Monday, April 15, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Ritual Sesat Menghadapi Ujian Akhir Nasional

Posted: 15 Apr 2013 12:33 AM PDT

Ujian Akhir Nasional (UAN) kali ini memang terasa sulit dibanding di masa silam. Semakin sulitnya pun, hal-hal tidak logis dan berbau mistik yang dilakukan. Entah kenapa bukan hanya Allah yang jadi tempat mengadu. Apa karena lemahnya iman yang membuat mereka malah semakin jauh dari Allah. Padahal orang-orang musyrik di masa silam saja ketika sulit, yang mereka jadikan tempat harapan adalah Allah semata. Makanya ketika sempit, mereka meminta hanya pada Allah. Namun ketika lapang, Allah diduakan dalam ibadah.

Berbagai Ritual Sesat

Coba kita lihat ada berbagi ritual sesat yang ditampilkan oleh berbagai media menjelang UAN saat ini.

  1. Minta wangsit dari dukun
  2. Memakai jimat dan rajah berupa pensil dan lainnya
  3. Berdo'a melalui perantaraan kubur wali
  4. Mandi kembang
  5. Doakan keampuhan pada pensil yang digunakan untuk UAN
  6. Ritual dzikir dan do’a berjama’ah

Ritual di atas tidak lepas dari syirik, bid'ah dan sesuatu yang tidak logis.

Seseorang tentu saja tidak boleh meminta wangsit lewat para dukun yang biasa menganjurkan amalan-amalan syirik entah mereka menyuruh mengenakan rajah dan jimat, atau membaca wirid-wirid bid'ah lainnya.

Begitu pula tentang jimat dan rajah yang digunakan, ada yang menceritakan bahwa kadang sampai pensil yang digunakan sebagai jimat supaya pensilnya bisa ampuh dan cepat menjawab soal. Sampai pensilnya pundibaca-bacain do’a. Logisnya tidak ada. Dan ini kebiasaan para siswa yang malas belajar. Mengenakan pensil semacam ini termasuk jimat. Dan disebutkan dalam hadits,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik" (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Dan memakai jimat pun seperti itu tidak pernah menuai keberuntungan. Lihat penggalan hadits berikut.

Dari 'Imran bin Hushoin, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat pada lengan seseorang suatu gelang. Lalu si pengguna tersebut menampakkannya pada beliau lantas ia berkata,

قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً »

"Ini dari tembaga (yang bagus)." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata, "Celaka engkau, apa tujuan engkau mengenakan ini?" Ia menjawab, "Ini untuk melindungiku dari sakit wahinah (suatu penyakit yang ada di tangan)." Beliau pun bersabda, "Jimat tersebut hanyalah menambah rasa sakit padamu. Lepaskanlah ia dari tanganmu. Karena jika engkau masih mengenakannya, engkau tidak akan beruntung selamanya." (HR. Ahmad dalam musnadnya 4: 445, Ibnu Majah 3531, Ibnu Hibban 1410 dan 1411. Hadits tersebut hasan kata Syaikh 'Abdul Qadir Al Arnauth. Lihat tahqiq dan ta'liq beliau terhadap Kitab At Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, terbitan Darus Salam, hal. 36).

Begitu pula mandi kembang supaya mendapatkan kemudahan dalam ujian, juga tidaklah dituntunkan dalam Islam. Karena seperti ini berarti ingin mendapatkan berkah (kebaikan) sedangkan mendapatkan berkah mesti dengan dalil. Dan tidak ada dalil satu pun yang mendukung mandi kembang, juga hal ini tidak pernah diamalkan oleh generasi terbaik Islam. Sehingga amalan ini dapat kita katakan termasuk dalam sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim no. 1718). Dan mencari berkah dengan cara yang tidak dituntunkan termasuk bid'ah dan dianggap ajaran sesat sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Kata Al Hafizh Abu Thohir, sanad hadits ini shahih. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Begitu pula yang termasuk bid’ah adalah melakukan dzikir dan do’a bersama. Karena amalan semacam ini tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat.

Begitu pula ritual mendoakan pensil supaya jadi ampuh ketika ujian, pun tidak berfaedah jika tidak mau belajar. Bagaimana mungkin mengharap dari pensil sedangkan si murid pun baru menjelang hari H ujian belajar semalam suntuk atau menempuh SKS (sistem kebut semalam). Jika seperti itu, mustahil ia bisa berharap ampuhnya pensil.

Yang lebih parah lagi jika sampai melakukan syirik dengan meminta pada kubur sunan atau wali. Karena ketika menjelang hari H ujian, ada sebagian siswa berseragam lengkap yang pergi ke salah satu kuburan sunan untuk berziarah. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi:

  • Ia bertawassul lewat perantaraan wali dengan menyerahkan tumbal dan syarat supaya terpenuhinya hajat atau berisi permintaan do'a pada wali, ini termasuk syirik besar.
  • Ia bertawassul lewat perantaraan wali cuma tetapi maksud do'a adalah pada Allah, wali hanya sebagai perantara, ini termasuk bid'ah dan perantara menuju syirik.
  • Ia menganggap lebih afdhol berdo'a di kuburan wali tersebut, ini juga termasuk bid'ah dan perantara menuju syirik.

Kalau yang ia lakukan syirik besar, maka seluruh amalan kebaikannya terhapus, ia keluar dari Islam dan di akhirat kelak akan kekal di neraka. Disebutkan dalam ayat Al Qur'an,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al An'am: 88).

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun." (QS. Al Maidah: 72).

Orang Musyrik di Masa Silam Masih Lebih Mending

Kalau kita mau melihat tingkah laku kesyirikan saat ini, ternyata sangat parah dibanding kesyirikan di masa silam. Di masa silam, orang musyrik berbuat syirik hanya ketika lapang. Sedangkan ketika mereka dalam keadaan terjepit, mereka berdo'a dan meminta hanya pada Allah. Namun coba lihat keadaan manusia saat ini, ketika susah, ketika lapang pun, mereka tetap berbuat syirik. Termasuk pula ketika susah saat ujian, kok masih berharap pada selain Allah, bahkan sampai melakukan syirik akbar yang dapat membatalkan keislamannya.

Bukti bahwa kesyirikan di masa silam masih lebih mending daripada kesyirikan saat ini dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab berikut,

أَنَّ مُشْرِكِيْ زَمَانِنَا أًغْلَظُ شِرْكـًا مِنَ الأَوَّلِيْنَ، لأَنَّ الأَوَّلِيْنَ يُشْرِكُوْنَ في الرَّخَاءِ وَيُخْلِصُوْنَ في الشِّدَّةِ، وَمُشْرِكُوْا زَمَانِنَا شِرْكُهُمْ دَائِمٌُ؛ في الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ. وَالدَّلِيْلُ قَوُلُهُ تَعَالَى: فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ [العنكبوت:65].

Kesyirikan di zaman kita betul-betul lebih parah daripada kesyirikan pada zaman dulu. Karena orang-orang musyrik dahulu berbuat syirik di saat lapang, sedangkan mereka mengikhlaskan ibadah kepada Allah ketika dalam kondisi sempit. Namun, orang-orang musyrik saat ini berbuat syirik di sepanjang waktu, baik ketika lapang maupun sempit. Dalil hal ini adalah firman Allah ta'ala  (yang artinya), "Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan-Nya." (QS. Al 'Ankabut [29] :65)

Kenapa Tidak Berusaha Keras untuk Belajar?

Kalau memang yang ditempuh sistem kebut semalam, mustahil bisa meraih hasil maksimal. Beda hasilnya, jika yang ditempuh adalah belajar dari jauh-jauh hari. Kalau cara terakhir yang dilakukan, tentu saja akan menuai hasil sesuai harapan. Coba lihat perkataan ulama masa silam yang bernama Al Junaid, ia berkata,

ما طلب أحد شيأ بجد وصدق إلا ناله فإن لم ينله كله نال بعضه

"Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh kesungguhan, pasti ia akan memperolehnya. Kalau ia tidak memperoleh seluruhnya, ia pasti mendapatkan sebagian." (Dinukil dari Ta’zhimul ‘Ilmi, guru kami Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi)
 

Tawakkal Sudah Jadi Kunci Utama

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada Abu Dzar Al Ghifariy yaitu ayatnya,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

"Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya." (QS. Ath Tholaq: 3).  Lalu beliau berkata padanya,

لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ

"Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi mereka."  Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Lihat Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516).

Syaikh As Sa'di rahimahullah menjelaskan, "Barangsiapa yang menyandarkan diri pada  Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan, dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha Mencukupi (Al Ghoniy), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (Al 'Aziiz) dan Maha Penyayang (Ar Rohiim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas." (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 870).

Tawakkal itu menyandarkan hati pada Allah agar dimudahkan urusan dan tetap menempuh usaha yang halal. Jadi biar mendapat hasil maksimal, sandarkan diri pada Allah dengan perbanyak do’a ditambah dengan usaha keras dalam belajar.

Bagaimana Jika Tidak Memperoleh Hasil Sesuai Harapan?

1- Yakinilah takdir Allah dan setiap takdir Allah pasti ada hikmahnya.

Allah Ta'ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia." (QS. Al Mu'minun: 115-116)

2- Ketahuilah, manusia memang akan selalu diuji, sesuai dengan tingkatan iman

Dari Mush'ab bin Sa'id -seorang tabi'in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

"Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

"Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa." (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

3- Ingatlah, di balik kegagalan pasti ada kesuksesan.

Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta'ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Asy Syarh: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Asy Syarh: 6). Qotadah mengatakan, "Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan,

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

"Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan." (Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir Ath Thobari, 24: 496, Dar Hijr)

4- Hadapilah kegagalan dengan bersabar.

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu 'anhu mengatakan,

الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.

"Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran." (Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 250, Mawqi’ Al Waroq)

Yang dimaksud dengan bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju. (Lihat 'Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin,  hal. 10)

5- Yakinlah pahala besar di balik kesabaran yaitu surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى

"Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah." (HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik). Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.

6- Ucapkanlah "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa", pasti ada ganti yang lebih baik

Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

"Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]", maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik." Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam." (HR. Muslim no. 918)

Semoga Allah beri hidayah.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 4 Jumadal Akhiroh 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Soal-276: Menggabungkan Niat Dua Shalat Sunnah

Posted: 14 Apr 2013 08:45 PM PDT

Bagaimana hukum shalat sunnah dua rakaat dengan dua niat sekaligus?

Dijawab Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.

Jawabannya Klik Player:

Download

Tidak Perlu Bertanya

Posted: 14 Apr 2013 07:31 PM PDT

Dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (7161),

حَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أنبأ بِشْرُ بْنُ مُوسَى ثنا الْحُمَيْدِيُّ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ: «إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَكَ طَعَامًا فَكُلْ وَلَا تَسْأَلْهُ وَإِذَا سَقَاكَ شَرَابًا فَاشْرَبْهُ وَلَا تَسْأَلْهُ»

“Abu Bakr bin Ishaq menuturkan kepadaku, Bisyr bin Musa mengabarkan kepadaku, Al Humaidi menuturkan kepadaku, Sufyan menuturkan kepadaku, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, sebuah riwayat yang berbunyi,

Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya

Derajat Hadits

Seluruh perawinya tsiqah kecuali Ibnu ‘Ajlan. Ia adalah Muhammad bin ‘Ajlan Al Qurasyi. Imam Ahmad berkata: “Ibnu ‘Ajlan tsiqah“. Demikian juga Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Ibnu ‘Uyainah men-tsiqah-kannya. Namun Adz Dzahabi mengatakan: “para imam muta’akhirin telah menyatakan bahwa ia buruk hafalannya”. Adz Dzahabi juga menyatakan: “Ibnu ‘Ajlan terkadang meriwayatkan dari Sa’id (Al Maqbari), dari ayahnya (Kaisan Al Laitsi), dari Abu Hurairah, atau dari seseorang dari Abu Hurairah, namun terjadi ikhtilath pada hafalannya sehingga ia menyatakan dari Abu Hurairah” (Mizan Al I’tidal, 3/645). Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu ‘Ajlan statusnya shaduq dan ini yang tepat insya Allah. Perawi shaduq haditsnya hasan jika ada mutaba’ahnya.

Ibnu ‘Ajlan memiliki mutaba’ah dalam jalan yang lain. Dicatat oleh Abu Yahya Al Mushili dalam Musnad-nya (6323),

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَخِيكَ الْمُسْلِمِ ، فَكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَلا تَسْأَلْهُ ، وَاشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ وَلا تَسْأَلْهُ

Abu Yahya bin Umar Al Qawariri menuturkan kepadaku, Muslim bin Khalid menuturkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha bin Yasar, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika kalian datang ke rumah saudara kalian sesama muslim, lalu ia memberimu makanan, maka makanlah dan jangan bertanya. Jika ia memberimu minuman, maka minumlah dan jangan bertanya

Semua perawinya tsiqah kecuali Muslim bin Khalid Al Qurasyi. Ibnu Hajar berkata: “shaduq, tapi sering ragu dalam hafalannya”. Namun ia memiliki mutaba’ah pada sanad yang pertama. Sehingga dengan memperhatikan dua jalan ini, hadits di atas statusnya shahih lighairihi.

Adapun maksud perkataan riwayatan (رِوَايَةً) dalam sanad pertama maknanya adalah marfu’an (مرفوعا), sebagaimana sering dijelaskan dalam ilmu musthalah hadits. Sehingga tidak layak mencacati riwayat tersebut karena sebab ini (Silsilah Ash Shahihah, 2/204).

Faidah Hadits

  1. Kaidah ahlussunnah wal jama’ah,

    الاصل في جميع المسلمين سلامة القصد و المعتقد حتى يظهر خلاف ذلك

    “hukum asal bagi seluruh kaum muslimin adalah memiliki keyakinan yang lurus dan aqidah yang selamat hingga nampak hal-hal yang bertentangan dengan aqidah yang lurus pada dirinya”

  2. Maka, pada dasarnya kita mesti beranggapan semua kaum muslimin itu memiliki keyakinan yang benar dalam mencari penghidupan, bahwa mereka senantiasa mencari yang halal. Prinsip ini mesti kita terapkan pada setiap kaum muslimin, kecuali kita melihat adanya indikasi pada seseorang bahwa tidak mencari rizki dari yang halal. Demikian, seorang muslim yang kita kunjungi rumahnya, kita mesti memiliki keyakinan asal bahwa ia rizkinya halal, makanannya halal, sehingga tidak perlu ditanyakan ‘makanan ini darimana?’, ‘belinya dengan cara halal atau tidak?’, ‘disembelihnya dengan cara syar’i atau tidak?’, ‘mengandung zat haram atau tidak’ atau pertanyaan-pertanyaan serupa. Kecuali, kita melihat atau mencium adanya indikasi bahwa harta atau makanannya tidak halal, barulah ketika itu kita boleh bertanya.
  3. Syaikh Al Albani menjelaskan: “orang yang dimaksudkan oleh zhahir hadits ini maksudnya adalah orang yang menilai dengan sangkaan kuat bahwa harta orang yang dikunjunginya itu halal dan terhindar dari keharaman. Adapun jika ia tidak menilai demikian, wajib bertanya. Semisal yang terjadi pada sebagian kaum muslimin yang menjadi warga negara di negara kafir. Orang-orang yang semisal mereka, wajib kita tanyakan apakah daging yang mereka hidangkan itu dibunuh biasa ataukah disembelih secara syar’i?” (Silsilah Ash Shahihah, 2/204).
  4. Dilarang membangun kecurigaan terhadap orang lain tanpa dasar.
  5. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kita hendaknya tidak mengucapkan perkataan yang mengarah pada kecurigaan dan tuduhan. Karena dengan mempertanyakan makanan yang dihidangankan, teman kita yang menyediakan makanan akan merasa dicurigai atau dituduh menyediakan makanan yang haram.
  6. Hadits di atas juga dalil bahwa jika kita bertamu lalu dihidangkan makanan, hendaknya kita makan makanan yang dihidangkan, jangan diabaikan.
  7. Makanan yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, yang tidak nampak keharaman secara zhahirnya, maka hukum asalnya halal dan tidak perlu dipertanyakan atau dicurigai. Sebagaimana kasus tersebut pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

    أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

    Beberapa orang mengadukan sesuatu kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah, ada orang yang baru masuk Islam memberi kami daging. kami tidak tahu ia menyebut nama Allah atau tidak ketika menyembelih”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah“. (HR. Bukhari 5507)

  8. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan hadits ini: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika bersabda kalau begitu, sebutlah nama Allah lalu kalian makanlah seolah-olah merupakan kritikan pedas terhadap mereka. Seolah-olah beliau mengatakan, ‘kalian tidak mendapat taklif (beban syariat) dari amalan orang lain. soal menyembelih (daging hadiah tersebut), itu amalan si pemberi. Dan kalian kelak (di akhirat) tidak akan ditanya mengenai amalan itu. Yang ditanya dari kalian adalah yang kalian amalkan. jadi, kalian sebutlah nama Allah dan makanlah‘. Ini jelas sekali bagi yang mau merenungkan” (Asy Syarhul Mumthi 15/84)
  9. Jika demikian pada daging sembelihan, maka makanan yang non-daging sembelihan lebih layak lagi untuk tidak dicurigai kehalalannya.
  10. Islam melindungi umatnya dari was-was, karena was-was adalah penyakit jiwa yang dihembuskan setan. Sering curiga dan khawatir terhadap kehalalan makanan padahal zhahirnya tidak ada keharaman, adalah bentuk was-was. Allah Ta’ala berfirman:

    قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنْ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

    Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejelekan was-was setan yang biasa bersembunyi, yang menimbulkan was-was dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” (QS. An Naas)

  11. Namun jika kekhawatiran tersebut dilandasi indikasi-indikasi yang kuat, namun tidak sampai tingkat yakin, maka itu disebut asy syakk atau ragu. Para ulama mengatakan,

    الشك اي ادراك الشيئ مع احتمال مساو

    Asy Syakk (ragu) adalah mengetahui sesuatu namun terdapat kemungkinan lain yang tingkat keyakinannya 50:50″

  12. Jika itu syakk (ragu), maka wajib bertanya dalam rangka tabayyun (klarifikasi). Jika tidak bisa tabayyun maka berlaku hadits:

    دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

    Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi 2518, ia berkata: “hasan shahih”)

  13. Makanan yang beredar di negeri kaum muslimin dan tidak nampak keharaman secara zhahir, hukum asalnya halal walaupun tidak ada cap halal. Kecuali ada keraguan yang didasari indikasi atau kabar yang bisa dipertanggung-jawabkan bahwa makanan tersebut mengandung keharaman. Lebih lagi jika buktinya otentik sampai tingkatan yakin itu mengandung keharaman, maka wajib ditinggalkan.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment