Wednesday, July 31, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kajian Ramadhan 19: Lailatul Qadar, Waktu Pencatatan Takdir Tahunan

Posted: 31 Jul 2013 09:00 AM PDT

lailatul qadar

Di antara maksud lailatul qadar adalah waktu penetapan atau pencatatan takdir tahunan. Adapun keyakinan seorang muslim terhadap takdir, ia harus meyakini bahwa Allah mengetahui takdir hingga masa akan datang, Dia mencatat takdir tersebut, yang Dia tetapkan pasti terjadi, serta Dia pun menciptakan perbuatan hamba.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disebut lailatul qadar karena di malam tersebut dicatat untuk para malaikat catatan takdir, rezeki dan ajal yang terjadi pada tahun tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (maksudnya: takdir dalam setahun, -pen).” (QS. Ad Dukhon: 4).

Begitu pula firman Allah Ta’ala,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. ” (QS. Al Qadr: 4). Yang dimaksud ayat ini adalah diperlihatkan pada malaikat kejadian-kejadian dalam setahun, lalu mereka diperintahkan melakukan segala yang menjadi tugas mereka. Namun takdir ini sudah didahului dengan ilmu dan ketetapan Allah lebih dulu. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 57.

Mengenai surat Ad Dukhon ayat 4 di atas, Qotadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.”  (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa dicatat dalam induk kitab pada malam lailatul qadar segala yang terjadi selama setahun berupa kebaikan, kejelekan, rezeki dan ajal, bahkan sampai kejadian ia berhaji. Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 7: 338.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada malam lailatul qadar ditetapkan di Lauhul Mahfuzh mengenai takdir dalam setahun yaitu terdapat ketetapan ajal dan rezeki, begitu pula berbagai kejadian yang akan terjadi dalam setahun. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak, dan ulama salaf lainnya.” Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim dalam penjelasan ayat di atas.

Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman berkata, “Ada salah satu pencatatan kitab yang terdapat pada malam lailatul qadar. Kitab tersebut dicatat namun masih bersesuaian dengan takdir yang dulu sudah ada, di mana Allah sudah menetapkan berbagai takdir makhluk, mulai dari ajal, rezeki, perbuatan serta keadaan mereka. Dalam penulisan tersebut, Allah menyerahkan kepada para malaikat. Takdir tersebut dicatat pada hamba ketika ia masih berada dalam perut ibunya. Kemudian setelah ia lahir ke dunia, Allah mewakilkan kepada malaikat pencatat untuk mencatat setiap amalan hamba. Di malam lailatul qadar tersebut, Allah menetapkan takdir dalam setahun. Semua takdir ini adalah tanda sempurnanya ilmu, hikmah dan ketelitian Allah terhadap makhluk-Nya.”

Semoga dengan semakin merenungkan tulisan di atas, kita pun semakin merenungkan malam kemuliaan lailatul qadar dan semakin beriman pula pada takdir ilahi.

Disusun di malam 23 Ramadhan 1434 H @ Pondok Mertua Indah, Panggang, Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Boleh I’tikaf Di Masjid Mana Saja

Posted: 30 Jul 2013 08:04 PM PDT

i'tikaf2

Sebagian kaum muslimin ada yang tidak mau i'tikaf di masjid, mereka beralasan bahwa i'tikaf itu hanya pada tiga masjid saja yaitu masjid Al-Haram di Mekah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid Al-Aqsa di Palestina. Kita menghormati pendapat mereka dan jangan sampai menjadi sumber perpecahan. Akan tetapi -wallahu a'lam- pendapat terkuat adalah boleh i'tikaf di selain tiga masjid tersebut. Adapun tiga masjid yang dimaksud pada hadits, menunjukkan bahwa lebih sempurna i'tikaf di tiga masjid tersebut. Walaupun hadits tersebut masih diperselisihkan ulama keshahihannya. Hadits tersebut adalah,

لاَاعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ

"Tidak ada i'tikaf selain di tiga masjid" (Riwayat Sa'id bin Manshur dalam kitab As Sunnah dan Ath Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar)

Hadits ini diperselisihkan oleh ulama keshahihannya. Seandainya shahih maka tidak menghalangi untuk i'tikaf di masjid yang lain atau hadits ini tidak membatasi i'tikaf hanya di tiga masjid saja. Penyebutan tiga masjid tersebut menunjukkan lebih sempurna i'tikaf di masjid tersebut. Sebagaimana juga hadits berikut,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ

"Tidak ada shalat (yang sempurna) dengan hadirnya makanan" (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Daud)

Maka bukan maksudnya tidak sah shalat jika makanan sudah siap, akan tetapi lebih baik dan sempurna shalat jika kita sudah makan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "I'tikaf boleh di semua masjid, seandainya shahih hadits ini: '"Tidak ada i'tikaf selain di tiga masjid' maka maksudnya adalah i'tikaf lebih sempurna dan lebih afdhal. Tidak diragukan lagi bahwa i'tikaf di tiga masjid ini lebih afdhal daripada yang lain sebagaimana shalat di tiga masjid ini lebih afdhal dari masjid lain" (Majmu' fatawa wa Rasa'il 20/161, Asy Syamilah)

Al-Kasani rahimahullah, ulama besar madzhab Hanafi, berkata,

فأفضل الاعتكاف أن يكون في المسجد الحرام ، ثم في مسجد المدينة ، ثم في المسجد الأقصى ، ثم في المساجد العظام التي كثر أهلها

"I'tikaf yang paling afdhal di masjid Al-Haram, kemudian masjid Madinah kemudian Masjid Al-Aqsha kemudian di masjid (selain mereka) yang banyak jamaahnya" (Badhai'us Shanai', 2/113).

Syaikh Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah berkata, "boleh beri'tikaf selain pada tiga masjid. Karena hadits yang menjelaskan tentang i'tikaf pada tiga masjid tidak menafikan I'tikaf selain dari ketiganya. Namun hadits tersebut menunjukkan keutamaan I'tikaf di tiga masjid tersebut, maksudnya adalah tidak ada I'tikaf yang sempurna" (dari audio di http://goo.gl/FTTrhs)

Mayoritas ulama berpendapat boleh i'tikaf di masjid mana saja

Para ulama berdalil dengan keumuman ayat,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i'tikaf dalam masjid" (QS. Al-Baqarah: 187).

Dalam Musykilul Atsar dijelaskan,

فعم المساجد كلها بذلك و كان المسلمون عليه في مساجد بلدانهم

"(I'tikaf) mencakup semua masjid dan semua masjid kaum muslimin di negeri mereka" (Musykilul Atsar, 4/20)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

يصح الاعتكاف في أي مسجد

"Boleh i'tikaf di masjid mana saja" (Fathul Baari, 4/272)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, "Boleh i'tikaf di selain tiga masjid kecuali ia mempersyaratkan pada masjid yang ditegakkan shalat berjamaah (jika dipersyaratkan harus di masjid itu, pent). Jika dimasjid itu tidak ditegakkan shalat jamaah maka tidak sah i'tikafnya. Jika ia bernadzar i'tikaf di tiga masjid maka ia harus menunaikan nadzar tersebut" (Majmu' Fatawa bin Baz 14/444-445, Asy Syamilah).

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


ADAB-ADAB WAJIB DALAM BERPUASA

Posted: 30 Jul 2013 09:02 PM PDT

Segala puji bagi Allah yang memberi petunjuk makhluk-Nya kepada kesempurnaan adab, membukakan pintu rahmat dan kemurahan-Nya dari segala penjuru, menerangi akal kaum muslimin untuk menemukan kebenaran dan mencari ganjaran, membutakan akal orang-orang yang berpaling dari ketaatan, sehingga terbentanglah hijab antara dia dan cahaya Allah. Sebagian mendapat hidayah dengan keutamaan dan rahmat-Nya sedangkan sebagian yang lain tersesat dengan keadilan dan kebijakan-Nya. Sesungguhnya dalam yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya lah kerajaan, dia Maha Perkasa lagi Maha Pemurah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang diutus dengan membawa ibadah yang mulia dan kesempurnaan adab. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada beliau, kepada segenap kerabat dan sahabat, dan kepada orang-orang yang mengikuti beliau dengan benar sampai kelak hari kiamat.

Saudara-saudaraku …

Ketahuilah, puasa memiliki adab-adab yang banyak, sehingga puasa tidak akan sempurna melainkan dengan menjalankan adab-adabnya. Adab puasa dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

  • Pertama adab yang wajib, yaitu yang wajib bagi seseorang yang berpuasa untuk menunaikan dan menjaga adab-adab puasanya.
  • Dan yang kedua adab yang sunnah, yaitu yang dianjurkan untuk menunaikan dan menjaga adab-adab puasanya.

Diantara menjaga adab-adab (puasa) yang wajib adalah seseorang yang berpuasa harus menunaikan ibadah-ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah baik ibadah qouliyah (berupa ucapan) ataupun ibadah fi'liyah (perbuatan). Ibadah yang paling utama adalah shalat fardhu yang merupakan rukun islam paling utama setelah dua kalimat syahadat. Sehingga wajib baginya untuk menunaikan shalat berserta rukun-rukunnya, wajibnya dan syarat-syaratnya, menunaikan shalat tepat pada waktunya bersama jama'ah di masjid. Hal-hal tersebut termasuk dari wujud ketaqwaan seorang hamba yang merupakan tujuan disyari'atkan dan diwajibkannya puasa pada umat ini, adapun melalaikan shalat akan menghilangkan ketaqwaan dan pelakunya diancam Allah dengan siksaan.

Allah ta'ala berfirman:

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصَّلاةَ وَاتَّبَعُواْ الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقُونَ غَيّاً الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقُونَ غَيّاً * إِلاَّ مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَـلِحاً فَأُوْلَـئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ شَيْئاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60)

Diantara orang-orang yang berpuasa ada yang masih melalaikan kewajiban shalat jama'ah sementara Allah telah mewajibkan perkara tersebut dalam kitab-Nya sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ
فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….” (QS. An Nisa':102)

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat berjama'ah meskipun berada dalam suasana perang dan ketakutan, maka dalam kondisi aman dan tenang perintah shalat berjama'ah lebih ditekankan lagi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu diceritakan bahwa seorang lelaki buta berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

أنَّ رجُلاً أعْمَى قال: يا رسولَ الله ليس لي قائدٌ يقودنُي إلى المسجدِ. فرخَّصَ له. فلمَّا ولَّى دعاه وقال هلْ تسمعُ النِّداء بالصلاةِ؟ قال نَعَمْ قال فأَجِبْ

"Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid, apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?". Mulanya beliau memberi izin. Tapi setelah orang itu beranjak, beliau memanggilnya dan bertanya, "Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?", ia menjawab, "Ya", Beliau berkata lagi "Kalau begitu penuhilah". HR. Muslim.

Rasulullah tidak memberi keringanan kepada lelaki tersebut untuk meninggalkan shalat berjama'ah padahal ia buta dan tak ada yang menuntunnya. Seseorang yang meninggalkan shalat jama'ah karena melalaikan kewajiban ini akan kehilangan kebaikan yang banyak berupa dilipat gandakannya kebaikan (pahala), karena pahala shalat jama'ah dilipat gandakan sebagaimana dalam shahih Bukhari Muslim, dari hadits ibnu Umar -Radhiyallahu 'Anhuma- bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

صلاةُ الجماعة تفضل على صلاةِ الْفذِّ بسبْعٍ وعشرين درجةً

"Shalat berjama'ah 27 derajat lebih utama daripada shalat sendiri"

Dan dia akan kehilangan kemaslahatan-kemaslahatan untuk masyarakat yang semestinya diperoleh kaum muslimin jika mereka berjama'ah di masjid berupa tumbuhnya rasa saling mencintai dan terkaitnya hati, mengajari orang-orang yang belum tahu, menolong orang-orang yang membutuhkan, serta kebaikan-kebaikan yang lainnya.

Seorang yang meninggalkan shalat berjamaah berarti telah menghantarkan dirinya kepada hukuman Allah dan menyamakan dirinya dengan orang-orang munafiq. Sebagaimana dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim:

أثْقلُ الصَلَوَاتِ على المنافقين صلاةُ العشاءِ وصلاةُ الفجر، ولو يَعْلَمون ما فيهما لأتَوهُما ولوْ حَبْواً. ولقد هممْت أنْ آمُرَ بالصلاةِ فتقام، ثم آمر رجلاً فيصلِّي بالناس، ثم أنطلق معي برِجالٍ معهم حِزَمٌ من حطبٍ إلى قوم لا يشهدون الصلاةَ فأحرق عليهم بيوتَهم بالنارِ

Shalat yang paling berat bagi oleh orang-orang munafiq adalah shalat Isya' dan Shubuh, seandainya mereka mengetahui balasan pada dua shalat tersebut, niscaya mereka akan bersegera melaksanakannya walaupun dengan merangkak. Dan sungguh aku sangat ingin agar shalat ditegakkan, kemudian aku menyuruh seorang laki-laki untuk mengimami shalat kemudian beberapa orang laki-laki pergi bersamaku dengan membawa kayu bakar kepada suatu kaum yang tidak menghadir shalat dan akan aku bakar rumah mereka.

Dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

من سَرَّه أنْ يَلْقى الله غداً مسلماً فلْيحافظْ على هؤلاء الصلواتِ، حيث يُنادَى بهن فإنَّ الله شَرَعَ لنبيكم سُنَنَ الْهُدى وإنهنَّ مِنْ سُننِ الهُدى

“Barang siapa yang ingin bertemu Allah kelak dalam keadaan muslim, hendaklah ia menjaga seluruh shalatnya dengan jama'ah dimana mereka diseru, sesungguhnya Allah telah mensyari'atkan kepada nabi kalian sunnah yang agung, shalat berjama'ah adalah salah satu dari sunnah yang agung tersebut.”

Beliau juga berkata,

ولقد رأيتنا وما يتخلَّفُ عنها إلاَّ منافقٌ معلوم النفاقِ. ولقد كَان الرجُلُ يُؤتْى به يُهادَى بين الرجلين حتى يقامَ في الصفَّ

“Sungguh tidak ada seorangpun yang menyelisihinya melainkan ia adalah munafik yang hakiki. Sungguh seorang laki-laki akan datang ke masjid dengan dipapah oleh dua orang sehingga ia sampai ke shaf.”

Sebagian orang yang berpuasa meremehkan perkara ini, bahkan mereka tidur pada waktu shalat.

Meninggalkan shalat termasuk kemungkaran yang paling besar dan kelalaian yang berat terhadap shalat, sehingga sebagian besar ulama berkata, "Sesungguhnya barang siapa yang mengakhirkan waktu shalat tanpa udzur yang dibolehkan agama, maka shalatnya tidak diterima sekalipun ia shalat seratus kali". Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

مَنْ عمِل عملاً ليس عليه أمْرُنا فهو رَدُّ

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah (contohnya) dari kami maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).

Dan mengerjakan shalat setelah lewat waktunya bukanlah ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sehingga perbuatan tersebut tertolak.

Diantara adab-adab yang wajib dipenuhi juga, hendaklah seorang yang berpuasa menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Seperti menjauhi perbuatan dusta, yaitu menceritakan sesuatu yang bukan kenyataan (kebohongan). Kedustaan yang paling besar adalah berdusta kepada Allah dan rasul-Nya, seperti menyandarkan suatu perkara kepada Allah dan rasul-Nya untuk menghalalkan sesuatu yang telah jelas keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang telah jelas kehalalannya tanpa ilmu.

Allah berfirman,

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلالٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ * مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An Nahl: 116-117).

Dan dalam shahih Bukhari-Muslim, juga dalam kitab shahih yang lainnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ متعمِّداً فليتبوَّأ مقْعَدَه من النار

Barang siapa yang berdusta atas ku dengan sengaja maka hendaklah ia mengambil "tempat duduknya" di neraka.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi peringatan keras orang yang berdusta, beliau bersabda:

إيَّاكُم والكذبَ فإنَّ الكَذبَ يَهْدِيْ إلى الفُجُورِ وإنَّ الفجورَ يهدِي إلى النار ولا يزالُ الرجلُ يكذِب ويتحرَّى الكذبَ حتى يُكتَب عند الله كَذَّاباً

“Jauhilah perbuatan berdusta. Sesungguhnya dusta menghantarkan pada dosa, dan dosa menghantarkan pada neraka. Dan seorang senantiasa berdusta, dan terbiasa berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaq 'Alaih)

Perkara lainnya yang harus dihindari seorang yang berpuasa adalah ghibah, yaitu menceritakan perihal orang lain tentang sesuatu yang tidak ia sukai, baik menceritakan tentang fisiknya seperti pincang, juling, buta sebagai bentuk celaan, ataupun tentang akhlaqnya, seperti bodoh, fasiq dll. Baik yang dikatakan itu benar ataupun tidak.

Ketika nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang ghibah, beliau bersabda,

هي ذكْرُك أخاك بما يكْره، قيل: أفَرأيتَ إنْ كان في أخِي ما أقول؟ قال: إنْ كان فيه ما تقولُ فقد اغتبتَه وإنْ لم يكن فيه ما تقول فقد بَهَتَّهُ

"Engkau menceritakan perihal saudaramu yang tidak ia sukai" kemudian seorang berkata," Bagaimana jika apa yang aku katakan itu memang ada padanya?", beliau bersabda, "Jika apa yang engkau katakan itu benar maka disitulah engkau telah melakukan ghibah, jika apa yang engkau katakan itu tidak ada pada saudaramu maka engkau telah berdusta" (HR. Muslim).

Allah telah melarang perbuatan ghibah dalam Al Qur'an dan mengumpamakan perbuatan ini dengan sejelek-jelek perumpamaan, Allah perumpamakan dengan seorang yang memakan bangkai saudaranya, sebagaimana Allah 'Azza Wa Jalla berfirman dalam surat Al Hujurat:12,

وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ

“Janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa pada malam ketika beliau melakukan Mi'raj, beliau melewati suatu kaum yang kuku-kukunya terbuat dari besi, mereka mencakar wajah dan dada mereka. Kemudian Rasulullah bertanya,

مَنْ هؤلاء يا جبريلُ؟ قالَ: هؤلاءِ الذينَ يأكلونَ لحومَ الناسِ ويَقعونَ في أعْراضِهِم

"Siapakah mereka wahai Jibril?", berkata Jibril, "mereka adalah orang-orang yang semasa hidupnya memakan daging manusia dan menginjak-injak kehormatan manusia" (HR. Abu Daud)

Larangan berikutnya harus dijauhi oleh orang yang berpuasa adalah perbuatan namimah, yaitu menukil perkataan seseorang untuk disampaikan kepada orang lain dengan tujuan menimbulkan permusuhan diantara dua orang tersebut. Perbuatan namimah ini termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لا يدخلُ الجَنَّةَ نَمَّام

“Tidak masuk surga, orang yang suka berbuat namimah.” (Muttafaq 'Alaih).

Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda,

إنَّهما ليُعَذَّبانِ وما يُعذَّبان في كبير (أي في أمرٍ شاقٍّ عليهما)، أمَّا أحَدُهما فكان لا يسْتنْزهُ من البولِ، وأمَّا الآخرُ فكانَ يَمْشِي بالنَّميمة

"Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang di adzab oleh Allah, keduanya diadzab bukan karena perkara besar, yang satu diadzab karena ia tidak bersuci setelah buang air kecil, dan yang satunya lagi diadzab karena perbuatan namimah".

Namimah menimbulkan dampak buruk baik pribadi maupun masyarakat, dan dapat memecah belah kaum muslimin, menimbulkan permusuhan diantara mereka.

وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَّهِينٍ * هَمَّازٍ مَّشَّآءِ بِنَمِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11)

Maka barang siapa yang memfitnah orang lain di hadapanmu maka bisa jadi ia pun akan memfitnahmu, maka berhati-hatilah.

Larangan yang lain adalah menipu atau berbuat curang, baik dalam berniaga, sewa-menyewa, bekerja, pegadaian, dalam setiap nasehat ataupun saran dan yang lainnya. Menipu atau kecurangan termasuk salah satu dosa besar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berlepas diri dari pelakunya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

«من غَشَّنَا فليس مِنَّا». وفي لفظٍ: «من غش فليس مِني»

"Barang siapa yang berbuat curang/menipu maka ia bukan golongan kami" dalam riwayat yang lain, "Barang siapa yang berbuat curang/menipu maka ia bukan golonganku" (HR. Muslim).

Menipu atau curang berarti menutupi kebenaran, menyia-nyiakan amanah dan menghilangkan kepercayaan diantara manusia. Dan setiap usaha dari perbuatan menipu atau curang adalah usaha yang buruk lagi haram, yang tidak akan memberikan apa-apa kepada pelakunya melainkan ia akan semakin jauh dari Allah.

Larangan berikutnya yang harus dijauhi oleh orang yang berpuasa adalah menjauhi alat musik dengan beragam jenisnya, yang merupakan benda yang melalaikan, seperti gambus, rebab, biola, piano, dan lain-lain. Semua alat-alat ini haram dinikmati. Semakin besar keharaman dan dosanya jika disertai nyanyian dengan suara yang merdu/indah dan membuat terlena.

Allah berfirman dalam al-quran,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang hina.” (QS. Luqman: 6)

Ibnu Mas'ud ditanya tentang ayat ini, beliau berkata, "Demi Dzat yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, yang dimaksud ayat itu adalah nyanyian". Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Jabir, Ikrimah, Sa'id bin Jubair, berkata Al Hasan, "ayat ini diturunkan berkenaan dengan nyanyian". Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan peringatan keras untuk menjauhi alat musik dan menyandingkan kedudukan pelakunya dengan pelaku zina, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

ليكونَنَّ من أمَّتي أقْوَامٌ يستحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخمْر والمعازفَ

“Akan ada (di akhir zaman) dari umatku, kaum yang menghalalkan kehormatan, sutera dan alat musik.” (HR. Bukhari).

Yang dimaksud kehormatan adalah farji (kemaluan), lebih tepatnya, perbuatan zina. Pengertian menghalalkan dalam hadits di atas adalah seorang melakukan perbuatan tersebut dengan kesadaran. Hal ini sungguh telah terjadi pada zaman kita sekarang, sebagian orang memainkan alat musik atau mendengarkannya seakan-akan apa yang mereka lakukan itu adalah perkara halal. Ini merupakan salah satu keberhasilan dari tipu daya yang dilancarkan musuh-musuh Islam, sehingga kaum muslimin lalai dari berdzikir kepada Allah, agama dan dunia mereka. Sehingga jumlah kaum muslimin yang gemar mendengarkan musik lebih banyak ketimbang yang senang mendengar bacaan Al Qur'an, Hadits, perkataan para ulama' yang menjelaskan hukum-hukum dalam syari'at agama islam berserta hikmah-hikamhnya. Maka berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari melakukan pembatal-pembatal dan pengurang pahala puasa, jagalah diri kalian dari berkata yang buruk dan berbuat dusta.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

من لم يَدَعْ قولَ الزور والعملَ به والجهلَ فليس لله حاجةٌ في أنْ يَدَع طعامَهَ وشرابَه

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta bodoh maka Allah tidak butuh pada puasanya".

Berkata Jabir Radhiyallahu 'anhu, "Jika engkau berpuasa, maka puasakanlah pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari berdusta dan berbuat keharaman. Jangan menyakiti tetangga, dan buatlah tetanggamu merasa tenang dan nyaman terhadapmu. Jangan engkau samakan hari ketika engkau berpuasa dengan hari ketika engkau tidak berpuasa"

Ya Allah jagalah agama kami, anggota tubuh kami dari menimbulkan kemarahan-Mu. Ampunilah dosa-dosa kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu wahai Dzat yang maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kami Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarganya, serta para sahabatnya.

Sumber Tulisan:
1. http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17691.shtml
2. http://www.islamhouse.com/261039/id/id/articles/Adab-adab_Wajib_dalam_Berpuasa

Tuesday, July 30, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kajian Ramadhan 18: Do’a di Malam Lailatul Qadar

Posted: 30 Jul 2013 09:00 AM PDT

doa ampunan lailatul qadar

Di antara amalan yang dianjurkan ketika seseorang bertemu dengan lailatul qadar adalah memperbanyak do’a ampunan.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »

Dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.

Maksud dari “innaka ‘afuwwun” adalah yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi.

Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak do’a “Allahumma innaka ‘afuwwun …” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Do’a di atas begitu jaami’ (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Do’a tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.

Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadho-ilul Awqot, hal. 258).

Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik, ”Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan, keadaan atau ucapan yang baik (sholih). Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”

Yahya bin Mu’adz pernah berkata, ”Bukanlah orang yang arif jika ia tidak pernah mengharap ampunan Allah.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 362-363).

Hadits ‘Aisyah di atas juga menunjukkan bahwa do’a di malam lailatul qadar adalah do’a yang mustajab sehingga dia bertanya pada Rasul mengenai do’a apa yang mesti dipanjatkan di malam tersebut.

Semoga Allah memberi kita taufik untuk terus beramal sholih di hari-hari terakhir Ramadhan.

 

Referensi:

Minhatul 'Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh 'Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.

Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 362-363.

Disusun di malam 22 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Mencari Malam Lailatul Qadr

Posted: 30 Jul 2013 08:15 AM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM Rahimakumullah .. Kini kita sudah berada di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Banyak sekali amalan yang bisa kita lakukan untuk mengisi hari-hari di penghujung bulan Ramadhan ini. Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kita juga bisa mencari malam lailatul qadr, Apakah Anda sudah mengetahui apa itu malam lailatul qadr?  Allah berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (Al-Qadr:1-3)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang bangun di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan keikhlasan, niscaya  akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam senantiasa mencari malam Lailatul Qadr dan  memerintahkan sahabat untuk mencarinya. Beliau membangunkan keluarganya pada malam  sepuluh terakhir dengan harapan mendapat malam Lailatul Qadr. Dalam Musnad Ahmad dari 'Ubadah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang bangun sebagai usaha untuk mendapat malam Lailatul Qadr, lalu ia benarbenar mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang."

Imam An-Nasai juga meriwayatkan seperti itu. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Sanadnya sesuai  dengan syarat shahih." Telah dinukil dari beberapa kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in bahwa mereka mandi  dan memakai minyak wangi pada sepuluh malam terakhir untuk mencari malam Lailatul Qadr,  malam yang telah dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah.

Wahai orang yang telah menyia-nyiakan umurnya, kejarlah segala yang terluput atas dirimu pada  malam Lailatul Qadr ini. Sebab malam inilah sebagai pengganti umur, beramal pada malam ini  lebih baik dari pada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikan pada malam itu,  niscaya merugi. Malam itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tepatnya pada  malam-malam ganjil, dan lebih diharapkan lagi pada malam kedua puluh tujuh. Berdasarkan  riwayat Muslim dari Ubay bin Ka'ab Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata:

"Demi Allah, sungguh aku mengetahui datangnya malam itu. Yaitu pada malam yang Rasulullah  memerintahkan kami untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh."  Sampai-sampai Ubay bersumpah untuk hal itu, beliau berkata: "Aku dapat mengenalnya melalui  tanda-tanda dan alamat yang diberitakan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam kepada kami.  Yaitu matahari terbit tanpa cahaya yang menyilaukan pada pagi harinya."  Dalam kitab Shahih diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: "Ya  Rasulullah, Apa yang aku baca bila bertepatan dengan malam itu?" Rasulullah bersabda:
"Bacalah:

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan menyukai orang yang memohon ampunan maka ampunilah aku."

Dari Buku Kiat-kiat menghidupkan bulan Ramadhan – Al Sofwa

Hikmah-Hikmah Puasa

Posted: 29 Jul 2013 10:56 PM PDT

Segala puji bagi Allah, pengatur malam, bilangan hari, bulan, dan tahun. Dia-lah Maharaja, Mahasuci, serta Pemberi keselamatan. Hanya Dia-lah yang memiliki segala keagungan an kekekalan. Dia tersucikan dari kekurangan dan penyerupaan dengan manusia. Dia melihat apa saja yang ada didalam urat dan tulang, serta mendengar ucapan yang tersembunyi dari ucapan yang halus. Dia-lah Ilah yang Maha Pengasih Yang banyak memberikan nikmat dan Rabb Mahakuasa Yang Mahakeras balasannya. Dia mentaqdirkan segala urusan dan melangsungkannya di atas sebaik-baik aturan, serta menetapkan berbagai syariat dan mengokohkannya dengan sekokoh-kokohnya. Dengan kekuasaan-Nya angin yang menjalankan awan berhembus, serta dengan hikmah dan rahmat-Nya terjadi perputaran hari, siang dan malam.

Aku memuji-Nya atas keagungan sifat-Nya dan keindahan nikmat-Nya, serta aku bersyukur kepada-Nya sebagai mana syukurnya orang yang meminta serta mengharap tambahan karunia-Nya.

Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah, Dzat yang tidak dapat dilingkupi oleh akal dan dugaan. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba, dan Rasul-Nya, sekaligus seutama-utama manusia. Shalawat dan salam semoga benar-benar senantiasa tercurau kepada beliau, kepada Abu Bakar, orang yang duluan masuk islam, kepada ‘Umar, yang syaitan lari jika melihatnya, kepada ‘Utsman, sahabat yang mempersiapkan pasukan yang kekurangan bekal (pasukan perang tabuk), kepada ‘Ali, lautan ilmu dan singa pertempuran, serta kepada seluruh keluarga, para Shahabat, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan.

Wahai hamba-hamba Allah, semoga Allah merahmati kalian, ketahuilah, sesungguhnya Allah memiliki hukum yang sempurna dan hikmah yang tinggi dalam ciptaan dan syari’at-Nya. Dia-lah yang Mahabijaksana dalam ciptaan dan syari’at-Nya. Dia tidak menciptakan para hamba-Nya dengan main-main, tidak membiarkan mereka begitu saja, dan tidak menjadikan syari’at kepada mereka itu sia-sia. Mereka diciptakan untuk suatu perkara yang agung dan mereka dipersiapkan untuk suatu urusan yang besar. Allah telah menjelaskan kepada mereka jalan yang lurus, dan mensyari’atkan kepada mereka berbagai syari’at untuk menambah keimanan serta menyempurnakan ibadah mereka. Tidak ada suatu ibadahpun yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya melainkan ia mempunyai hikmah yang agung, meskipun tidak semua orang mengetahuinya. Kebodohan kita terhadap suatu hikmah dari ibadah tidak menjadi dalil bahwa ibadah tersebut tidak mempunyai hikmah. Akan teteapi, hal itu menjadi dalil atas kekurangan dan kelemahan kita untuk mengetahui hikmah Allah subhanahu wata’ala.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَآ أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa’:85).

Allah telah mensyari’atkan berbagai bentuk ibadah dan aturan muamalah sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang beribadah kepada-Nya dan siapa yang beribadah kepada hawa nafsunya. Barangsiapa yang menerima berbagai syari’at dan aturan tersebut dengan lapang dada dan jiwa yang tenang, maka ia telah beribadah kepada Allah, ridha dengan syari’at-syari’at-Nya, dan mendahulukan ketaatan kepada Rabb-nya diatas hawa nafsunya. Dan barangsiapa yang tidak mau menerima sebagian ibadah dan aturan tersebut kecuali yang sejalan dengan tujuannya, maka ia telah beribadah kepada hawa nafsunya, murka dengan syari’at Allah, dan berpaling dari ketaatan kepada-Nya. Dia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesuatu yang diikuti dan bukan pengikut. Dia ingin agar syari’at Allah mengikuti seleranya meskipun ilmunya pendek dan hikmahnya sedikit.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mu’minuun: 71).

Termasuk diantara hikmah-hikmah Allah adalah Dia menjadikan ibadah itu beraneka ragam agar dapat diridhai dan diterima dengan baik, sekaligus menjadi pembersih orang-orang beriman. Terkadang, sebagian orang ridha dan mampu berpegang teguh dengan suatu bentuk ibadah tertentu, akan tetapi ia tidak menyukai dan menyia-nyiakan bentuk ibadah lainnya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan ibadah itu ada yang berkaitan dengan amalan badan, seperti shalat, ada yang berkaitan dengan harta yang dicintai, seperti zakat, ada yang berkaitan dengan keduanya sekaligus, seperti haji dan jihad, dan ada yang berkaitan dengan menahan diri dari syahwat dan keinginan, seperti puasa. Jika seorang hamba melaksanakan dan menyempurnakan ibadah-ibadah yang beraneka ragam ini sesuai anjuran syari’at, tanpa lalai dan benci, beramal hingga lelah, mengorbankan apa yang dicintainya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, dimana semua itu dilakukan karena ketaatan kepada Rabb-nya, menjalankan perintah-Nya, dan ridha dengan syari’at-Nya, maka itulah dalil atas kesempurnaan ibadah, ketundukan, kecintaan, dan pengagungan kepada Rabb-nya. Dan telah terrealisasikan dalam dirinya sifat ibadah kepada Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta.

Jika perkara tadi telah jelas, maka sekarang kita akan membicarakan puasa secara khusus. Sesungguhnya puasa itu mempunyai hikmah-hikmah yang banyak, sehingga ia menjadi salah satu kewajiban sekaligus rukun islam.

Diantara hikmah puasa adalah ia merupakan ibadah kepada Allah di mana seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya dengan meninggalkan apa-apa yang disukai dan diingini oleh hawa nafsunya, baik berupa makanan, minuman, ataupun jima’ (Hubungan suami istri). Oleh sebab itu, tampaklah kejujuran iman, kesempurnaan ibadah, dan kekuatan cinta kepada Allah, sekaligus pengharapan terhadap apa yang ada di sisi-Nya. Sesungguhnya manusia itu tidak akan mau meninggalkan apa yang ia cintai kecuali jika ia mencintai sesuatu yang lebih agung darinya. Tatkala seorang mukmin menyadari bahwa ridha Allah itu terdapat dalam puasa, maka ia meninggalkan syahwat yang ada pada dirinya meskipun sebenarnya ia menyukainya. Ia melakukan hal itu karena ia mendahulukan ridha Allah dibanding hawa nafsunya, sekaligus untuk mencari kelezatan dan ketenangan jiwa yang ia dapatkan ketika ia meninggalkan syahwatnya untuk Allah azza wa jalla. Oleh sebab itu, banyak diantara kaum muslimin yang sekiranya mereka dipukul dan ditahan agar mereka berbuka puasa satu hari saja dibulan Ramadhan tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, niscaya mereka tetap tidak mau melakukannya. Ini adalah salah satu hikmah puasa yang teragung.

Hikmah puasa lainnya, ia merupakan sebab menuju taqwa. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk melakukan amalan-amalan ketaatan dan menjauhi berbagai kemaksiatan. Rasullullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

منْ لَم يَدعْ قول الزورِ والعملَ به والجَهلَ فليس لله حاجةٌ في أنَّ يَدعَ طعامَه وشرابَه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kebodohan, perkataan dusta, dan mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan kepada perbuatannya dalam meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)

Jika seseorang yang berpuasa ingin melakukan maksiat, maka ia akan teringat puasanya, lalu menahan diri dari maksiat tadi. Oleh karena itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang berpuasa untuk berkata jika ada orang yang mencela atau menghinanya: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” sebagai peringatan untuk pencelanya bahwa orang yang berpuasa diperintahkan untuk menahan diri dari mencela dan menghina, dan untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia sedang berpuasa. Oleh karena itu, ia tidak bisa membalas dengan celaan dan hinaan serupa.

Termasuk diantara hikmah puasa lainnya adalah terfocusnya hati untuk berdzikir dan berfikir. Karena kelalaian itu timbul dari mengkonsumsi segala keinginan, bahkan hal itu sering kali mengeraskan hati dan membutakan kebenaran. Oleh karena itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mempersedikit makan dan minum.

Beliau sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مَلأ ابنُ آدمَ وِعَاءً شرّاً من بطنٍ، بحَسْبِ ابن آدمَ لُقيْماتٌ يُقمن صُلْبَه، فإِن كان لا مَحالَةَ فَثُلثٌ لطعامِه وثلثٌ لشرابه وثلثٌ لنفسِهِ

“Anak adam tidak pernah mengisi suatu bejana yang lebih jelek daripada perut. Cukuplah ia mengkonsumsi beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus lebih, maka hendaklah ia menjadikan sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.)

Disebutkan dalam Shahih muslim, dari Hanzhalah al-Usaidi, salah seorang juru tulis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, “Hanzhalah telah melakukan kemunafikan.” Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Mengapa demikian?” Dia menjawab, “Ya, Rasulullah, ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan kami tentang Surga dan Neraka, hingga seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala kami. Namun jika kami pergi dari sisimu, kami bekerja untuk istri, anak, dan kebutuhan kami sehingga kami banyak lupa,… dan seterusnya.” Didalam hadits tersebut disebutkan: “Namun wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Sesungguhnya jika diri berada dalam keadaan lapar dan haus, maka hati menjadi bersih dan lembut, sedangkan jika ia kenyang, maka hati menjadi buta.”

Hikmah lainnya, orang kaya menyadari seberapa besar nikmat kekayaan yang telah Allah curahkan. Allah telah memberikan nikmat makan, minum, dan jima’ pada saat banyak orang tidak mendapatkannya. Kemudian ia memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat dan kemudahan yang diberikan. Dia juga mengingat saudaranya yang fakir dan terkadang melewati malam dalam keadaan lapar, lalu memberikan sedekah untuk menghentikan rasa laparnya dan menutupi auratnya. Oleh sebab itu, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, terlebih lagi disaat bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau untuk mengajarkan al-Qur-an.

Hikmah lainnya, puasa merupakan sarana untuk mengekang, menguasai dan mengendalikan jiwa. Sehingga pelakunya mampu untuk mengarahkan ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sesungguhnya jiwa itu memerintahkan kejelekan, kecuali jiwa yang dirahmati Allah. Seandainya seseorang membiarkan kehendak jiwanya lepas begitu saja niscaya jiwanya tadi menjerumuskan dirinya kedalam hal-hal yang membinasakan. Namun, jika dia mampu menguasai jiwanya, maka dia akan mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi.

Hikmah lainnya, puasa itu akan menghilangkan kesombongan jiwa pelakunya, sehingga dia menjadi orang yang tunduk kepada kebenaran dan bersikap lemah lembut kepada sesama mahluk. Sesungguhnya rasa kenyang dan jima’ itu menimbulkan rasa sombong terhadap sesama dan sikap menolak kebenaran. Sebab, ketika jiwa membutuhkan makan dan jima’, maka ia akan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, namun, setelah kebutuhannya terpenuhi, ia akan merasa bahwa dirinya telah menang, sehingga timbullah rasa senang yang tercela dan kesombongan yang semua itu bisa menyebabkan binasa. Orang yang terhindar dari dosa adalah yang dijaga oleh Allah subhanahu wata’ala.

Hikmah lainnya, rasa lapar dan dahaga akan menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, sehingga jalan-jalan syaitan ditubuh manusia juga akan menyempit. Sebab, syaitan itu berjalan di tubuh anak Adam melalui pembulu darah mereka. Sebgaimana hadits shahih yang tercantum dalam shahihain. Oleh karena itu, was-was syaitan, syahwat, dan kemarahan menjadi redam dengan puasa.

Inilah yang menjadi dasar sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:

يا مَعْشَر الشباب مَن استطاع منكم الْبَاءةَ فلْيتزوجْ فإنَّه أغَضُّ للبَصر وأحْصَنُ لِلفَرْجِ، ومَن لم يستطعْ فعليه بالصومِ فإنه له وِجاءُ

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Sesungguhnya itu lebihmenundukan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangispa yan belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, sesungguhnya puasa itu akan menjadi perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaih)

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai perisai dari syahwat pernikahan dan peredam gejolaknya.

Hikmah lainnya, puasa itu mengandung berbagai faedah kesehatan yang dihasilkan dari pengurangan makanan, pengistirahatan alat-alat pencernaan untuk beberapa waktu tertentu, pengendapan ampas-ampas yang berbahaya bagi tubuh, dan selainnya.

Sungguh, betapa tinggi dan agungnya hikmah Allah serta begitu baik dn bermanfaat syari’at-Nya bagi para hamba.

Ya Allah, jadikanlah kami adalah orang-orang yang memahami agama-Mu, berikanlah kami pengetahuan tentang rahasia syari’at-Mu, serta perbaikilah urusan dunia dan agama kami. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin, dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Mahapenyayang di antara para penyayang.

Shalawat dan salam semoga tetap senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para Shahabatnya.

Sumber:
1. http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17690.shtml

Disalin dari buku:
Majelis Bulan Ramadhan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

(Kajian MP3) Muqoddimah Buku Ensiklopedi Adab Islam

Posted: 29 Jul 2013 09:38 PM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM, buku kedua terbitan Pustaka Imam Syafi’i yang dibedah di Radio Sunnah Kita FM adalah buku yang berjudul “Ensiklopedi Adab Islam“. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada (Harga Buku Rp.120.000) dan dibahas secara on air di setiap hari Kamis Pagi pukul 05.30-06.30 dalam program acara SMART (Satu Jam Meraih Taqwa) dengan pemateri Ustadz Abu Islamah Imanudin, Lc (Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatunnajah Bekasi).

Ensiklopedi Adab Islam

Pecinta Radio Kita FM..

Sesungguhnya Allah telah menetapkan syari’at bagi para hamba-Nya. Jika mereka mengamalkan syari’at tersebut, niscaya akan baik kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak mereka termasuk orang-orang yang beruntung.

Seluruh syari’at Islam, baik perkara-perkara wajib, sunnah, maupun yang lainnya, bertujuan untuk memperbaiki keadaan setiap Muslim serta melatih hati dan anggota badan mereka. Mereka akan menjadi tinggi dengannya hingga layak untuk dekat dengan Ar-Rahman di Daarul Khuldi (Surga). Selain itu, bertujuan agar setiap muslim hanya beribadah kepada Allah. Dialah yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan dan mencurahkan kepada mereka berbagai macam rizki dan nikmat.

Maka dari itu, barang siapa yang menjadikan seluruh kehidupannya, malam maupun siangnya, tidur maupun terjaganya, safar maupun mukimnya, sakit maupun sehatnya, serta seluruh keadaanya bersesuaian dengan keadaan Rasulullah, berarti dia telah beradab dengan adab Islami. Dia telah menegakkan hak-hak Allah dalam ibadah. Dia telah melaksanakan ibadah sesuai dengan pemahaman benar dalam setiap keadaannya. Dia telah melatih dirinya untuk mengikuti syari’at yang telah Allah tetapkan atas dirinya dan Allah inginkan darinya.

Allah berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al Ahzab: 21)

Sungguh,  bahwasanya seorang Muslim harus beradab kepada Allah dengan Adab Islami. Yakni, dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, baik yang haram maupun yang makruh. Adapun dalam perkara-perkara mubah, yang paling sempurna adalah apa yang dipilih oleh Nabi. Sesungguhnya itu lebih sempurna dan lebih baik daripada apa yang tidak beliau lakukan, sebagaimana hal itu juga telah dibuktikan oleh ilmu-ilmu modern, kedokteran, dan yang selainnya, yakni berupa faedah-faedah darinya.

Hal itu disebabkan karena Islam telah membawa seluruh ajaran yang mengandung kebaikan bagi seorang muslim, baik dunia maupun agamanya. Islam memerintahkan setiap perkara yang membawa kebaikan bagi seorang Muslim, baik badan, akal, agama, harta, kesehatan, maupun yang lainnya. Maka barangsiapa yang menerapkan seluruh ajaran itu, berarti ia telah beradab dengan adab Islami. Sementara jika ia meninggalkan adab-adab ini, hal itu menunjukkan jauhnya ia dari manhaj Islam.

Untuk selengkapnya.. Mari kita simak dan dengarkan Kajian yang sangat bermanfaat berikut ini. Dalam pembahasan Muqoddimah Ensiklopedi Adab Islam yang disampaikan oleh Ustadz Imanudin, Lc.

Atau bisa anda download langsung disini (klik langsung)

Sekilas Tentang I’tikaf

Posted: 29 Jul 2013 05:02 PM PDT

Bismillah..

Pecinta Radio Kita FM, kini kita sudah memasuki 10 hari yang terakhir di bulan Ramadhan. Seharusnyalah sebagai seorang muslim yang selalu ingin mencari ridho dan ampunan Allah, dia bersungguh-sungguh dalam mengisi hari-hari di bulan Ramadhan yang akan kita tinggalkan sebentar lagi. Ada banyak macam ibadah yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu di bulan Ramadhan, diantaranya adalah i’tikaf. Nah, di postingan kali ini kami akan memberikan informasi sekilas tentang i’tikaf yang tentunya insya allah akan bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin mengamalkan sunnah itikaf ini.

Rasulullah biasa beri'tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Pada tahun beliau wafat,  beliau beri'tikaf selama dua puluh hari. (HR. Al-Bukhari).

I'tikaf adalah sebuah ibadah yang terkumpul pada-nya berbagai jenis ibadah lainnya. Berupa  tilawah Al-Qur'an, shalat, dzikir, doa dan lain-lain.  Orang yang belum pernah i'tikaf, menggambarkannya sebagai sebuah ibadah yang berat dan  sulit. Padahal i'tikaf sangatlah mudah bagi orang yang Allah beri kemudahan. Yaitu bagi orang
yang mempersenjatai dirinya dengan niat ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh. Allah pasti  akan menolongnya.

I'tikaf sangat dianjurkan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sekaligus untuk meraih  malam Lailatul Qadar. I'tikaf adalah mengurung diri dan mengikatnya untuk berbuat taat dan  selalu mengingat Allah. Ia memutuskan hubungandengan segala kesibukan-kesibukannya. Ia  mengurung hatinya dan jasmaninya untuk Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak  ada terbetik dalam hatinya sesuatu keinginan pun selain Allah dan yang mendatangkan ridhaNya. Disebabkan banyaknya umat Islam yang jahil tentang hukum-hukum i'tikaf, maka saya ingin  menjelaskan beberapa maklumat sederhana tentang i'tikaf.

Pertama: Definisi I'tikaf
Secara etimologi i'tikaf adalah menetapi sesuatu dan mengikat diri kepadanya.  Secara terminologi syariat: "menetapi masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan  diri kepada Allah“.

Kedua: Hikmah Disyariatkannya I'tikaf
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan beberapa hikmah i'tikaf berkata:
"Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah sangat bergantung kepada kuat tidaknya hati  itu berkon-sentrasi mengingat Allah. Dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya  secara total kepada Allah. Sebab kekusutan hati hanya dapat dirapikan dengan menghadapkan  secara total kepada Allah. Perlu diketahui bahwasanya makan dan minum yang berlebihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah  kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya, dan menghambat perjalanannya menuju  Allah atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa  lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hambaNya, Allah mensyari'atkan ibadah puasa atas mereka  untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan  hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanan-nya menuju Allah. Dan mensyariatkan  i'tikaf yang inti dan tujuannya ialah menambat hati untuk senantiasa mengingat Allah, menyendiri  mengingat-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan  memfokuskan diri bersama Allah semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat  diisi dan dipenuhi dengan dzikrullah, mencintai dan menghadap kepada-Nya.

Ketiga: Hukum I'tikaf
I'tikaf merupakan bentuk pendekatan diri dan ke-taatan kepada Allah. Mengamalkannya adalah  sunnat (dianjurkan). Dan sangat dianjurkan diamalkan pada bulan Ramadhan. Dan terlebih lagi  pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan hukumnya menjadi wajib jika dinadzarkan.

Dalilnya sebagai berikut:

Firman Allah:
"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yangthawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan  yang sujud." (Al-Baqarah: 125)

Hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf selama sepuluh hari pada setiap  bulan Ramadhan. Dan pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." (HR. Al-Bukhari)

Hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf pada setiap bulan Ramadhan.  Manakala selesai shalat Subuh, beliau segera memasuki tempat i'tikafnya." (HR. AlBukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Hingga beliau juga beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Syawal." (HR. Al-Bukhari dan  Muslim)

Masih dari 'Aisyah Radhiallaahu anha ia menuturkan:
"Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan  Ramadhan. Hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istri-istri beliau  juga melakukannya sepeninggal beliau." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalil wajibnya i'tikaf jika dinadzarkan adalah sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam :
"Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, hendaklah ia mentaati-Nya." (HR. AlBukhari dan Muslim)

Dan juga dari Abdullah bin Umar ia menceritakan bahwa Umar Radhiallaahu anhu  bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: "Pada masa jahiliyah dahulu

aku pernah bernadzar beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah nadzarmu."

Keempat: Syarat-syarat I'tikaf

  • Islam.
  • Berakal.
  • Baligh.
  • Niat.
  • Di dalam masjid.
  • Suci dari janabah, haidh dan nifas.

Alim ulama berbeda pendapat apakah seorang yang beri'tikaf harus dalam keadaan berpuasa?  Demikian pula mengenai jangka waktu beri'tikaf. Kelihatannya yang paling tepat adalah tidak  disyaratkan harus berpuasa dan tidak ada pembatasan waktu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Kelima: Amalan-Amalan Sunnat Bagi Orang Yang Beri'tikaf

  • Memperbanyak ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur'an, membaca buku-buku ahli ilmu  dan lain-lain.
  • Menjauhkan diri dari ucapan sia-sia, seperti berdebat, mencela, memaki dan lain-lain.
  • Berdiam di tempat i'tikaf dalam masjid. Berdasarkan riwayat Muslim dari Nafi' ia berkata: Abdullah bin Umar menunjukkan kepadaku tempat yang dipakai Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam  beri'tikaf di dalam masjid."

Keenam: Perkara-perkara Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Beri'tikaf

  • Keluar dari tempat i'tikaf untuk suatu keperluan yang mendesak. Berdasarkan hadits  shahih dari 'Aisyah Radhiallaahu anha bahwa ia berkata: "Tuntunan bagi orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak  menghadiri penyeleng-garaan jenazah, tidak menyentuh dan mendekati kaum wanita,  tidak keluar dari tempat i'tikaf kecuali untuk sebuah keperluan yang mendesak." (HR.  Abu Dawud dan dikatakan oleh Ibnu Hajar:"Para perawinya tidak bermasalah.")
  • Boleh makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan tetap menjaga kebersihan.
  • Berbicara yang dibolehkan dengan orang lain untuk suatu keperluan.
  • Merapikan rambut, memotong kuku, membersihkan badan, mengenakan pakaian bagus  dan memakai minyak wangi. Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha, ia berkata: "Ketika Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam sedang i'tikaf di dalam masjid, beliau mengeluarkan kepalanya  dari sela-sela kamar kemudian aku mencuci kepala beliau." Dalam riwayat lain  disebutkan: "Kemudian aku merapikan rambut beliau." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  • Melepas kepulangan keluarga yang menjenguknya, berdasarkan hadits Shafiyah Radhiallaahu anha yang  mengabarkan bahwa Rasulullah n melakukannya.

Ketujuh: Perkara-perkara Yang Dimakruhkan Atas Orang Yang Beri'tikaf

  •  Berjual-beli.
  • Berbicara yang mendatangkan dosa.
  • Diam dan tidak berbicara sama sekali. Jika ia meyakininya sebagai ibadah.

Kedelapan: Perkara-perkara Yang Membatalkan I'tikaf

  • Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa keperluan, sekalipun hanya sesekali.
  • Bersetubuh.
  • Gila dan mabuk.
  • Haidh dan nifas bagi kaum wanita, disebabkan hilang-nya syarat bersuci.
  • Murtad. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.

Kesembilan: Waktu Memasuki Tempat I'tikaf Dan Keluar Darinya
Bilamana seseorang memasuki masjid dan berniat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri  kepada Allah), maka ia telah terhitung beri'tikaf hingga keluar dari masjid. Apabila ia meniatkan  beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, hendaklah ia memasuki tempat i'tikaf sebelum  matahari terbenam (menjelang malam kedua puluh satu). Dan meninggalkan tempat i'tikaf pada  hari terakhir bulan Ramadhan setelah matahari terbenam.

Kesepuluh: Catatan-Catatan Penting

  • Bagi yang membatalkan i'tikaf sunnat yang tengah dilakukannya, hendaklah  menggantinya pada hari yang lain, berdasarkan amalan Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam yang mengganti i'tikaf bulan Ramadhan pada bulan Syawal. Sebagaimana yang telah disebutkan pada  hadits 'Aisyah Radhiallaahu anha baru lalu. Sementara bagi yang membatalkan nadzar i'tikaf yang tengah  dilakukannya, maka ia wajib menggantinya.
  • Kaum wanita boleh beri'tikaf di dalam masjid. Jika terjaga dari fitnah dan diizinkan oleh  suaminya. Jika ia beri'tikaf tanpa izin suaminya, maka ia boleh diusir dari masjid tanpa  ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian dituturkan oleh An-Nawawi.  Hukum-hukum yang berkaitan dengan i'tikaf bagi kaum lelaki juga berlaku bagi kaum  wanita. Hanya saja i'tikaf kaum wanita otomatis batal jika mereka haidh. Dan mereka  boleh melanjutkannya kembali jika sudah suci.  Dan hendaknya kaum wanita menirai tempati'tikaf-nya dengan kemah dan memilih  tempat yang tidak dipakai untuk shalat bagi kaum pria.
  • Barangsiapa bernadzar beri'tikaf di Masjidil Haram, ia tidak boleh menunaikannya di  masjid lain. Jika ia bernadzar beri'tikaf diMasjid Nabawi, ia wajib menunaikannya di Masjid Nabawi atau boleh juga di Masjidil Haram.  Jika ia bernadzar beri'tikaf di Masjidil Aqsha, ia boleh menunaikannya di salah satu dari  tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Sementara bagi yang  bernadzar beri'tikaf di selain tiga masjid tersebut dan tidak menentukan masjid tertentu,  ia boleh menunaikannya di masjid mana saja. Sebab Allah Ta’ala tidak menjadikan  tempat tertentu untuk melakukan ibadah, dan juga semua masjid sama saja keutamaannya kecuali tiga masjid tersebut.

Wahai saudaraku, segeralah menghidupkan sunnah Nabi ini dan memasyarakatkannya di  tengah-tengah keluarga, kerabat dekat, saudara-saudara dan teman-temanmu serta di tengah  masyarakatmu. Semoga Allah menuliskan pahala bagimu dan pahala dari orang-orang yang  mengamalkannya.

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi dan dinyatakan hasan olehnya dari Katsir bin Abdillah  dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam berkata kepada Bilal bin Harits: "Ketahuilah!" ia bertanya:

"Wahai Rasulullah, apa yang harus kuketahui?" Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah diabaikan, maka ia akan  memperoleh pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi dari pahala mereka  sedikitpun."

Di sisi lain beberapa faidah yang dapat dipetik dari sunnah i'tikaf ini adalah pembinaan jiwa dan  melatihnya dalam mengerjakan ketaatan. Hal itu sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin dan  khususnya para da'i. (dikutif dari al-sofwa/ buku kiat-kiat menghidupkan bulan ramadhan -abuarfa)

Monday, July 29, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fatwa Ramadhan: Masuk Islam Di Siang Hari Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasanya?

Posted: 29 Jul 2013 01:00 AM PDT

fatawa section

Beberapa waktu yang lalu ada berita seorang artis yang masuk Islam. Alhamdulillah ia masuk Islam di Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Semoga istiqamah dan Allah memberikan banyak berkah dan kebaikan. Berikut fatwa terkait hal ini.

Pertanyaan diajukan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah, “jika seorang kafir masuk Islam di siang hari Ramadhan. Apakah ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa harinya?”

Beliau menjawab:

Iya, dia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari saat ia masuk Islam. Karena ia telah menjadi orang yang wajib berpuasa. Hal ini jika tidak ada penghalang untuk puasa, jika ada maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari. Misalnya jika seorang wanita baru suci dari haid pada siang hari Ramadhan maka ia tidak wajib menahan diri di sisa hari.

Demikian juga jika orang yang sakit yang tidak berpuasa sembuh di siang hari Ramadhan, maka ia tidak wajib menahan diri karena hari tersebut ia dibolehkan tidak berpuasa padahal statusnya ia adalah orang yang wajib puasa atau seorang muslim (yang wajib berpuasa).

Berbeda halnya dengan mereka yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari pembatal puasa) dan tidak wajib meng-qadha. Adapaun mereka seperti orang sakit dan haid maka tidak wajib menahan diri akan tetapi wajib meng-qadha.

(Majmu' Fatawa wa Rasail, 19/97, Asy Syamilah)

 

Penerjemah: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

 

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Golongan-golongan Manusia Dalam Puasa dan Hukum Qadha

Posted: 28 Jul 2013 11:46 PM PDT

Segala puji bagi Allah, Dzat yang Mahaesa, Mahaagung, Mahaperkasa, Mahakuasa, Mahakuat, serta Mahatinggi dari jangkauan pikiran dan pandangan. Dia-lah yang menjadikan setiap mahluk tersifati dengan kefakiran. Fenomena kekuasaan-Nya tampak dengan pengaturan siang dan malam. Dia mendengar rintihan orang sakit yang tengah mengeluhkan bencana, melihat rayapan semut hitam dalam goa di kegelapan malam, dia mengetahui segala rahasia yang tersembunyi dalam hati. Kita tidak dapat mengetahui hakikat sifat-Nya, sebagaimana halnya kita tidak dapat mengetahui hakikat Dzat-Nya, dan orang-orang yang menyerupakan-Nya dengan mahluk adalah orang-orang kafir. Kita mengetahui apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya sendiri, berdasarkan al-Qur-an dan al-Hadits.

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas taqwa kepada Allah dan keridhoan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya ditepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia kedalam Neraka Jahannam?…” (QS. At-Taubah:109)

Aku memuji-Nya dalam kondisi senang maupun susah. Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya Dia-lah yang menciptakan dan mengatur segala urusan.

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya…” (QS. Al-Qashash: 68)

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba, dan Rasul-Nya, sekaligus penghulu para Nabi yang suci. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada beliau, kepada Abu Bakar, kepada ‘Umar, kepada ‘Utsman, kepada ‘Ali, kepada seluruh keluarga dan shahabat Beliau, khususnya kaum Muhajirin dan Anshar.

Saudara-saudaraku, kita telah membicarakan tujuh kelompok manusia dalam puasa. Berikut ini akan kami sebutkan sisanya.

Kedelapan: Wanita haidh, puasanya tidak sah dan ia diharamkan untuk berpuasa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang wanita:

ما رأيت مِنْ ناقصاتِ عَقْلٍ ودينٍ أذْهَبَ للُبِّ الرَّجل الحازمِ مِنْ إحداكُنَّ، قُلنَ: وما نقصانُ عقلِنا ودينِنا يا رسولَ الله؟ قال: أَلْيسَ شَهادةُ المرأةِ مثلَ نصْفِ شهادةِ الرَّجُلِ؟ قُلنَ: بلى. قال: فذلك نقصانُ عَقْلِها، أليس إذا حاضتْ لم تُصلِّ ولَم تُصم؟ قلن: بلى. قال: فذلك مِنْ نقصانِ دِيْنِها

“Aku tidak melihat wanita yang kurang akal dan agamanya melainkan mampu menghilangkan keteguhan akal pria dari salah satu di antara kalian.” Para wanita bertanya, “Apa yang menyebabkan kekurangannya akal dan agama kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Bukankan kesaksian seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang pria?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau berkata lagi, “Itulah maksud dari kekurangan akalnya. Dan bukankah jika haidh ia meninggalkan shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Benar.” beliau melanjutkan, “Itulah maksud dari kekurangan agamanya.” (Muttafaq ‘alaih).

Haidh adalah darah alami yang secara rutin terjadi pada wanita di hari-hari tertentu.

Jika wanita mengalami haidh ketika dia sedang puasa, meskipun hanya sesaat sebelum tenggelamnya matahari, maka puasanya pada hari itu batal dan ia wajib menggantinya. Kecuali jika puasa tersebut adalah puasa sunnah, tidak wajib.

Jika ia suci dari haidh ketika siang hari ramadhan, maka puasanya di hari itu tidak sah, karena adanya perkara yang membatalkan puasanya di waktu pagi. Akan tetapi, jika telah suci, apakah ia wajib menahan diri hingga tenggelamnya matahari seperti halnya orang puasa? Terdapat perselisihan dikalangan ulama dalam masalah ini, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pada masalah musaffir yang kembali ke negerinya dalam keadaan berbuka di siang hari Ramadhan.

Sebaliknya, jika diwaktu malam ia telah suci dari haidh, meskipun hanya sesaat sebelum terbit fajar, maka ia wajib berpuasa di hari itu. Karena pada asalnya ia memang terkena kewajiban puasa, dan perkara yang menghalanginya untuk berpuasa sudah tidak ada. Puasanya pada hari itu sah, meskipun ia mandi setelah terbitnya fajar. Seperti orang junub yang tetap berpuasa meskipun ia mandi setelah terbitnya fajar.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

كان النبيُّ صلى الله عليه وسلّم يصبحُ جُنُباً من جماعٍ غير احتلامٍ ثم يصومُ في رَمضانَ

“Nabi pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima’, bukan mimpi, lalu beliau berpuasa Ramadhan.” (Muttafaq ‘alaih)

Hukum-hukum yang telah lalu juga berlaku bagi wanita yang mengalami nifas. Mereka disamakan dengan wanita yang sedang haidh.

Para wanita tadi wajib mengqadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah:184)

‘Aisyah pernah ditanya: “Mengapa wanita haidh mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha shalat?” Beliau menjawab: “Kami dahulu juga mengalami haidh, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Muslim) (1)

Kesembilan: Wanita hamil dan menyusui. Jika puasa itu dikhawatirkan akan menggangu keselamatan diri atau anak mereka, maka mereka boleh berbuka.

Disebutkan dari Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله وضَع عن المسافر شطرَ الصلاة وعن المسافر والحامل والمرضع الصومَ أو الصيام

“Sesungguhnya Allah menggugurkan separuh shalat bagi musafir dan menggugurkan kewajiban puasa bagi musafir, wanita hamil, dan wanita yang sedang menyusui.” (HR. Lima Imam ahli hadits (Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan an_Nasa’i), dan ini adalah lafadz dari ibnu majah.) (2)

Akan tetapi, mereka tetap wajib mengqadha puasa tersebut sejumlah hari yang ditinggalkannya ketika mereka telah mengalami kemudahan untuk berpuasa dan kekhawatiran mereka tersebut sudah lenyap. Sebagaimana hukum puasa bagi orang sakit jika dia telah sembuh.

Kesepuluh: Orang yang terpaksa berbuka untuk menolak bahaya yang mengancam diri orang lain. seperti menyelamatka jiwa yang ma’shum (tidak boleh dibunuh) dari tenggelam, kebakaran, kehancuran, atau semisalnya. Ia dibolehkan berbuka jika tindakkan penyelamatan tersebut memang tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berbuka, untuk menguatkan tubuh.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ماتَ وعليه صيامٌ صامَ عنه وليُّه

“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan masih mempunyai kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” (Muttafaq ‘alaih).

Walinya adalah ahli waris dan kerabatnya. Kewajiban puasa tersebut boleh digantikan oleh sekumpulan orang yang jumlahnya sesuai bilangan hari yang ditinggalkannya, lalu mereka serempak berpuasa pada satu hari tertentu.

Al-Bukhari menyebutkan bahwa al-Hasan berkata: “Jika terdapat tiga puluh orang yang berpuasa untuknya (secara serempak) pada satu hari tertentu, maka hal ini dibolehkan.” Jika ia tidak mempunyai wali, atau ia mempunyai wali, namun wali tersebut tidak ingin berpuasa untuknya, maka dikeluarkan fidyah dari harta peninggalan sejumlah hari yang ditinggalkannya, yaitu dengan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari yang ia tinggalkan. Setiap orang miskin dapat satu mudd gandum dengan kualitas baik, beratnya setara dengan setengah kilo lebih sepuluh gram.

Saudara-saudaraku inilah golongan-golongan manusia dalam timbangan hukum puasa. Allah mensyari’atkan kepada tiap golongan sesuai dengan keadaan mereka. Ketahuilah hikmah Rabb kalian dalam syari’at ini, syukurilah nikmat-Nya kepada kalian dengan kemudahan yang datang dari-Nya, dan mintalah ketetapan di atas agama ini hingga maut datang menjemput.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, yang menghalangi kami dari nikmat-Mu. Maafkanlah kami dari kelalaian kami dalam menta’ati dan mensyukuri-Mu. Jadikanlah kami senantiasa mengikuti jalan yang menuju kepada-Mu. Ya Allah, berikanlah kepada kami kenikmatan dalam rangka bermunajat kepada-Mu, dan bimbinglah kami untuk menempuh jalan orang-orang yang engkau ridhoi. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kerendahan diri kami, bangunkanlah kami dari kelalaian kami, berikanlah petunjukm-Mu kepada kami, dan baguskanlah tujuan kami dengan kemurahan-Mu. Ya Allah, gabungkanlah kami didalam rombongan orang-orang bertaqwa dan kumpulkanlah kami dengan para Hamba-Mu yang shalih. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para Shahabatnya.

Sumber:
1. http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17689.shtml

Disalin dari buku:
Majelis Bulan Ramadhan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin

Footnote:
1. Ini termasuk hadits-hadits al-’Umdah. Didalam al-Muntaqaa, hadits tersebut disandarkan kepada al-Jama’ah.
2. Hadits ini derajatnya hasan.

Kajian MP3 Lanjutan Pembahasan Intisari Aqidah

Posted: 28 Jul 2013 08:26 PM PDT

Bismillah

Pecinta Radio Kita FM yang semoga dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Kini kita akan melanjutkan pembahasan Buku Intisari Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’i Jakarta.

Dalam kajian ini, dijelaskan mengenai pengertian Aqidah secara bahasa (Etimologi). ‘Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian ‘aqidah dalam agama maksudnya berkaitan dengan keyakinan, bukan perbuatan, seperti ‘aqidah dengan adanya Alah dan diutusnya para Rasul. Bentuk jamak dari ‘aqidah adalah ‘aqaaid.

intisari aqidah

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seseorang secara pasti adalah ‘aqidah; baik itu benar maupun salah.

Dan juga disebutkan pengertian ‘Aqidah secara istilah (Terminologi). Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tentram karenanya sehingga menjadi suatu keyakinan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Dibahas juga mengenai Aqidah Islamiyyah, yang maknanya adalah keimanan yang pasti dan teguh dengan Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya, asma’ dan sifat-Nya, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,para Rasul-Nya, hari kiamat, takdir baik maupun buruk. Selain itu, juga beriman dengan semua yang tercakup dalam masalah ghaib, pokok-pokok agama, dan apa yang sudah disepakati oleh Salafus Shalih dengan ketundukan yang bulat kepada Allah Ta’ala, baik itu dalam perintah-Nya, hukum-Nya, maupun keta’atan kepada-nya, serta meneladani Rasulullah.

Nah,  Untuk lebih jelasnya mari kita simak pembahasan Lanjutan dari Buku Intisari Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang akan dipaparkan oleh Ustadz Arif Budiman, Lc dalam kajian berikut ini..

Atau anda bisa download dan mendengarkannya di player audio anda masing-masing disini (klik langsung)

(Kajian MP3) Muqoddimah Buku Intisari Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Posted: 28 Jul 2013 07:04 PM PDT

Bismillah

Pecinta radio Kita FM rahimakumullah, Alhamdulillah kajian bedah buku on air di Radio Kita FM sudah mulai berjalan dan ada beberapa penerbit buku ahlussunnah terpercaya yang melakukan kerjasama dengan kami untuk mempromosikan buku-buku mereka di radio Kita FM dengan mengikutsertakannya dalam program acara ini. Diantara buku tersebut adalah buku “Intisari Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Penulis : 'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsari

Buku yang memperoleh kata sambutan dan pujian dari ulama besar ini membahas tentang masalah 'aqidah secara lengkap seperti: definasi 'aqidah,ahlus Sunnah wal Jamaah,salaf,ahlul ahwaa',bid'ah,ittiba',rukun iman,takfir,muwaalaah,mu'aadaah karamah para wali,taat kepada ulil amri,kaidah-kaidah dakwah dan lain-lain. Buku ini disajikan secara sistematis jelas dan ringkas sehingga enak dibaca dan mudah dipahami.

Intisari Aqidah

Disamping itu juga dilengkapi dengan takhrij hadits-haditsnya sehingga maklumatnya bisa dipertanggungjawabkan.

Harga Buku : Rp 40.000

Dibahas secara on Air di setiap hari Rabu Pagi pukul 05.30-06.30 dalam program acara SMART (Satu Jam Meraih Taqwa) dengan pemateri Ustadz Arif Budiman, Lc (Pengajar di Ponpes Assunnah Cirebon, Pemateri tetap Radio Kita FM dan mengisi kajian di beberapa Majelis Ta'lim di Kota Cirebon dan sekitarnya).

Pecinta radio kita FM, seperti yang kita ketahui ummat Islam sekarang ini dihadapkan pada terjadinya perpecahan dan perselisihan yang berakibat munculnya aliran-aliran modern dan kelompok-kelompok yang ada di medan dakwah. Masing-masing kelompok tersebut mengajak kepada aqidah dan manhajnya dan mengaku bahwa mereka berada dalam kebenaran, sehingga kebanyakan orang menjadi bingung dalam beragama. Siapa yang harus diikuti? siapa  yang pantas menjadi panutan?

Namun, alhamdulillah, akan senantiasa ada kebaikan pada ummat Islam. Sebab, di antara ummat tersebut ada segolongan orang yang senantiasa berpegang teguh pada petunjuk dan kebenaran (yaitu al-Quran dan As-sunnah) sampai hari Kiamat. Hal itu seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku tampil menegakkan kebenaran, tidak merasa rugi dengan orang yang menghinakan mereka sampai datang hari kiamat, dan mereka tetap teguh dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, wajib bagi kita untuk mengetahui golongan yang mendapat berkah ini, yang selalu konsisten di atas agama Islam yang benar sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah dan yang telah dipraktikkan oleh generasi Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka. Golongan ini adalah al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaaifatul Manshuurah (kelompok yang dimenangkan); disebut juga dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Hadits, dan Ahlul Atsar wal Ittibaa’. Mereka itulah yang senantiasa berusaha menempuh seperti apa yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya.

Untuk lebih jelasnya mari kita simak pembahasan Muqoddimah dari Buku Intisari Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang akan dipaparkan oleh Ustadz Arif Budiman, Lc dalam kajian berikut ini..

Atau anda bisa download dan mendengarkannya di player audio anda masing-masing disini (klik langsung)