Tuesday, January 8, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Tidak Menunaikan Amanat Ilmiah dalam Tulisan

Posted: 08 Jan 2013 09:30 AM PST

Tidak menunaikan amanat ilmiah, mungkin kami pribadi atau kita sekalian pernah melakukan sebelumnya. Semoga Allah Ta'ala mengampuni dan menjadi pelajaran bagi yang lain. Tetapi yang pertama kali kami sampaikan bahwa kita harus ber-husnuzhon bahwa bisa jadi kesalahan yang dibuat ini dikarenakan tidak tahu bagaimana amanat ilmiah dalam menulis sebuah tulisan.

Berkembangnya tulis-menulis tidak lepas dari pengaruh kemajuan pengetahuan dan teknologi. Perkembangan percetakan, internet, jejaring sosial dan berbagai media menyebabkan manusia sangat memanfaatkannya baik untuk kepentingan dunia atau kepentingan dakwah sebagai tabungan di akherat. Sesuatu hal yang patut kita syukuri karena dahulu di zaman para ulama, buku sangat berharga sekali. Jika ingin memperbanyak, maka harus disalin dengan tulisan tangan, dengan teliti beserta konsekuensi kesalahan yang kecil dan beberapa coretan untuk memperbaiki. Sampai-sampai dahulu dikenal ungkapan jika meminjamkan buku adalah suatu hal yang sangat merugikan.

Bersamaan dengan nikmat Allah ini, maka terkadang kita terjerumus dalam penulisan yang kurang memperhatikan amanat ilmiah. Yang setelah dipikir dan direnungi sebabnya adalah perasaan ingin dianggap tinggi ilmunya dan mengharap pujian dari manusia.

Bentuk Tidak Amanah dalam Tulisan

1- Menulis berbagai referensi, tetapi tidak mengambil bahan tulisan dari referensi tersebut

Sebaiknya mencantumkan referensi atau maraji' sesuai dengan buku atau kitab yang dibaca kemudian diambil dan dinukil ilmu dari sumber tersebut. Terkadang kita menulis berbagai macam referensi kitab-kitab dengan tujuan agar pembaca tahu bahwa kita telah banyak menelaah kitab, telah banyak membaca dan melakukan penelitian mendalam.Padahal kita sekedar melihat-lihat sekilas, bahkan yang parah kita tidak membacanya sama sekali.

Sekedar contoh yang kurang tepat, ketika membuat judul tulisan "Keutamaan Tauhid" kemudian mencantumkan sumber yang sangat banyak dan tidak semua sumber ini dibaca.

Referensi:

  1. Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
  2. Qoulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih 'Al Utsaimin
  3. At Tamhid lisyarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin 'Abdul 'Aziz Alu Syaikh
  4. Qoulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'diy
  5. Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
  6. Mulakhkhos Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih Sholih bin Fauzan bin ‘ Abdillah Al Fauzan
  7. I’anatul Mustafid bi Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘ Abdillah Al Fauzan

2- Jika sumbernya adalah buku terjemahan maka cantumkan buku tersebut adalah terjemahan

Hal ini juga termasuk kurang menunaikan amanat ilmiah tulisan. Kemungkinan besar tujuannya sama yaitu agar dikira lebih berilmu dan berharap pujian manusia.

Contohnya dalam tulisan,

"Dalam kitab Qoulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Shalih 'Al-Utsaimin, dijelaskan demikian dan demikian"

"Kami menemukan penjelasan yang bagus dalam kitab Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh bahwa…"

Jika kita membaca buku terjemahannya, maka kita tuliskan kutipan judul buku terjemahan tersebut, halaman berapa, penerbit dan cetakan keberapa. Karena terjemahan terkadang kurang tepat sehingga jika ada yang ingin menelaah tulisan kita lebih mendalam, mereka terkadang terkecoh karena rujukan yang dipakai sebenarnya adalah buku terjemahan, bukan kitab asli dengan bahasa Arab.

3- Jika kita mengutip dari sebuah tulisan maka cantumkan sumber tulisan tersebut

Sama seperti penjelasan di atas, jika mengutip sebuah kutipan tidak dari sumber asli kitabnya, maka cantumkan sumber tulisan tersebut.

Contohnya, ada kutipan dari tulisan seorang ustadz misalnya dari majalah A.

Ath Thobari rahimahullah berkata, "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia." (Tafsir Ath Thabari 21: 386, Jaami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath Thabari, terbitan Dar Hijr)

Jika kita tidak mengecek ke kitab aslinya, maka sebaiknya kita cantumkan sumber kutipan kita, karena ini amanat ilmiah. Bisa jadi terjemahannya kurang tepat atau ada yang terlewatkan. Sebaiknya kita cantumkan,

Ath Thobari rahimahullah berkata, "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia." (Tafsir Ath Thobari 21: 386, Jaami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Hijr, dikutip dari tulisan ustadz fulan, dengan judul.., di majalah… terbitan… halaman sekian)

4- Hanya sekedar menambah atau merubah sedikit tetapi menisbatkan tulisan tersebut pada dirinya

Ini juga sesuatu yang kurang tepat, yaitu meng-copy paste sebuah tulisan kemudian menambah atau merubah sedikit dengan komentar kemudian menisbatkan tulisan itu sebagai hasil karyanya baik dengan terang-terangan atau bahasa kiasan.

Contohnya, di akhir atau di awal tulisan ditulis,

"Ditulis oleh fulan, di kota A, pukul sekian, bertepatan dengan…"

Atau dengan bahasa kiasan,

"Oleh: fulan, di kota A, pukul sekian, bertepatan dengan…"

"Diselesaikan di kota A, oleh fulan"

Bisa jadi maksud kata "oleh" yaitu mempublikasikan, tetapi maksudnya mengharapkan pembaca menyangka bahwa ia yang menulis. Sebaiknya kita sampaikan sumber tulisan dan penulisnya. Kemudian kita jelaskan apa bagian yang kita tambahkan.

Atau yang agak parah, sekedar meng-copy paste tanpa tambahan dari sebuah buku atau tulisan kemudian melakukan hal diatas.

5- Menaruh tulisan di situs atau blog miliknya tanpa izin penulis

Jika penulisnya mengatakan silakan menyebarkan dan meng-copy paste asal mencantumkan sumber, maka tidak mengapa tanpa izin langsung. Termasuk adab, yang kita meminta izin jika menggunakan hak orang lain.

Begitu juga jika itu adalah hak sebuah majalah yang diberikan oleh penulisnya. Di mana jika tulisan tersebut menyebar dengan mudahnya, maka akan merugikan majalah tersebut. Hal ini bukan maksudnya membatasi penyebaran ilmu, akan tetapi ada waktunya boleh disebarkan, misalnya ketika telah diterbitkan oleh majalah tersebut. Kami rasa tidak ada majalah Islam yang berniat dakwah kemudian membatasi tulisan tersebut. Wallahu a'lam

Harapan itu adalah Pujian manusia

"Masya Allah, tulisan yang bagus.."

"Keren, bisa menambah pengetahuan"

"Mantap sekali, pembahasan yang dalam"

Jika kita kurang beriman, mungkin inilah kata-kata dan ungkapan yang menjadi tujuan utama dan paling dinanti-nanti. Bagi yang ikhlas dan berusaha menggapainya, maka ia berharap komentar-komentar di atas adalah kabar gembira yang disegerakan dari Allah. Yaitu berniat beramal dengan keikhlasan awalnya, kemudian datanglah pujian-pujian manusia yang tidak kita harapkan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika ditanya tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia, maka beliau bersabda,

تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ

"Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin." (HR. Muslim no. 2642)

Kemudian kita jangan terbawa melangit oleh pujian tersebut. Kita harus sering-sering membaca doa ketika dipuji.

اللهم لا تؤاخذني بما يقولون, واغفرلي ما لا يعلمون (واجعلني خيرا مما يظنون)

Allahumma laa tuaa-khidzni bimaa yaquuluun, waghfirli maa laa ya'lamuun (waj'alni khoiron mimmaa yadhunnuun)

 "Yaa Allah, janganlah Engkau siksa aku dengan sebab (pujian) yang mereka ucapkan, dan ampunilah aku dari (perbuatan dosa) yang tidak mereka ketahui (dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka)"(HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no 761 dan dalam Shahihul Adabil Mufrad no 585, dishahihkan oleh Syaikh Albani. Bagian akhir adalah tambahan riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4: 228)

-Yaa Allah, janganlah Engkau siksa aku dengan sebab (pujian) yang mereka ucapkan, yaitu berupa ujub dan sombong atas karunia kemudian tidak bersyukur

-  Ampunilah aku dari (perbuatan dosa) yang tidak mereka ketahui, yaitu banyak dosa-dosa yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi dan masih ditutupi oleh Allah, seandainya manusia tahu sedikit saja, mungkin kita tidak berani muncul dihadapan mereka.

- Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, yaitu lebih baik dari sangkaan mereka saat ini.

Asal Menjawab dan Memberi Fatwa

Yang kita khawatirkan adalah banyak komentar dan pujian yang menyematkan gelar ustadz kepada kita, padahal kita masih seorang penuntut ilmu.

"Jazakallahu khair atas ilmunya ustadz"

"Syukron ustadz"

"Sangat bermanfaat ustadz"

Hal ini tidak mengapa jika orang tersebut adalah ustadz yang memang sudah mumpuni ilmunya. Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memuji orang lain di hadapannya kecuali melihat ada mashlahat,

Abu Musa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang pria berlebih-lebihan dalam memuji seorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

أهْلَكْتُم أو قطعتم ظهرَ الرجل

"Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu(HR. Bukhari no.78, Kitab Al Adab,no. 54 Bab Maa Yukrohu Minat Tamaduh; Muslim no. 53 Kitab Az Zuhd)

Kemudian karena seringnya dipanggil ustadz, akhirnya kita merasa gengsi jika tidak mampu menjawab suatu pertanyaan, dan akhirnya kita berfatwa tanpa ilmu. Semoga Allah melindungi kita dari hal seperti ini. Amin yaa mujibas saailin.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

 

Penulis:  dr. Raehanul Bahraen

Editor: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Metode Khitan pada Wanita

Posted: 07 Jan 2013 09:00 PM PST

Banyak di antara wanita yang masih belum memahami bagaimanakah metode khitan wanita yang benar. Mengenai masalah hukum khitan bagi wanita sudah kerap kali dibahas dalam bahasan fikih. Yang jelas, hukum yang lebih tepat adalah sunnah, bukan wajib. Mengenai bagaimanakah metode yang benar dalam khitan wanita akan dibahas oleh dr. Raehanul Bahraen berikut ini. Beliau pun akan menjelaskan beberapa metode yang keliru dalam proses khitan.

Bagian yang Dikhitan

Bagian yang disunat atau dikhitan adalah klitoral hood (kulit penutup klitoris).

Apa itu Klitoral Hood?

Sebagaimana disebutkan dalam Wikipedia (English)

"Clitoral hood, (also called preputium clitoridis and clitoral prepuce), is a fold of skin that surrounds and protects the clitoral glans. It develops as part of the labia minora and is homologous with the foreskin (equally called prepuce) in male genitals." (http://en.wikipedia.org/wiki/Clitoral_hood)

"Klitoral hood atau disebut juga preputium clitoridis and clitoral prepuce adalah lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral glans (batang klitoris). Berkembang sebagai bagian dari labia  (bibir)minora dan merupakan homolog dari kulup penis (biasa disebut preputium) pada kelamin laki-laki."

Pengertian dari kamus kedokteran Dorland,

"Lipatan yang terbentuk oleh penyatuan labia minora anterior (depan) dan bersatu dengan glans klitoris." (Dorland hal 1762, edisi 29, EGC)

Jadi klitoris terdiri dari glans (batang) klitoris atau yang dikenal oleh orang awam dengan "klitoris" saja dan klitolral hood yang merupakan kulit pembungkusnya.

Perkataan Ulama

Ibnu Qoyyim  Al Jauziyah rahimahullah mengumpulkan pendapat para ulama mengenai hal ini,

وَقَالَ ابْن الصّباغ فِي الشَّامِل الْوَاجِب على الرجل أَن يقطع الْجلْدَة الَّتِي على الْحَشَفَة حَتَّى تنكشف جَمِيعهَا وَأما الْمَرْأَة فلهَا عذرتان إِحْدَاهمَا بَكَارَتهَا وَالْأُخْرَى هِيَ الَّتِي يجب قطعهَا وَهِي كعرف الديك فِي أَعلَى الْفرج بَين الشفرين وَإِذا قطعت يبْقى أَصْلهَا كالنواة

"Ibnu Shobag berkata dalam Asy-Syamil, ' Wajib bagi laki-laki memotong kulit (الجلدة) kepala penis sampai kepala penis terlihat seluruhnya. Adapun wanita ada dua penghalang, salah satunya selaput keperawanannya dan yang lain adalah yang wajib dipotong yaitu seperti jengger ayam pada bagian vagina, terletak diantara dua mulut vagina, jika dipotong maka pangkalnya akan tetapseperti biji (النواة)." (Tuhfatul Maudud biahkamil Maulud, 1: 191, Darul Bayan, As-Syamilah)

Al Mawardi rahimahullah berkata,

وَأما خفض الْمَرْأَة فَهُوَ قطع جلدَة فِي الْفرج فَوق مدْخل الذّكر ومخرج الْبَوْل على أصل كالنواة وَيُؤْخَذ مِنْهُ الْجلْدَة المستعلية دون أَصْلهَا

"Adapun cara mengkhitan wanita yaitu memotong kulit ( الجلدة) pada vagina di atas tempat penetrasi penis dan saluran kencing, di atas pangkal yang berbentuk seperti biji (النواة). Diambil dari situ kulitnya tanpa mengambil pangkalnya." (Tuhfatul Maudud biahkamil Maulud, 1: 192, Darul Bayan, Asy-Syamilah)

Imam  Nawawi rahimahullah berkata,

الواجب في المرأة قطع ما ينطلق عليه الاسم من الجلدة التي كعرف الديك فوق مخرج البول, صرح بذلك أصحابنا و اتقوا عليه. قالوا: و يستحب أن يقتصر في المرأة على شيئ يسير ولا يبالغ في القطع

"Yang wajib dipotong pada wanita (saat khitan) adalah apa yang dikenal dengan sebutan kulit (الجلدة) yang bentuknya seperti jengger ayam di atas saluran kencing. Itulah yang ditegaskan dan disepakati oleh ulama mazhab kami. Mereka mengatakan, 'dianjurkan memotong sedikit saja dan jangan berlebihan dalam memotong'." (Al-Ma'jmu', 1: 350)

Yang perlu diperhatikan dari perkataan ulama adalah kata  "kulit ( الجلدة)" sehingga yang dimaksud adalah klitoral hood bukan  batang klitoris atau glans. Orang awam banyak yang mengira wanita yang disunat adalah klitorisnya.

Kemudian kata "biji (النواة)" yang di jelaskan "pangkal dan tidak diambil" . maka, tidak diragukan ini adalah glans (batang) klitoris karena bentuknya memang seperti biji.

Kemudian kata "seperti jengger ayam" (كعرف الديك) di atas saluran kencing, kata ini semakin meyakinkan bahwa  yang dimaksud adalah klitoral hood. Memang labia minora maupun labia mayora berbentuk seperti jengger ayam. Akan tetapi keduanya ada dua pasang dan letaknya disamping.

Sebenarnya untuk lebih jelasnya langsung melihat gambar, akan tetapi kami sarankan laki-laki tidak mencari gambarnya dan bagi wanita kami sarankan untuk mencari gambarnya sehingga kelak ada yang bisa melakukan khitan bagi wanita.

Alasan Secara Anatomi Kedokteran

Telah dijelaskan bahwa klitoral hood adalah homolog dari kulup penis/preputium. Homolog merupakan istilah bahwa keduanya adalah organ awal yang sama ketika tahap embriologi. Dalam perkembangannya embrio organ genital berkembang sesuai dengan jenis kelaminnya. Pada laki-laki yang disunat adalah kulup penis maka pada wanita juga demikian.

Sedangkan klitoris merupakan homolog dari penis. Hanya saja penis pada laki-laki berkembang terisi dengan bulbus cavernosus dan bulbus spongiosum serta pembuluh darah. Jika memotong klitoris maka sebagaimana memotong penis pada laki-laki.

Sebagaimana ma'ruf dalam syariat  bahwa hukum asal perintah bagi laki-laki sama dengan wanita sampai ada dalil yang memalingkannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنما النساء شقائق الرجال

 "Wanita itu saudara kandung laki-laki." (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6: 256 dengan sanad hasan).

Metode Khitan Wanita yang Salah

1. Memotong klitoral hood berlebihan

Hadist Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kepada Ummu 'Athiyah radhiyallahu 'anha (wanita tukang khitan),

اخْفِضِي، وَلا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْج

"Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami." (HR. Abu Daud 5271, Al Hakim 3: 525, Ibnu Ady dalam Al-Kamil 3: 1083 dan Al Khatib dalam Tarikhnya 12: 291, shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَلِهَذَا يُقَالُ فِي الْمُشَاتَمَةِ: يَا ابْنَ الْقَلْفَاءِ، فَإِنَّ الْقَلْفَاءَ تَتَطَلَّعُ إلَى الرِّجَالِ أَكْثَرَ، وَلِهَذَا مِنْ الْفَوَاحِشِ فِي نِسَاءِ التَّتَرِ، وَنِسَاءِ الْإِفْرِنْجِ، مَا لَا يُوجَدُ فِي نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ، وَإِذَا حَصَلَ الْمُبَالَغَةُ فِي الْخِتَانِ ضَعُفَتْ الشَّهْوَةُ، فَلَا يَكْمُلُ مَقْصُودُ الرَّجُلِ، فَإِذَا قُطِعَ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ حَصَلَ الْمَقْصُودُ بِاعْتِدَالٍ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

"Oleh karena itu dalam kasus saling memaki, seseorang mangatakan, "Wahai anak wanita yang tidak dikhitan!" Karena wanita yang tidak dikhitan memiliki nafsu kepada laki-laki yang lebih besar. Inilah yang menyebabkan terjadinya perzinahan (pelacuran) pada wanita Tar-tar dan Eropa. Di mana hal ini tidak dijumpai di kalangan wanita muslimin. Jika khitan dilakukan secara berlebihan maka gairah seks akan melemah sehingga tidak sesuai dengan keinginan suami. Jika pemotongan tidak dilakukan berlebihan, terwujudlah tujuan pertengahan (pengendalian hawa nafsu)." (Al-Fatawa Al Kubra, 1: 274, Asy-Syamilah)

2. Memotong labia minor atau labiya mayora (bibir vagina)

Hal ini yang diungkapkan oleh peneliti Dr. Olayinka kos-Thomas dalam bukunya, The Circumcision of Women: A Strategy for Eradication, mengatakan bahwa sunat pada wanita Afrika memiliki tiga macam yang masih dipraktekkan hingga saat ini.

Pertama yang disebut "sunna", yaitu terjadi clitorydectomy, pemotongan habis seluruh klitoris wanita yang disunat

Kedua ialah eksisi atau pemotongan seluruh klitoris dan seluruh bagian dari labia minora, bibir kelamin.

Ketiga, jauh lebih parah, yaitu dipotongnya semua bagian klitoris, labia minora, berikut labia majora, dan dijahitnya vulva, lubang kelamin. hanya sedikit yang tersisa, sekedar untuk aliran urine dan mensturasi.

3.  Memotong klitoris

Sudah kita bahas sebelumnya, agar lebih meyakinkan kami nukil penyataan perwakilan ulul amridalam bidang kesehatan, yaitu Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, drg. Murti Utami mengatakan sunat perempuan yang diatur dalam Permenkes No. 1636/ MENKES/ PER/2010 tentang Sunat Perempuan berbeda dengan definisi Female Genital Mutilation (FGM) versi organisasi kesehatan dunia atau WHO.

"Permenkes Sunat Perempuan mengatur larangan menggunakan cara mengkauterisasi klitoris, yakni memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya." (DetikHealth, Jumat, 1/7/2011)

Kami berharap banyak wanita kaum muslimin yang mempelajari bagaimana cara khitan wanita, kemudian menyebarkannya kepada seluruh kaum muslimin dengan mengadakan kegiatan-kegiatan baik berupa pelatihan dan sunatan masal bagi wanita sehingga sunnah dan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetap terjaga.

Moga info kesehatan di atas bermanfaat bagi para pengunjung Muslim.Or.Id sekalian.

Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi ajma'in. Walhamdulillahi robbil 'alamin.

Disempurnakan di Lombok, Pulau Seribu Masjid, 25 Ramadhan 1432 H (24 Agustus 2011)

 

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Editor: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Zakat dari Penghasilan Sewa Rumah

Posted: 07 Jan 2013 08:00 PM PST

Fatwa Syaikh 'Abdul Karim Al Khudair hafzihohullah

 

Soal:

Jika seseorang mengambil upah sewa rumah di awal tahun apakah wajib baginya menunggu hingga berlalu haul (satu tahun) baru dikenai zakat?

Jawab:

Hasil sewa rumah tidak ada zakat sampai harta tersebut bertahan satu haul. Kenapa demikian? Karena sebelum satu tahun, ada kemungkinan uang sewa rumah tersebut terpakai. Jadi uang tersebut selama menunggu jatuhnya haul belum tetap ada pada si pemilik karena kemungkinan terpakai. Lalu nanti uang sewa tersebut akan kembali lagi dipungut. Padahal di antara syarat wajib zakat adalah harta tersebut tetap terus ada.  Jadinya dipersyaratkan menunggu sampai haul sehingga syarat ini terpenuhi.

 

السؤال: يقول: إذا أخذ أجرة البيت في أول السنة فهل يجب انتظار مضي الحول؟

الجواب:

قلنا: إن الأجرة لا زكاة فيها حتى تتم المدة، لماذا؟ لأنه قبل تمام المدة احتمال أن ينهدم البيت، فإذا قبض الأجرة قبل تمام المدة فالملك حينئذٍ غير مستقر؛ لاحتمال أن ينهدم البيت، ثم يرجع ذاك على أجرته، واستقرار الملك شرط لوجوب الزكاة، فالاحتمال قائم حتى تتم المدة ليستقر الملك.

(Sumber fatwa di website pribadi Syaikh 'Abdul Karim Khudair: http://www.khudheir.com/text/4392)

* Syaikh 'Abdul Karim Al Khudair adalah ulama senior di Saudi Arabia, berdomisi di kota Riyadh. Beliau adalah anggota Hai-ah Kibaril Ulama dan menjadi pengajar di kuliah hadits Jami'ah Malik Su'ud (King Saud University), Riyadh Saudi Arabia. Beliau pun terkenal karena keilmuan beliau sebagai pakar hadits.

Riyadh-KSA, 25 Shafar 1434 H

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment