Sunday, November 4, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Takdir Dan Perbuatan Hamba

Posted: 04 Nov 2012 03:03 PM PST

Pertanyaan:

Diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah:

ما شاء اللهُ كان وما لم يشأ لم يكن

"Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi"

Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat, sebetulnya maksiat yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba. Maksudnya, kehendak si hamba itu, ada-atau-tidaknya tidak berpengaruh karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan lalu tidak terjadi.

Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu mengapa maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya bingung.

 

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:

Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma Ba’du.

Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i.

Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang segala sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti memiliki hikmah. Allah berfirman:

إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

"Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia" (QS. Al Baqarah: 117)

juga firman-Nya:

وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

"Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia" (QS. Ar Ra’du: 11)

maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidak mereka dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.). Namun dengan qadha kauniy ini hamba Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba tidak dilandasi oleh qadha kauniy.

Tidak demikian dengan qadha syar’i. Kehendak dan ikhtiar hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat kepada hamba, berupa perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala dan dosa juga dilandasi oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (Al Qur’an) untuk menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat, qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.

Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat, Ia memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk qadha kauniy yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah. Pengetahuan Allah ini bukanlah pemaksaan dan pengendalian akan apa yang akan dilakukan si hamba dengan ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha kauniy ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan qadha kauniy atas maksiat dan ketidak-taatan yang ia lakukan. Dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang tidak boleh meninggalkan amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

"Beramalah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan"

lalu beliau membaca ayat:

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar" (QS. Al Lail, 5-10) [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Takdir bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi dunia" (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/353)

والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا

Sumber: http://www.ferkous.com/site/rep/Ba26.php

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Setiap Ucapan akan Masuk Catatan Amal

Posted: 03 Nov 2012 04:00 PM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebuah ayat yang menarik sekali untuk dikaji yang berisi pelajaran agar kita pintar-pintar menjaga lisan. Ayat tersebut terdapat dalam surat Qaaf tepatnya ayat 18.

Allah Ta'ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir" (QS. Qaaf: 18)

Ucapan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah yang diucapkan oleh manusia, keturunan Adam. Ucapan tersebut dicatat oleh malaikat yang sifatnya roqib dan 'atid yaitu senantiasa dekat dan tidak pernah lepas dari seorang hamba. Malaikat tersebut tidak akan membiarkan satu kalimat dan satu gerakan melainkan ia akan mencatatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (10) كِرَامًا كَاتِبِينَ (11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (12)

"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Infithar: 10-12)

Apakah semua perkataan akan dicatat? Apakah hanya yang bernilai pahala dan dosa saja yang dicatat? Ataukah perkataan yang bernilai netral pun dicatat?

Tentang masalah ini para ulama ada dua pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dicatat hanyalah yang bernilai pahala dan dosa. Namun jika kita melihat dari tekstual ayat, yang dimaksud ucapan dalam ayat tersebut adalah ucapan apa saja, sampai-sampai ucapan yang mubah sekalipun. Akan tetapi, untuk masalah manakah yang kena hukuman, tentu saja amalan yang dinilai berpahala dan dinilai dosa.

Sebagian ulama yang berpendapat bahwa semua ucapan yang bernilai netral (tidak bernilai pahala atau dosa) akan masuk dalam lembaran catatan amalan, sampai-sampai punya sikap yang cukup hati-hati dengan lisannya. Cobalah kita saksikan bagaimana kisah dari Imam Ahmad ketika beliau merintih sakit.

Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih kala itu. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi'in yang terkenal), "Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat)." Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, dan beliau tidak merintih lagi. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat.

Coba bayangkan bahwa perbuatan yang asalnya wajar-wajar saja ketika sakit, Imam Ahmad pun tidak ingin melakukannya karena beliau takut perbuatannya tadi walaupun dirasa ringan masuk dalam catatan malaikat. Oleh karena itu, beliau rahimahullah pun menahan lisannya. Barangkali saja rintihan tersebut dicatat dan malah dinilai sebagai dosa nantinya. Barangkali rintihan tersebut ada karena bentuk tidak sabar.

Mampukah kita selalu memperhatikan lisan?

Sungguh nasehat yang amat bagus dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang seharusnya kita bisa resapi dalam-dalam dan selalu mengingatnya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

"Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat." (HR. Muslim no. 2988)

Intinya, penting sekali memperhatikan lisan sebelum berucap. An Nawawi rahimahullah menyampaikan dalam kitabnya Riyadhush Sholihin nasehat yang amat bagus, "Ketahuilah bahwa sepatutnya setiap orang yang telah dibebani berbagai kewajiban untuk menahan lisannya dalam setiap ucapan kecuali ucapan yang jelas maslahatnya. Jika suatu ucapan sama saja antara maslahat dan bahayanya, maka menahan lisan untuk tidak berbicara ketika itu serasa lebih baik. Karena boleh saja perkataan yang asalnya mubah beralih menjadi haram atau makruh. Inilah yang seringkali terjadi dalam keseharian. Jalan selamat adalah kita menahan lisan dalam kondisi itu."

Jika lisan ini benar-benar dijaga, maka anggota tubuh lainnya pun akan baik. Karena lisan adalah interpretasi dari apa yang ada dalam hati dan hati adalah tanda baik seluruh amalan lainnya. Dari Abu Sa'id Al Khudri, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

"Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan akan patuh pada lisan. Lalu anggota badan tersebut berkata pada lisan: Takutlah pada Allah bersama kami, kami bergantung padamu. Bila engkau lurus kami pun akan lurus dan bila engkau bengkok (menyimpang) kami pun akan seperti itu." (HR. Tirmidzi no. 2407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Hadits ini pertanda bahwa jika lisan itu baik, maka anggota tubuh lainnya pun akan ikut baik.

Semoga yang singkat ini dari kajian tafsir surat Qaaf bermanfaat. Ya Allah, tolonglah kami untuk selalu menjaga lisan kami ini agar tidak terjerumus dalam kesalahan.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

 

Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin 'Ied Al Hilali, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, 1430 H.

Liqo' Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, kaset no. 11

Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Musthofa Al 'Adawi, Darul Fawaid dan Dar Ibni Rajab, 4/278.

 

Faedah Tafsir di Malam Kelima Ramadhan, 14 Agustus 2010 di Panggang-Gunung Kidul

No comments:

Post a Comment