Friday, June 28, 2013

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


(Kajian MP3) Bersemangatlah Atas Hal-Hal Yang Bermanfaat Bagimu

Posted: 27 Jun 2013 04:03 PM PDT

Bismillah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon." (HR. Muslim)

[Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi –rahimahullah- membawakan hadits ini dalam Bab "Iman dan Tunduk pada Takdir"]

bersemangatlahInilah wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Wasiat beliau ini adalah perintah untuk bersemangat dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat. Lawan dari hal ini adalah melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya (dhoror), juga melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat atau pun bahaya.

Karena yang namanya perbuatan itu ada tiga macam: [1] perbuatan yang mendatangkan manfaat, [2] perbuatan yang menimbulkan bahaya, dan [3] perbuatan yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Sedangkan yang diperintahkan adalah melakukan macam yang pertama yaitu hal yang bermanfaat.

Orang yang berakal yang menerima wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini pasti akan semangat melakukan hal yang bermanfaat. Namun kebanyakan orang saat ini menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat. Bahkan kadangkala yang dilakukan adalah hal yang membahayakan diri dan agamanya. Terhadap orang semacam ini, pantas kita katakan: Kalian tidaklah mengamalkan wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Boleh jadi kalian tidak melaksanakannya karena tidak tahu atau karena menganggap remeh. Mukmin yang berakal dan mantap hatinya tentu akan melaksanakan wasiat beliau ini, juga akan semangat melakukan hal yang bermanfaat bagi agama dan dunianya. Hal yang manfaat dalam agama kembali pada dua perkara yaitu ilmu nafi' (yang bermanfaat) dan amalan sholeh.

Yang dimaksud dengan ilmu nafi' adalah ilmu yang dapat melembutkan dan menentramkan hati, yang nantinya akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu nafi' inilah ajaran Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam yang terdapat dalam tiga macam ilmu yaitu ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Yang juga bisa menolong dalam menggapai ilmu nafi' adalah bahasa Arab dan beberapa ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Adapun yang dimaksud amalan sholeh adalah amalan yang selalu dilandasi dengan ikhlash dan mencocoki tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Adapun hal yang manfaat dalam masalah dunia adalah seorang hamba berusaha untuk mencari rizki dengan berbagai sebab yang diperbolehkan sesuai dengan kemampuannya. Juga hendaklah setiap orang selalu merasa cukup, tidak mengemis-ngemis dari makhluk lainnya. Juga hendaklah dia mengingat kewajibannya terhadap harta dengan mengeluarkan zakat dan sedekah. Dan hendaklah setiap orang berusaha mencari rizki yang thoyib, menjauhkan diri dari rizki yang khobits (kotor). Perlu diketahui pula bahwa barokahnya rizki seseorang dibangun di atas takwa dan niat yang benar. Juga berkahnya rizki adalah jika seseorang menggunakannya untuk hal-hal yang wajib ataupun sunnah (mustahab). Juga termasuk keberkahan rizki adalah jika seseorang memberi kemudahan pada yang lainnya.

Allah Ta'ala berfirman,

وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

"Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian." (QS. Al Baqarah: 237). Yaitu yang memiliki kemudahan rizki memudahkan yang kesulitan, bahkan seharusnya memberi tenggang waktu dalam pelunasan hutang. Apabila semua ini dilakukan, datanglah keberkahan dalam rizki.

Dari artikel ‘Tetap Semangat Dalam Hal yang Bermanfaat (1) — Muslim.Or.Id

Untuk lebih mengetahui bagaimana penjelasan hadits yang sangat mulia ini, marilah kita simak Kajian Islam Ilmiyah yang disampaikan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc di Radio Sunnah Kita FM dalam kunjungan Beliau ke Ponpes Assunnah Cirebon sewaktu beliau mengisi kegiatan Tabligh Akbar dalam pembukaan Gebyar Baazar & Dakwah Kampoeng Moeslim 3 Th. 2013. Semoga bermanfaat! (abuarfa)

Thursday, June 27, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kesalahan-Kesalahan Dalam Manasik Haji Dan Umrah (2)

Posted: 27 Jun 2013 02:30 AM PDT

haji_mabrur

Bismillaahirrahmaanirrahiim

2. Kesalahan seputar pakaian ihram[1]

A. Menggunakan kain ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti "rok"

Penulis baru menyadari fenomena ini tepatnya awal Ramadhan yang lalu (1432 H), ketika menemani syaikh kami bertugas di As-Sail Al-Kabiir (Qarn Al-Manaazil), miqatnya penduduk Najd. Pada waktu itu banyak di antara mu'tamiruun (orang-orang yang menunaikan umrah) menggunakan "rok ihram" ini. Kebanyakan mereka ragu apakah "rok ihram" ini boleh digunakan atau tidak. Yang mengatakan boleh, karena banyak dan bebas dijual di toko-toko di sekitar miqat. Akan tetapi ketika mereka menanyakannya, sebagian besar masyaikh mengatakan tidak boleh. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan pakaian semacam ini untuk ihram? Berikut penjelasannya:

Dalil-dalil seputar pakaian ihram
  1. Hadits Ibnu 'Umar
    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَلْبَسُ المُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَلْبَسُ القُمُصَ، وَلاَ العَمَائِمَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاتِ، وَلاَ البَرَانِسَ، وَلاَ الخِفَافَ إِلَّا أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ، فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ،
    "Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu 'anhumaa dia berkata, "Seseorang bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallamtentang pakaian yang boleh dipakai seorang muhrim[2]. Beliau bersabda, "Janganlah ia memakai gamis, 'imamah[3], saraawiilaat[4], baraaniis[5], dan sepatu khuf[6]. Kecuali bagi orang yang tidak memiliki sandal, maka boleh baginya memakai sepatu khuf, (dengan catatan) hendaknya ia memotong bagian atas sepatu yang menutup kedua mata kaki." (HR. Al-Bukhari no.1542, dan Muslim no. 1177)
  2. Hadits Ibnu 'Abbas
    عن ابن عباس قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: «مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ لِلْمُحْرِمِ»
    Dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhumaa dia berkata, "Aku mendengar Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di 'Arafah,"Barangsiapa yang tidak memiliki sandal, hendaknya dia memakai sepatu khuf. Dan barangsiapa yang tidak memiliki kain, boleh bagi seorang muhrim memakai saraawiil. "(HR. Al-Bukhari no. 1841, dan Muslim no. 1179) [7]
  3. Hadits Ibnu 'Umar
    وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إِزَارٍ وَرِدَاء وَنَعْلَيْنِ
    "Dari Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhumaa dia berkata, "Rasulullaahshallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hendaknya seseorang itu berihram dengan memakai izaar[8], ridaa'[9], dan sandal." (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Syu'aib berkata, "Hadits ini shahih.")[10]
"Rok ihram" termasuk jenis saraawiil

Pakaian ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti rok itu oleh orang arab disebut sebagai "nuqbah". Dalam bahasa 'ammiyyah sering disebut dengan "tannuurah". Disebut demikian karena bentuknya yang mirip tungku peleburan besi, di mana bagian atasnya sempit sedangkan bagian bawahnya semakin luas. Di negeri kita pakaian semacam ini disebut dengan "rok".

Jika kita merujuk ke kamus-kamus bahasa arab, maka akan kita dapatkan penjelasan para ulama bahasa bahwa nuqbah itu adalah termasuk ke dalam jenis saraawiil (celana panjang). Ibnu Manzhur berkata, "Nuqbah adalah sejenis pakaian yang bagian atasnya seperti celana (karena dibuat melingkar yang di dalamnya dimasukkan sejenis karet -pen) , sedangkan bagian bawahnya seperti kain sarung." Beliau juga menambahkan, "Ada juga yang mengatakan, "Nuqbah itu adalah saraawiil tanpa belahan untuk kaki" [11]

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa nuqbah atau tannuurah atau "rok ihram" ini termasuk pakaian yang dilarang untuk dipakai dalam ihram. Hendaknya kita tidak menggunakannya dalam rangka bersikap hati-hati walaupun banyak orang yang menjualnya. Kebanyakan mereka (para penjual) ketika ditanya boleh atau tidaknya rok ihram ini menjawab bahwa ada ulama yang berfatwa boleh memakainya. Ketika diminta menunjukkan fatwa tersebut, mereka tidak mampu menunjukkannya. Hatta jikalau memang benar ada ulama yang menfatwakan bolehnya memakai rok ihram ini, sebaiknya kita lebih bersikap hati-hati dengan mengambil yang lebih selamat. Wallaahu a'lam.

B. Melakukan idhthiba' sejak mulai ihram sampai dengan tahallul

Idhthiba' berasal dari kata "dhab'un" yang mengikuti pola "ifti'al"."Dhab'un" itu sendiri artinya adalah pertengahan lengan atas. Terkadang pula yang dimaksud adalah ketiak (ibth), karena berdekatan dengan pertengahan lengan atas. Oleh karena itu, secara bahasa seseorang dikatakan ber-idhthiba' jika dia memasukkan sesuatu di bawah ketiaknya.

"Idhthiba'" di dalam istilah manasik maksudnya adalah mengenakan pakaian ihram dengan cara memasukkan tengah kain di bawah ketiak sebelah kanan dan meletakkan kedua ujung kain di atas bahu sebelah kiri. Dengan demikian, bahu sebelah kanan dibiarkan terbuka.[12]

Sebagian besar jamaah haji beranggapan bahwa memakai pakaian ihram identik dengan "idhthibaa'". Ini salah kaprah yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan:

Kemungkinan yang pertama: tidak begitu paham tentang manasik. Orang-orang seperti ini biasanya bermodalkan pengamatan belaka tanpa pengolahan data observasi. Mereka melihat jamaah haji melakukan suatu perbuatan, lalu serta-merta mereka pun mengikutinya.

Kemungkinan yang kedua: terlalu fanatik dengan madzhab tertentu. Mereka tidak mau tau apakah pendapat madzhab tersebut benar atau salah, sesuai dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah apa yang dikatakan oleh madzhab, itulah yang benar dan wajib diikuti. Inilah yang disebut dengan taklidbuta. Kewajiban kita adalah ittiba' (mengikuti dengan memahami dalil), bukan taklid buta (mengekor tanpa memahami dalil).

Kapan idhthibaa' itu disyari'atkan?

Idhthibaa' disyari'atkan hanya pada saat thawaf qudum saja, yaitu thawaf ketika tiba di Makkah.

عَنْ يَعْلَى بن أمية، قَالَ: طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَبِعًا بِبُرْدٍ أَخْضَرَ

Dari Ya'la bin Umayyah radhiyallaahu 'anhu dia berkata, "Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam melakukan thawaf sambil melakukan idhthibaa' dengan kain berwarna hijau." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini shahih.")[13]

Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata, "Idhthibaa' itu disunnahkan hanya pada saat thawaf qudum saja, karena ketiadaan dalil yang menerangkan sunnahnya pada saat selain thawaf qudum" [14].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ اعْتَمَرُوا مِنَ الْجِعْرَانَةِ فَرَمَلُوا بِالْبَيْتِ وَجَعَلُوا أَرْدِيَتَهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ قَدْ قَذَفُوهَا عَلَى عَوَاتِقِهِمُ الْيُسْرَى

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat menunaikan umrah dari Ji'ranah. Mereka melakukan "ramal"[15], dan memasukkan pakaian ihram mereka di bawah ketiak sebelah kanan, sedangkan kedua ujung kain tersebut disematkan di atas bahu sebelah kiri (idhthibaa' -pen). (HR. Abu Dawud, no.1884, Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbad mengatakan isnad hadits ini hasan.) [16]

Adapun hadits Ibnu 'Abbas tersebut di atas yang menunjukkan idhthibaa' juga berlaku pada saat thawaf 'umrah dapat dijelaskan bahwa thawaf umrah yang dimaksud adalah berkedudukan sama sebagai thawaf qudum, yaitu thawaf yang dilakukan sesampainya seorang muhrim di Makkah. Jika ia telah menunaikan umrahnya, kemudian ingin melaksanakan umrah berikutnya untuk orang lain seperti ibunya atau ayahnya yang sudah meninggal -misalkan saja-, maka dia tidak perlu keluar menuju miqat yang lima. Karena saat itu ia berkedudukan sama seperti penduduk Makkah. Dia cukup keluar dari daerah haram menuju daerah halal (seperti Tan'im dan Ji'ranah) sebagai miqatnya. Untuk umrah yang kedua ini, thawaf umrahnya tidak dikatakan lagi sebagai thawaf qudum, karena statusnya masih berada di Makkah. Sehingga dengan demikian, pada thawaf umrah yang kedua ini tidak disunnahkan melakukan idhthibaa'. Wallaahu a'lam.

Idhthibaa' merupakan kekhususan thawaf

Syaikh Manshur Al-Buhuti berkata, "Apabila telah selesai dari thawaf, maka hendaknya ia kembali mengenakan pakaian ihramnya seperti biasa (maksudnya tidak beridhthibaa' lagi -pen)."[17]

Syaikh Al-Hajjaawiy berkata, "Dan tidak melakukan idhthibaa' pada saat sa'i." Syaikh Al-Buhuti menjelaskan, "(Yang demikian itu) dikarenakan tidak ada dalilnya. Al-Imam Ahmad mengatakan, "Kami tidak pernah mendengarkan hadits yang membicarakan hal itu (tentang idhthibaa' pada saat sa'i -pen)."[18]

Syubuhat dan Bantahannya
Syubhat 1

Ada yang mengatakan, "Madzhab kami berpendapat bahwa idhthibaa' itu disunnahkan pada saat thawaf dan sa'i. Kami mengikuti madzhab kami, sebagaimana kalian mengikuti madzhab kalian."

Bantahannya: Kita katakan bahwa yang diikuti dalam hal ini adalah kebenaran. Kebenaran itu sumbernya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bermadzhab merupakan salah satu sarana dalam memahami fiqh atau syari'at. Bermadzhab bukanlah tujuan dalam beragama. Kita tidak dilarang bermadzhab sebagaimana para ulama dan para imam terdahulu bermadzhab. Yang dilarang adalah fanatik terhadap madzhab tertentu dengan menganggap bahwa madzhabnya adalah ma'shum dari kesalahan dan kekeliruan. Kita tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat di kalangan madzhab. Yang dituntut dari kita adalah mengambil pendapat yang paling dekat dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Untuk permasalahan idhthibaa' para ulama berbeda pendapat.

  1. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa idhthibaa' itu disunnahkan pada saat thawaf, sedangkan pada saat sa'i tidak disunnahkan. Tidak semua thawaf disunnahkan idhthibaa', hanya untuk thawaf yang diikuti dengan sa'i saja.[19]
  2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa idhthibaa' itu tidak dianjurkan baik pada saat thawaf maupun sa'i.[20]
  3. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa idhthibaa' itu disunnahkan baik pada thawaf maupun sa'i.[21]
  4. Madzhab Hanbali berpendapat bahwa idhthibaa' itu disunnahkan hanya pada saat thawaf, sedangkan pada saat sa'i tidak. Idhthibaa' hanya disunnahkan pada saat thawaf qudum saja, baik setelahnya diikuti dengan sa'i ataupun tidak.[22]

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa idhthibaa' tidak disyari'atkan pada saat sa'i. Hanya madzhab Syafi'i saja yang berpendapat sunnah.

Al-'Aini berkata, "Al-Imam Asy-Syafi'i berpendapat sunnahnya idhthibaa' pada saat sa'i mengqiyaskan hukumnya dengan thawaf."[23]

Ibnu Qudamah menjelaskan, "Al-Imam Asy-Syafi'i berpendapat sunnahnya idhthibaa' pada saat sa'i. Beliau beralasan karena sa'i merupakan salah satu bentuk thawaf. Sa'i mirip seperti thawaf mengelilingi ka'bah. Yang benar adalah Nabi tidak melakukan idhthibaa' pada saat sa'i. Sunnahnya adalah mencontoh beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. Al-Imam Ahmad berkata, "Kami tidak pernah mendengar sebuah hadits pun tentang hal itu (idhthibaa' pada saat sa'i -pen). Qiyas tidak dibenarkan kecuali dalam hal yang dapat dipahami maknanya. Dan ini merupakan ibadah murni (yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan dalil yang shahih dan sharih -pen).[24]

Penulis mengatakan bahwa hukum asal memakai ridaa' adalah meletakkannya di atas kedua bahu. Ketika di sana terdapat perintah baik itu perkataan maupun perbuatan dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang memalingkan dari hukum asal ini, maka penerapannya hanya pada hal, tempat dan waktu yang ditunjukkan oleh perintah tersebut. Jika tidak ada perintahnya pada hal, tempat dan waktu yang berbeda, maka penerapannya dikembalikan kepada hukum asal.

Untuk kasus idhthibaa', ini merupakan perbuatan Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Dalil-dalil yang ada hanya menunjukkan idhthibaa' itu hanya pada waktu thawaf qudum saja. Dikarenakan tidak adanya dalil yang memerintahkan idhthibaa' pada waktu sa'i, maka cara memakai ridaa' kembali kepada asalnya, yaitu diletakkan di atas kedua bahu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Imam Ahmad dalam masalah ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i. Wallaahu a'lam.

Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad.

Riyadh, 16 Dzulqa'dah 1432

 

Catatan Kaki:

[1] Pembahasan kali ini khusus untuk pakaian ihram bagi laki-laki. Insya Allah, kesalahan-kesalahan manasik khusus wanita akan disusun tersendiri di lain waktu. Semoga Allah memudahkannya.

[2] Muhrim adalah orang yang melakukan ihram. Ini yang benar. Bukan seperti yang dimaksud oleh kebanyakan orang di negeri kita bahwa muhrim adalah orang yang haram untuk dinikahi. Ini juga termasuk "salah sebut". Istilah yang benar untuk orang-orang yang haram dinikahi adalah "mahram". Hendaknya kita bisa membedakan kedua istilah ini dan menempatkan pada tempatnya.

[3] "'Imamah" adalah pakaian khusus kepala. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan sorban. Termasuk ke dalam hukum 'imamah adalahsyimagh dan ghuthrah (tutup kepala model orang saudi), kopiah, peci, dan yang sejenisnya.

[4] "Saraawiilaat" bentuk jamak dari saraawiil, yaitu pakaian untuk bawah badan. Biasa disebut dengan celana panjang.

[5] "Baraanis" bentuk jamak dari burnus, yaitu baju yang memiliki penutup/tudung kepala.

[6] "Khuf" adalah sepatu yang menutup mata kaki, biasanya terbuat dari kulit.

[7] Hadits ini merupakan naasikh terhadap hadits sebelumnya. Maksudnya hadits Ibnu 'Abbas menghapus hukum yang terdapat dalam hadits Ibnu 'Umar. Jika kita melihat sekilas, hadits Ibnu 'Abbas lebih umum daripada hadits Ibnu 'Umar. Dalam hadits Ibnu 'Umar terdapat penjelasan tentang memotong bagian atas khuf yang menutupi mata kaki, sedangkan dalam hadits Ibnu 'Abbas tidak disebutkan keterangan tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa ini masuk ke dalam babnaasikh dan mansuukh, bukan bab umum dan khusus yang dengannya menjadikan hadits yang umum dibawa penerapannya kepada hadits yang khusus. Alasannya, karena hadits Ibnu 'Umar itu ketika Nabi berada di Madinah, sedangkan hadits Ibnu 'Abbas ketika Nabi berkhutbah di 'Arafah. Kaum muslimin pada saat di Arafah lebih banyak daripada yang hanya di Madinah. Yang berada di 'Arafah sebagian besar mereka tidak mendengar jawaban beliau ketika di Madinah. Ketika ditanya di 'Arafah, Nabi tidak memerintahkan untuk memotong bagian atas khuf. Kalau seandainya memotong khuf tersebut adalah wajib hukumnya, pasti Nabi sudah menjelaskannya, karena mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan tidak dibenarkan dalam syari'at. Dengan kata lain, tidak diperintahkannya sesuatu pada waktu penjelasan itu dibutuhkan, menunjukkan ketidakwajibannya. (At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 74, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-'Ushaimi)

[8] "Izaar" adalah kain untuk menutupi bagian bawah badan.

[9] "Ridaa'" adalah kain yang menutupi bagian atas badan, biasanya diletakkan di atas kedua bahu (untuk menutupi bahu).

[10] At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 41, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-'Ushaimi.

[11] Lisaan Al-'Arab, 1/768, Daar Shaadir, Beirut.

[12] Lisaan Al-'Arab, 8/216, Daar Shaadir, Beirut.

[13] Taudhiih Al-Ahkaam, no. 630, 4/114, Maktabah Al-Mushthafa.

[14] Ibid, hal. 115.

[15] "Ramal" adalah berjalan cepat dengan langkah-langkah yang pendek.

[16] Tabshiiru An-Naasik bi Ahkaami Al-Manaasik, Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, hal.102-103

[17] Ar-Raudh Al-Murbi', hal. 175, Daar Al-Kitaab Al-'Arabiy, Beirut.

[18] Kasyfu Al-Qinaa', hal. 1158, Daar 'Aalam Al-Kutub, Riyadh.

[19] Haasyiyah Ibn 'Aabidiin, 2/481, Daar Al-Fikr, Beirut.

[20] Fath Al-Baari, no. 1605, 3/534, Daar Al-Hadiits, Kairo.

[21] Al-Majmuu' Syarhu Al-Muhadzdzab, 8/27, Maktabah Al-Irsyaad, Jeddah.

[22] Al-Mughni, 3/339, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.

[23] Al-Binaayah Syarhu Al-Hidaayah, 4/195, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, Beirut.

[24] Al-Mughni, 3/340, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.

Penulis: Abu Yazid Nurdin
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Mengharap Ridha Allah Ataukah Surga?

Posted: 26 Jun 2013 08:04 PM PDT

sufi1

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak

Soal:

Apakah seseorang yang beramal shalih dengan mengharapkan ridha Allah itu lebih tinggi tingkatannya daripada mengharapkan surga?

Jawab:

Tidak, kedua hal itu tergabung menjadi satu, tidak dipisah sendiri-sendiri. Orang-orang sufi lah yang suka membedakannya. Tidak ada orang di dunia ini yang mengharapkan surga tapi dia tidak mengharap ridha Allah. Juga tidak ada orang yang mengharap ridha Allah tapi tidak mengharapkan surga. Mengharapkan surga sekaligus ridha Allah adalah jalannya para Rasul dan pengikut mereka. Demikian.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/42373

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

 

 

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Kajian Islam Ilmiyah Bekal Menjemput Ramadhan

Posted: 26 Jun 2013 09:53 PM PDT

Bismillah

Alhamdulillah, Bulan Ramadhan 1434 H akan kita jelang sesaat lagi. Sudahkah Anda semua mempersiapkan bekal untuk menjemput Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan, keutamaan, dan keberkahan ini? Sebagai muslim tentunya kita akan sangat merindukan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan ini. Dan salah satu hal yang harus senantiasa kita persiapkan adalah ilmu agar bagaimana Bulan Ramadhan ini bisa kita isi dengan kegiatan dan amalan yang soleh yang tentunya kita berharap agar kita menjadi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.

Nah, dalam rangka menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini mari kita ikuti Kajian Islam Ilmiyah yang membahas tentang seputar ” Bekal Menjemput Ramadhan“.

Kajian akan disampaikan oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal ST, Msc. Beliau adalah Pimpinan Ponpes Darus Sholihin di Dusun Waruk, Desa Girisekar, Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Pada hari Selasa tanggal 2 Juli 2013 Pukul 19.30 (Ba’da Isya)

Bertempat di Masjid Al-Jama’ah Pertamina di Komplek PT Pertamina EP Asset 3 Jl. Patra Klayan Cirebon. Contact Person : 085311319685

Kajian ini diselenggarakan oleh BDI (Badan Dakwah Islam) PT Pertamina EP Asset 3

Bagi Kaum Muslimin Muslimat, Khususnya yang berada di daerah Cirebon dan sekitarnya yang ingin menghadiri Kajian Islam Imliyah ini, silakan hadir pada waktu dan tempat yang telah diinformasikan. Semoga bermanfaat (abuarfa)

pamflet kajian ust. abduh

Wednesday, June 26, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fikih Puasa (9): Yang Mendapat Keringanan Tidak Puasa

Posted: 26 Jun 2013 03:00 PM PDT

syarat-sah-puasa

Abu Syuja’ selanjutnya menjelaskan mengenai orang-orang yang mendapat keringanan tidak puasa. Beliau rahimahullah berkata, “Orang yang sudah tua renta (sepuh) ketika tidak mampu berpuasa, maka ia tidak berpuasa. Setiap hari tidak puasa, hendaklah ia memberi makan (kepada orang miskin) seukuran satu mud. Adapun wanita hamil dan menyusui, jika mereka berdua khawatir pada dirinya, maka boleh tidak puasa dan mereka berdua punya kewajiban qodho’. Jika mereka khawatir pada anak mereka, maka keduanya boleh tidak puasa, mereka wajib tunaikan qodho’ dan kafaroh, yaitu satu hari tidak puasa memberi satu mud makanan. Ukuran mud adalah 4/3 rithl takaran Irak. Sedangkan orang yang sakit dan musafir yang melakukan perjalanan jauh, mereka boleh tidak puasa dan mengqodho’ puasanya nantinya.”

Ada tiga orang yang disebutkan oleh Abu Syuja’ yang dapat keringanan tidak puasa:

Pertama: Orang yang sudah tua renta (sepuh)

Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184).

Begitu pula yang mendukungnya adalah riwayat berikut,

عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR. Bukhari no. 4505).

Kedua: Wanita hamil dan menyusui

Dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar, jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka, semisal khawatir pada ASI-nya, maka ia boleh tidak puasa dan ia punya kewajiban qodho’ sebagaimana orang sakit. Terserah ketika itu membawa bahaya pada anaknya ataukah tidak sebagaimana kata Al Qodhi Husain. Dalam kondisi ini tidak ada fidyah sebagaimana pada orang sakit.

Namun jika keduanya khawatir pada anaknya, seperti khawatir keguguran pada wanita hamil dan kekurangan ASI pada wanita menyusui, maka kedunya boleh tidak puasa, punya kewajiban qodho’ dan menunaikan fidyah menurut pendapat terkuat. Demikian nukilan secara ringkas dari Muhammad Al Hishni dalam Kifayatul Akhyar.

Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat (shalat empat raka’at menjadi tiga raka’at), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad 5: 29, Ibnu Majah no. 1667, Tirmidzi no. 715, An Nasai no. 2277. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya).

Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud no. 2318).

Ketiga: Orang sakit dan musafir

Yang dimaksud orang sakit yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa adalah yang memiliki sakit yang berat yang sulit untuk puasa. Bahkan jika berpuasa malah dapat membinasakan diri, maka wajib tidak puasa, sebagaimana hal ini disinggung dalam Kifayatul Akhyar.

Adapun musafir yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa -sebagaimana yang dipilih dalam madzhab Syafi’i- adalah yang melakukan perjalanan jauh dan safarnya adalah safar yang mubah. Adapun jika safarnya adalah safar maksiat, maka tidak ada keringanan mengqoshor shalat maupun keringanan untuk tidak puasa. Lihat pula penjelasan dalam Kifayatul Akhyar.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ” (QS. Al Baqarah: 185). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang sakit yang masih bisa diharapkan sembuhnya dan musafir yang melakukan safar mubah. Ayat ini bermakna, siapa saja yang sakit di bulan Ramadhan, lantas tidak bisa menjalani puasa atau ia adalah seorang musafir, maka ia boleh tidak puasa jika ia mau. Lalu hendaklah ia puasa di hari lainnya setelah Ramadhan ketika tidak ada lagi ada uzur. Ia berpuasa sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Lihat At Tadzhib karya Syaikh Musthofa Al Bugho, hal. 115.

Semoga sajian ini bermanfaat. Masih berlanjut dalam bahasan berikutnya mengenai i’tikaf. Hanya Allah yang memberi taufik.

@ Karawaci, Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Puasa (8): Masih Memiliki Utang Puasa Ketika Meninggal Dunia

Posted: 26 Jun 2013 01:00 AM PDT

keutamaan-puasa

Selanjutnya Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang puasa ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”

Satu mud yang disebutkan di atas adalah 1/4 sho’. Di mana satu sho’ adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar zakat fithri. Satu sho’ sekitar 2,5-3,0 kg seperti yang kita setorkan saat bayar zakat fithri.

Yang lebih utama dari fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah dengan membayar utang puasa dengan berpuasa yang dilakukan oleh kerabat dekat atau orang yang diizinkan atau ahli waris si mayit. Dalil yang mendukung hal ini hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).

Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”

Pembahasan di atas adalah bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit) lalu ia masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk mengqodho’ ketika uzurnya tersebut hilang sebelum meninggal dunia.

Sedangkan bagi yang tidak berpuasa karena uzur lantas tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utang puasanya dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur atau ia meninggal dunia setelahnya namun tidak memiliki waktu untuk mengqodho’ puasanya, maka tidak ada qodho’ baginya, tidak ada fidyah dan tidak ada dosa untuknya. Demikian keterangan dari Syaikh Musthofa Al Bugho yang penulis sarikan dari At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 114.

Intinya, orang yang dilunasi utang puasanya adalah orang yang masih memiliki kesempatan untuk melunasi qodho’ puasanya namun terlanjur meninggal dunia. Sedangkan orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqodho’ lalu meninggal dunia, maka tidak ada perintah qodho’ bagi ahli waris, tidak ada kewajiban fidyah dan juga tidak ada dosa.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula,

ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم ومن

“Barangsiapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’, 6: 367).

Dalil bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah beberapa riwayat berikut,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qodho’. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu Daud no. 2401, shahih kata Syaikh Al Albani).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ  مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa” (HR. Tirmidzi no. 718. Abu ‘Isa berkata, “Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadits ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.” Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani).

Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qodim) mewajibkan bagi yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, tidak diharuskan dilunasi dengan memberi makan (fidyah), namun boleh bagi kerabatnya melunasi utangnya dengan berpuasa atas nama dirinya. Bahkan pendapat terakhir inilah yang disunnahkan sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi dari Syarh Muslim. Kata Imam Nawawi, pendapat qodim dari Imam Syafi’i itulah yang lebih tepat karena haditsnya yang begitu kuat. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru), tidak bisa dijadikan hujjah (dukungan) karena hadits yang membicarakan memberi makan bagi orang yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa adalah hadits dho’if, wallahu a’lam. Demikian nukilan kami dari Kifayatul Akhyar.

Intinya, orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara:

  1. membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa,
  2. menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Adapun bentuk memberikan fidyah, bisa dengan makanan siap saji dengan memberi satu bungkus makanan bagi satu hari tidak puasa, bisa pula dengan ketentuan satu mud yang disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas.

Namun ukuran mud ini bukanlah ukuran standar dalam menunaikan fidyah. Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Ukuran mud dalam fidyah di sini sebaiknya dirujuk pada ukuran zaman ini, yaitu ukuran pertengahan yang biasa di tengah-tengah kita menyantapnya, yaitu biasa yang dimakan seseorang dalam sehari berupa makanan, minuman dan buah-buahan. Karena saat ini makanan kita bukanlah lagi gandum, kurma, anggur atau sejenisnya. Fakir miskin saat ini biasa menyantap khubz (roti) atau nasi dan kadang mereka tidak menggunakan lauk daging atau ikan. Sehingga tidaklah tepat jika kita mesti menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh ahli fikih (fuqoha) di masa silam. Karena apa yang mereka tetapkan adalah makanan yang umum di tengah-tengah mereka.” (At Tadzhib, hal. 115).

Semoga sajian singkat ini dari penjelasan Abu Syuja’ bermanfaat bagi pengunjung Muslim.Or.Id sekalian. Masih dilanjutkan dengan beberapa penjelasan lainnya. Nantikan saja di Muslim.Or.Id. Wallahu waliyyut taufiq.

Saat rehat @ Karawaci Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Bedah Buku On Air Bersama Penerbit Darul Haq

Posted: 26 Jun 2013 12:23 AM PDT

Bismillah

Alhamdulillah, program acara Bedah Buku On Air mendapatkan respon yang cukup bagus dari Beberapa Penerbit Buku Islam Ahlussunnah. Setelah Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, kini penerbit yang kembali sudah melakukan kesepakatan kerjasama dengan Radio Sunnah KITA FM Cirebon adalah Darul Haq. Darul Haq adalah salah satu penerbit buku Islam yang konsisten untuk menerbitkan buku-buku Islam dalam bahasa Indonesia, baik tulisan terjemahan dari buah karya para Ulama Ahlussunnah atau tulisan dari para asatidz tanah air yang mereka konsisten dalam menebarkan dakwah salafiyah ahlussunnah wal jama'ah.

Adapun buku terbitan dari Darul Haq yang akan diikutsertakan dalam program acara Bedah Buku On Air adalah:

Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat

bimbingan islamPenulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Harga : Rp.27.000,-
Deskripsi : xiii + 174 hal. (S)

Buku ini bertujuan memperbaiki pribadi setiap muslim, sehingga bisa melaksanakan Islam dengan sebaik-baiknya. Perbaikan yang dimaksud, adalah sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para as-Salafush Shalih. Pembahasan buku ini menyentuh hampir semua persoalan prinsip ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap muslim, baik sebagai pribadi maupun masyarakat. Karenanya adalah tepat buku ini oleh penulisnya diberi judul Bimbingan Islam untuk (memperbaiki) Pribadi dan Masyarakat. Begitu penting dan bermanfaatnya buku ini, sehingga ia telah diterjemahkan dan dicetak ulang berkali-kali dalam berbagai bahasa dan disebarluaskan di banyak negara; Saudi Arabia, Kuwait, Aljazair, Yordania, Mesir, Lebanon, India, Pakistan dan lain-lain. Dan sekarang giliran Anda bisa mereguk nikmat dan manfaat buku ini.

bedah buku darul haq

Buku ini Insya Allah akan dibedah dalam Program Acara Kalam (Kajian Ilmiyah Malam) dengan Pemateri Ustadz Muhammad Toharo, Lc ( Pimpinan &Pengajar di Pondok Pesantren Assunnah Cirebon ) di setiap hari Selasa, Pukul 20.00-21.30 WIB.

Simak acaranya di Frekuensi 94.3 FM untuk Pendengar di Daerah Kota Cirebon dan sekitarnya. Untuk pendengar streaming bisa di akses di alamat  http://live.radiosunnah.net atau di flexy radio di *55320923. Silakan beli bukunya di toko-toko buku terdekat dan mari kita kaji kitabnya.

Untuk Masyarakat Kota Cirebon, Silakan bisa dibeli bukunya di: Toko Buku At Tamimi  Jl. Panjunan No. 110 Cirebon Telp.  0231-202817

(abuarfa)

Monday, June 24, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fikih Puasa (7): Akibat Hubungan Seks di Siang Hari Ramadhan

Posted: 24 Jun 2013 04:00 PM PDT

hubungan_seks_puasa

Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qodho’ dan kafaroh. Bentuk kafarohnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu sebesar 1 mud.”

Penulis kitab Fathul Qorib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukallaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.”

Muhammad Al Hishni dalam Kifayatul Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jima’ (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.”

Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i.

Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafaroh. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafaroh dalam hal itu.

Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsoh) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayatul Akhyar.

Adapun dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah berikut,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

"Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, "Wahai Rasulullah, celaka aku." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apa yang terjadi padamu?" Pria tadi lantas menjawab, "Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?" Pria tadi menjawab, "Tidak". Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Pria tadi menjawab, "Tidak". Lantas beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, "Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?" Pria tadi juga menjawab, "Tidak". Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Di mana orang yang bertanya tadi?" Pria tersebut lantas menjawab, "Ya, aku." Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Ambillah dan bersedakahlah dengannya." Kemudian pria tadi mengatakan, "Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. " Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).

Menurut mayoritas ulama, jima' bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho', ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima' oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi'iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,  bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah suami. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[1]

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

a)      Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

b)      Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c)       Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[2] makanan.[3]

Jika orang yang melakukan jima' di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7: 224.

Semoga bermanfaat kajian dari matan Abi Syuja’ ini. Nantikan pembahasan lanjutan di Muslim.Or.Id.

 

Referensi utama:

1- Mukhtashor Abi Syuja', Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi'i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.

2- At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.

3- Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.

4- Hasyiyah ‘alal Qoulil Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor (Muhammad bin Qosim Al Ghozzi), Dr. Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H

@ Hotel Parama, Puncak, Cisarua (waktu senggang saat Dauroh Maqoshid Syari’ah bersama guru kami Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri), 16 Sya’ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

 



[1]     Lihat Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah 28: 59-60 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2: 108 .

[2]     Satu mud sama dengan ¼ sho'. Satu sho' kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg.

[3]     Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya.

5 Kajian Umum Spesial Ramadhan (Yogyakarta)

Posted: 24 Jun 2013 06:37 AM PDT

Hadirilah!

5 KAJIAN SPESIAL RAMADHAN 1434 H

Gratis! Terbuka Untuk Umum (Muslim/Muslimah)

 

Fasilitas: Buku Panduan Ramadhan, Buku Dzikir Pagi dan Petang [Gratis]

 

1. PANDUAN PUASA & HARI RAYA

Waktu: Ahad, 7 Juli 2013 Pukul 09.00 – 11.30 WIB

Tempat: Masjid Al-Mubarok, Tegalrejo (sebelah utara kampus UMY)  

bersama Ustadz Aris Munandar, M.PI. (Ponpes Hamalatul Qur'an, Bantul)

 

2. TUNTUNAN SHOLAT TARAWIH & I'TIKAF

Waktu: Ahad, 14 Juli 2013 Pukul 09.00 – 11.30 WIB

Tempat: Masjid Al-Mubarok, Tegalrejo (sebelah utara kampus UMY)

bersama Ustadz M. Abduh Tuasikal, M.Sc. (Ponpes Darush Sholihin, G. Kidul)

 

3. MOTIVASI MENUNTUT ILMU SYAR'I

Waktu: Ahad, 14 Juli 2013 Pukul 13.00 – 14.30 WIB

Tempat: Masjid Al-Mubarok, Tegalrejo (sebelah utara kampus UMY)

bersama Ustadz Ahmad Mz, S.S. (Forum Dakwah Masyarakat Jogja)

 

4. PUASA DAN KEIKHLASAN

Waktu: Sabtu, 20 Juli 2013 Pukul 09.00 – 11.30 WIB

Tempat: Masjid Muthohharoh, Ngebel (sebelah selatan kampus UMY)

bersama Ustadz Zaid Susanto, Lc. (Ponpes Jamilurrahman, Bantul)

 

5. TAUHID KUNCI KEBAHAGIAAN HIDUP

Waktu: Ahad, 21 Juli 2013 Pukul 09.00 – 11.30 WIB

Tempat: Masjid Al-Mubarok, Tegalrejo (sebelah utara kampus UMY)

bersama Ustadz Afifi Abdul Wadud (Ponpes Jamilurrahman, Bantul)

 

Penyelenggara

FORSIM (Forum Studi Islam Mahasiswa)

Situs: www.kajianmahasiswa.wordpress.com

Alamat: Wisma Aflah, Jl. Lingkar Selatan Gg. Kenanga No. 11B Tegalrejo, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta [300 m utara Kampus UMY, selatan Masjid al-Mubarok]

 

Kontak Person: 0877 3949 4717 [Adi]

http://abumushlih.com/5-kajian-spesial-ramadhan-1434-h.html/

Kajian Umum (KUPER) Yogyakarta 1-2 Juli 2013: Meraih Kebahagiaan Dunia Akhirat dengan Islam

Posted: 24 Jun 2013 06:24 AM PDT

liburan? mau kemana?
daripada bingung mau liburan kemana, ayo ikut K U P E R III ajaa!

K U P E R – Kajian Umum yang diselenggarakan oleh Panitia Dauroh Pelajar Indonesia.
“Meraih Kebahagiaan Dunia Akhirat dengan Islam”

1-2 Juli 2013 @Ruang Utama Masjid Agung Syuhada, Kotabaru Yogyakarta
Dengan rincian:

[SENIN, 1 JULI 2013]
pukul 08.30-dzuhur
- “Jelaskan Padaku, Apa itu Islam !” bersama Al Ustadz Zaid Susanto, Lc (alumnus Universitas Islam Madinah)

ba’da dzuhur (12.00) – ashar
- “Menjadi muslim kaya raya” bersama Al Ustadz Zainuddin (Murid Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahullah-)

[SELASA, 2 JULI 2013]
pukul 08.30-dzuhur
-” Saatnya Katakan; ‘Aku Seorang Muslim’ ”
bersama Akh Andy Octavian Latief, M.Sc.
(Calon Doktor termuda Indonesia -insya Allah-, juara olimpiade fisika Internasional 3 kali, Mahasiswa Doktoral Maryland University Amerika Serikat)

FREE! TERBUKA UNTUK UMUM ! (Tidak Hanya Pelajar) IKHWAN DAN AKHWAT
Informasi : 083867751102 (SMS Only)

Diselenggarakan oleh : Panitia Daurah Pelajar Indonesia & Majeed Reporters
Disponsori oleh : radiomuslim

LASTFLYER

Penerimaan Santri Baru BADAR Ma’had ‘Umar bin Khattab Yogyakarta 1434H

Posted: 24 Jun 2013 05:46 AM PDT

'Umar bin Khattab : "Pelajarilah bahasa arab, karena itu adalah bagian penting dari agama kalian"

Alhamdulillah, Ma’had ‘Umar bin Khattab (MUBK) Yogyakarta kembali membuka kelas Bahasa Arab Dasar (BADAR)
Edisi Spesial Menjelang Ramadhan
Menyambut Bulan Al Qur'an dengan Belajar Bahasa Al Qur'an

I. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

Waktu belajar : 1 Juli – 20 Juli 2013
Frekuensi : Setiap hari dengan 2 sesi (90 menit/sesi)
Sesi I : 07.30 – 09.00*
Sesi II : 13.30 – 15.00*
*masih ada kemungkinan berubah sesuai kesepakatan dengan pengajar

Tempat belajar : Masjid dan wisma muslim sekitar UGM
Materi : Nahwu dan Sharaf

Pilihan kelas

1. Dasar
Materi : Ilmu nahwu
Kitab panduan : Al Muyassar fii 'Ilmin Nahwi
Syarat : Bisa membaca Al Qur'an dengan baik

2. Menengah
Materi : Ilmu sharaf
Kitab panduan : Mukhtarat Qawa'id Al Lughah Al 'Arabiyyah
Syarat : Memiliki dasar ilmu nahwu dan lolos tes seleksi

Pengajar : Staf pengajar Ma'had 'Umar bin Khattab Yogyakarta

II. PENDAFTARAN

Waktu : 14 Juni – 28 Juni 2013

Tata cara :
1. Kirim SMS dengan format : BADAR#Nama#PilihanKelas
contoh : BADAR#Mu'awiyah#Menengah
kirim ke :
0857 8659 9931 (putra)
0857 4355 8784 (putri)

2. Daftar ulang pada saat briefing santri baru

III. BIAYA PENDIDIKAN

Biaya : Rp 150.000 untuk semua kelas (tidak termasuk kitab panduan)
Waktu pembayaran : Pada saat daftar ulang santri baru

IV. TES SELEKSI

Bagi pendaftar kelas menengah, diwajibkan mengikuti tes seleksi yang dijadwalkan pada waktu berikut :
Hari/tanggal : Jum'at, 28 Juni 2013
Pukul : 16.00 – selesai
Tempat : Masjid Pogung Dalangan
Hasil seleksi akan diumumkan bersamaan dengan briefing santri baru

V. BRIEFING DAN DAFTAR ULANG

Hari/tanggal : Sabtu, 29 Juni 2013
Tempat : Masjid Al 'Ashri, Pogung Rejo
Pukul : 08.00 – selesai
Agenda : Daftar ulang santri, pengumuman hasil seleksi, dan informasi KBM
Sifat : Wajib bagi seluruh calon santri BADAR Ramadhan 1434
Catatan :
- Calon santri diharapkan melunasi biaya pendidikan ketika daftar ulang
- Kitab dapat dipesan kepada panitia

Kontak panitia
Putra : 0857 8659 9931
Putri : 0857 4355 8784

Penyelenggara
Ma'had 'Umar bin Khattab (MUBK) Yogyakarta
Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari (YPIA)

Sekretariat
Wisma Darut Tauhid, Pogung Kidul SIA XVI No. 9C, Sinduadi, Mlati, Sleman

 

badar 1434H

Fatwa Ulama: Apa Perbedaan Antara Mukmin Dengan Muslim?

Posted: 23 Jun 2013 12:09 AM PDT

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih

Soal:

Apa Perbedaan antara seorang yang Mu’min dengan Muslim? Apakah setiap yang Muslim pasti dikatakan Mu’min?

Jawab:

Sesungguhnya perbedaan batasan antara Mukmin dan Muslim sama halnya dengan perbedaan batasan Islam dan Iman. Dan ada kaidah yang dikatakan oleh para Ulama: bahwasanya keduanya jika berkumpul dalam satu kalimat, artinya berbeda. Namun jika tidak berkumpul maka artinya sama.

فإذا ورد الإسلام والإيمان في نص واحد، كان معنى الإسلام: الأعمال الظاهرة. ومعنى الإيمان: الاعتقادات الباطنة، كقوله تعالى: ) [الحجرات:14]

Maka jika terdapat kata Islam dan Iman pada suatu nash (baik Al-Qur’an atau Hadits), maka Islam maknanya amalan-amalan yang nampak, sedangkan Iman adalah keyakinan dalam hati. Sebagaimana dalam Firman Allah:

(قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْأِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

Orang Arab Badui berkata: Aku telah beriman. Katakanlah, Kalian belum beriman. Akan tetapi katakanlah Aku telah berislam. Karena Iman belum masuk kedalam hati-hati kalian” (QS. Al Hujurat: 14)

Adapun jika disebutkan Islam saja, maka termasuk di dalamnya makna Iman, sebagaimana Firman Allah:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ

Sesungguhnya Agama (yang benar) disisi Allah hanyalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

وإذا ذكر الإيمان وحده دخل فيه الإسلام، كقوله تعالى: () [المائدة:5].

Dan jika disebutkan Iman saja, maka termasuk juga didalamnya makna Islam, sebagaimana dalam Firman-Nya:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْأِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Barangsiapa yang kafir setelah beriman, maka hilanglah amalannya” (QS. Al Maidah: 5)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sesungguhnya setiap Mukmin adalah Muslim, akan tetapi tidak setiap Muslim adalah Mukmin. Karenanya, seorang munafik tetap dikatakan sebagai seorang muslim di dunia, padahal di dalam hatinya tidak ada Iman. Dan jika orang munafik itu mati membawa kemunafikannya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi pada hari kiamat.

Wallahu A’lam.

 

Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=19304

Penerjemah: Rian Permana, S.T.
Artikel Muslim.Or.Id

Sunday, June 23, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kesalahan-Kesalahan Dalam Manasik Haji Dan Umrah (1)

Posted: 22 Jun 2013 09:00 PM PDT

haji

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Ibadah haji bagi sebagian besar kaum muslimin, mungkin merupakan ibadah sekali seumur hidup. Oleh karena itu, sudah semestinya para jamaah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjalankan ibadah haji yang sesuai dengan sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Semua orang ingin hajinya mabrur dan dosanya maghfur. Wajar saja, karena semua orang tahu bahwa haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.

Tidak ada yang mengetahui kalau musim haji tahun ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk menjadi "Dhuyuuf Ar-Rahmaan"(tamu-tamu Allah). Maka dari itu, sudah sepantasnyalah seorang muslim bertafaqquh (memahami) manasik yang akan ia tempuh. Jangan sampai ia terjatuh dalam kesalahan dan pelanggaran. Jika ini merupakan kesempatan terakhir, kapan kiranya ia hendak mengulangi dan memperbaikinya lagi?

Tulisan ini merupakan wujud keprihatinan penulis terhadap fenomena beragama yang semakin jauh dari praktek para pendahulunya (baca:As-Salaf Ash-Shaalih), khususnya dalam fiqh manasik. Penulis melihat masih banyak kesalahan yang terus berulang dari tahun ke tahun yang dilakukan oleh sebagian besar jamaah haji. Penulis merasa perlu untuk mengingatkan dan memberikan nasihat kepada kaum muslimin. Penulis sangat menyadari bahwa di sana sudah banyak usaha pelurusan dan peringatan terhadap kesalahan-kesalahan yang dimaksud, baik itu dituangkan dalam bentuk tulisan, maupun disuarakan lewat majelis pengajian. Namun berbekal semangat menjadikan usaha sederhana ini sebagai tabungan amal di akhirat kelak, maka penulis memberanikan diri untuk mencorat-coret lembaran kertas ini seraya berharap kepada Rabb Jalla wa 'Alaa agar menjadikannya ikhlas karenaNya dan hanya mengharap WajahNya semata-mata. Innahuu samii'un mujiib.

Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

Menjadikan Jeddah sebagai miqat

Di antara kesalahan jamaah haji (khususnya dari Indonesia) adalah menjadikan Jeddah [1] sebagai miqat.

Untuk memahami masalah ini, perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
    وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
    "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah untuk Allah, jika kalian terhalang (dari melaksanakannya), maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat." (Qs. Al-Baqarah: 196)
    Mak-hul [2] berkata, "Menyempurnakannya adalah dengan cara memulainya dari miqat." [3]
  2. Allah juga berfirman,
    الْحَج أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَج فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحج
    "Haji itu pada bulan-bulan tertentu. Barangsiapa yang wajib haji baginya pada bulan-bulan tersebut, maka ia tidak boleh berkata-kata kotor, tidak boleh berbuat maksiat, dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam ibadah haji." (Qs. Al-Baqarah: 197)
    Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berkata menafsirkan kata "fusuuq"dalam ayat di atas , "Maksudnya adalah maksiat." [4]
    Maksiat itu sendiri definisinya adalah lawan dari ketaatan, baik tidak melaksanakan apa yang diperintah atau melanggar apa yang dilarang. [5]
  3. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
    خذوا عني مناسككم
    "Ambillah dariku tatacara manasik kalian." (HR. Muslim, no. 1297)
  4. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menentukan miqat-miqat [6]. Al-Imam Al- Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbasradhiyallaahu 'anhuma, dia berkata,
    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهن وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ، فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ "
    "Sesungguhnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan miqat Dzulhulaifah bagi penduduk Madinah, Al-Juhfah bagi penduduk Syam, Qarn Al-Manaazil bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi pendudukYaman. Beliau bersabda, "Miqat-miqat itu untuk para penduduknya dan untuk orang yang melewatinya walaupun bukan penduduknya yang ingin melaksanakan haji atau umrah. Adapun orang yang berada di daerah sebelum miqat (dari Makkah – pen) maka ihramnya dari tempat tinggalnya, sebagaimana penduduk Makkah berihram dari Makkah." (HR. Al-Bukhari, no.1524)

Miqat adalah tempat memulai ihram. Seorang muslim yang akan menunaikan ibadah haji dan atau umrah, ia wajib menyempurnakan manasiknya dengan cara memulainya dari miqat. Dia tidak boleh melewati miqat kecuali dalam keadaan ihram. Jika ia melewatinya dengan sengaja tanpa ihram, maka ia telah melakukan maksiat (berdosa) dan harus kembali ke miqat untuk memulai ihramnya lagi dan tidak diwajibkan membayar dam. Namun jika ia lupa dan tidak sengaja melewatinya tanpa ihram, maka dia harus kembali ke miqat dan tidak berdosa serta tidak terkena dam. Adapun orang yang sengaja dan tidak kembali ke miqat, maka di samping menuai dosa dia juga diwajibkan untuk membayar dam.

Jeddah bukan miqat bagi jamaah haji Indonesia

Ditinjau dari Makkah-miqat sebagai acuan, maka tamu Allah itu ada 3 kelompok:

  1. Afaaqiyyuun: yaitu orang-orang yang berada di luar miqat, seperti penduduk Madinah, Najd, Yaman, Mesir, Sudan, Indonesia, India, Pakistan, Eropa, Amerika, dan dari seluruh penjuru dunia. Miqaat mereka adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
  2. Antara Makkah dan miqat: orang-orang yang tinggal di antara keduanya, seperti penduduk Jeddah, Ummu As-Salam, Bahrah, Asy-Syaraayi', Badr, Mastuurah, maka miqat mereka adalah rumah-rumah mereka sendiri. [7]
  3. Haazhiruu Al-Masjid Al-Haram: yaitu penduduk Makkah, miqat mereka adalah dari rumah-rumah mereka sendiri.

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa Jeddah bukanlah miqat untuk orang-orang yang datang dari arah timur seperti Indonesia. Selain karena tidak ditetapkan oleh syari'at sebagai miqat Afaaqiyyuun, Jeddah terletak di antara Makkah dan miqat. Oleh karena itu, jika ia bukan penduduk Jeddah atau tidak bermukim di Jeddah, maka ia tidak boleh berihram dari Jeddah. Sebelum sampai ke Jeddah, ketika ia berada pada tempat yang sejajar dengan miqat terdekat, di situlah seharusnya ia memulai ihramnya.

Syubuhat dan Bantahannya

Syubhat 1

Ada yang mengatakan bahwa Jeddah (dalam hal ini Bandara King Abdul Aziz) bisa dijadikan sebagai miqat, khususnya bagi yang alat transportasinya adalah pesawat terbang. Alasan mereka, karena sulit bagi mereka untuk melepas pakaian yang mereka pakai dan menggantinya dengan pakaian khusus ihram, sedangkan mereka berada di dalam pesawat.

Bantahannya: Terlepas dari siapapun yang mengatakannya, kita katakan kepada mereka bahwa itu hanya permasalahan teknis saja. Solusinya adalah jamaah haji dihimbau untuk memakai pakaian ihram sebelum naik ke pesawat. Jika telah sampai pada titik koordinat di mana tempat itu sejajar dengan miqat terdekat, maka jamaah haji berniat masuk ke dalam ihram dan tinggal melakukan talbiyah sesuai dengan manasik yang ia pilih.

Syubhat 2

Mereka mengatakan, "Jika harus memakai pakaian ihram sebelum naik ke pesawat, maka ini namanya "penyiksaan", dan Islam sangat jauh dari unsur-unsur penyiksaan."

Bantahannya: Sungguh benar sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang safar. Beliau bersabda,

السفر قطعة من العذاب

"Safar itu sepotong dari adzab." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Memenuhi panggilan Allah untuk menjadi tamuNya merupakan sebuah usaha yang memerlukan mujaahadah. Bahkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyamakan haji dan umrah seperti jihad, hanya saja tidak ada peperangan di dalamnya.

'Aisyah radhiyallaahu 'anha bertanya, "Wahai Rasulullah! Adakah jihad bagi wanita?" Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Bagi wanita ada kewajiban jihad, tapi tidak ada peperangan di dalamnya, yakni: Haji dan Umrah." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Isnad hadits ini shahih) [8]

Syubhat 3

Mereka berkata, "Jeddah bisa dijadikan miqat, karena jaraknya terhadap Makkah lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak miqat terdekat (Qarn Al-Manaazil) dengan Makkah. Jarak Qarn Al-Manaazil ke Makkah kira-kira 80 km, sedangkan Jeddah ke Makkah lebih dari 100 km."

Bantahannya: Ini menunjukkan ketidakpahamannya dalam konsep kesejajaran (Muhaadzaah)[9] Menurut para ulama syari'at, sebuah tempat dikatakan sejajar dengan tempat tertentu apabila jaraknya ke tempat acuan sama dengan jarak tempat tertentu tersebut ke tempat acuan. Lebih gamblang lagi, bisa dijelaskan dengan bahasa teknis matematis. Titik A dikatakan sejajar dengan titik B jika dan hanya jika jarak antara titik A ke titik acuan sama dengan jarak antara titik B ke titik acuan.

Untuk kasus ini, ketika seseorang datang dari arah timur Makkah menuju Jeddah, maka dia akan melewati tempat di antara dua miqat terdekat (biasanya Qarn Al-Manaazil dan Yalamlam). Jika demikian adanya, maka wajib baginya untuk memulai ihramnya di koordinat yang sejajar dengan miqat terdekat yang dilaluinya. Jika tidak, maka ia dikatakan telah melanggar ketentuan atau syi'ar Allah, yakni melewati miqat tanpa ihram. Atau kita katakanlah perjalanan udara dilakukan melintasi jalur selatan daratan jazirah arab (sehingga tidak melewati Qarn Al-Manaazil maupun Yalamlam), lalu berbelok ke utara menuju Jeddah. Jika demikian adanya, maka pada saat itu dia juga tetap berada di antara dua miqat (yaitu antara Yalamlam dan Al-Juhfah). Sehingga dengan demikian, ia wajib berihram dari titik yg sejajar dengan miqat yang terdekat (bisa Yalamlam, bisa pula Al-Juhfah, tergantung rute perjalanan udaranya). Hal ini sudah barang tentu terjadi sebelum ia sampai ke Jeddah. Seandainya ia tetap nekat akan berihram dari Jeddah, maka ia termasuk orang yang melewati miqat tanpa ihram. Semoga Allah memberi kita petunjuk.

Penutup

Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat erat kaitannya dengan pengagungan terhadap syi'ar-syi'ar Allah. Apakah tidak timpang, di satu sisi kita mengharapkan haji yang mabrur, tetapi pada saat yang bersamaan kita melanggar etika sebagai tamu Allah dengan tidak mengindahkan aturan-aturannya? Allah telah menetapkan aturannya lewat lisan NabiNya, agar tidak melewati miqat kecuali dalam keadaan berihram, lalu kita dengan mudah melanggarnya. Ya Allah, kami telah banyak berbuat kezhaliman. Kalaulah bukan karena ampunanMu, maka sungguh kami menjadi orang-orang yang merugi.

Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad.

Riyadh, 9 Dzulqa'dah 1432 H

 

Catatan Kaki:

[1] Pengucapan yang benar adalah Juddah (جُدة) dengan huruf jim berbaris dhammah dan huruf dal yang bertasydid. Lihat Mu'jam Al-Buldaan, 2/114, Daar Shaadir, Beirut.

[2] Mak-hul Abu 'Abdillah Ad-Dimasyqi. Beliau adalah seorang tabi'in, imamnya penduduk Syam, faqih, hafizh, dan tsiqah. Terkenal banyak meriwayatkan hadits secara mursal. Ibnu Ishaq berkata, "Aku mendengar Mak-hul berkata, "Aku telah mengelilingi dunia untuk menuntut ilmu." Meninggal tahun 112 H. Az-Zuhri berkata, "Ulama itu ada empat: Sa'id bin Musayyab di Madinah, Asy-Sya'bi di Kufah, Al-Hasan di Bashrah, dan Makhul di Syam." Abu Hatim berkata, "Tidak ada yang lebih faqih di negeri Syam daripada Mak-hul." (Lihat Siyar A'lam An-Nubalaa', 5/155, Muassasah Ar-Risalah; Al-Bidayah wa An-Nihayah, 9/334, Ihya' At-Turats; Tahdzib Al-Asmaa' wa Al-Lughaat, 1/113, Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah)

[3] Tafsir Ibnu Katsiir, 1/499, Darul Hadits, Kairo.

[4] Tafsir Ibnu Katsiir, 1/515, Daar Al-Hadits, Kairo.

[5] Al-Qaamuus Al-Muhiith, hal. 1692, Muassasah Ar-Risalah.

[6] Miqat itu terbagi 2 macam: miqat zamani dan miqat makani.

Miqat zamani adalah waktu memulai manasik. Miqat zamani untuk manasik haji dimulai sejak tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 10 Dzulhijjah. Adapun miqat zamani untuk manasik umrah adalah sepanjang tahun.

Miqat makani adalah tempat memulai manasik, baik haji maupun umrah. Orang sering hanya menyebutnya dengan "miqat" saja. Miqat ada lima: Dzulhulaifah (Abyar Ali), Al-Juhfah (Rabigh), Qarnul Manazil (As-Sail Al-Kabir), Yalamlam (As-Sa'diyyah), dan Dzatu 'Irq.

[7] Lihat At-Tahqiiq Wa Al-Iidhaah, hal. 53, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-'Ushaimi.

[8] Ibid, hal. 19.

[9] Musykil Al-Manaasik, hal. 293, Prof. DR. Ibrahim Ash-Shubaihi, cetakan ke-2, 1430 H.

Penulis: Abu Yazid Nurdin
Artikel Muslim.Or.Id