Monday, February 25, 2013

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Menjaga lidah merupakan keselamatan

Posted: 24 Feb 2013 07:41 PM PST

Lidah adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).

Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id Al-Khudri, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan, "Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami'ul 'Uluum wal Hikam, 1/511-512)

Oleh karena itulah, sepantasnya seorang mukmin menjaga lidahnya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).

Beliau juga menjelaskan, bahwa menjaga lidah merupakan keselamatan.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

Dari 'Uqbah bin 'Aamir, dia berkata, "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?" Beliau menjawab, "Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu". (H.R. Tirmidzi, no.2406)

Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).

Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, "Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam."

Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.

Dan Imam Asy-Syafi'i telah berkata, 'Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.'" [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].

Selain itu, bahwa lidah merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu'adz berkata, "Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena sesungguhnya lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya." [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]

Perkataan Para Salaf Tentang Hifzhul Lisan

Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan lidah dan pembicaraan. Kami sampaikan di sini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat darinya.

Diriwayatkan, bahwa 'Umar bin Al-Khaththab berkata, "Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya." [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami'ul 'Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu'aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, "Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah!" [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami'ul 'Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya." [Jami'ul 'Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]

Syaqiq mengatakan, "'Abdullah bin Mas'ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, 'Wahai lidah, katakanlah kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya engkau selamat, sebelum engaku menyesal.' Orang-orang bertanya, 'Wahai Abu 'Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?' Dia menjawab, 'Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

'Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.'" (HR. Thabarani, Ibnu 'Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan, "Aku melihat Ibnu 'Abbas memegangi lidahnya sambil berkata 'Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engaku akan menyesal.'" [Aafatul Lisaan, hlm. 161]

Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, "Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam." [Jami'ul 'Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]

Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, "Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan, 'Manusia sangat membutuhkan hujan!' Aku ditanya, 'Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?" [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, "Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan amalan."

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, "Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku."

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, "Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi." [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]

Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta'an.

MASHAADIR:

1- Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani
2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M
3- Jami'ul 'Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu'aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-'Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.

Penulis: Ustadz Abu Isma'il Muslim Atsari

Artikel www.muslim.or.id

Resensi Buku 175 Jalan Menuju Surga

Posted: 09 Dec 2012 05:56 PM PST

TEKS RESENSI BUKU ISLAMI | 175 Jalan Menuju Surga

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Pecinta Assunnah Rahimakumullah.. berjumpa kembali dalam program acara Resensi Buku-Buku Islami. Sebuah program acara yang menyajikan referensi buku-buku Islam dari penerbit Ahlussunnah terpercaya. Buku yang akan kami resensi pada kesempatan kali ini adalah Buku yang berjudul 175 Jalan Menuju Surga.

Buku ini diterbitkan oleh Darul Ilmi Publishing dan ditulis oleh Nayef bin Mamduh Alu Su’ud dengan tebal 266 halaman.

Pecinta Assunnah yang semoga dirahmati oleh Allah..
Surga adalah tempat yang indah dan belum pernah terlintas dalam benak manusia. Ia begitu indah untuk dibayangkan, luasanya seluas langit dan bumi ….
Istana-istana yang megah tinggi menjulang mencakar naungan yang terbentang luas, terbuat dari emas, perak, mutiara, zamrud dan segala perhiasan yang indah-indah. Disana terdapat kebun-kebun yang menghijau tua, buahnya lebih manis daripada madu, lebih lanjut dari keju, disana juga terdapat sungai-sungai arak, ataupun sungai susu yang tiada orangpun yang terlarang mengambilnya, tidak memabukkan dan tidak membuat kepala menjadi pening …
Udaranya sejuk tetapi tidak dingin yang bersangatan, tidak merasakan teriknya mentari, disana terdapat pelayan-pelayan muda yang kamu kira mereka mutiara yang bertaburan, bidadari-bidadari yang sopan dan menundukkan pandangan, tidak liar dan dijadikan tetap perawan..

Pecinta Assunnah yang semoga dirahmati oleh Allah..

Semua gambaran tentang Surga itu bukanlah hanya dongeng semata, atau khayalan belaka. Namun itu adalah nyata, sebuah janji yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya yang shalih, beriman dan bertaqwa kepada-Nya.

Lalu.. Apakah anda masih bingung jalan mana yang anda tempuh untuk menuju Surga-Nya? Simaklah 175 jalan yang memudahkan anda untuk dapat masuk ke dalam Surga dalam buku ini. Selain itu anda juga akan mengetahui tentang sifat surga dan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya di awal pembahasan, Dan juga penggugur-penggugur pahala amalan di akhir dari pembahasan buku ini.

Buku 175 jalan menuju Surga ini ditulis secara ringkas namun dengan tetap menukil penjelasan-penjelasan para ulama dan juga dengan menyertakan hadits-hadits yang shahih yang dijadikan sebagai landasan oleh para ulama dari para pakar di dalam bidang hadits.

Dengan membaca, memahami dan mengamalkan  175 jalan menuju surga yang terdapat buku ini di dalam kehidupan anda,  niscaya anda akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, dan aroma surga pun akan semakin dekat dengan anda.  Insya Allah.

Untuk bisa mendapatkan buku ini, anda bisa membelinya di toko-toko buku terdekat dengan harga hanya Rp 38.000. Adapun untuk informasi lebih lanjut anda bisa menghubungi nomor telepon Darul Ilmi Publishing di  021-93170307 atau 081806674507.

Demikian program acara resensi buku-buku Islami  untuk kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat…
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Thursday, February 21, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil

Posted: 21 Feb 2013 10:34 AM PST

Sebuah kisah dimasa masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang ditulis oleh An Nasa-i (2/233), Al Hakim (2/36), Ahmad (4/226),

عن ابن جريج قال: ولقد أخبرني عكرمة بن خالد أن أسيد بن حضير الأنصاري – ثم أحد بني حارثة – أخبره: ” أنه كان عاملا على اليمامة، وأن مروان كتب إليه أن معاوية كتب إليه أن أيما رجل سرق منه فهو احق بها حيث وجدها، ثم كتب بذلك مروان إلي وكتبت إلى مروان أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى بأنه إذا كان الذي ابتاعها (يعني السرقة) من الذي سرقها غير متهم يخير سيدها، فإن شاء أخذ الذي سرق منه بثمنها وإن شاء اتبع سارقه ثم قضى بذلك أبو بكر وعمر وعثمان. فبعث مروان بكتابي إلى معاوية وكتب معاوية إلى مروان: إنك لست أنت ولا أسيد تقضيان علي، ولكني أقضي فيما وليت عليكما، فانفذ لما أمرتك به، فبعث مروان بكتاب معاوية، فقلت: لا أقضي به ما وليت بما قال معاوية

Dari Ibnu Juraij, ia berkata, Ikrimah bin Khalid mengabarkan kepadaku, bahwa Usaid bin Hudhair Al Anshari (tsumma Al Haritsah) mengabarkan kepadaku :

Ketika Usaid menjadi gubernur di Yamamah, Marwan menulis surat kepada Usaid yang isinya menceritakan bahwa Mu’awiyah menulis surat kepada Marwan, yang isinya: “siapa saja yang telah dicuri barangnya, ketika ditemukan, maka dialah yang paling berhak atas barang tersebut”, lalu Marwan menyampaikan isi surat itu padaku (Usaid).

Lalu aku menulis surat kepada Marwan bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam telah memutuskan bahwa barang curian sudah dibeli orang lain dari orang yang mencurinya, sedangkan orang yang membeli ini tidak ada indikasi keburukan (misalnya sebagai penadah, pent.), maka pemilik asli barang tersebut hendaknya memilih dari dua pilihan: ia bisa mengambil barang tersebut dengan memberi ganti harganya, atau ia menelusuri siapa pencurinya. Abu Bakar, Umar dan Utsman juga telah menetapkan demikian.

Lalu Marwan menyampaikan suratku itu kepada Mu’awiyah. Kemudian Mu’awiyah membalas surat Marwan: “Bukan anda atau Usaid yang memutuskan hukum terhadapku, namun akulah yang berhak memutuskan perkara untuk kalian berdua patuhi. Maka jalankanlah apa yang telah aku putuskan”. Lalu Marwan menyampaikan surat Mu’awiyah tersebut kepadaku, dan aku katakan: “Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut”

Derajat Hadits

Imam Al Hakim mengatakan: “hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim”. Namun Adz Dzahabi menemukan illah dalam hadits ini, beliau berkata: “Usaid bin Hudhair ini wafat di masa Umar, ia tidak bertemu Ikrimah dan tidak hidup di zaman Mu’awiyah, sehingga ini perlu ditelaah”.

Namun Al Hafidz Al Mizzi mengatakan: “Ini adalah sebuah wahm. Harun berkata, bahwa Imam Ahmad berkata, yang tertulis di catatan Ibnu Juraij adalah Usaid bin Zhuhair (أسيد بن ظهير)”, namun demikianlah (Usaid bin Hudhair) yang dikatakan oleh para ulama Bashrah. Abdur Razaq dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ikrimah dari Usaid bin Zhuhair, inilah yang benar”.

Diantaranya yang diriwayatkan Abdurrazaq Ash Shan’ani dalam Al Mushannaf (18829) :

لَقَدْ أَخْبَرَنِي عِكْرِمَةُ بْنُ خَالِدٍ , أَنَّ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ , أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ عَامِلًا عَلَى الْيَمَامَةِ …

Ikrimah bin Khalid telah mengabarkan kepada kami, bahwa Usaid bin Zhuhair Al Anshari telah mengabarkannya, bahwa ketika ia menjadi gubernur di Yamamah… ”

Lalu Syaikh Al Albani menyimpulkan, “jika demikian, maka Usaid bin Zhuhair itu adalah seorang sahabat Nabi yang ketika perang Uhud terjadi usianya masih kecil. Selain Ikrimah, anaknya Ikrimah, Rafi’, dan juga Mujahid meriwayatkan darinya. Sehingga hadits ini shahih dan hilanglah wahm yang ada” (diringkas dari Silsilah Ahadits Shahihah, 2/164-165)

Faidah Hadits

  1. Berdasarkan hadits ini, barang curian yang dicuri jika sudah berpindah tangan dari pencurinya kepada orang lain dengan jual beli yang sah, lalu pemilik aslinya menemukan barang tersebut, maka si pemilik asli dapat memilih antara dua opsi:
    1. Membeli kembali barang tersebut dari pemilik sekarang
    2. Melaporkan kepada yang berwajib untuk menelusuri pencurinya
  2. Ketentuan tadi berlaku dengan syarat, si pembeli itu ghayru muttaham. Maksudnya si pembeli tidak terindikasi bahwa dia membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah. Misalnya, si pembeli sudah tahu bahwa barang tersebut curian namun tetap membelinya, atau sebagai penadah barang curian.
    Jika pembeli tersebut membeli dari si pencuri dalam keadaan tidak tahu bahwa ia pencuri dan tidak tahu bahwa barangnya merupakan barang curian, maka pembeli tersebut ghayru muttaham.
    Jika pembeli tersebut muttaham, atau terindikasi membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah, maka si pemilik berhak mengambil barang miliknya tanpa harus membelinya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’awiyah radhiallahu’anhu. Jelasnya silakan simak penjelas Syaikh Ali Farkus hafizhahullah di sini.
  3. Jika sesuai ketentuan, maka pemilik asli tidak bisa menuntut pemilik barang sekarang untuk menyerahkan barangnya cuma-cuma karena ia telah membelinya dengan transaksi yang sah.
  4. Dalam jual beli, Islam tidak membebani pembeli untuk menanyakan kepada penjual ‘ini barang curian atau bukan? dapatnya dari mana? halal atau tidak cara mendapatkannya?’ atau semacamnya. Karena jika Islam membebani demikian, tentu pemilik barang sekarang dituntut tanggung jawabnya dan dikenai hukuman karena telah berbuat kesalahan tidak menanyakan demikian ketika membeli.
  5. Syaikh Al Albani menjelaskan faidah hadits ini: “Seorang qadhi (hakim) tidak wajib membuat keputusan berdasarkan pendapat khalifah jika telah jelas baginya bahwa pendapat tersebut menyelisihi sunnah. Lihatlah, Usaid bin Zhuhair menolak apa yang yang diperintahkan Mua’wiyah dengan berkata: ‘Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut’.
    Dalam hadits ini juga ada bantahan terhadap pemikiran orang-orang yang ada di partai-partai Islam tentang wajibnya taat terhadap keputusan khalifah yang shalih dalam suatu hukum, walaupun bertentangan dengan nash. Mereka juga mengklaim bahwa sikap demikian itu juga dilakukan oleh generasi awal kaum muslimin. Ini adalah klaim yang batil, tidak ada celah bagi mereka untuk membenarkan sikap tersebut. Bagaimana mungkin demikian, karena dengan sikap ini mereka akan menentang puluhan dalil, hadits ini salah satunya.
    Diantaranya juga, penyelisihan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu terhadap pelarangan haji tamattu’ oleh Utsman bin Affan radhiallahu’anhu semasa kekhalifahannya. Beliau tidak menaati pelarangan itu dan bahkan menampakkan penyelisihannya tersebut. Sebagaimana riwayat dalam Shahih Muslim (4/46),

    اجتمع علي وعثمان رضي الله عنهما بعسفان، فكان عثمان ينهى عن المتعة أو العمرة، فقال علي: ما تريد إلى أمر فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم تنهى عنه؟ ! فقال عثمان: دعنا منك ! فقال: إني لا أستطيع أن أدعك. فلما أن رأى علي ذلك أهل بهما جميعا

    Orang-orang berkumpul pada Utsman di Asfan, ketika itu Utsman melarang haji tamattu’. Maka ‘Ali berkata: ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Utsman menjawab, "biarkan aku menetapkan demikian". Ali berkata "Aku tidak akan membiarkannya". Kemudian walaupun Ali berpendapat demikian, ia lalu berihram untuk keduanya sekaligus (haji qiran)‘” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/165-166)

  6. Pejabat, hakim, dan orang-orang yang memutuskan hukum tidak wajib taat pada suatu putusan pemerintah jika aturan dan keputusan tersebut bertentangan dengan dalil. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

    السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

    "Mendengar dan ta'at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta'at" (HR. Bukhari no.2955)

  7. Ketika pemerintah mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan syari’at, maka tetap taat para pemerintah dalam hal yang ma’ruf dan tidak memberontak. Dalam hadits ini Usaid radhiallahu’anhu hanya menyatakan untuk tidak menaati keputusan Mu’awiyah tersebut dan tidak berniat atau mengajak memberontak kepada Mu’awiyah radhiallahu’anhu.
    Bahkan ini jelas sekali dalam kasus Ali dan Utsman radhiallahu’anhum, Ali menolak untuk menaati keputusan Utsman yang bertentangan dengan dalil, bahkan Ali menzhahirkan bolehnya haji tamattu’ kepada masyarakat dengan berkata ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ dalam rangka mendidik umat. Namun ketika itu, Ali tetap taat pada Utsman dengan tetap melakukan haji qiran. Dan tidak ada cerita bahwa setelah itu radhiallahu’anhu  memberontak kepada Utsman gara-gara keputusan ‘Utsman tersebut.
  8. Hadits ini dalil bahwa para sahabat radhiallahu’anhu dalam membantah dan berargumen mereka berlandaskan dalil dan mendahulukan sabda Nabi dibanding perkataan orang manapun.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Soal-226: Dibini Dulu, Baru Dibina?

Posted: 20 Feb 2013 07:42 PM PST

Saya ingin cari istri yang biasa-biasa saja, yang belum ngaji, nanti kalau sudah menikah baru dibina, bagaimana hukumnya?

Dijawab Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.

Jawabannya Klik Player:

Download

Wednesday, February 20, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kajian Ilmiah Pemuda Al-Quran, Launching Kampus Tahfizh (Yogyakarta, 23 Februari 2013)

Posted: 19 Feb 2013 10:00 PM PST

Hadirilah Kajian Ilmiah
Plus Launching Program Kampus Tahfizh

Tema: Pemuda Al-Quran
Hari: Sabtu
Tanggal: 23 Februari 2013
Jam: 08.30 – selesai

Pemateri:
1. Syaikh ‘Abdul Karim (dalam konfirmasi)
(Pengajar Tahfizhul Qur’an Islamic Center Bin Baz & Ma’had Taruna Al-Qur’an)
Dengan judul: Pemuda Al-Quran, Pemuda Idaman

2. Ust. Arif Syarifuddin, L.c
(Alumni Universitas Islam Madinah)
Dengan judul: Keutamaan Luar Biasa Penghafal Quran

Tempat:
MASJID MUJAHIDIN UNY

Gratis, terbuka untuk umum
Putra dan Putri

CP: 0878 9929 3104

Kampus Tahfizh, Mencetak Intelektual Muda yang Qur’ani

pemuda

Soal-225: Balasan Segera di Dunia Menghilangkan Balasan di Akhirat?

Posted: 19 Feb 2013 07:38 PM PST

Apakah balasan yang disegerakan di dunia dapat menghilangkan balasan di akhirat?

Dijawab Oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

Jawabannya Klik Player:

Download

Senyum, Salaman, Dan Salam

Posted: 19 Feb 2013 06:32 PM PST

Seorang Muslim yang baik, dituntut untuk bisa bergaul dengan apik di tengah masyarakat. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam juga bersabda: "Seorang mukmin yang berbaur dengan masyarakat dan bersabar terhadap gangguan dari mereka, itu lebih besar pahalanya daripada mukmin yang tidak berbaur dengan masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka" (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 383, Ahmad 22497, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6651)

Sedangkan bergaul di tengah masyarakat, modal utamanya adalah akhlak mulia. Dan sesungguhnya akhlak yang mulia itu sendiri adalah cerminan kesempurnaan iman seorang muslim. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam juga bersabda: "Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq-nya" (HR. Tirmidzi no.1162, ia berkata: "Hasan shahih"). Sehingga semakin tinggi iman seseorang, semakin baik pula akhlaknya.

Diantara sekian banyak akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam ada yang mudah dan sederhana yang bisa kita dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari dalam bergaul di tengah masyarakat, yaitu 3S: ‘senyum, salaman dan salam‘.

Memperbanyak senyum

Senyum kepada lawan bicara, atau orang yang ditemui, akan mencairkan hati dan menimbulkan kebahagiaan. Tidak ada hati yang fitrah dan bersih kecuali pasti akan memberikan respon positif terhadap senyuman. Wajah yang penuh senyuman adalah akhlak Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. Sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jarir bin Abdillah Radhiallahu'anhu : "Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam tidak pernah menghindari aku jika aku ingin bertemu dengannya, dan tidak pernah aku melihat beliau kecuali beliau tersenyum padaku" (HR. Bukhari, no.6089).

Selain menjadi bagian dari praktek akhlak mulia Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, senyuman juga hal yang diperintahkan oleh beliau kepada ummatnya dalam berinteraksi sosial. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah" (HR. Tirmidzi 1956, ia berkata: "Hasan gharib". Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib)

Hadits ini juga dalil bahwa senyum itu merupakan sedekah. Walhamdulillah, betapa Allah itu Ar Rahim, sangat penyayang kepada hamba-Nya. Karena ternyata sedekah itu tidak harus dengan uang atau harta benda. Cukup menggerakkan otot wajah dan bibir, membentuk sebuah senyuman, seseorang sudah bisa bersedekah. Betapa banyak orang yang ditemui setiap hari sehingga betapa banyaknya sedekah yang dilakukan jika kita mempraktekan akhlak mulia ini.

Andai anda berat untuk tersenyum, setidaknya janganlah bermuka masam, kecut, sinis kepada orang lain. Sekedar memasang muka yang cerah, itu sudah dihitung kebaikan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: "Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, walaupun itu berupa cerahnya wajahmu terhadap saudaramu" (HR. Muslim, no. 2626)

Bersalaman Ketika Bertemu

Diantara praktek mudah menerapkan akhlak mulia dalam pergaulan sehari-hari ialah bersalaman ketika bertemu. Ketika bertemu dengan saudara seiman, baik yang sudah dekat ataupun baru dikenal, raihlah tangannya untuk bersalaman. Jangan lewatkan kesempatan tersebut karena dengan bersalaman, akan menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah" (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani)

Dalam hadits lain, dikatakan bahwa dosa-dosa orang yang bersalaman itu berguguran sebagaimana gugurnya daun. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang mukmin bertemu dengan mukmin yang lain, ia memberi salam padanya, lalu meraih tangannya untuk bersalaman, maka berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon" (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/59)

Tidak tepat sikap orang yang hanya bersalaman dengan orang yang dikenal saja atau yang akrab saja. Karena hadits-hadits di atas menyebutkan keutamaan bersalaman antar sesama muslim secara umum, baik yang dikenal maupun baru kenal atau tidak kenal sebelumnya. Tidak tepat pula orang yang menunggu disodori tangan dahulu, baru ia bersalaman. Hendaknya setiap kita bersemangat untuk menjadi yang pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalama. Mengapa? Karena demikian lah yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana dalam hadits: "Ketika datang rombongan penduduk Yaman, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang hatinya lebih halus dari kalian’. Anas bin Malik menambahkan: ‘Dan mereka juga orang-orang yang biasanya pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalaman’" (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, 967; Ahmad 3/212)

Namun perlu menjadi catatan, walau bersalaman dengan sesama muslim itu dianjurkan, namun tidak diperkenankan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram anda, walaupun ia termasuk kerabat. Karena Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Andai kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya". (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman no. 4544, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 226)

Para ulama 4 madzhab pun menyatakan haramnya berjabat tangan dengan wanita non-mahram yang sudah dewasa. Imam An Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu': "Ulama madzhab kami (madzhab syafi’i) berkata bahwa diharamkan memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya, atau dalam sedang dalam keadaan jual beli, atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian".

Kepada wanita yang bukan mahram, kita tetap bisa beramah-tamah dengan sekedar anggukan, senyuman atau isyarat lain yang bisa menggantikan fungsi jabat tangan menurut adat setempat.

Menebarkan Salam

Salam yang dimaksud adalah ucapkan ‘Assalamu’alaikum‘ atau lebih baik lagi ‘Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh‘. Ucapan ini juga disebut tahiyyatul Islam. Bagi seorang Muslim, sungguh ucapan ini jauh lebih baik dari sapaan-sapaan gaul atau pun greets ala barat. Karena saling mengucapkan salam akan menumbuhkan kecintaan terhadap hati sesama muslim serta dengan sendirinya membuat suasana Islami di tengah kerabat dan keluarga anda. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

"Tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian" (HR. Muslim, no.54)

Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Sayyidina Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, saling mengucapkan salam akan menumbuhkan rasa cinta. Bukan cinta biasa, namun cinta karena iman, cinta karena memiliki aqidah yang sama. Dan yang luar biasa lagi, ternyata dengan kebiasaan menebarkan salam, bisa menjadi sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Sembahlah Ar Rahman semata, berikanlah makan (kepada yang membutuhkan), tebarkanlah salam, maka engkau akan masuk surga dengan selamat" (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 981, Ibnu Majah 3694, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2/115)

Dan jangan lupa, bahwa ucapan salam adalah doa. Kita mengucapkan salam kepada seseorang, berarti kita mendoakan keselamatan baginya. Dan doa ini akan dibalas oleh doa Malaikat untuk orang yang mengucapkan salam, walaupun orang yang tidak memberi salam tidak membalas. Sebagaimana dalam hadits: "Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka. Namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu diam atau malah melaknat mereka" (HR. Al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalah, 359. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah)

Jadi sama sekali tidak ada ruginya mengucapkan salam kepada seseorang walaupun tidak dibalas, karena Malaikat yang akan membalas salam kita. Hadits ini juga menunjukkan tercelanya sikap enggan menjawab salam. Karena menjawab salam itu hukumnya wajib. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : "Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyyah (penghormatan), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu" (QS. An Nisa: 48)

Jangan lupa juga untuk mengucapkan salam ketika masuk ke sebuah rumah, karena Allah Ta’ala akan menimbulkan keberkahan dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : "Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi merupakan kebaikan" (QS. An Nur: 61)

Nah, mari bersama kita praktekan 3S ini dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan dapat menciptakan masyarakat Islami yang penuh keberkahan dan kebaikan.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Tuesday, February 19, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Soal-224: Bolehkah Mendoakan Kejelekan kepada Orang-Orang Kafir?

Posted: 18 Feb 2013 07:47 PM PST

Bolehkah Mendoakan Kejelekan kepada Orang-Orang Kafir?

Dijawab Oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

Jawabannya Klik Player:

Download

Monday, February 18, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Tinjauan Bayi Prematur dalam Islam

Posted: 18 Feb 2013 10:00 AM PST

Pengertian bayi prematur

Kita mengambil pengertian berdasarkan ilmu kedokteran modern saat ini.

Bayi prematur adalah bayi yang lahir kurang bulan menurut masa gestasinya (usia kehamilannya). Adapun usia kehamilan cukup bulan adalah sekitar 37-41 minggu.  Ada beberapa referensi yang menyatakan sekitar 38-42 minggu.

Infant prematur adalah kelahiran setelah minggu ke-20 dan sebelum genap bulan [Kamus kedokteran Dorland hal.1094, edisi 2, EGC]

Bayi prematur ada batasannya, karena tidak semua janin yang lahir dibawah usia kehamilan bisa hidup. Contohnya janin umur dua bulan, sudah pasti jika keluar atau lahir dia tidak bisa hidup. Jika dia keluar maka disebut abortus atau istilah awamnya keguguran. Jadi, batas minimal bayi tersebut prematur maka ini kembali ke pengertian abortus.

Abortus adalah fetus dengan berat kurang dari 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu, pada saat keluar dari uters dan tidak mempunyai kemungkinan hidup. [Kamus kedokteran Dorland hal. 6, edisi 2, EGC]

Aborsi adalah Terminasi kehamilan sebelum umur kehamilan 20 [28] minggu dan dengan berat janin dibawah 500 gram.

Dari beberapa refensi, ada dua pendapat batasannya yaitu 20 minggu [5 bulan] dan 28 minggu [mendekati 7 bulan]. Maka kita ambil pertengahan yaitu 6 bulan.

Maka usia termuda kehamilan untuk dapat melahirkan adalah 6 bulan.

Pendapat ulama

Para ulama mengambil kesimpulan bahwa bayi prematur batasannya adalah 6 bulan. Berdasarkan ayat Al-Quran.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan." (QS. Al Baqarah: 233)

Kemudian ayat lainnya, tentang waktu total hamil dan menyusui,

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً

"Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan". (QS. Al-Ahqaf: 15)

Maka batas minimal bayi bisa lahir adalah:

30 bulan – 24 bulan [2 tahun]= 6 bulan

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat Al-Ahqaf ayat 15,

وقد استدل علي، رضي الله عنه، بهذه الآية مع التي في لقمان: {وفصاله في عامين} [لقمان: 14] ، وقوله: {والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة} [البقرة: 233] ، على أن أقل مدة الحمل ستة أشهر، وهو استنباط قوي صحيح. ووافقه عليه عثمان وجماعة من الصحابة، رضي الله عنهم.

" Ali radhiallahu 'anhu berdalil bahwa ayat ini [Al-ahqaf: 15] bersama ayat dalam surat surat Luqman {"dan penyapihannya selama dua tahun"} dan surat firman-Nya {"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan."} [AL-Baqarah: 223] bahwa batasan minimal lama waktu kehamilan adalah 6 bulan. Ini adalah kesimpulan yang kokoh dan shahih. Disepakati oleh Ustman dan sejumlah sahabat radhiallhu 'anhu." [Tafsir Al-Quran Al-Adzhim 7/280, Darul Thayyibah, cet. Ke-2, 1420 H, Asy-Syamilah]

Kepentingan syariat di balik penentuan batasan prematur

Jika ulama perhatian terhadap suatu hal, maka pasti ada kepentingan syariat mengenai hukum suatu hal dalam perkara tersebut. Oleh karena itu para ulama tidak perlu pusing-pusing  merajihkan pendapat apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lahir 2 atau 8  atau 9 atau 10 atau 12 atau 17  Rabi'ul Awwal. Karena memang belum pasti. Karena tidak ada dalil untuk merayakan kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hari raya Islam. Dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat ataupun imam mazhab yang empat. Bahkan hal ini bisa meniru/ tasyabbuhdengan orang Nashrani yang merayakan kelahiran Yesus dan penyembah matahari yang merayakan hari lahirnya dewa matahari.

Yang perlu diketahui bahwa pendapat tanggal kematian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang mengklaim bahwa disepakati yaitu 12 Rabi'ul Awwal. Karena ada kepentingan syariat di sana, yaitu sejak tanggal tersebut terputuslah wahyu. Jadi perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apakah ingin merayakan kelahiran atau kematian?

Begitu juga dengan batasan prematur, maka kepentingan syariat adalah untuk mengetahui siapa ayah dari anak yang dikandung oleh seorang ibu. Dan batasan prematur adalah 6 bulan.

- seseorang lelaki menikahi wanita, ternyata wanita tersebut melahirkan ketika usia pernikahan baru berjalan 4 bulan. Maka bisa dipastikan anak tersebut bukan anak lelaki tersebut. Wanita tersebut telah hamil dahulu sebelum menikah.Berbeda halnya jika wanita melahirkan genap 6 bulan atau lebih.

- suaminya baru saja pulang  setelah lama bersafar keluar negeri misalnya 1 tahun. Kemudian bertemu dengan istrinya di rumahnya. 4,5 bulan kemudian sejak tinggal bersama, istrinya melahirkan anak. Maka bisa dipastikan bahwa anak yang lahir bukan anak suami tersebut. Karena istrinya kemungkinan besar sudah hamil sebelum suaminya datang. Wanita itu telah berzina dan mendapat hukuman rajam [oleh pemerintah/waliyul 'amr  yang sah]

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqh, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullahu berkata,

فا لولد للفراش إلا بأحد أمرين: إما اللغان, و إما عدم الإمكان بأن تأتي به لأقل من ستة أشهر من تزوجه بها و يعيش, أو بعد فراقه في مدة يعلم أنه ليس منه

"Maka anak [dinasabkan] kepada pemilik ranjang [suami yang tinggal bersamanya] kecuali dengan salah satu dari dua perkara: [pertama] li'aan [suami menuduh istrinya berzina, kemudian ada bukti 4 laki-laki adil atau keduanya saling bersumpah, maka anak dinasabkan kepada Ibunya, pent],[kedua] ketidakmungkinan istri didatangi karena kurang dari enam bulan sejak menikah dan tinggal dengannya, atau setelah berpisah dalam jangka waktu yang diketahui bahwa anak tersebut bukan anaknya." [Manhajus Salikin wa Taudhihul fiqhi fid din hal. 216, Darul Wathan, Ta'liq: Muhammad bi Abdul Aziz Al Khudhairi]

Pendapat kedokteran modern bisa 20 minggu?

Mengenai batasan kedokteran modern, salah satunya yang berpendapat bisa 20 minggu yaitu bisa di bawah 6 bulan. Maka kita jawab bahwa,  umumnya adalah 6 bulan. Dan segala sesuatu pasti ada pengecualiannya. Kemudian dengan bantuan ilmu kedokteran yang sekarang, bayi umur sekian bulan bisa dioperasi caesar kemudian diberi bantuan kehidupan dalam NICU [Neonatal Intensive Care Unit].

Jika tanpa caesar dan bantuan kehidupan, maka yang lebih mendekati kebenaran batasan minimal jangka waktu kehamilan adalah 6 bulan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.Wallahu 'alam

Semoga pembahasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam

 

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

5 Dzulhijjah 1432 H, Bertepatan  2 oktober 2011

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.Or.Id

Inilah Balasan bagi yang Istiqomah

Posted: 18 Feb 2013 03:30 AM PST

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah (surga) yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS Fushilat [41]: 30)

Keimanan kepada Allah menuntut sikap istiqomah. Keyakinan hati, kebenaran lisan dan kesungguhan dalam amal adalah unsur-unsur keimanan yang mesti dijalankan dengan istikamah. istikamah yang berarti keteguhan dalam memegang prinsip, merupakan bukti jelas kekuatan iman seseorang.

Rasulullah shallaluhu 'alaihi wasallam juga bersabda, "Katakanlah: "Rabbku adalah Allah" dan Istiqomahlah!(HR Tirmidzi)

Pantas jika Allah menjanjikan keutamaan yang besar untuk orang-orang yang istiqomah dalam imannya. Pada ayat yang disebutkan di muka, menurut ahli tafsir, Allah memberitakan bahwa ketika orang-orang yang istiqomah itu mati, akan turun kepada mereka para malaikat seraya berkata,"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu."

Tidak takut dan tidak bersedih. Itulah yang akan dirasakan oleh orang-orang yang istiqomah ketika mereka meninggalkan alam fana ini. Para ulama juga menjelaskan, bahwa maksud tidak takut adalah mereka tidak takut dengan apa yang akan mereka hadapi setelah hari kematian mereka.  Adapun maksud mereka tidak bersedih adalah mereka tidak bersedih dengan apa yang mereka tinggalkan selama di dunia.

Perasaan ini akan dialami oleh semua orang yang istiqomah. Termasuk orang-orang yang ketika di dunia sangat bahagia, berharta dan berkedudukan tinggi. Karena kebahagiaan yang akan mereka terima di akhirat, jauh lebih baik dari apa yang selama ini mereka rasakan di dunia.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak beriman, tidak istiqomah, berlaku maksiat dan sombong, kelak yang akan dirasakannya adalah ketakutan yang mencekam dan kesedihan yang mendalam. Hingga walaupun di dunia mereka adalah orang yang paling sengsara. Karena, kesengsaraannya selama mereka di dunia, masih jauh lebih baik dari kerugian yang akan diterimanya di akhirat.

Orang-orang yang istiqomah itu juga bergembira dengan surga yang dijanjikan Allah; tempat segala kenikmatan, sebagai balasan yang Allah gambarkan dengan firmannya dalam hadis qudsi, "Sesuatu yang tidak ada satu mata pun yang pernah melihatnya, tidak ada satu telinga pun yang pernah mendengarnya dan tidak pernah terlintas sedikitpun dalam hati manusia." (HR Bukhari Muslim)

Wallahu 'alam bish-shawab.

 —
Artikel Muslim.Or.Id

Fatwa Ulama: Ketika Mendapati Imam Tasyahud Akhir

Posted: 17 Feb 2013 10:00 PM PST

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

Soal:

Ada seseorang yang terlambat datang ke masjid dan dia mendapati shalat berjamaah pada posisi tasyahud akhir. Apakah dia ikut saja bergabung dengan jamaah yang ada ataukah dia menunggu jamaah yang akan datang berikutnya? Jika dia telah ikut bergabung dengan jamaah yang ada pada posisi tasyahud akhir, kemudian dia mendengar ada jamaah baru yang akan shalat. Apakah dia memutuskan shalatnya (lalu mengikuti jamaah yang baru) ataukah dia tetap menyempurnakan shalatnya?

Jawab:

Jika orang ini tahu kalau kemungkinan besar akan ada jamaah lagi setelahnya maka hendaknya dia menunggu agar dia bisa shalat berjamaah dengan jamaah yang baru. Karena pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah seseorang tidak dianggap mendapatkan shalat jamaah kecuali jika dia mendapatkan satu rakaat sempurna bersama jamaah. Adapun jika dia khawatir tidak akan ada lagi orang yang bisa shalat berjamaah bersamanya, maka yang paling utama baginya adalah ikut shalat bersama jamaah yang ada walaupun mereka sudah berada pada posisi tasyahud akhir. Karena mendapati sebagian shalat bersama jamaah itu lebih baik daripada tidak shalat bersama jamaah sama sekali.

Kemudian anggaplah dia sudah terlanjur shalat bersama imam (jamaah yang ada) karena dia tahu tidak ada lagi jamaah setelahnya, tapi ternyata kemudian ada jamaah yang baru dan dia mendengar mereka sedang shalat, maka tidak mengapa dia memutuskan shalatnya bersama jamaah yang ada lalu dia pergi dan shalat bersama jamaah yang baru datang. Atau dia meniatkan shalatnya bersama jamaah yang ada sebagai shalat sunnah, sehingga dia cukup mengerjakan 2 rakaat (lalu salam), kemudian dia menuju ke jamaah yang baru lalu shalat bersama mereka. Tapi jika dia tetap bersama dengan jamaah yang ada pun itu tidak mengapa. Jadi, dia bisa memilih salah satu dari tiga alternatif amalan yang ada.

(Mukhtar min Fatawa Ash-Shalah, hal. 66, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin)

Penerjemah: Ndaru Tri Utomo

Artikel Muslim.Or.Id

Soal-223: Baru Ngaji, tapi Khawatir Terpengaruh dengan Teman-Teman Lama

Posted: 17 Feb 2013 08:03 PM PST

Saya seorang yang baru mulai aktif ikut pengajian, tapi takut terpengaruh dengan teman-teman lama yang belum mau mengaji. Bagaimana sikap saya agar tidak malas beribadah?

Dijawab Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.

Jawabannya Klik Player:

Download

Sunday, February 17, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Muslim Nampak Miskin, Kafir Hidup Kaya

Posted: 16 Feb 2013 10:00 PM PST

Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas keta'atan menyembah Allah ta'ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.

Wahai saudaraku seiman, janganlah heran dengan fenomena ini. Karena seorang shahabat Nabi yang mulia pun terheran sambil menangis. Beliau adalah 'Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu. Berikut ini kami nukilkan kisah 'Umar yang termuat dalam kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah.

Suatu hari 'Umar mendatangi rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala 'Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat 'Umar menangis kemudian bertanya, "Apa yang engkau tangisi wahai 'Umar?"

'Umar menjawab, "Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?"

Nabi pun berkata, "Wahai 'Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka."[1]

Di dalam hadits ini menunjukkan  bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah istidraj[2] dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta'ala.

Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.

Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?" (HR. Muslim)

Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa perhatiannya 'Umar kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak tega, hingga menangis melihat kondisi Nabi yang terlihat susah, sedangkan orang-orang kafir hidup di dalam kenikmatan dunia.

Sebagai penutup tulisan ini, akan saya petikkan kisah seorang hakim dari Mesir, beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Hajr. Suatu hari Ibnu Hajr melewati seorang Yahudi yang menjual minyak zaitun, yang berpakaian kotor, dan Ibnu Hajr sedang menaiki kereta yang ditarik oleh kuda-kuda, yang dikawal oleh para penjaga di sisi kanan dan kiri kereta.

Kemudian Yahudi tersebut menghentikan kereta beliau dan berkata, "Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, 'Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir'[3] Engkau adalah Hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan."

Ibnu Hajr rahimahullah menjawab, "Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di Surga adalah penjara. Ada pun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di Neraka dalah Surga."

Orang Yahudi itu lalu berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah." Masuk Islam lah orang Yahudi tersebut.

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto

Artikel Muslim.Or.Id



[1] HR. Al-Bukhari (2468)

[2] Nikmat yang Allah berikan kepada pelaku maksiat dengan tujuan menipu mereka, agar mereka semakin tenggelam dalam maksiatnya

[3] HR. Muslim (2956)

Dakwahi Pula Saudara dan Kerabat Dekat

Posted: 16 Feb 2013 08:00 PM PST

Berdakwah kemana-mana merupakan amal shalih yang luar biasa dan semoga mendapatkan ganjaran pahala atas itu

Berdakwah diterima orang banyak adalah anugerah dari Allah Ta'ala, semoga dapat mensyukuri akan hal itu.

Mendakwahi kaum muslim agar jauh deri kesyirikan dan bid’ah serta dosa lainnya adalah amalan agung, semoga juga tidak membiarkan kerabat dekat bergelimang dosa dengan kesyirikan atau perbuatan bid'ah atau tidak shalat dan dosa lainnya.

Jangan pernah lupakan …

Kakek nenekmu, Bapak ibumu, adik kakakmu, anak istrimu, paman bibimu, keponakan  dan para kerabat dekatmu lainnya, mereka lebih berhak mendapatkan dakwah, bimbingan dan nasehatmu.

Sauadaraku seiman …

Perhatikan beberapa ayat dan hadits mulia berikut:

{وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } [الشعراء: 214]

Artinya: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. Asy Syu'ara: 214).

 {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا } [التحريم: 6]

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا نَزَلَتْ (وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ) قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الصَّفَا فَقَالَ « يَا فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ يَا صَفِيَّةُ بِنْتَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا سَلُونِى مِنْ مَالِى مَا شِئْتُمْ ».

Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha berkata ketika turun ayat:

(وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ)

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di bukit Shafa dan bersabda:, Wahai Fathimah bintu Muhammad, wahai Shafiyyah Bintu Abdul Muthallib, wahai keturunan Abdul Muthallib, aku tidak memliki untuk kalian dari Allah seiitpun, mintalah kepadaku dari hartaku sekehendak kalian." HR. Muslim

Semoga menjadi motivasi agar semakin memperhatikan kerabat dekat dalam berdakwah.

Dan semoga setelah ini, sebagaimana seorang berdakwah mempersiapkan materi dakwahnya, mengulangi pelajarannya untuk berdakwah, menghafalkan ayat suci Al Quran dan hadits yang digunakan untuk berdakwah, meluangkan waktu mendatangi orang yang akan di dakwahi, meenjawab pertanyaan dari orang-orang yang didakwahi, maka semoga ia lakukan itu juga untuk saudara dan para kerabat terdekatnya, BAHKAN SEHARUSNYA HARUS LEBIH, KARENA MEREKA MEMPUNYAI DUA HUBUNGAN SEKALIGUS KEKERABATAN DARAH DAN PERSAUDARAAN ISLAM.

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Artikel Muslim.Or.Id

 

Program Bahasa Arab Reguler Semester Genap Ma’had ‘Umar bin Khattab Yogyakarta

Posted: 16 Feb 2013 07:38 PM PST

Siapa Bilang Belajar Bahasa Al-Quran itu Susah?
Insya Allah Ma’had Umar bin Khattab Yogyakarta akan Membuka Program Bahasa Arab Reguler Semester Genap

PENDAFTARAN DIBUKA:
18 FEBRUARI – 01 MARET 2013

Biaya: Rp. 150.000,00 (belum termasuk kitab)

Info Kegiatan Belajar Mengajar

Masa Belajar:
4 Maret – 10 Mei 2013
Pengajar:
Staf pengajar Ma’had ‘Umar bin Khattab
Tempat:
Masjid dan wisma muslim di sekitar kampus UGM
Intensitas Pertemuan:
4 X setiap pekan
Pilihan Jadwal Belajar:
A. Pagi 05.30 – 06.45
B. Sore 16.00 – 17.15
C. Malam ba’da isya – selesai (Khusus Putra)

Pilihan Kelas putra & putri
* Kelas Dasar
* Kelas Menengah
* Kelas Lanjutan
* Kelas Percakapan Jilid 1
* Kelas Percakapan Jilid 2 (Khusus Putri)
NB: Bagi pendaftar kelas menengah, lanjutan dan percakapan jilid 2,
wajib mengikuti tes penempatan

Kitab Panduan:
Kelas Dasar (Muyassar), Kelas Menengah (Mukhtarot),
Kelas Lanjutan (Mulakhos), Kelas Percakapan (Durusul Lughoh)

 
Cara Pendaftaran

Pendaftaran Via SMS

[Ketik]
Daftar_Nama Lengkap_Usia_Univ/Pekerjaan_Alamat_
Kelas yang dipilih_Jadwal belajar

[Contoh]
Daftar_Muhammad_25_Teknik UGM_Pogung Kidul_Kelas Dasar_A

[Kirim ke]
0857 8659 9931 (putra)
0857 4355 8784 (putri)

Daftar Langsung
Putra: Wisma Darut Tauhid (Pogung Kidul, SIA XVI RT 1 RW 49 No. 8C, Sinduadi Mlati Sleman, DIY)
Toko Darul Muslim (Pukul 09.00 – 17.30)
Putri: Wisma Raudhatul ‘Ilmi
Toko Darul Muslim (Hanya hari Jum'at, Pukul 08.00 – 12.00)

Daftar Ulang & Briefing
Waktu: Ahad, 3 Maret 2013
Tempat: Masjid Al-Ashri, Pogung Rejo
Pukul: 08.00 – selesai

NB: Wajib bagi semua calon santri menggetahui pembagian kelas, pengajar, dan tempat belajar.

Placement Test
Waktu: Sabtu, 2 Maret 2013
Tempat: Masjid Al-Ashri, Pogung Rejo
Pukul: 08.00 – selesai

NB: Tes penempatan kelas ini WAJIB bagi pendaftar kelas menengah, lanjutan, dan percakapan jilid 2.

mubk

Saturday, February 16, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Hakikat Kekayaan yang Sebenarnya

Posted: 15 Feb 2013 10:00 PM PST

Hanya dengan cara pandang agama, manusia akan percaya bahwa sesungguhnya kekayaan tidak selalu berwujud harta benda. Kekayaan yang sebenarnya tidak selalu diukur dengan besarnya angka-angka materi. Keluasan hati saat seorang hamba mampu menekan hawa nafsunya, bersikap menerima dan mensyukuri apa yang ada justru Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam nyatakan sebagai kekayaan yang sebenarnya.

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, "Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati." (Hadis riwayat Bukhari Muslim)

Ibnu Baththal berkata, "Hadis ini bermakna bahwa kekayaan yang hakiki bukan pada harta yang banyak. Karena, banyak orang yang Allah luaskan harta padanya namun ia tidak merasa cukup dengan pemberian itu, ia terus bekerja untuk menambah hartanya hingga ia tidak peduli lagi dari mana harta itu didapatkan, maka, sesungguhnya ia orang miskin, disebabkan karena ambisinya yang sangat besar."

Oleh karena itu kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan jiwa. Orang yang merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak terlalu berambisi untuk menambah hartanya dan terus-menerus mencarinya, maka berarti ia orang yang kaya"

Al-Qurthubi berkata, "Hadis ini bermakna bahwa harta yang bermanfaat, agung dan terpuji adalah kekayaan jiwa."

Dengan demikian, tidak selalu harta benda yang banyak itu mendatangkan kebahagian, kebaikan dan kesenangan bagi pemiliknya. Kekayaan yang sebenarnya adalah sesuatu yang manusia rasakan dalam hatinya. Hatilah yang menentukan seorang manusia menjadi senang atau sengsara, kaya atau miskin dan bahagia atau sedih. Pangkalnya ada dalam hati.

Hati yang takut kepada azab Allah, beriman, penuh rasa syukur dan cinta kepada Pemilik dan Pemberi rizki sebenarnyalah yang akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan dari harta yang dimilikinya, sebesar apapun harta tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, maka Allah akan menghancurkan kekuatannya, menjadikan kemiskinan di depan matanya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah Allah takdirkan. Dan barangsiapa akhirat adalah tujuannya, maka Allah akan menguatkan urusannya, menjadikan kekayaannya pada hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk." (HR Ibnu Majah)

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua hati yang kaya, hati yang selalu bergantung dan bersandar kepada Dzat yang Mahakaya.

Wallahu a'lam

 —
Artikel Muslim.Or.Id

Friday, February 15, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Jangan Gila Pujian

Posted: 15 Feb 2013 07:40 AM PST

Ikhlas, tidak mengharap selain ridho Allah, itu yang dituntut ketika kita beramal. Namun kadang, hati selalu mengharap pujian orang lain, ini yang mesti diwaspadai karena dapat merusak amalan yang semula adalah baik.

Ikhlaslah dan Jauhi Riya' (Gila Pujian)

Beberapa ayat menerangkan agar kita dapat menjadi orang yang ikhlas dalam ibadah. Di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus" (QS. Al Bayyinah: 5).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya' (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya' tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

"Allah Tabaroka wa Ta'ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya" (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, "Amalan seseorang yang berbuat riya' (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa" (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

Begitu pula peringatan keras bagi orang yang cuma mengharap dunia dalam amalannya, di antaranya adalah mengharap pujian manusia disebutkan dalam hadits berikut ini,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang menutut  ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk meraih tujuan duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti" (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Jangan Gila Pujian

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, "Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api."

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu'adz, "Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?" "Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya", jawab Yahya.

Muhammad bin Syadzan berkata, "Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia". Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, "Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?" "Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia", jawab Dzun Nuun.

Coba pula lihat perkataan Ibnu 'Atho' dalam hikam-nya. Beliau berkata, "Ketahuilah bahwa manusia biasa memujimu karena itulah yang mereka lihat secara lahir darimu. Seharusnya engkau menjadikan dirimu itu cambuk dari pujian tersebut. Karena ingatlah orang yang paling bodoh adalah yang dirinya itu yakin akan pujian manusia padahal ia yakin akan kekurangan dirinya.”

Lihatlah bagaimana Ibnu Mas'ud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh 'aib. Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Jika kalian mengetahui 'aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku".

Seorang hamba yang bertakwa tentu merasa dirinya biasa-biasa saja, penuh kekurangan, dan selalu merasa yang lain lebih baik darinya. Jika memiliki sifat mulia seperti ini, maka kita akan tidak gila pujian dan tidak sombong. Yang selalu diharap adalah wajah Allah dan kenikmatan bertemu dengan-Nya. Mengapa kita masih memiliki sifat untuk gila pujian dari manusia? Mengharap ridho Allah tentu lebih nikmat dari segalanya.

Ya Allah, berilah kami keikhlasan dalam setiap amalan kami. Wabillahit taufiq.

 

Referensi:

Ta'thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayid bin Husain Al 'Afani, terbitan Darul 'Afani, cetakan pertama, 1421 H, hal. 315-317.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id