam sihir di atas -baik yang hakiki maupun khayalan- adalah perbuatan yang sama-sama diharamkan (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/472])

Harga Bawang Menggoncang ‘Keimanan’

Sebagian orang -semoga Allah berikan taufik kepada mereka- memandang masalah santet [baca; sihir dan perdukunan] tidak lebih berbahaya dan tidak lebih meresahkan daripada problem harga bawang, wallahul musta’aan. Padahal, ayat-ayat di atas dengan jelas menunjukkan kepada kita besarnya bahaya syirik dan kekafiran; termasuk di dalamnya adalah sihir dan perdukunan [baca: santet, pelet, dkk].

Menurut sebagian orang, jika dukun menawarkan jasa pengobatan dengan ilmu gaib [baca; perdukunan dan sihir] maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan, yang penting ‘kan tidak merugikan orang lain. Toh, mengobati orang adalah perkara positif dan bermanfaat; untuk apa dilarang?! Itulah cara berpikir yang mereka anut. Padahal, Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.

Di dalam Islam, tujuan yang baik harus diwujudkan dengan cara yang benar. Islam tidak mengenal prinsip ala Robin Hood; yang ‘membolehkan’ merampas harta orang-orang kaya dalam rangka berbagi kepada kaum tertindas dan rakyat jelata.

Oleh sebab itu kami menghimbau diri kami dan kaum muslimin dimana pun berada untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dan melindungi aqidah dan tauhid kita agar tidak tercemar oleh kotoran syirik dan kekafiran serta kerancuan berpikir yang dihembus-hembuskan oleh musuh-musuh Islam; dari luar maupun dari dalam.

Kepada Allah jua kita bersandar dan meminta petunjuk.

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.Or.Id

Kajian Khusus Muslimah “Muslimah, Kemana Kan Kau Bawa Cantikmu?” (20 April 2013, Yogyakarta)

Posted: 11 Apr 2013 07:00 AM PDT

Saatnya Muslimah Mengaji

Hadirilah Kajian Khusus Muslimah dengan tema
"Muslimah, Kemana Kan Kau Bawa Cantikmu?"

Pemateri
Al-Ustadzah Maryam Ummu Saffanah

Waktu
Sabtu, 20 April 2013
Pukul 08.00 – selesai

Tempat Kajian
Masjid Ibnu Sina, Fakultas Kedokteran UGM

GRATIS, terbuka untuk Umum
Khusus Putri

Insya Allah ada Doorprizenya

Informasi
085228016597

Penyelenggara
Forum Kegiatan Kemuslimahan Al-Atsari (FKKA) Yogyakarta

mm fkka

Donasi Pengembangan Masjid IC Al Istiqomah Prabumulih

Posted: 10 Apr 2013 11:05 PM PDT

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Kesempatan untuk beramal jariyah!

Kami membuka ladang waqaf untuk pengembangan bangunan Masjid IC Al-Istiqomah Prabumulih.

Pada awalnya, di tahun 2008 masjid ini berukuran 10 m x 10 m. Karena jamaah dan santri yang belajar semakin bertambah, kegiatan-kegiatan juga semakin padat dan kebutuhan dakwah yang semakin banyak, maka pengembangan masjid ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.

Alhamdulillah, di awal tahun 2012, diadakan pengembangan masjid dan telah selesai pondasi dasar ukuran 15 m x 16 m yang dirancang untuk tiga tingkat. Pengembangan terus berlanjut dan sekarang telah dibangun beberapa tiang sebagaimana di gambar.

Dengan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada para pewaqaf. Mudah-mudahan Allah menjadikannya sebagai amal jariyah.

Data Keuangan sampai tanggal 29 Jumadal-ula 1434 H/10 April 2013:

Pemasukan = Rp 255.253.100,00

Pengeluaran = Rp 105.922.100,00

Saldo = Rp 149.331.000,00

 

Insya Allah, kami membutuhkan sekitar Rp 50 juta lagi untuk membangun 4 tiang di tengah masjid dan menyemen lantai dua.

Saudara-saudara sekalian yang berminat untuk menyalurkan waqafnya kami perkenankan untuk mengirimkannya ke:

  • Rekening Yayasan Al-Istiqomah, Bank Syariah Mandiri: 0767060503

  • Rekening Yayasan Al-Istiqomah, BCA cabang Prabumulih : 3000461350

  • Rekening Yayasan Al-Istiqomah, BNI cabang Prabumulih: 0083793728

Semua rekening di atas a.n. Sutopo

Mohon setelah mentransfer menginformasikannya ke: Sutopo (081377824221)

 

Informasi lebih lengkap bisa menghubungi:

 

alistiqomah

Soal-272: Status Anak Zina

Posted: 10 Apr 2013 07:52 PM PDT

Wanita melahirkan anak dari hasil zina dan anak itu diakui sebagai anak oleh suaminya, bagaimana hukum warisnya?

Dijawab Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.

Jawabannya Klik Player:

Download

Shalat Jama’ah Sahkah di Selain Masjid?

Posted: 10 Apr 2013 06:15 PM PDT

Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.

Ini pendapat Malik, Syafi'i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.

Ibnul Qasim berkata, "Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?" ia menjawab, "Tidak apa-apa hal itu"[1]

Imam Syafi'i –rahimahullah- berkata, "Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai."[2]

Al-Rafi'i dari kalangan Syafi'iyyah berkata, "Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid."

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, "Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir"

Dalil-dalilnya

Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:

1. Hadis Jabir Radhiyallahu 'anhu secara marfu, "Dan aku diberi lima perkara … " lalu disebutkan, "Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah."[4]

2. Dari Anas, ia berkata, "Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau."[5]

3. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk."[6]

Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.

Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.

Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam "Kitab Shalat", "Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat."[7]

Beliau juga berkata, "Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a'lam bish shawab."[8]

Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, "Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan."[9]

Dalam Syarh Fathul Qadir, "Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?" ia menjawab, "Tidak, ia menjadi bid'ah dan dibenci tanpa uzur."

Dalil-dalilnya

Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi'i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.

Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah- berkata, "Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan."

Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.

Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam "Al-Muhalla", "Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah."[10]

Ibnu Taimiyyah berkata dalam "Al-Fatawa Al-Mishriyyah", "Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur."[11]

Penutup

Alangkah baiknya jika kita tutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam "Kitab Shalat":

"Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat."

Dan ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah, Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gubernur di Mekkah, ia sembunyi dari mereka karena takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah, "Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kalian yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya." Para sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yang yakini, tidak boleh seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu 'alam bish-shawab."

Catatan

Setelah tetap bahwa tidak boleh meniggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali bagi yang memiliki uzur, maka kemudian hendaknya diperhatikan tiga perkara berikut:

1. Orang yang ketinggalan shalat berjamaah di masjid dan ia memperkirakan tidak ada yang dapat shalat bersamanya di masjid, maka yang lebih baik baginya adalah kembali ke rumah dan shalat berjamaah beserta keluarganya.

2. Dalam kondisi safar dan bepergian bersama keluarga, maka ia hendaknya shalat berjamaah bersama keluarganya.

3. Jika tertinggal shalat berjamaah di masjid yang dekat, maka hendaknya ia shalat di masjid yang lain dengan tanpa memberatkan dan ia yakin akan mendapatinya.

[Diterjemahkan dari kitab "Shalat al-Jama'ah, Hikamuha wa Ahkamuha", Syaikh Dr. Shaleh bin Ghanim As-Sadlan, hal. 52-26]

Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc

Artikel Muslim.Or.Id


[1] Al-Mudawwanah al-Kubra (1/86)

[2] Al-Umm (1/136)

[3] (3/8)

[4] Al-Lu`lu wal Marjan fiimat tafaqa 'alaihi As-Syaikhan (1/104)

[5] As-Sunan al-Kubra vol, 3, hal. 66

[6] Shahih Al-Bukhari (1/169), Bab 51 kitab al-adzan.

[7] Kitab as-Shalah, Ibnul Qayyim, hal. 461 dan yang setelahnya.

[8] Idem

[9] Al-Insaf, al-Wardawi (2/123, 214)

[10] Al-Muhalla (4/265)

[11] Mukhatashar al-Fatawa al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52

No comments:

Post a Comment