Saturday, August 31, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Memang Banyak yang Berangkat Haji, Namun Sedikit yang Berhaji

Posted: 31 Aug 2013 04:00 PM PDT

manasik haji

Kita diperintah untuk ikhlas dalam amalan dan bukan hanya terus menerus memperbanyak amal. Niat kita mesti diluruskan dalam setiap beramal. Termasuk pula dalam amalan mulia semacam haji.

Ada seseorang yang pernah berkata pada Ibnu 'Umar mengenai banyaknya orang yang berhaji. Ibnu 'Umar berujar, "Memang banyak yang berangkat haji, namun sedikit yang berhaji." Syuraih juga berkata, "Yang berhaji itu sedikit , namun yang berangkat haji itu banyak". Maksudnya adalah banyak orang yang berbuat baik, namun sedikit yang bisa ikhlas dalam ibadah, yaitu hanya mengharap wajah Allah.

Dalam beramal kita dituntut untuk melakukan dua perkara yaitu murni dalam beribadah pada Allah (alias: ikhlas) dan mutaba'ah (mengikuti tuntunan Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-). Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi: 110).

Fudhail bin 'Iyadh ditanya mengenai ayat,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya" (QS. Al Mulk: 2). Kata Fudhail, yang dimaksud adalah akhlashuhu wa ashwabuhu, yaitu yang paling ikhlas dan paling mengikuti tuntunan nabi.

Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada Allah dengan ikhlas.

(*) Dikembangkan dari kitab "Ahwalus Salaf fil Hajj", karya: Dr. Badr bin Nashir Al Badr, hal. 24-25, terbitan Darul Fadhilah.

 

@ Sakan 27, KSU, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Nasihat Di Zaman Penuh Fitnah

Posted: 31 Aug 2013 06:00 AM PDT

desease

Soal:

Berikanlah nasihat kepada kami terutama di zaman ini, dimana banyak fitnah didalamnya, dan tersebarnya ahlul bida’ (orang yang membuat ajaran baru dalam agama) dan wafatnya para ulama

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:

Pertama, aku nasihatkan kepada anda untuk bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala memperbanyak do’a agar Allah menguatkan kita diatas agama ini dan menjaga kita dari buruknya fitnah.

Kemudian, aku nasihatkan kepada anda untuk menuntut ilmu, menuntut ilmu dari para ulama dan bersemangat untuk menuntut ilmu, karena sesungguhnya seseorang tidak akan terjaga dari fitnah -dengan izin Allah- kecuali dengan ilmu yang benar.

Adapun apabila engkau tidak memiliki ilmu yang benar, boleh jadi engkau berada dalam fitnah namun engkau tidak menyadarinya dan tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut adalah fitnah. Maka belajarlah (ilmu agama) dari para ulama, dan janganlah anda malas untuk menuntut ilmu, apapun yang terjadi.

 

Sumber: http://alfawzan.af.org.sa/node/14958

Penerjemah: Muhammad Oksa

Artikel Muslim.Or.Id

Hukum Umrah Sebelum Haji

Posted: 30 Aug 2013 05:42 PM PDT

Hukum umrah

Fenomena yang ada saat ini karena melihat antrian haji yang cukup panjang, maka sebagaian orang berinisiatif berumrah sebelum menunaikan haji yang wajib. Karena umrah itu lebih mudah dilakukan tidak perlu dengan antrian yang panjang. Namun perlu dipahami pula bahwa umrah adalah suatu kewajiban sebagaimana haji (lihat tulisan Muslim.Or.Id di sini).

Boleh saja seorang muslim mendahulukan umrah sebelum berhaji dan tidaklah berdosa. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Sebagaimana Abu 'Umar Ibnu 'Abdil Barr berkata bahwa Az Zarqoni dalam Syarh Al Muwatho' ketika menjelaskan hadits Malik bin 'Abdirrahman bin Harmalah bahwa ada seseorang yang bertanya pada Sa'id bin Al Musayyib, "Apakah aku boleh berumrah sebelum berhaji?" Sa'id menjawab, "Boleh saja." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu pernah melakukan umrah tiga kali sebelum berhaji. Ibnu 'Abdil Barr berkata bahwa hadits ini bersambung dilihat dari sanad lainnya dan hadits tersebut shahih. Masalah bolehnya umrah sebelum haji bagi siapa yang berkeinginan adalah hal yang disepakati oleh ulama. Juga terdapat riwayat shahih bahwa 'Ikrimah bin Kholid pernah bertanya pada Ibnu 'Umar mengenai umrah sebelum haji. Ibnu 'Umar berkata bahwa seperti itu tidaklah masalah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu pernah berumrah sebelum haji. Imam Ahmad dan Ibnu Khuzaimah juga mengatakan tidak mengapa berumrah sebelum haji. Demikian perkataan Ibnu 'Abdil Barr. [Sumber: Islamweb.net]

Wallahu a'lam.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 12 Sya'ban 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Sunnah Menikah Di Bulan Syawal

Posted: 30 Aug 2013 09:31 PM PDT

Sekilas Tentang Bulan Syawaal

Bulan Syawal adalah bulan kesepuluh di antara bulan-bulan qamariyah (hijriyah). Datang setelah bulan Ramadhan yang diwajibkan padanya berpuasa bagi kaum muslimin, maka dengan datangnya awal bulan Syawal ini mereka merayakan kemenangan di hari 'iedul fithri dengan menunaikan shalat 'ied yang diiringi dengan mau'izhah dari para khatib. Dan pada bulan ini, tentunya setelah hari 'iedul fithri, dianjurkan berpuasa enam hari dari hari-hari bulan ini, sehingga seseorang yang mengiringi puasa Ramadhannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka seolah-olah dia berpuasa setahun penuh. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ [رواه مسلم].

"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu mengiringinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawal, maka itu bagaikan puasa setahun penuh." (HR.  Muslim)

sunnah menikah di syawwalYa, satu harinya senilai dengan sepuluh hari, 36 hari senilai dengan 360 hari, sejumlah hari dalam setahun hijriyah qamariyah. Hal itu karena kemurahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas umat ini yang melipatgandakan amal kebaikan hamba-Nya menjadi sepuluh kali lipat sebagaimana dalam firman-Nya,

مَنْ جَآءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya (balasan) sepuluh kali lipatnya." (QS.  Al-An'am: 160)

Bagi orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji, bulan ini merupakan permulaan bulan-bulan haji sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya,

اَلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ …

"Haji itu (pada) bulan-bulan tertentu …" (QS.  Al-Baqarah: 197)

Maksudnya bahwa dimulainya berihram untuk haji adalah pada bulan Syawal. Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu berkata (mengomentari ayat di atas), "(Bulan-bulan haji tersebut) yaitu Syawal, Dzul Qa'dah dan sepuluh hari (pertama dari) Dzul Hijjah."[1]

Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Syalat al Ibil yang maknanya unta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram (yang dihormati), yaitu bulan larangan untuk berperang.[2]

Bulan-bulan haram (yang dihormati) yang dilarang berperang padanya di sini maksudnya adalah Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah dan Muharram yang datang setelah Syawal berturut-turut. Adapun satu lagi terpisah dari yang lain yaitu bulan Rajab.

Ada pula yang mengatakan bahwa bulan ini disebut Syawal, karena anggapan orang arab –di masa jahiliyyah- bahwa bulan ini adalah bulan sial. Sehingga mereka tidak mau mengadakan acara pernikahan dan membangun rumah tangga mereka di bulan ini. Anggapan mereka tersebut didasari oleh karena pada bulan Syawal para wanita menolak untuk dinikahi sebagaimana unta betina yang menolak didekati unta jantan dengan cara mengangkat ekornya (sya-lat bi dzanabiha).[3]

Dalam sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam, bulan syawal ini telah mencatat berbagai peristiwa penting, seperti perang Uhud pada tahun ke-3 H, perang Khandaq (parit) atau yang dikenal dengan perang Ahzab (golongan-golongan) pada tahun ke-5 H, dan perang Hunain pada tahun ke-8 H, semuanya terjadi pada bulan syawal.

Pada bulan ini pula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahi Aisyah Radiyallahu ‘anhaa di tahun ke-11 kenabian, saat itu Aisyah Radiyallahu ‘anhaa berusia 6 atau 7 tahun, dan membangun rumah tangga (berkumpul) dengannya juga pada bulan tersebut, tepatnya sekitar tujuh bulan setelah hijrah, ketika Aisyah Radiyallahu ‘anhaa berusia 9 tahun.

Sekilas Tentang Syariat Nikah

Nikah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang agung, dan sunnah para nabi sebelum beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam, yang sejalan dengan fithrah manusia yang lurus, lagi memiliki hikmah dan tujuan yang luhur demi kemaslahatan kehidupan manusia. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,

إِنَّ مِنْ سُنَّتِي أَنْ أُصَلِّيَ وَأَنَامَ، وَأَصُومَ وَأَطْعَمَ، وَأَنْكِحَ وَأُطَلِّقَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي [رواه الدارمي].

"Sesungguhnya di antara sunnahku, aku shalat tapi aku juga tidur, aku berpuasa tapi juga berbuka, dan aku menikah tapi juga (bisa) menceraikan. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan golonganku." (HR.  Ad-Darimi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no . 394)

Dalam riwayat lain –dengan lafazh-:

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ [رواه ابن ماجه].

"Nikah itu termasuk sunnahku. Barangsiapa yang enggan mengamalkansunnahku maka ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena sesungguhnya aku akan bangga dengan kalian di hadapan umat-umat lain. Dan barangsiapa yang memiliki kemampuan maka menikahlah, dan barangsiapa yang belum mampu maka bepuasalah, karena puasa itu perisai (pemutus syahwat jima') baginya." (HR.  Ibnu Majah)[4]

Allah Subhnahu Wa Ta’ala menceritakan tentang para rasul sebelum Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

"Dan sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami jadikan untuk mereka isteri-isteri dan anak keturunan." (QS. Ar-Ra'du: 38)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menganjurkannya kepada para pemuda sebagaimana dalam sabdanya,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ [رواه البخاري ومسلم، واللفظ لمسلم، من حديث عبد الله بن مسعودt].

"Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu telah mampu menikah maka menikahlah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu hendaklah dia berpuasa, karena ia (puasa) itu adalah perisai (pemutus syahwat jima') baginya." (HR.  Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam mencela seseorang yang enggan menikahi wanita, walaupun maksudnya untuk meningkatkan ibadahnya. Anas bin Malik Radiyallahu anhu menceritakan, "Datang tiga orang ke rumah beberapa istri Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam menanyakan tentang ibadah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam. Ketika mereka diberitahu tentang hal itu maka merekapun merasa diri mereka masih sedikit beribadah, lalu mereka berkata: "Dimana kita (bila dibanding) dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam? Padahal beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang." Salah satu dari mereka pun berkata, "Aku akan shalat malam selama-lamanya". Yang lain berkata, "Aku akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka (seharipun)." Yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya." (Demi mendengar itu) maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam berkata kepada mereka, "Kalian yang mengatakan begini dan begitu? Ketahuilah, demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kamu, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku." (HR.  Al-Bukhari dan Muslim. Dan ini adalah lafazh Al-Bukhari)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam juga telah melarang sikap enggan menikah (tabattul) ini sebagaimana diceritakan di antaranya oleh Samurah bin Jundub Radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ التَّبَتُّل

"Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam melarang tabattul (enggan menikah dalam rangka beribadah)." (HR.  Ahmad, At-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 6867)

Menikah Di Bulan Syawal = Sunnah?

Pada dasarnya menikah itu tidak terikat dengan waktu tertentu. Kapan saja, hari apapun dan bulan apapun seseorang boleh menikah. Sebab dalam aqidah Islam tidak ada yang namanya hari dan bulan buruk, hari dan bulan sial untuk sebuah pernikahan. Semua waktu adalah baik.

Namun demikian, sebagian orang masih meyakini adanya hari sial dan bulan sial. Dan dalam menentukan waktu pernikahan mereka menghitung-hitung dan mencari waktu yang mereka yakini sebagai waktu yang baik, hari dan bulan baik, supaya terhindar dari bala bencana, seperti perceraian, menurut anggapan mereka.

Keyakinan seperti itu disebut tasyaum atau thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) yang tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang bersabda,

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ [رواه البخاري ومسلم]

"Tidak ada (sesuatu) yang menular dan tidak ada (sesuatu) yang sial (yakni secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa'l ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik." (HR.  Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu secara dzatnya itu termasuk kesyirikan. Beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

"Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal." (HR.  Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).

Di masa jahiliyyah dahulu, masyarakat Arab meyakini adanya suatu masa yang bila melakukan pernikahan atau membangun rumah tangga maka tidak akan beruntung alias sial, yaitu bulan Syawal. Anggapan ini mereka sandarkan kepada keadaan unta betina yang mengangkat ekornya (sya-lat bi dzanabiha) sebagai tanda penolakan terhadap unta jantan yang mendekatinya. Karena itulah para wanita mereka menolak untuk dinikahi atau para wali wanita menolak untuk menikahkan anak wanitanya.

Setelah Islam datang dan Rasulullah e secara bertahap menancapkan tiang-tiang akidah yang lurus, sehingga sedikit demi sedikit orang-orang memeluk Islam. Maka di tengah-tengah dakwah beliau kepada tauhid dan menghapus kesyirikan di bumi Mekkah saat itu, beberapa saat setelah isteri beliau tercinta Khadijah Radiyallahu ‘anhaa wafat pada bulan Ramadhan, maka pada bulan Syawal yaitu di tahun ke-11 kenabian (dua atau tiga tahun sebelum hijrah) beliau menikahi Aisyah hyang saat itu berusia 6 atau 7 tahun. Dan setelah itu menikahi isteri beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam Saudah binti Zam'ah Radiyallahu ‘anhaa pada bulan yang sama.[5]

Aisyah Radiyallahu ‘anhaa menceritakan,

تَزَوَّجَنِي رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سَبْعٍ- قَالَ سُلَيْمَانُ: أَوْ سِتٍّ-؛وَدَخَلَ بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعٍ [رواه أبو داود]

"Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menikahiku ketika aku berusia tujuh tahun (Sulaiman berkata: atau enam tahun), dan membangun rumah tangga denganku ketika aku berusia sembilan tahun." (HR.  Abu Daud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud no. 1845)

Aisyah Radiyallahu ‘anhaa juga berkata,

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ e فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ e كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ)) [رواه مسلم]

"Rasulullah e menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?" (Perawi) berkata, "Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal." (HR.  Muslim)

Al-Imam An-Nawawi menerangkan hadits di atas di dalam syarah Shahih Muslim (9/209), "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama syafi'iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah Radiyallahu ‘anhaa ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang bertathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawal dari kata al-isyalah dan ar-raf'u (menghilangkan/mengangkat)." (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka).

Dari penjelasan Al-Imam An-Nawawi terhadap hadits Aisyah Radiyallahu ‘anhaa di atas jelaslah hikmah dari dianjurkannya menikah, menikahkan dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal, yaitu untuk menyelisihi keyakinan dan kebiasaan jahiliyyah. Anjuran tersebut tentu memiliki keutamaan, dan telah dijelaskan oleh Aisyah Radiyallahu ‘anhaa dalam hadits di atas, ketika ia mengatakan, "Maka isteri-isteri Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung dariku?". Keutamaan tersebut berupa keberuntungan, bukan kesialan sebagaimana anggapan takhayul jahiliyyah.

Demikianlah, akhirnya Islam menetapkan sunnahnya mengadakan pernikahan dan membangun rumah tangga di bulan Syawal, terutama di tengah masyarakat yang meyakini kesialan bulan tersebut untuk sebuah pernikahan.

Nah, Ternyata kita sekarang telah memasuki akhir bulan Syawal lho. Ayo, siapa yang mau melaksanakan sunnah nikah di bulan syawal? Buruan, mumpung masih ada kesempatan ^^



[1] Shahih Al-Bukhari (3/419) –dengan Fathul Bari-. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/239).

[2] Dalilul Falihin li Syarhi Riyadhis Shalihin karya Muhammad bin 'Allan Ash-Shiddiqi Asy-Syafi'i Al-Makki.

[3] Lihat Lisanul Arab karya Ibnu Mundzir (11/374, pada huruf laam, materi: sya-wa-la)

[4] Hadits ini sanadnya lemah, karena ada seorang perawi yang dha'if (lemah) yaitu 'Isa bin Maimun. Namun hadits ini derajatnya naik menjadi hasan karena adanya hadits-hadits pendukung sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383.

[5] Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah e menikahi Saudah binti Zam'ah –رضي الله عنها- terlebih dahulu, lalu Aisyah –رضي الله عنها-. Sebagian lagi mengorelasikannya dengan menyatakan bahwa Rasulullah e menikahi Aisyah hlebih dahulu lalu Saudah h, hanya saja beliau e membangun rumah tangga dengan Saudah h lebih dahulu sebelum hijrah, lalu membangun rumah tangga dengan Aisyah h setelah hijrah. (Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar (7/225). Wallahu A'lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Humaid Arif Syarifudin Asy-Syirbuni, dari Majalah Al Bayan Edisi 9.

Dipublish oleh Ian Abuarfa. Sumber gambar: sxc.hu

Friday, August 30, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Dauroh Ilmiyyah Bersama Syaikh Muhammad Abdul Latif (Bontang, 3 – 8 September 2013)

Posted: 29 Aug 2013 11:03 PM PDT

Dauroh syaikh muhammad bin abdul latif

Hadirilah dauroh ilmiah ke 4 bersama:

Syaikh Muhammad Abdul Latif حفظه الله

(Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i رحمه الله & Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi حفظه الله)

Penerjemah: Ustadz Hizbul Majid حفظه الله

Mulai tanggal 3 – 8 September 2013

(Beliau akan mengisi di Kajian Ba’da Maghrib, Ba’da Shubuh dan di Kajian Ummahat)

 

Adapun DAUROH insyaAllah akan diadakan pada hari :

Sabtu 7 September 2013

Jam 08.30 -12.00 WITA

Tempat: Masjid Abu Bakar Ash Shiddiq, Pisangan.

Tema: “Pengaruh Keimanan Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Ahad 8 September 2013

Jam 08.30 -12.00 WITA

Tempat: Masjid Abu Bakar Ash Shiddiq, Pisangan.

Tema: “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

CP:

  • Bapak Rosiin: 082155593038
  • Bapak Wahyudi: 085249721532

Dauroh syaikh muhammad bin abdul latif

Kajian Umum Bersama Ust. Badrusalam, Lc. (Samarinda, 31 Agustus – 1 September 2013)

Posted: 29 Aug 2013 07:57 PM PDT

ustdz badru di samarinda

Sabtu, 31 Agustus 2013

Waktu : 13.30 – selesai
Tempat : Islamic Center
Tema : “Membangun Rumah di Surga”

Waktu : Ba'da Maghrib – Selesai
Tempat : Mesjid Agung Pelita
Tema : “Amal Pembuka Rezeki”

Ahad, 01 September 2013

Waktu : Ba'da Shubuh – Selesai
Tempat : Islamic Center
Tema : “Menangis karena takut kepada Allah”

Waktu : 09.00 – 11.30
Tempat : Islamic Center
Tema: “Menjadi Bidadari Surga”

Waktu : Ba'da Maghrib – Selesai
Tempat : Mesjid SDIT Fastabiqul Khoirot ( air hitam )
Tema : “Mereka yg diinginkan kebaikan oleh Allah”

CP :

  • Anwar 08979632261
  • Abu Ghoza 085247965554

ustdz badru di samarinda

Penghalang Ittiba’ (6) : Diamnya Para Ulama

Posted: 29 Aug 2013 05:15 PM PDT

orang-shalih

Dengan diamnya para ulama dari menyebarkan kebenaran dan memperingatkan kebatilan, suara kebatilan menjadi tinggi, suara kebenaran menjadi lemah dan banyak orang menyangka bahwa orang-orang yang berada di atas kebatilan – karena banyak dan tersebarnya mereka – adalah orang-orang yang benar, dengan dalil muncul dan nampaknya mereka, karena jika tidak demikian tentu mereka tidak akan muncul dan nampak. Dan sebagai akibat darinya, pengikut kebenaran menjadi sedikit.

Oleh karena itu, nash-nash datang dengan membawa peringatan dari menyembunyikan ilmu dan tidak menyebarkannya. Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (159) إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan bayyinah (penjelas) dan petunjuk yang Kami turunkan, setelah Kami jelaskan kepada manusia di dalam al-kitab, mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Alah dan orang-orang yang melaknat. Kecuali orang-orang yang telah bertaubat, memperbaiki dan menjelaskan, maka Allah akan menerima taubat mereka dan Aku Maha menerima taubat dan Maha penyayang" (QS. Al-Baqarah: 159-160)

Asy-Syaukani di dalam menjelaskan ayat ini mengatakan, "Mereka (para ulama-pen) berselisih tentang yang dimaksud dengan orang-orang itu. Ada yang mengatakan, mereka adalah ulama-ulama yahudi dan pendeta-pendeta nasrani yang meninggalkan urusan Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan ada yang mengatakan, mereka adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran dan tidak menjelaskan apa yang diwajibkan oleh Allah untuk dijelaskan. Inilah pendapat yang lebih kuat, karena yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya. Sebagaimana hal ini telah ditetapkan dalam ilmu ushul. Seandainya kita terima bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan sikap orang-orang yahudi dan nasrani yang menyembunyikan ilmu, maka hal ini tidak bertentangan dengan cakupan ayat terhadap setiap orang yang menyembunyikan kebenaran. Dan di dalam ayat ini terdapat ancaman yang sangat keras, tidak bisa diukur besarnya. Karena barangsiapa yang dilaknat oleh Allah dan hamba-hambaNya yang bisa melaknat, berarti kecelakaan dan kerugiannya telah sampai kepada batas yang tidak bisa dijangkau dan diketahui hakikatnya."1

Dan di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ ))

"Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api"2

Dalam riwayat Ibnu Majah,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلاَّ أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ

"Tidaklah seseorang menghafal suatu ilmu lalu dia menyembunyikannya, melainkan pada hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dikekang dengan tali kekang dari neraka"3

Catatan Kaki

1 Fathul Qadir (1/238).

2 At-Tirmidzi (5/29) no. 2649.

3 Ibnu Majah (1/96) no. 261, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (1/49) no. 210.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Kajian Umum Bersama Ust. Zaenal Abidin, Lc. (Balikpapan, 30 Agustus – 1 September 2013)

Posted: 29 Aug 2013 04:57 PM PDT

kajian-balikpapan

Jadwal Kegiatan Kajian Ust. Zaenal Abidin di Balikpapan, 30 Agustus – 1 September 2013

JUM'AT, 30 AGUSTUS 2013
Waktu : Ba'da Maghrib – Selesai
Peserta : Umum (Muslim & Muslimah)
Tempat : Masjid Istiqomah (Jl. Sport, Gn Dubs, Samping Lapangan Merdeka)
Tema : Badai Rumah Tangga Pasti Berlalu

SABTU, 31 AGUSTUS 2013
Waktu : 09.00 – Zhuhur
Peserta : Umum (Muslim & Muslimah)
Tempat : Masjid Istiqomah (Jl. Sport, Gn Dubs, Samping Lapangan Merdeka)
Tema : Rumahku Taman Syurgaku

Waktu : Ba'da Maghrib – Selesai
Peserta : Umum (Muslim & Muslimah)
Tempat : Masjid Baiturrahman (Balikpapan Regency Tahap II)
Tema : Pahala Berlimpah Para Pencari Nafkah

AHAD, 1 SEPTEMBER 2013
Waktu : Ba'da Shubuh – Selesai
Peserta : Umum (Muslim & Muslimah)
Tempat : Masjid Istiqlal (Jl. Panorama, Samping Stadion Persiba)
Tema : Bijak Terhadap Ajaran Wali Songo

Waktu : 09.00 – Zhuhur
Peserta : Umum (Muslim & Muslimah)
Tempat : Masjid Al-Imam An-Nasa'i (Jl. Syarifudin Yos, Depan Sepinggan Pratama)
Tema : Perjalanan Ruh Setelah Kematian.

SENIN, 2 SEPTEMBER 2013
Waktu : 08.00 –10.00 wita
Peserta : Khusus Muslimah
Tempat : Pondokan Nadita (Jl. Marsma Iswahyudi, sebelah DHL Expedisi, dekat Bandara Sepinggan)
Tema : Membuat Suami Kangen Rumah

 

Info: 085245262706

atau melalui FB Group Majelis Ilmu Balikpapan atau website http://www.majelisilmu.com

 

Diselenggarakan oleh: Yayasan Thaifah Al Manshurah

Bekerjasama dengan:

  • Pondokan Nadita
  • Dewan Kemakmuran Masjid Al Istiqomah
  • Dewan Kemakmuran Masjid Baiturrahman
  • Dewan Kemakmuran Masjid Istiqlal
  • Rodja TV

kajian-balikpapan

Hukum dan Syarat Haji

Posted: 29 Aug 2013 02:29 PM PDT

haji

Hukum Haji

Hukum haji adalah fardhu 'ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur'an, As Sunnah dan ijma' (kesepakatan para ulama).

1. Dalil Al Qur'an

Allah Ta'ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imron: 97).

Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), "Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim.

2. Dalil As Sunnah

Dari Ibnu 'Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

"Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).

Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah." Lantas ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?" Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, "Seandainya aku mengatakan 'iya', maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup" (HR. Muslim no. 1337). Sungguh banyak sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.

3. Dalil Ijma' (Konsensus Ulama)

Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al ma'lum minad diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan  kafir.

Syarat Wajib Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu

Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, "Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam penetapan syarat-syarat ini." (Al Mughni, 3:164)

Catatan:

  1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu' (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma').
  2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
  3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang.
  4. Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa 'iddah.

Syarat Sah Haji

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. 'Abullah bin 'Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqo'dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
  4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arofah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka'bah. Sa'i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.

Bersambung insya Allah …

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 1 Dzulhijjah1432 H (29/10/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Naik Haji dalam Keadaan Berutang

Posted: 28 Aug 2013 04:00 PM PDT

Utang riba bank

Tanya:

Apakah boleh seseorang berhaji dalam keadaan berutang? Aku pernah mendengar, ada yang katakan bahwa tidak boleh seseorang berhaji dalam keadaan seperti itu sampai ia melunasi utang-utangnya. Apakah benar seperti itu? Apakah haji itu hanya diperintahkan pada orang yang telah nikah saja atau selainnya (yaitu bujang) juga termasuk di dalamnya?

Jawaban dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:

Pertama, jika berutang tadi mampu untuk dilunasi ditambah ia masih memiliki nafkah untuk berangkat haji dan ia tidak terasa berat untuk melunasinya, atau ia berhaji dan diizinkan dan diridhoi oleh orang yang memberi utangan, maka dibolehkan seperti itu. Jika tidak demikian, maka tidak dibolehkan ia berhaji. Namun seandainya ia berhaji pun dalam keadaan seperti itu, hajinya sah.

Kedua, hukum berhaji bagi seorang mukallaf (yang dibebani syariat) adalah wajib jika ia mampu (untuk berhaji), terserah dia sudah menikah ataukah masih bujang. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imron: 97)

Wabillahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini:

Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh 'Abdur Rozaq 'Afifi selaku wakil ketua, Syaikh 'Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta' 11/48-49, pertanyaan kelima no. 9405.

***

Dari sini kita dapat memahami bahwa hukum haji dalam keadaan berutang itu boleh asalkan ia mampu atau yakin melunasi utangnya atau diridhoi oleh orang yang memberi utangan. Namun tentu saja utang ini dicari dengan jalan yang halal, tanpa riba, tanpa bunga, bukan meminjam di bank. Akan tetapi, demikianlah keadaan sebagian orang yang berangkat berhaji, tidak kenal halal dan haram. Padahal haji adalah ibadah yang amat urgent. Namun kenapa begitu nekad mendatangi bank dan meminjam uang dari mereka, dan ini tentu saja riba. Karena di balik utang bank itu ada keuntungan yang mereka ambil. Keuntungan inilah riba. Sebagaimana para ulama katakan, "Setiap utangan yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba." Jika orang berhaji, carilah cara yang halal untuk mendapatkan utang karena ancaman adalah laknat Allah bagi orang yang meminjam uang dan membayar ribanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya." Beliau mengatakan, "Mereka semua itu sama."(HR. Muslim no. 1598)

Renungkanlah, bagaimana bisa meraih haji mabrur jika sejak awal sudah mendapatkan laknat seperti ini? Padahal yang disebut haji mabrur adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

""Siapa yang berhaji ke Ka'bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari no. 1521). Ibnu Kholawaih berkata, "Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima)." Ulama yang lainnya mengatakan, "Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa." (Lihat Fathul Bari, 3/382)

Sabarlah untuk menabung sebagai bekal haji. Jika kita ingin selalu cari yang halal dan diridhoi Allah, pasti Allah akan mudahkan.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu." (HR. Ahmad. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

3 days before wuquf in Arofah, 6 Dzulhijjah 1431 H, KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Hukum Umrah, Wajibkah?

Posted: 27 Aug 2013 04:00 PM PDT

Hukum umrah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita sudah tahu dan jelas bagaimana hukum menunaikan ibadah haji. Namun bagaimanakah hukum umrah, yang di dalamnya ada dua ritual ibadah utama yaitu thowaf mengelilingi ka'bah dan sa'i antara Shofa dan Marwah?

Dalam masalah ini ada khilaf (silang pendapat) di antara para ulama. Ulama Malikiyah, kebanyakan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa 'umroh itu sunnah muakkad, yaitu 'umroh sekali seumur hidup.

Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah lainnya berpendapat bahwa 'umroh itu wajib sekali seumur hidup karena menurut istilah mereka sunnah muakkad itu wajib.

Pendapat yang paling kuat dari Imam Syafi'i, juga menjadi pendapat ulama Hambali, 'umroh itu wajib sekali seumur hidup. Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa 'umroh tidak wajib bagi penduduk Makkah karena rukun-rukun 'umroh yang paling utama adalah thowaf keliling Ka'bah. Mereka, penduduk Makkah, sudah sering melakukan hal ini, maka itu sudah mencukupi mereka.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berdalil bahwa 'umroh itu hukumnya sunnah dengan dalil,

حديث جابر بن عبد اللّه رضي الله عنهما قال : « سئل رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن العمرة أواجبة هي ؟ قال : لا ، وأن تعتمروا هو أفضل » .

Hadits Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai 'umroh, wajib ataukah sunnah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Tidak. Jika engkau berumroh maka itu afdhol." (HR. Tirmidzi no. 931, sanad hadits ini dho'if sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

وبحديث طلحة بن عبيد اللّه رضي الله عنه : « الحجّ جهاد والعمرة تطوّع » .

Hadits Tholhah bin 'Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, "Haji itu jihad dan 'umroh itu tathowwu' (dianjurkan)." (HR. Ibnu Majah no. 2989, hadits ini dho'if sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hambali berpendapat bahwa 'umroh itu wajib sekali seumur hidup dengan alasan firman Allah Ta'ala,

وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah." (QS. Al Baqarah: 196). Maksud ayat ini adalah sempurnakanlah kedua ibadah tersebut. Dalil ini menggunakan kata perintah, hal itu menunjukkan akan wajibnya haji dan umroh.

Juga dalil lainnya adalah,

وبحديث عائشة رضي الله تعالى عنها قالت : « قلت : يا رسول اللّه هل على النّساء جهاد ؟ قال : نعم ، عليهنّ جهاد لا قتال فيه : الحجّ والعمرة » .

Dengan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah wanita juga wajib berjihad?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji dan 'umroh." (HR. Ibnu Majah no. 2901, hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani). Jika wanita saja diwajibkan 'umroh karena itu adalah jihad bagi wanita muslimah, lantas bagaimanakah dengan pria?

Pendapat yang terkuat dalam hal ini, umrah itu wajib bagi yang mampu sekali seumur hidup. Sedangkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah (mu'akkad) berdalil dengan dalil yang lemah (dho'if) sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Jadi bagi yang mampu, sekali seumur hidup berusahalah tunaikan umroh. Namun perlu diketahui bahwa ibadah 'umroh ini bisa langsung ditunaikan dengan ibadah haji yaitu dengan cara melakukan haji secara tamattu' atau qiran. Karena dalam haji tamattu' dan haji qiran sudah ada 'umroh di dalamnya. Wallahu a'lam.

Moga Allah mudahkan kita kemudahan dalam ibadah.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

 

Referensi:

Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, index: 'Umroh, 30/314, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam, Kuwait

 

Riyadh-KSA, 16 Rabi'uts Tsani 1432 (21/03/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Taat pada Pemimpin Walau Penuh Derita

Posted: 27 Aug 2013 03:00 PM PDT

20130824-081604.jpg

Inilah yang diwasiatkan oleh Rasul kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Rasul itu ditaati bukan hanya ketika senang saja atau ketika menyenangkan kita. Namun saat susah pun, pemimpin tetap ditaati, saat ditindas pun tetap didengar selama ia tidak memerintahkan dalam maksiat. Dan seandainya saudara kita yang biasa menyuarakan slogan anti pemerintah dan ingin memberontak mau mendengar wasiat baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu mereka akan meraih maslahat yang besar. Taatlah pada Pemimpin dalam keadaan senang maupun susah atau penuh derita.

Ini salah satu hadits yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin ketika membawakan judul Bab “Wajibnya Mentaati Pemimpin dalam Perkara yang Bukan Maksiat dan Haramnya Mentaati Mereka dalam Perkara Maksiat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

Hendaklah engkau dengar dan taat kepada pemimpinmu baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan mudah, baik dalam keadaan rela ataupun dalam keadaan tidak suka, dan saat ia lebih mengutamakan haknya daripada engkau.” (HR. Muslim no. 1836).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

  1. Yang dimaksud taat ketika susah dan senang adalah taat kepadanya ketika dalam keadaan engkau fakir atau engkau berkecukupan. Berarti ketika rakyat dimakmurkan, tetap taat pada pemimpin dan ketika rakyat sengsara atau penuh derita, tetap juga taat.
  2. Hadits ini menunjukkan taat kepada pemimpin dalam setiap urusan selain dalam hal maksiat atau dalam hal yang tidak mampu dilaksanakan.
  3. Hadits ini menerangkan bahwa ada sifat pemimpin yang lebih mengutamakan urusan dunia dan menghalangi hak-hak rakyatnya. Pemimpin seperti ini tetap wajib ditaati selama ia tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

ReferensiBahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 657.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 17 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Donasi Khitanan Massal di Daerah Minoritas Muslim di Nusa Tenggara Timur

Posted: 26 Aug 2013 07:44 PM PDT

Flores

Sebagian kawasan timur Indonesia merupakan daerah dengan penduduk muslim sebagai minoritas. Di samping itu, tidak sedikit kaum muslimin di kawasan tersebut yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Salah seorang rekan kami yang beberapa bulan yang lalu mengunjungi beberapa wilayah di Flores, mendapati banyak sekali anak muslim yang tidak mampu berkhitan karena keluarganya kekurangan biaya. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang baru masuk Islam (muallaf), yang perlu dikenalkan dengan syariat khitan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Insya Allah Peduli Muslim, bidang sosial di bawah Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari bekerjasama dengan Yayasan Al-Furqon Magelang, akan mengadakan program khitanan massal di kawasan minoritas muslim di Nusa Tenggara Timur, dalam rentang waktu antara 11 Oktober 2013 hingga 17 Oktober 2013.

Kegiatan ini, akan dilaksanakan di tiga tempat, yaitu:

  • Desa Menanga, kecamatan Solor, Kabupaten Flores Timur
  • Aula Masjid Raya Ende, Ende, Flores
  • Masjid Babul Jannah Atulaleng, Kec. Buyasuri, Kab. Lembatta
  • Masjid Arrahman Peusawa, Kab. Lembatta

Kaum muslimin yang ingin berpartisipasi membantu program ini dalam hal donasi, dapat menyalurkannya melalui rekening:

Bank BNI Syariah Yogyakarta, no. rekening 0293.191.838 a.n. Peduli Muslim YPIA

  • Untuk transfer dari luar negeri, gunakan kode cabang: BNINIDJA

  • Untuk transfer via ATM non BNI, gunakan Kode Bank BNI (009)

  • Untuk transfer via internet banking, gunakan kode bank BNI

Disarankan agar menyampaikan konfirmasi via sms ke nomor CP/bendahara +628.961.546.4449 (Muhammad Iqbal)

Semoga Allah ta’ala mengikhlaskan langkah kita semua dalam berkhidmat kepada kaum muslimin. اللهم آمين

Flores

Haji Mabrur adalah Jihad

Posted: 26 Aug 2013 04:13 PM PDT

Haji dan jihad

Haji mabrur adalah keinginan dan cita-cita setiap orang. Bahkan amalan haji inilah seutama-utamanya jihad. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata,

سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya, "Amalan apa yang paling afdhol?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ada yang bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ada yang bertanya kembali, "Kemudian apa lagi?" "Haji mabrur", jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Bukhari no. 1519)

Dari 'Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu 'anha, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »

"Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?" "Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur", jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Bukhari no. 1520)

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

""Siapa yang berhaji ke Ka'bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari no. 1521).

Ash Shubayy bin Ma'bad berkata, "Dulu aku adalah seorang Nashrani dan sekarang aku  masuk Islam. Aku pernah bertanya pada sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, manakah yang lebih afdhol, jihad ataukah haji? Mereka katakan, "Haji itu lebih utama."[1] Ketika mengomentari perkataan ini, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud, haji itu bisa lebih utama bagi orang yang belum pernah berhaji sama sekali seperti orang yang baru saja masuk Islam ini. Bisa pula yang dimaksud dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa jihad dilihat dari jenisnya itu lebih utama dari haji dilihat dari jenisnya. Jika haji itu memiliki keistimewaan dari jihad yaitu karena haji itu dikatakan fardhu 'ain (bagi yang mampu), maka haji seperti ini menjadi lebih utama dari jihad. Jika tidak sampai haji itu fardhu 'ain, maka jihad itu lebih afdhol."[2]

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, "Dalam hadits dikatakan bahwa jihad itu lebih utama dari haji. Ini yang terjadi di awal Islam dan ketika terjadi banyak peperangan. Ketika itu hukum jihad adalah fardhu 'aihn. Adapun jika Islam semakin jaya, maka hukum jihad menjadi fardhu kifayah. Ketika inilah haji dikatakan lebih afdhol."[3]

Ibnu Hajar Asy Syafi'i rahimahullah mengatakan, "Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa."[4]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya'tsa' berkata, 'Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol'."[5]

Inilah yang menunjukkan keutamaan haji, yaitu haji yang mabrur. Sungguh mulia sekali jika seseorang mampu menunaikannya di saat memiliki kemampuan. Jihad tentu saja memang butuh perjuangan. Di negeri kita, mungkin saja harus mengantri sampai bertahun-tahun, ada yang bisa sampai 10 tahun untuk bisa berangkat haji. Inilah jihad, inilah perjuangan, inilah mujahadah. Butuh kesabaran. Butuh perjuangan. Butuh menghadapi kerasnya iklim haji, dengan cuaca yang terik, bersesakkan dan sebagainya. Semua ini bisa semakin mudah dengan 'iyanah dan pertolongan Allah ketika ingin dan sedang menunaikannya. Tentu saja jihad haji ini dijalani dengan jalan yang benar, ikuti aturan yang benar. Misalnya seperti di Saudi, harus memenuhi syarat tasyrih (izin haji), yah sudah seharusnya dipenuhi. Karena sebaik-baik muslim adalah yang taat pada aturan penguasa. Hanya Allah yang beri taufik.

Ya Allah, mudahkanlah kami semua untuk menunaikan haji yang afdhol ini dengan segala kemudahan.

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

"Allahumma laa sahla illa maa ja'altahu sahlaa, wa anta taj'alul hazna idza syi'ta sahlaa" [artinya: Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah].[6]

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

26th Dzulqo'dah 1431 H, in KSU, Riyadh, KSA

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

 


[1] Lathoif Al Ma'arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 400.

[2] Idem.

[3] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 7/220

[4] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma'rifah, 1379, 3/382.

[5] Lathoif Al Ma'arif, hal. 403.

[6] Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (3/255). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi 'Umar, Ibnus Suni dalam 'Amal Yaum wal Lailah. (Lihat Jaami'ul Ahadits, 6/257, Asy Syamilah)

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Keutamaan Berpuasa Enam Hari Di Bulan Syawwal

Posted: 30 Aug 2013 02:18 AM PDT

Pecinta Radio Kita FM Rahimakumullah, saat ini kita sudah berada di penghujung bulan Syawwal. Kiranya masih ada waktu yang tersisa bagi kita yang ingin melaksanakan amalan puasa sunnah selama 6 hari di bulan syawwal, karena banyak sekali keutamaan dari sunnah puasa sunnah ini. Nah, apakah Anda sudah mengetahui bagaimanakah penjelasan yang lebih lengkap tentang keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan syawwal ini?

Tulisan berikut ini kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan penambahan dan pengurangan tanpa merubah isi dan maksud) berupa hadits dan penjelasan mengenai keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan syawwal dari kitab Minhatul 'Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/83-85), karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan -hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-1, Rabi'ul Awwal, tahun 1428 H, Dammam, KSA.

Hadits tersebut adalah:

وَعَنْأَبِيأَيُّوبَالْأَنْصَارِيِّرَضِيَاللهعنه؛أَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللهعَلَيهِوَسَلَّمَقَالَ: «مَنْصَامَرَمَضَانَ،ثُمَّأَتْبَعَهُسِتًّامِنْشَوَّالٍ؛كَانَكَصِيَامِالدَّهْرِ»رَوَاهُمُسْلِمٌ.

Dari Abu Ayyub al-Anshari, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian ia iringi (setelahnya dengan berpuasa) enam hari di bulan Syawwal; maka ia seolah-olah berpuasa sepanjang masa".(HR.  Muslim).keutamaan shaum syawwal

Pembahasan hadits ini akan ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Dari sisi takhrijnya.

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits ini (dalam Shahih-nya) pada kitab ash-Shiyam, bab Istihbabu Shaumi Sittati Ayyamin min Syawwal Itba'an li Ramadhan, nomor 1164; dari jalur Sa'ad bin Sa'id bin Qais, dari Umar bin Tsabit bin al-Harits al-Khazraji, dari Abu Ayyub a secara marfu'.

Sungguh sebagian ulama hadits telah mempermasalahkan hadits ini. Disebabkan melalui periwayatan Sa'ad bin Sa'id al-Anshari, yang ia adalah saudara Yahya bin Sa'id al-Anshari. Dan ia telah dianggap dha'if (dilemahkan) oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i. Dan an-Nasa-i berkata, "Mereka tiga bersau-dara, Yahya bin Sa'id bin Qais; (seorang periwayat) yang kuat dan tepercaya, salah satu dari sekian para Imam. Abdu Rabbihi bin Sa'id; laa ba'sa bihi (tidak bermasalah). Dan yang ketiganya adalah Sa'ad bin Sa'id; (periwayat yang) lemah". [Lihat al-'Ilal karya Imam Ahmad (1/513), dan as-Sunanul Kubra (3/240)].

Akan tetapi, dia (Sa'ad bin Sa'id) diperkuat (dengan sesuatu yang) menunjukkan bahwa ia tidak keliru dalam periwayatan hadits ini, demikian pula Muslim telah meriwayatkan haditsnya ini. Ia diperkuat oleh Shafwan bin Salim, dari Umar bin Tsabit, dengan periwayatan hadits yang sama. [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (2433), dan an-Nasa-i (3/239)]. Sedangkan Shafwan bin Salim adalah seorang periwayat yang tepercaya dan (haditsnya) dikeluarkan oleh al-Jama'ah (para Imam hadits). Kemudian, Sa'ad bin Sa'id sendiri sebenarnya telah dianggap kuat oleh sebagian para Imam hadits. Dan celaan yang diungkapkan (oleh para Imam hadits terhadap-nya) bukanlah dengan ungkapan yang kasar dan keras, seperti; matruk (ditinggalkan), kadzdzab (pendusta), atau yang sejenisnya. Namun zhahir dari sebagian ulama hadits yang mempermasalahkannya adalah dengan sebab hanya kekuatan hafalannya yang buruk saja, sebagaimana dijelas-kan oleh at-Tirmidzi dan sebagai-mana yang telah ditunjukkan oleh Ibnu Hibban. [Lihat Jami' at-Tirmidzi (3/132), dan ats-Tsiqat (6/379)].

Hadits ini dikeluarkan pula oleh an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3/240), dan ath-Thahawi dalam Syarhu Musykilil Atsar (2347); dari jalur Syu'bah, dari Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub secara mauquf. Dan Abdu Rabbihi adalah perawi yang laa ba'sa bihi (tidak bermasalah) sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

Para ulama telah mempermasalahkan hadits ini dalam hal keberadaannya diri-wayatkan secara mauquf. Dan Imam Ahmad lebih cenderung kepada pendapat ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab. [Lihat al-Latha-if, halaman 256].

Kedua: Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal, sebagaimana menunjukkan pula bahwa orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah ia berpuasa penuh di bulan Ramadhan, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang masa. Maksudnya adalah setahun penuh. Jadi, seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun itu, yakni selama tiga ratus enam puluh hari. Dan telah diterangkan dalam hadits Tsauban , bahwa beliau mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

جَعَلَاللهالْحَسَنَةَبِعَشْرٍ،فَشَهْرٌبِعَشَرَةِأَشْهُرٍ،وَسِتَّةُأَيَّامٍبَعْدَالْفِطْرِتَمَامُالسَّنَةِ.

"Allah telah menjadikan satu kebaikan sepuluh kali lipatnya, maka sebulan seperti sepuluh bulan, dan (ditambah) enam hari setelah Idul Fithri, (maka jadilah seperti) setahun sempurna". [Dikeluarkan oleh an-Nasa-i dalam al-Kubra (3/239), dan Ibnu Majah (1715), dan Ahmad (37/94). Dan hadits ini hasan].

Dan pendapat yang mengatakan bahwa berpuasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya sunnah adalah pendapat mayoritas para ulama. Di antara mereka adalah para Imam yang tiga; Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan Ahmad. Adapun Imam Malik, maka beliau berpendapat bahwa hukumnya makruh. [Lihat al-Muwaththa' (1/311)]. Hal itu disebabkan; beliau tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu dan fikih yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal, sebagaimana beliau pun beralasan bahwa hal tersebut agar tidak dianggap termasuk puasa bulan Ramadhan (yang diwajibkan).

Dan Imam Ibnu Abdil Barr memberikan 'udzur dan alasan untuk Imam Malik; bahwa hadits Abu Ayyub ini belum sampai kepada beliau, walaupun hadits ini madani (para periwayatnya orang-orang Madinah). Dan adapun sebab beliau mengatakan bahwa berpuasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya makruh, adalah karena beliau khawatir terjadi adanya anggapan (dari kaum Muslimin) bahwa puasa tersebut termasuk puasa Ramadhan, padahal bukanlah demikian. Adapun jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawwal dengan tujuan mencari keutamaannya sebagai-mana yang dijelaskan pada hadits Tsauban, maka sesungguhnya Imam Malik tidak menghukuminya makruh, Insya Allah. [Lihat al-Istidzkar (10/259)].

Namun, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Imam Malik ini tidaklah terjadi. Karena adanya kekhawatiran bahwa enam hari di bulan Syawwal dapat dianggap termasuk ke dalam puasa Ramadhan, hal itu terjadi jika tidak ada pemisah sama sekali antara bulan Ramadhan dan bulan Syawwal. Namun pada kenyataannya, bulan Ramadhan terpisahkan dengan bulan Syawwal dengan adanya hari Idul Fitri (hari seluruh kaum Muslimin berbuka puasa kembali), sehingga tidak ada seorang pun yang terbingungkan atau sampai tidak mengetahui hal ini.

Dan utamanya; puasa enam hari di bulan Syawwal tersebut dilakukan secara berturut-turut. Dan boleh jika dilakukan secara terpisah-pisah selama masih dalam bulan Syawwal. Karena kata "tsumma" (dalam bahasa Arab) fungsinya untuk menunjukkan sesuatu yang tidak segera. Sehingga, setiap puasa yang dilakukan, selama itu masih di dalam bulan Syawwal, maka itu dianggap puasa yang mengiringi bulan Ramadhan, walaupun terdapat jeda. Akan tetapi, jika seseorang langsung melakukannya setelah Idul Fithri, ia akan mendapatkan banyak keistimewaan, di antaranya:

Pertama; hal itu merupakan bentuk pelaksanaan ibadah dengan segera (yang dianjurkan).

Kedua; orang yang melaku-kannya dengan segera, perbuatannya menunjukkan bahwa ia masih tetap bersemangat dalam melaksanakan puasa dan ia tidak merasa bosan dengannya.

Ketiga; agar orang yang segera melaksanakannya tidak tertimpa sesuatu yang mungkin dapat menghalanginya dari melakukan puasa tersebut jika ia tunda-tunda di akhir waktunya.

Kemudian, orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, hendaknya ia bayar (qadha) puasa Ramadhan-nya lebih dahulu. Baru kemudian ia berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi  di atas, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan…". Dan karena orang yang masih memiliki hutang puasa beberapa hari di bulan Ramadhan, ia tidak dapat dihukumi telah melakukan puasa Ramadhan (dengan sempurna) sampai ia betul-betul menyem-purnakannya seluruhnya. Juga, karena menyegerakan ibadah yang hukumnya wajib agar terlepas beban syariat darinya merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh setiap orang (Muslim) yang sudah mukallaf (terbebani syariat).

Dan pendapat yang lebih kuat dalam hal; apakah selepas bulan Syawwal seseorang masih dapat melakukan puasanya (yang enam hari tersebut)? Maka, (pendapat yang benar adalah) puasa tersebut tidak lagi disyariatkan dan tidak perlu diqadha. Karena hal itu adalah ibadah sunnah yang telah luput dari waktunya, yaitu dari waktunya yang telah dikhususkan, bulan Syawwal. Sehingga, orang yang melakukannya di luar bulan Syawwal, ia tidak akan mendapatkan keutamaannya. Karena ia tidak segera melakukannya pada waktunya yang disyariatkan dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Namun, jika seseorang tidak sempat melaksanakannya disebabkan 'udzur (yang syar'i), seperti sakit atau haid atau nifas; maka di antara para ulama ada yang membolehkan melakukan puasa tersebut walaupun telah keluar dari bulan Syawwal, dengan syarat jika ia telah membayar hutang puasa Ramadhan-nya tersebut. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdurrahman as-Sa'di [Lihat al-Fatawa as-Sa'diyyah, halaman 230]. Dan di antara para ulama ada pula yang mengatakan bahwa puasa tersebut tetap tidak disyariatkan, jika memang waktunya telah keluar dari bulan Syawwal tersebut. Baik ia terluputkan dengan 'udzur sekalipun atau tanpa 'udzur. Dan ini pendapat Syaikh Abdul 'Aziz bin Baaz [Lihat al-Fatawa (15/388-389)]. Wallahu A'lam

Penerjemah: Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali, dari Majalah Al Bayan Edisi 9. Dipublish oleh @buarfa.