Monday, August 13, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Renungan Menjelang Idul Fitri

Posted: 13 Aug 2012 04:00 PM PDT

Idul Fitri adalah hari yang banyak dinantikan oleh kaum muslimin. Kita dapat melihatnya dari aktivitas mudik dan maraknya bingkisan-bingkisan istimewa yang dijual menjelang Idul Fitri. Namun kadang kita kurang memaknai apa sih yang ada di balik Idul Fitri? Lalu buah apa yang kita peroleh saat mendapati hari Idul Fitri. Ini yang perlu kita renungkan.

Amalan Menjelang Idul Fitri

Idul Fitri adalah hari yang berulang setiap tahunnya sebagai pertanda berakhirnya puasa Ramadhan. Salah satu kewajiban yang ditunaikan menjelang Idul Fitri adalah zakat fitri. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Hasan)

Penghujung Ramadhan ini ditutup pula dengan takbir sebagaimana Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al Baqarah: 185). Takbir ini disunnahkan untuk dikumandangkan sejak berangkat dari rumah hingga pelaksanaan shalat Idul Fitri. Dalam suatu riwayat disebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya 'Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir." (Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171)

Saling mendoakan agar amalan kita di bulan Ramadhan diterima juga suatu hal yang dianjurkan saat hari raya. Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berjumpa dengan hari 'ied (Idul Fitri atau Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan, "Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amalmu)." Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan (Fathul Bari, 2: 446).

Bagaimana Seharusnya Keadaan Kita di Hari 'Idul Fithri?

Beberapa amalan yang dijalani di bulan Ramadhan berisi pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni." (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari dan Muslim).

Barangsiapa yang menghidupkan lailatul qadar dengan amalan shalat juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari)

Begitu pula pengeluaran zakat fitri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia.

Begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa sampai-sampai Ibnu Rajab mengatakan, "Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak." (Lathaif Al Ma'arif, 371)

Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fitri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi) seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa. Az Zuhri berkata, "Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat 'ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, "Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku." Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat 'ied di tanah lapang, "Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka." (Lathaif Al Ma'arif, 366). Dikatakan demikian karena sungguh amat banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan.

Dari sini, seharusnya setelah Idul Fitri, seorang muslim bisa menjadi lebih baik. Ibadah yang biasa rutin dijaga di bulan Ramadhan berusaha terus dirutinkan semisal menjaga shalat jama'ah (bagi pria), berusaha terus shalat malam dan giat berpuasa sunnah.  Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, "Sesungguhnya Allah Ta'ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya." Lalu Al Hasan membaca firman Allah (yang artinya), "Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal)." (QS. Al Hijr: 99) (Lathaif Al Ma'arif, 392). Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit." (HR. Muslim).

Khawatir Amalan Tidak Diterima

Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut." (QS. Al Mu'minun: 60)

Ibnu Diinar mengatakan, "Tidak diterimanya amalan lebih kukhawatirkan daripada banyak beramal." Abdul Aziz bin Abi Rawwad berkata, "Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak." Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, "Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima."

'Umar bin 'Abdul Aziz berkata tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, "Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan  kepada mereka, "Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan." Mereka malah mengatakan, "Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak."

Itulah kekhawatiran para salaf. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu "pede" dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh antara kita dengan mereka (Lathaif Al Ma'arif, 368-369).

Semoga perjumpaan dengan Idul Fithri, kita mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika berjumpa kelak dengan Allah.

Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST.
Artikel Muslim.Or.Id

Hakikat Ilmu

Posted: 12 Aug 2012 11:00 PM PDT

"Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir" (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, "Hadits hasan shahih")

Baru saja para orang tua disibukkan oleh agenda "mencarikan sekolah" untuk putra-putrinya yang akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sungguh melelahkan dan menegangkan, apalagi bagi anak yang nilainya pas-pasan. Sang Bapak dan Anak harus kesana-kemari sambil mencari informasi setiap harinya. Tidak hanya satu formulir yang diambilnya, sebagai alternatif bila sekolah pilihan pertama tidak dapat diraih. Fenomena ini terjadi setiap tahun, termasuk oleh sebagian besar kaum muslimin. Banyak pendaftar yang diterima dan akan berhadapan dengan biaya sekolah yang cukup besar. Namun ada juga yang tidak diterima sehingga harus memutar haluan hidup. Secara umum, hanya ada satu motivasi yang terbersit di hati mereka, yaitu : anakku harus menjadi orang sukses!

Sukses yang hakiki adalah berhasil menjalani hidup ini untuk mendapatkan syurga-Nya. Berapa banyak orang tua memandang bahwa kesuksean itu adalah dengan nilai duniawi. Lihatlah hadits di atas, bagaimana nilai dunia 'tidak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk!!'. Hingga tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya ialah agar mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Mereka lupa akan tujuan menuntut ilmu ialah harus ikhlas karena Allah dan agar generasi kita tidak berada dalam kebodohan. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Mereka lupa bahwa Islam sebagai agama paripurna telah memberikan perhatian yang besar terhadap kesuksesan, yaitu dengan ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (QS. Al-Mujadilah: 11).

Juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Menuntut ilmu itu wajib (hukumnya) atas setiap muslim" (Shahihul Jami' 3913)

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah menuntut ilmu syar'i. Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu'amalah dengan makhluk.

Namun ketahuilah kaum muslimin yang semoga Allah rahmati, bahwa Islam membagi ilmu berdasarkan hukumnya sebagai berikut:

Pertama: Ilmu Dien, yang terbagi menjadi:

  1. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu 'Ain (wajib dimiliki oleh setiap orang), yaitu: Ilmu tentang akidah berupa rukun iman yang enam, dan ibadah, seperti thoharoh, sholat, shiyam, zakat, dan ibadah wajib lainnya.
  2. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu Kifayah (harus ada sebagian orang islam yang menguasai, bila tidak ada maka semua kaum muslimin di tempat itu berdosa), yaitu: ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fara'idh, ilmu bahasa, dan ushul fiqh.

Kedua: Ilmu Duniawi, yaitu segala ilmu yang dengan ilmu tersebut tegaklah segala maslahat dunia dan kehidupan manusia, seperti: ilmu kedokteran, pertanian, ilmu teknik, perdagangan, militer, dan sebagainya. Menurut 'ulama, hukum ilmu duniawi adalah fardlu kifayah.

Dengan demikian, islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi menuntut ilmupun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien (agama). Entah kekhawatiran apa yang membayangi manusia sehingga mereka lebih mementingkan ilmu dunia dari pada ilmu dien, padahal Allah subhanahu wata'ala berfirman:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (QS. Ar Rum:7)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka." (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah berkata: "Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah 'azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah 'azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri." (Taisir Karimir Rahman 4/75)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:
"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya." (Shahih Jami' Ash Shaghir)

Maukah kita disebut bodoh oleh Sang Khaliq…??

Akankah kita bergelimang dalam kebodohan ilmu dien (agama), padahal kebodohan adalah sebuah kejumudan? Lalu, tidakkah kita ingin sukses dan jaya di negeri akhirat nanti? Apa yang menghalangi kita untuk segera meraup ilmu dien (agama), sebagaimana kita berambisi meraup ketinggian ilmu dunia karena tergambar kesuksesan masa depan kita?

Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin, seorang 'ulama kontemporer telah mengumpulkan keutamaan ilmu, khususnya ilmu dien untuk mendongkrak motivasi kita yang begitu lemah. Mari kita simak!

  1. Bahwa ilmu dien adalah warisan para Nabi, warisan yang lebih berharga dan lebih mulia dibanding segala warisan. Rasulullah telah bersabda:
    "Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya (warisan ilmu), sungguh ia telah mengambil keuntungan yang banyak". (Shahihul Jami Al Albani : 6297)
  2. Ilmu itu akan kekal sekalipun pemiliknya telah mati, tetapi harta akan berpindah dan berkurang bahkan jadi rebutan bila pemiliknya telah mati. Kita pasti mengetahui Abu Hurairah –semoga Allah meridlainya- seorang yang diberi julukan "gudangnya periwayat hadits". Dari segi harta, beliau tergolong kaum kaum papa (fuqoro'), hartanya pun telah sirna, tetapi ilmunya tidak pernah sirna. Kita masih tetap membacanya. Inilah buah dari Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam:
    "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang sholeh" (HR. Muslim no. 1631)
  3. Ilmu, sebanyak apapun tak menyusahkan pemiliknya untuk menyimpan, tak perlu gudang yang luas untuk menyimpannya, cukup disimpan dalam dada dan kepalanya. Ilmu akan mejaga pemiliknya sehingga memberi rasa aman dan nyaman, berbeda dengan harta yang bila semakin banyak, semakin susah menyimpannya, menjaganya, dan pasti membuat gelisah pemiliknya.
  4. Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam menggambarkan para pemilik ilmu itu ibarat lembah yang bisa menampung air yang bermanfaat bagi alam sekitar, sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
    "Perumpamaan dari petunjuk ilmu yang aku diutus dengannya bagaikan hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur), yang mampu menampung air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rumput-rumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah keras yang mampu menahan air yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia untuk meminum, mengairi tanaman, dan bercocok tanam….." (HR. Bukhari & Muslim)
  5. Ilmu adalah jalan menuju surga (jannah), tiada jalan pintas menuju surga kecuali dengan ilmu. Sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam:
    "Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang 'alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak." (HR. Muslim)
  6. Ilmu merupakan pertanda kebaikan seorang hamba. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
    "Siapa yang Allah kehedaki baginya kebaikan, akan dipahamkan baginya masalah dien (agama)" (HR. Bukhari)

Problem terbesar di kalangan ummat ini adalah kebodohan terhadap agamanya. Maka diperlukan usaha nyata untuk memecahkan problem tersebut, yaitu dengan ilmu. Dan ilmu tersebut hanya akan didapat majelis ilmu yang didalam dikatakan "Firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan perkataan para sahabat –semoga Allah meridlai mereka semua-". Tanpa melalaikan ilmu dunia, ilmu agama harus diprioritaskan karena hukum dan manfaatnya jauh lebih tinggi dibanding ilmu duniawi. Hal inilah yang sekarang ini terbalik. Ummat lebih mementingkan ilmu dunia dan cenderung melupakan ilmu dien. Padahal tidak ada obat bagi kebodohan kecuali dengan ilmu. Kebodohan dalam hal apapun! Bahkan ketika di antara kita ada yang mengatakan "kita harus seimbang antara dunia dan akhirat".

Maka pada hakikatnya perkataan itu hanyalah usaha untuk menutupi kebodohan terhadapa ilmu dien. Bagaimana dikatakan seimbang, dikala dia tidak mengetahui syarat Laa Ilaha Illallah serta pembata-pembatalnya, konsekuensi 2 kalimat syahadat, rukun-rukun shalat, dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Sementara dia mengetahui sekian banyak ilmu dunia, akuntansi, geografi, matematika, kimia dan ilmu yang bersifat duniawi secara mendetail. Bukanlah hal tercela diantara kita mendalami ilmu tersebut, namun yang dicela adalah ketika ilmu-ilmu tersebut mereka kuasai, tapi ilmu dien adalah nol besar jika tidak mau dikatakan minus.

Demikianlah beberapa mutiara ilmu (dien) yang jauh lebih mulia dari harta. Sebenarnya masih banyak keunggulan lainnya yang tidak termuat dalam tulisan sederhana ini. Karena itu mari kita gali ilmu dien secara benar dari sumbernya, yaitu Al-Quran dan As-sunnah melalui pemahaman para salafush shalih (pendahulu yang shalih). Jangan lupakan mutiara berharga dalam hidup ini.

Wallaahu waliyyut-taufiq.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

No comments:

Post a Comment