Tuesday, January 29, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Jabat Tangan Dengan Wanita Dalam Pandangan 4 Madzhab

Posted: 29 Jan 2013 06:54 AM PST

Fatwa Syaikh Khalid bin Abdil Mun’im Ar Rifa’i

Soal:

Saya adalah pemudi dari Maroko yang sedang menetap di negara Perancis dan sudah bersungguh-sungguh dalam berpakaian Islami. Saya menolak untuk berjabat tangan dengan laki-laki dari keluarga saya dengan alasan mereka bukanlah mahram saya. Akan tetapi mereka mengingkari hal ini dan menentangnya dengan keras serta mengatakan bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan sebagaimana yang difatwakan oleh salah satu da'i Islam yaitu Dr. Yusuf Qardhawi. Aku memohon untuk diberikan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjelaskan kepada mereka akan perkara ini, agar dapat memberikan keterangan mengenai kesalahan Dr. Yusuf Qardhawi dengan jawaban ini. Jazaakumullahu Khairan.

Jawab:

Para ulama terdahulu maupun sekarang, baik para ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadits dan selainnya, mereka mengharamkan bagi wanita untuk berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan tidak ada dari ulama-ulama tersebut yang menyelisihi pendapat itu sampai saat ini, kecuali hanya sebagian ulama pada jaman ini yang memfatwakan perkataan yang menyimpang dari syariat, mengenai bolehnya wanita berjabat tangan dengan laki-laki non mahram.

Maka kami akan menyebutkan beberapa perkataan ulama madzhab yang terkenal dengan keilmuannya akan Al-Quran dan Hadits Nabi. Sehingga dapat memberi pengetahuan bahwa perkataan yang menyelisihinya adalah perkataan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadits Nabi.

Madzhab Hanafi

Penulis kitab Al-Hidayah berkata: "Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat"

Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: "Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat"

Madzhab Maliki

Imam Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki, berkata mengenai firman Allah yang artinya "Ketika datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia kepadamu, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun" (Al-Mumtahanah: 12) (Ayat ini turun berkenaan dengan wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam. pent). Kemudian beliau menerangkan hadits dari Urwah bahwasanya 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata: "Rasulullah Shallallahu'Alaihi wasallam diuji dengan ayat ini "Jika datang kepadamu perempuan-perempuan beriman". Ma'mur berkata bahwasanya Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya: "Tidak boleh seorang laki-laki menyentuh tangan perempuan kecuali perempuan yang ia miliki".

'Aisyah Radhiyallahu 'Anha juga mengatakan di dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim: "Tangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika membaiat (mengadakan janji setia)". Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam pun bersabda "(Ketika membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang wanita". Diriwayatkan pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam berjabat tangan dengan wanita menggunakan bajunya.

Pada riwayat yang lain, disebutkan Umar Radhiyallahu 'Anhu berjabat tangan dengan bajunya, dan ia memerintahkan para wanita untuk berdiri di atas batu besar, kemudian Umar Radhiyallahu 'Anhu membaiat mereka. Hadits ini riwayatnya dhaif, namun bisa menjadi penguat dari hadits-hadits shahih di atas.

Imam Al-Baaji berkata dalam kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda "Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita". Yakni tidak berjabat tangan langsung dengan tangannya. Dari hal tersebut, diketahui bahwasanya cara berbaiat dengan laki-laki adalah dengan berjabat tangan dengannya, namun hal ini terlarang jika membaiat wanita dengan berjabat tangan secara langsung.

Madzhab As-Syafi'i

Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu': "Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.

Imam Nawawi pun berkata dalam Syarah Shahih Muslim: "Hal ini menunjukkan bahwa cara membaiat wanita adalah dengan perkataan, dan hal ini juga menunjukkan, mendengar ucapan atau suara wanita yang bukan mahram adalah diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena suara bukanlah aurat. Dan tidak boleh menyentuh secara langsung wanita yang bukan mahram jika tidak termasuk hal yang darurat, semisal seorang dokter yang menyentuh pasiennya untuk memeriksa penyakit".

Madzhab Hambali

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu Fatawa, "Haram hukumnya memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma (kesepakatan) kaum muslimin. Hal ini juga merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi'i. Segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya adalah haram tanpa keraguan di dalamnya. Baik itu syahwat yang timbul karena kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi sebagaimana memandang sesuatu yang haram."

Ibnu Muflih dalam Al-Furu' mengatakan: "Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya". Hal ini disebutkan dalam kitab Al-Fusul dan Ar-Ri'ayah.

Beliau juga bercerita dalam kitab Kasyful Qina' : "Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, maka beliau menjawab, "Tidak boleh!". Karena ingin mendapat penjelasan lebih, maka aku bertanya: "Bagaimana jika berjabat tangannya dengan menggunakan kain?". Abu Abdillah pun mengatakan : "Tidak boleh!". Laki-laki yang lain ikut bertanya: "walaupun ia mempunyai hubungan kerabat? Abu Abdillah (Imam Ahmad) juga mengatakan, "Tidak boleh!" Kemudian Aku bertanya lagi, "Bagaimana jika ia adalah anaknya sendiri?". Maka Abu Abdillah menjawab: "jika yang ia jabat tangani adalah anaknya, maka hal ini tidaklah mengapa".

Dari nukilan-nukilan di atas, menunjukkan bahwa berjabat tangan langsung dengan wanita asing yang bukan mahram adalah salah satu diantara kemaksiatan yang telah tersebar di kalangan manusia. Dan hal ini termasuk kemungkaran jika diukur dari sisi syariat, karena hal tersebut merupakan perbuatan yang buruk atau tanda rusaknya agama seseorang.

Dan sungguh terdapat ancaman yang keras kepada orang-orang yang menyentuh wanita yang bukan mahramnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Dari Ma'qil bin Yasar, bahwasanya Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya", (HR. Thabrani dan juga Baihaqi).

'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata "Demi Allah, segala hal yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam tetapkan bagi wanita, maka hal itu adalah perintah dari Allah Ta'ala. Dan tangan Rasulullah tidaklah menyentuh tangan wanita. Dan perlu diketahui, bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram akan menimbulkan kerusakan yang sangat banyak. Diantaranya akan menimbulkan syahwat (nafsu) atau keinginan negatif dan hilangnya rasa malu. Karena barang siapa wanita yang bermudah-mudahan dalam menjulurkan tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram, maka ia tidak akan segan untuk melakukan yang lebih hina dari itu".

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/15452

Penerjemah: Rian Permana
Artikel Muslim.Or.Id

Bermuka Manis Di Hadapan Orang Lain

Posted: 28 Jan 2013 02:05 AM PST

Di antara bentuk akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam adalah senantiasa bermuka manis di hadapan orang lain. Bahkan hal ini dikatakan oleh Syaikh Musthafa Al 'Adawi menunjukkan sifat tawadhu' seseorang. Namun sayangnya sedikit di antara kita yang mau memperhatikan akhlak mulia ini. Padahal di antara cara untuk menarik hati orang lain dalam berdakwah adalah dengan akhlak mulia.

Lihatlah bagaimana akhlak mulia ini diwasiatkan oleh Luqman pada anaknya,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (QS. Lukman: 18).

Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat tersebut, "Janganlah palingkan wajahmu dari orang lain ketika engkau berbicara dengannya atau diajak bicara. Muliakanlah lawan bicaramu dan jangan bersifat sombong. Bersikap lemah lembutlah dan  berwajah cerialah di hadapan orang lain" (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 11: 56).

Dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

"Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri" (HR. Muslim no. 2626).

Begitu pula dengan wajah ceria dan berseri akan mudah menarik hati orang lain ketika diajak pada Islam dan kepada kebaikan. Senyum manis adalah di antara modal ketika berdakwah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

"Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia" (HR. Al Hakim dalam Mustadrak-nya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Jarir radhiallahu’anhu, ia berkata,

مَا حَجَبَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُنْذُ أَسْلَمْتُ ، وَلاَ رَآنِى إِلاَّ تَبَسَّمَ فِى وَجْهِى

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menghalangiku sejak aku memberi salam dan beliau selalu menampakkan senyum padaku" (HR. Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 2475).

Wajah berseri dan tersenyum termasuk bagian dari akhlak mulia. Ibnul Mubarak berkata bahwa makna 'husnul khuluq' (akhlak mulia) adalah

طَلاَقَةُ الوَجه ، وَبَذْلُ المَعروف ، وَكَفُّ الأذَى

"Wajah berseri, berbuat kebaikan (secara umum) dan menghilangkan gangguan" (Dinukil dari Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi rahimahullah).

Sedangkan orang yang berakhlak mulia disebutkan dalam hadits dari Jabir radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

"Orang yang paling dicintai di antara kalian dan yang paling dekat duduk denganku di hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya" (HR. Tirmidzi no. 2018. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Namun wajah berseri ini tidaklah setiap saat dan tidak ditujukan pada setiap orang. Ketika menghadapi orang yang lebih pantas dimarahi (bukan diberi senyuman), juga di hadapan orang kafir maka kita tidak menyikapi seperti itu sebagaimana diterangkan oleh Ash Shan'ani dalam Subulus Salam. Juga amat bahaya jika seorang gadis memberi senyuman kepada laki-laki karena godaannya amat besar.

Ya Allah, berikanlah kami anugerah dengan akhlak yang mulia dan selalu berwajah ceria di hadapan saudara-saudara kami.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Referensi:

  1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
  2. At Tawadhu', Abu 'Abdillah Musthafa bin Al 'Adawi, terbitan Maktabah Makkah.
  3. Subulus Salam, Ash Shan'ani.
  4. Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi.

Penulis: M. Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Mengapa Nabi Khidir Boleh Tidak Ta’at Pada Nabi Musa?

Posted: 27 Jan 2013 01:26 AM PST

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih

Soal:

Mengapa dibolehkan bagi Nabi Khidir untuk tidak menaati syariat Nabi Musa? (misalnya beliau boleh membunuh, boleh melubangi kapal hingga tenggelam, padahal dalam syariat yang dibawa Nabi Musa itu haram hukumnya, pent.)

Jawab:

Khidir adalah seorang Nabi yang diberi wahyu oleh Allah berupa ilmu yang tidak diketahui oleh Nabi Musa 'alaihissalam. Allah Ta'ala berfirman:

فَوَجَدَا عَبْداً مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْماً

'Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami' (QS. Al Kahfi: 65)

Kemudian Nabi Khidir menceritakan alasan-alasan atas hal-hal yang Nabi Musa tidak bersabar dalam menghadapinya dan berkata:

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

'Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya' (QS. Al Kahfi: 82)

Syariat Nabi Musa 'alahissalam ketika itu tidak berlaku untuk seluruh manusia. Tidak sebagaimana syari'at yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu'alaihi Wasallam. Sehingga Nabi Khidir diperkenankan untuk tidak mengikuti syari'at Nabi Musa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

إن موسى عليه السلام لم تكن دعوته عامة ولم يكن يجب على الخضر اتباع موسى عليهما السلام، بل قال الخضر لموسى إني على علم من الله علمنيه الله ما لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه

'Dakwah Musa alaihissalam tidak kepada seluruh manusia, dan Nabi Khidir termasuk yang tidak wajib untuk mengikuti syariat Nabi Musa 'alaihissalam. Bahkan Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa: 'Aku melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadaku, yang engkau tidak tahu. Dan engkau melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadamu, yang aku tidak tahu' ' (Majmu' Fatawa, 27/59).

Wallahu'alam.

Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=37719&Option=FatwaId

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Bedakan Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah

Posted: 26 Jan 2013 03:00 PM PST

Sebagian orang berkata bahwa perayaan Maulid Nabi termasuk bid'ah hasanah karena menganggap bid'ah itu ada dua, ada bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (yang jelek). Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid'ah sayyi'ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.

Padahal ulama Syafi'i seperti Ibnul 'Atthor, murid Imam Nawawi telah mengategorikan beberapa bid'ah yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai bid'ah yang tercela. Ibnu 'Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba'in An Nawawiyah, yaitu hadits nomor 5 dari 'Aisyah tentang bid'ah, beliau berkata,

"Para ulama menganggap perbuatan bid'ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu sebagai sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil). Maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid'ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid'ah itu mencacati ibadah.  Di antara perbuatan bid'ah tersebut adalah shalat roghoib dan shalat pada malam nishfu Sya'ban, juga membaca surat Al An'am pada raka'at satu raka'at pada malam ke-27 dari bulan Ramadhan karena orang awam menyangka bahwa surat Al An'am turun sekaligus pada malam tersebut, begitu pula menambah bacaan shalawat pada iqomah. " (Lihat Syarh Al Arba'in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan 'Mukhtashor An Nawawi', hal. 72)

Hadits 'Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak." (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba'in An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,

وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات

"Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid'ah yang tidak ada tuntunannnya." (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu 'Atthor dalam Syarh Al Arba'in An Nawawiyah.

Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid'ah menjadi lima,

فَمِنْ الْوَاجِبَة : نَظْم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ لِلرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَة وَالْمُبْتَدِعِينَ وَشِبْه ذَلِكَ . وَمِنْ الْمَنْدُوبَة : تَصْنِيف كُتُب الْعِلْم ، وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبُط وَغَيْر ذَلِكَ . وَمِنْ الْمُبَاح : التَّبَسُّط فِي أَلْوَان الْأَطْعِمَة وَغَيْر ذَلِكَ . وَالْحَرَام وَالْمَكْرُوه ظَاهِرَانِ

"Di antara bid'ah yang wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli kalam, juga membantah ahli bid'ah dan golongan yang menyimpang lainnya. Contoh bid'ah yang sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan membangun sekolah dan pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam itu. Bid'ah yang mubah adalah seperti mengecek warna dari makanan dan semacamnya. Sedangkan bid'ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas. " (Syarh Shahih Muslim, 6: 155).

Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,

كُلّ بِدْعَة ضَلَالَة

"Setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,

هَذَا عَامّ مَخْصُوص ، وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع . قَالَ أَهْل اللُّغَة : هِيَ كُلّ شَيْء عُمِلَ عَلَى غَيْر مِثَال سَابِق

"Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara umum bid'ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid'ah sebagai segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya." (Syarh Shahih Muslim, 6: 154)

Di tempat lain, beliau terangkan mengenai hadits ‘setiap bid'ah adalah sesat‘,

وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة

"Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan bid'ah yang tercela"(Syarh Shahih Muslim, 7: 104).

Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya bisa termasuk bid'ah hasanah, bisa jadi termasuk bid'ah sayyi'ah. Yang termasuk bid'ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah yang termasuk bid'ah sayyi'ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan termasuk bid'ah sayyi'ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu 'Atthor di atas, yaitu shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam bid'ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah.

Penafsiran bid'ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam Syafi'i. Beliau rahimahullah pernah berkata,

والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة

"Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur'an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma', maka ini termasuk bid'ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid'ah) yang tercela". (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi'i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu'aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, 2: 131.)

Lihatlah apa yang dimaksud bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah (yang tercela). Yang tercela atau bid'ah sayyi'ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur'an, As Sunnah, atsar dan ijma'. Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk bid'ah sayyi'ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur'an, membukukan hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan termasuk bid'ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah.

Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul 'Abbas Ibnu Taimiyah, "Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat." (Iqtidho' Shirotil Mustaqim, 2: 101-103)

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat 'ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat 'ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid'ah dan meninggalkannya adalah sunnah.

Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur'an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur'an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur'an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan Maulid Nabi.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Riyadh-KSA, 14 Rabi’ul Awwal 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Hadits-Hadits Tentang Bid’ah

Posted: 25 Jan 2013 04:00 PM PST

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.

Hadits 1
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak" (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Hadits 2
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak" (HR. Muslim no. 1718)

Hadits 3
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid'ah adalah kesesatan" (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa'i,

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" (HR. An Nasa'i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan An Nasa'i)

Hadits 4
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta'at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan" (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

Hadits 5
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

"Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid'ah sampai ia meninggalkan bid'ahnya"  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

Hadits 6
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

"Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, 'Wahai Rabbku, ini adalah umatku'. Allah berfirman, 'Engkau tidak tahu (bid'ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu' " (HR. Bukhari no. 6576, 7049).

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

"(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, 'Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu". Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku"(HR. Bukhari no. 7050).

Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

Hadits 7
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah’”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)

Hadits 8
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)

Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:

يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )

Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)

Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.

Hadits 10
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ

Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)

Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.

Hadits 11
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)

Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.

Wallahu’alam.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Jika Ibu Berdoa Kejelekan Terhadap Anaknya Yang Masih Kecil

Posted: 24 Jan 2013 06:56 AM PST

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Soal:

Terkadang saya (seorang ibu) berdoa kejelekan terhadap anak saya yang masih kecil, biasanya karena dia membuat kericuhan di dalam rumah. Apakah seorang ibu itu benar mustajab? Perlu diketahui biasanya saya segera sesali doa saya tersebut.

Jawab:

Bisa jadi doa itu di-ijabah (dikabulkan). Oleh karena itu hendaknya anda berhati-hati. Janganlah mendoakan anak anda kecuali isinya kebaikan. Jangan sampai anda mendoakan keburukan pada mereka. Latih dengan sungguh-sungguh jiwa anda untuk senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka, bukan keburukan. Sampaikanlah hal-hal yang baik. Ini semua memang butuh latihan kesabaran dan kesungguhan jiwa sampai benar-benar bisa senantiasa mendoakan kebaikan bukan keburukan.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/9459

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Terapi Dua Keburukan

Posted: 23 Jan 2013 04:00 PM PST

Salah satu dzikir pagi dan petang yang mungkin pernah kita ucapkan adalah dzikir berikut,

اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ.

"Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya, dan aku (berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim”. (HR. At Tirmidzi: 3392, Abu Dawud: 5067).

Hadits di atas menunjukkan bahwa terdapat dua jenis keburukan yang sepatusnya diwaspadai oleh seorang hamba, yaitu keburukan yang bersifat internal dan eksternal.

Keburukan internal adalah keburukan yang berasal dari diri kita sendiri sebagaimana ditunjukkan lafadz hadits “أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ”, yang artinya aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku. Adapun keburukan eksternal ditunjukkan oleh lafadz “الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ”, (aku berlindung kepadaMu) dari kejahatan setan dan bala tentaranya.

Dan pada puncaknya, kedua keburukan ini dapat mengakibatkan seseorang melakukan kejelekan terhadap dirinya sendiri atau bahkan kepada orang lain.

Obatnya telah Allah jelaskan ketika memberitakan kisah Yusuf ‘alaihissalam dalam dua firman-Nya. Firman yang pertama adalah ayat di bawah ini

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.….” (QS. Yusuf : 24).

Pada ayat sebelumnya, Allah telah menyatakan bahwa jiwa nabi Yusuf pun telah membisikkan kekejian ketika istri al-Aziz menggodanya. Namun, Allah menjaga beliau dari bisikan untuk melakukan perbuatan keji tersebut karena keikhlasan yang dimilikinya.

Sedangkan firman yang kedua adalah firman-Nya,

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Yusuf: 34).

Adapun ayat ini menyatakan do’a yang dipanjatkan menjadi sebab Allah berkenan menghindarkan nabi Yusuf ‘alaihissalam dari tipu daya.

Dua ayat di atas menyebutkan dua hal yang dapat membentengi seseorang dari dua keburukan yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua hal tersebut adalah keikhlasan dan do’a yang berangkat dari ketundukan hati kepada-Nya. Dengan keikhlasan, Allah akan menjaga seorang hamba dan memberikan taufik kepada jiwanya untuk senantiasa melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Allah pun akan mengabulkan do’a hamba yang tunduk kepada-Nya dan akan memalingkan keburukan dan tipu daya yang berasal dari balatentara setan, baik yang berwujud jin maupun manusia. Ketika nabi Yusuf alaihissalam merealisasikan kedua hal ini dengan sempurna, Allah pun menjaganya dari keburukan yang berasal dari batin beliau sendiri dan keburukan pihak lain yang melancarkan tipu daya. 

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa perlindungan dan pertolongan Allah kepada hamba dari dua keburukan tersebut sebanding dengan kualitas keikhlasan yang dimiliki hamba tersebut dan kekuatan do’a serta ketundukan hatinya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Semoga ada manfaatnya. Maaf, jika saya tidak pandai merangkai kata.

 

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Menafsirkan Al Qur’an Tanpa Ilmu

Posted: 23 Jan 2013 06:06 AM PST

Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah

Soal:
Bolehkah seseorang menafsirkan Al Qur'an tanpa ilmu dan tanpa merujuk pada keterangan para ulama? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawab:
Seseorang tidak boleh berbicara tentang hal yang tidak ia ketahui. Dan tidak boleh juga berbicara tentang ilmu agama padahal ia tidak memiliki ilmu. Ini merupakan kejahatan yang besar, dan berbahaya bagi orang yang melakukannya. Ini juga merupakan kejahatan terhadap kalam Allah, dan bahaya yang besar bagi orang yang melakukannya.

Maka, hendaknya orang-orang suka bermudah-mudah ini bertaqwa kepada Allah, dan jauhi berbicara mengenai kalamullah padahal ia tidak memiliki ilmu yang mencukupi yang membuat ia bisa menafsirkan dengan benar. Karena perbuatan ini merupakan penyimpangan dan kejahatan terhadap Allah dan terhadap agama Allah dan juga terhadap Rasul-Nya. Dan ini juga merupakan keburukan yang besar, sebagaimana sudah saya katakan.

Maka takutlah kepada Allah dengan tidak melakukan hal seperti ini, yang menyebabkan sebagian orang yang mengikutinya melakukan kebid'ahan, berdalil dengan ayat ini dan ayat itu, ayat ini menyuruh perbuatan ini dan itu, padahal bukan demikian maksud ayat tersebut dan dia bukan orang yang ahli dalam menafsirkan ayat Qur'an.

Ada riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu'anhu, beliau melewati seorang lelaki yang sedang mengajarkan orang-orang Al Qur'an. Beliau berkata:

أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟ قال : لا ، قال : هلكت وأهلكت

"Apakah engkau sudah paham nasikh dan mansukh? Lelaki tadi berkata: 'Saya belum paham'. Ali berkata: 'Sungguh engkau ini binasa dan membuat orang lain binasa'"

Demikian, hendaknya hal ini dipahami.

 

Sumber: http://www.sh-emam.com/show_fatawa.php?id=570

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

 

Kumpulan Faidah Seputar Tauhid

Posted: 22 Jan 2013 04:00 PM PST

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya." (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Bukan Istilah Baru

Sahabat Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma mengatakan: Ketika mengutus Mu'adz menuju Yaman, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepadanya, "Sesungguhnya kamu akan menjumpai suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab. Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah ta'ala…" (HR. Bukhari dalam Kitab at-Tauhid [7372])

Sahabat Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Islam dibangun di atas lima perkara: tauhid kepada Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji." (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [16])

Sebab Keamanan dan Hidayah

Tauhid merupakan sumber keamanan dan hidayah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah." (QS. al-An'aam: 82)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar'awi hafizhahullah berkata, "Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan kepada kita bahwasanya barangsiapa yang mentauhidkan-Nya dan tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik maka Allah menjanjikan atasnya keselamatan dari masuk ke dalam neraka di akherat serta Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lurus di dunia." (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Kunci Keselamatan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang kafir itu seandainya mereka memiliki segala sesuatu yang ada di bumi seluruhnya dan yang serupa dengannya untuk menebus siksaan di hari kiamat nanti niscaya hal itu tidak akan diterima, dan mereka layak untuk mendapatkan siksaan yang sangat menyakitkan." (QS. al-Ma'idah: 36)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah." (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Sholah[425] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [33])

Dari 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya dia akan masuk ke dalam surga." (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [26])

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka." Dan aku -Ibnu Mas'ud- berkata, "Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga." (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana'iz [1238] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [92])

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali." (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Syarat Diterimanya Amalan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia beramal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada Rabb-nya." (QS. al-Kahfi: 110).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan orang-orang sebelummu; Seandainya kamu berbuat syirik maka pasti akan lenyap seluruh amalanmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi." (QS. az-Zumar: 65).

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, "Ketahuilah, bahwa ibadah tidaklah disebut dengan ibadah kecuali jika bersama dengan tauhid. Sebagaimana sholat tidak disebut sholat kecuali jika bersama dengan thaharah. Apabila syirik memasuki ibadah maka rusaklah ia, sebagaimana hadats yang menimpa pada orang yang telah bersuci." (lihat al-Qawa'id al-Arba', hal. 7).

Perintah Yang Paling Agung

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan menjalankan ajaran yang hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus." (QS. al-Bayyinah: 5)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan." (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini."(lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan sikap lapang dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik." (lihat al-Qawa'id al-Fiqhiyah, hal. 18)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah (baca: da'i) agar memulai dakwah dengannya." (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41 cet. Dar ats-Tsurayya)

Pondasi Kebahagiaan

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, "Tauhid ini memiliki kedudukan laksana pondasi bagi suatu bangunan." (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam." (QS. at-Taubah: 109)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, "Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk sholat di dalamnya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini (membangun masjid) dengan keikhlasan  di dalam hatinya, maka amalan itu tidak bermanfaat sama sekali bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut." (lihatSittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13)

Kunci Ampunan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki." (QS. an-Nisaa': 48)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Allahta'ala berfirman, "Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula." (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awat [3540] dan dihasankan olehnya, disahihkan Syaikh al-Albani)

Sebab Kejayaan dan Kemuliaan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal salih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun." (QS. an-Nuur: 55)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan bagi mereka keberkahan dari langit dan bumi." (QS. al-A'raaf: 96)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya." (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Syarat Untuk Mendapatkan Syafa'at

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doanya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa'at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa'at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang di antara umatku yang meninggal dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [199])

Wallahu a'lam bish shawaab.

Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Kajian Ilmiah Bersama Ust. Abdullah Zain, M.A. (25-26 Januari 2013, Yogyakarta)

Posted: 22 Jan 2013 06:44 AM PST

Hadiriliah Kajian Ilmiah Bersama Ustadz Abdullah Zain, M.A.

“Mengatasi Kenakalan Orang Tua”
(cermin hati bagi para murabbi)

Waktu dan Tempat
Jum’at, 25 Januari 2013
Ba’da Maghrib-selesai
Masjid Pogung Raya (MPR), Yogyakarta

“Hati Sebening Kaca”
(berhias diri dengan kebersihan jiwa)

Waktu dan Tempat
Sabtu, 26 Januari 2013
Ba’da Shubuh-selesai
Masjid Ma’had Jamilurrahman, Bantul

__________

Kajian Umum Bersama Syaikh Dr. Ahmad al-Jailani

Mengenal Wali Allah
Kamis, 24 Januari 2013
Pukul 18.30-20.30
Masjid Agung Syuhada, Yogyakarta
Gratis, Terbuka untuk Umum

CP: 0857 9920 5557

Penyelenggara
Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA) Yogyakarta
Pondok Pesantren Al-Irsyad Salatiga
Halaqah Keluarga Salafiyin (HKS) Yogyakarta

syaikh

No comments:

Post a Comment