Thursday, November 29, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Neraka Haram Bagi Yang Mengucapkan “Laa Ilaha Illallah”

Posted: 29 Nov 2012 03:00 PM PST

Mengucapkan kalimat laa ilaha illallah begitu mudahnya di lisan. Namun sebenarnya tidak cukup seperti itu. Karena mengucapkannya tanpa diiringi keyakinan, mengucapkan tapi malah gemar mewariskan kesyirikan, tentu tiada manfaat. Kalimat tersebut baru bermanfaat ketika diyakini maknanya, diucapkan lalu dijalankan konsekuensinya dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik.

Dalam hadits muttafaqun 'alaih, dari 'Itban bin Malik bin 'Amr bin Al 'Ajlan Al Anshari, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

"Sesungguhnya Allah mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Allah) yang dengannya mengharap wajah Allah" (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).

Maksud hadits di atas bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan  barangsiapa mengucapkan kalimat laa ilaha illallah dengan ikhlas dan melaksanakan konsekuensinya yaitu menjauhi kesyirikan dan mengamalkan kalimat tadi secara lahir dan batin, dan mati dalam keadaan demikian, maka neraka tidak akan menyentuhnya pada hari kiamat kelak. Demikian kata Syaikhuna Dr. Sholih Al Fauzan dalam kitab beliau Mulakhas fii Syarh Kitab Tauhid, hal. 28.

Syaikh 'Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al Hambali berkata, "Hadits ini menunjukkan hakikat makna laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan kalimat tersebut dengan mengharap wajah Allah, maka ia harus mengamalkan konsekuensi kalimat tersebut yaitu mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan. Balasannya bisa diperoleh jika terpenuhinya syarat dan terlepasnya halangan" (Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 28).

Penulis kitab Fathul Majid -Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh- menyampaikan perkataan yang patut kita ingat, "Kebanyakan orang mengucapkan kalimat laa ilaha illallah namun tidak ikhlas kepada Allah. Banyak yang mengucapnya namun hanya ikut-ikutan dan sekedar jadi adat kebiasaan, namun tidak pernah dirasakan lezatnya iman di hati kala keluar di lisan. Dan kebanyakan yang disiksa di alam kubur adalah orang-orang semacam ini yaitu sebagaimana dikatakan dalam hadits "Aku mendengar orang-orang mengucapkannya, maka aku pun ikut mengucapkannya". Jadi mayoritas amalan orang semacam ini hanyalah taqlid buta (ikut-ikutan saja) dan mengekor orang-orang semisalnya. Mereka semisal yang dikatakan dalam firman Allah,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

"Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (QS. Az Zukhruf: 23)" (Fathul Majid, hal. 62).

Nas-alullah salamah min hadzal fitan, kita memohon kepada Allah keselamatan dari fitnah semacam ini.

Jadi, mengucapkan kalimat tersebut bukan hanya di lisan, namun hendaknya diiringi dengan keyakinan di hati, lalu ditambah menjalankan konsekuensi kalimat tersebut dengan mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam syirik.

Beberapa faedah yang bisa digali dari hadits di atas:

  1. Menunjukkan keutamaan orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik bahwasanya ia akan diselamatkan dari siksa neraka dan juga dihapuskan dosa.
  2. Iman tidaklah cukup dengan ucapan namun harus diiringi dengan i'tiqad (keyakinan) dalam hati. Jika hanya diucap saja, tidak di batin, maka itu sama halnya dengan orang munafik.
  3. Iman juga tidak bermanfaat jika hanya i'tiqad (keyanikan) di hati tanpa ada ucapan sebagaimana keadaan orang-orang jaahid (yang menentang).
  4. Neraka haram bagi orang yang memiliki tauhid yang sempurna.
  5. Amal tidaklah bermanfaat jika tidak diiringi dengan ikhlas mengharap wajah Allah dan mengikuti sunnah Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam-.
  6. Barangsiapa mengucapkan kalimat laa ilaha illalah namun ia beribadah kepada selain Allah sebagaimana halnya ibadah quburiyun, maka tidak bermanfaat kalimat tersebut.
  7. Allah memiliki sifat wajah yang layak bagi Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.

Demikian, semoga Allah memudahkan kita menjadi ahli tauhid dan menjauhi kesyirikan. Wallahul muwaffiq.

 

Referensi:

  • Al Mulakhosh fii Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin 'Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul 'Ashimah, cetakan pertama, 1422 H.
  • Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta', cetakan ketujuh, 1431 H.
  • Hasyiyah Kitab At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim, cetakan keenam, tahun 1432 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Laporan Pemasukan Sementara Donasi Peduli Akuisisi Untuk Radio Assunnah

Posted: 28 Nov 2012 04:28 PM PST

Laporan Dana Pemasukan Sementara Peduli Akuisisi Radio Untuk Radio Assunnah Tanggal 29 November 2012 , Pukul 06:07 Rp.69.000.000-, Mari tingkatkan kembali Saldo Wakaf dan Sedekah Jariyah Antum dengan menyebarkan informasi dan ikut serta dalam program ini, menjadikan radio assunnah cirebon sebagai radio yang lebih eksis (sebagai network rodja) di Wilayah III Cirebon.

Saham Akhirat Akusisi, Mau ?

Posted: 28 Nov 2012 07:52 AM PST

Bismillah,Radio Dakwah Assunnah Cirebon menawarkan saham akhirat sedekah jariyah untuk akusisi (pengambilalihan saham) radio lain untuk Siaran yang lebih Ekspantif dengan kendaraan PT.Radio yang sudah mempunyai perizinan lengkap, cocok untuk sedekah jariyah dan wakaf menebar ilmu kpd 12 ribu pendengar.Mohon peran sertanya menawarkan ke donatur lain juga.Donasi dibutuhkan 1M, di Cirebon sudah ada Radio Nasrani yg juga akusisi dengan nilai yg sama 7 tahun yg lalu.Berminat? untuk info dan pengiriman proposal via email silahkan hubungi nomor ini,087729900923, ttd, Abu Ali_direktur radio Dakwah Assunnah Cirebon.Barokallohu fik.

Laporan Dana Pemasukan Sementara Peduli Akuisisi Radio Untuk Radio Assunnah Tanggal 29 November 2012 , Pukul 06:07 Rp.69.000.000-, Mari tingkatkan kembali Saldo Wakaf dan Sedekah Jariyah Antum dengan menyebarkan informasi dan ikut serta dalam program ini, menjadikan radio assunnah cirebon sebagai radio yang lebih eksis (sebagai network rodja) di Wilayah III Cirebon.

Wednesday, November 28, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kisah Perginya Rasullah Ke Syam Bersama Abu Thalib

Posted: 28 Nov 2012 03:00 PM PST

Ketika Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam masih kecil (dan belum menjadi Nabi), ia ikut pergi bersama pamannya, Abu Thalib, dan para pembesar kaum Quraisy dalam suatu perjalanan menuju Syam. Sebagian ulama mengatakan bahwa itu ketika beliau Shallallahu’alaihi Wasallam berusia 12 tahun, dan sebagian lagi berpendapat beberapa tahun lebih tua itu.

Diriwayatkan dari Al Fadhl bin Sahl Abul Abbas Al A’raj Al Baghdadi ia berkata, Abdurrahman bin Ghazwan Abu Nuh menuturkan kepadaku, Yunus bin Abi Ishaq mengabarkan kepadaku, dari Abu Bakr bin Abi Musa, dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, ia berkata:

خَرَجَ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ ، وَخَرَجَ مَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَشْيَاخٍ مِنْ قُرَيْشٍ ، فَلَمَّا أَشْرَفُوا عَلَى الرَّاهِبِ هَبَطُوا ، فَحَلُّوا رِحَالَهُمْ , فَخَرَجَ إِلَيْهِمُ الرَّاهِبُ وَكَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ يَمُرُّونَ بِهِ , فَلَا يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ وَلَا يَلْتَفِتُ ، قَالَ : فَهُمْ يَحُلُّونَ رِحَالَهُمْ فَجَعَلَ يَتَخَلَّلُهُمُ الرَّاهِبُ حَتَّى جَاءَ فَأَخَذَ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : هَذَا سَيِّدُ الْعَالَمِينَ , هَذَا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ، فَقَالَ لَهُ أَشْيَاخٌ مِنْ قُرَيْشٍ : مَا عِلْمُكَ ؟ فَقَالَ : إِنَّكُمْ حِينَ أَشْرَفْتُمْ مِنَ الْعَقَبَةِ لَمْ يَبْقَ شَجَرٌ وَلَا حَجَرٌ إِلَّا خَرَّ سَاجِدًا ، وَلَا يَسْجُدَانِ إِلَّا لِنَبِيٍّ , وَإِنِّي أَعْرِفُهُ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ مِثْلَ التُّفَّاحَةِ ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا فَلَمَّا أَتَاهُمْ بِهِ وَكَانَ هُوَ فِي رِعْيَةِ الْإِبِلِ , قَالَ : أَرْسِلُوا إِلَيْهِ , فَأَقْبَلَ وَعَلَيْهِ غَمَامَةٌ تُظِلُّهُ ، فَلَمَّا دَنَا مِنَ الْقَوْمِ وَجَدَهُمْ قَدْ سَبَقُوهُ إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ ، فَلَمَّا جَلَسَ مَالَ فَيْءُ الشَّجَرَةِ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : انْظُرُوا إِلَى فَيْءِ الشَّجَرَةِ مَالَ عَلَيْهِ ، قَالَ : فَبَيْنَمَا هُوَ قَائِمٌ عَلَيْهِمْ وَهُوَ يُنَاشِدُهُمْ أَنْ لَا يَذْهَبُوا بِهِ إِلَى الرُّومِ ، فَإِنَّ الرُّومَ إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوهُ بِالصِّفَةِ فَيَقْتُلُونَهُ ، فَالْتَفَتَ , فَإِذَا بِسَبْعَةٍ قَدْ أَقْبَلُوا مِنَ الرُّومِ فَاسْتَقْبَلَهُمْ ، فَقَالَ : مَا جَاءَ بِكُمْ ؟ قَالُوا : جِئْنَا إِنَّ هَذَا النَّبِيَّ خَارِجٌ فِي هَذَا الشَّهْرِ , فَلَمْ يَبْقَ طَرِيقٌ إِلَّا بُعِثَ إِلَيْهِ بِأُنَاسٍ , وَإِنَّا قَدْ أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بُعِثْنَا إِلَى طَرِيقِكَ هَذَا ، فَقَالَ : هَلْ خَلْفَكُمْ أَحَدٌ هُوَ خَيْرٌ مِنْكُمْ ؟ قَالُوا : إِنَّمَا أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بِطَرِيقِكَ هَذَا ، قَالَ : أَفَرَأَيْتُمْ أَمْرًا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَهُ هَلْ يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ رَدَّهُ ؟ قَالُوا : لَا ، قَالَ : فَبَايَعُوهُ وَأَقَامُوا مَعَهُ ، قَالَ : أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ أَيُّكُمْ وَلِيُّهُ ، قَالُوا : أَبُو طَالِبٍ فَلَمْ يَزَلْ يُنَاشِدُهُ حَتَّى رَدَّهُ أَبُو طَالِبٍ ، وَبَعَثَ مَعَهُ أَبُو بَكْرٍ بِلَالًا وَزَوَّدَهُ الرَّاهِبُ مِنَ الْكَعْكِ وَالزَّيْتِ

"Abu Thalib pergi ke Syam dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pergi dengannya bersama dengan pembesar-pembesar kaum Quraisy. Ketika mereka menjumpai seorang rahib, mereka singgah dan berhenti dari perjalanan mereka. Lalu seorang Rahib pun keluar menemui mereka. Padahal biasanya pada waktu-waktu sebelum itu, rahib tersebut tidak pernah keluar dan tidak peduli ketika mereka melewatinya.

Abu Musa berkata; “Lalu mereka meletakkan perbekalan mereka, kemudian Rahib itu membuka jalan hingga mereka sampai di hadapannya. Lalu ia memegang tangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil berkata: “Anak ini akan menjadi penghulu semesta alam, anak ini akan menjadi Rasul dari Rabbul ‘Alamin yang akan di utus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam”.

Maka pembesar Quraisy berkata: “Dari mana Anda tahu hal itu?”. Rahib menjawab: “sebenarnya semenjak kalian tiba di ‘Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan melainkan mereka bersimpuh  sujud, dan mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Selain itu, aku juga dapat mengetahui dari stempel kenabian yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang mirip seperti buah apel”.

Kemudian Rahib itu kembali ke dalam dan menyiapkan makanan. Ketika Rahib mendatangi rombongan, Nabi sedang berada diantara unta-unta. Rahib itu berkata: “tolong utuslah beberapa orang untuk menjemputnya dari sana”. Maka kemudian Nabi datang dengan dinaungi sekumpulan awan di atas beliau. Ketika Rahib mendekati rombongan, ia temukan mereka tengah berebutan mencari naungan dari bayang-bayang pohon. Anehnya ketika Nabi duduk, justru bayang-bayang pohon itu menaungi beliau. Kontan si Rahib mengatakan: ‘coba kalian perhatikan, bayang-bayang pohon justru menaunginya’.

Abu Musa berkata, ketika sang rahib berdiri menghadap rombongan, ia memberi peringatan agar rombongan tidak meneruskan perjalanan ke Romawi. Sebab jika mereka melihatnya, tentu mereka akan mengetahuinya dengan tanda-tandanya itu, dan mereka akan membunuhnya’. Ketika sang rahib menoleh, ternyata ada tujuh orang yang baru datang dari Romawi dan menemui rombongan. Rahib bertanya kepada mereka: ‘apa yang membuat kalian datang kemari?’. Rombongan itu menjawab: ‘Begini, kami berangkat karena ada seorang nabi yang diutus bulan ini. Oleh karena itu tak ada rute jalan lagi melainkan pasti diutus beberapa orang untuk mencarinya. Dan kami diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute ini’. Si rahib lantas bertanya: ‘Apakah dibelakang kalian ada rombongan lain yang lebih baik dari kalian?’. Mereka menjawab: ‘hanya kami yang diberi tahu bahwa ia akan ditemui di rute ini’. Si rahib bertanya lagi: ‘Menurut kalian, jika Allah berkeinginan untuk memutuskan sesuatu adakah orang yang dapat menolaknya? Mereka berkata: ‘Tentu tidak ada’. Selanjutnya rombongan dari Romawi itu berbaiat kepada si rahib dan tinggal bersamanya.

Rahib bertanya: ‘Saya nasehatkan kalian untuk berpegang pada Allah, namun siapa walinya anak ini?’. Rombongan Quraisy menjawab: ‘Abu Thalib’. Si rahib tiada henti-hentinya menasehati Abu Thalib hingga ia mau mengembalikan Nabi ke Mekkah. Abu Bakar juga memerintahkan Bilal untuk menemaninya, sedangkan si rahib memberinya bekal berupa kerupuk dan minyak" 

Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’-nya (3583), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4167), Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah (386), Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (811), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (35852), dan beberapa huffadz yang lain.

Sanad hadits ini shahih karena seluruh perawinya adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim. Al Munawi berkata: "Tidaklah perawi dalam sanad hadits ini kecuali yang dipakai oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya. Namun tentang penyebutan Abu Bakar dan Bilal statusnya wahm" (Takhrij Ahadist Al Misykah, 5/222). Syaikh Al Albani juga berkata: "Hadits ini shahih, namun penyebutan Abu Bakar dan Bilal statusnya munkar sebagaimana dikatakan para ulama" (Shahih At Tirmidzi, 3620).

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin Abu Musa Al Asy’ari menceritakan kisah ini padahal beliau baru masuk Islam pada tahun 9 Hijriah ketika peristiwa perang Khaibar? Sedangkan kisah ini masih sangat jauh masanya dari itu. Jawabnya, tentu saja Abu Musa Al Asy’ari mendapatkan kisah ini dari sahabat Nabi yang lain yang tidak disebutkan. Kasus ini disebut termasuk kasus hadits mursal shahabi. Dan para ulama pakar hadits menyatakan bahwa mursal shahabi itu hujjah, karena kaidah mengatakan:

الصحابة كلهم عدول

"Para sahabat Nabi itu semuanya adil"

Dengan demikian kisah ini adalah kisah yang shahih dan benar adanya.

Wabillahit Taufiq Was Sadaad

 

Rujukan: Shahih Sirah Nabawiyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 29-31

— 

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id 

Tuesday, November 27, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

Posted: 27 Nov 2012 03:00 PM PST

Dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula." (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])

Shofwan bin 'Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu." Beliau pun menjawab, "Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan." (lihat Akhlaq al-'Ulama, hal. 37)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak." (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihatFath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu'anhuma, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dalamKitab al-'Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2673])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu." (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, "Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu." (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).

Imam al-Auza'i rahimahullah berkata, "Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu." (lihat Da'a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, "Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran." (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 39)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata kepada para sahabatnya, "Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit." (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 40)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 50).

Imam Ibnul A'rabi rahimahullah berkata, "Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya." (lihat Fath al-Bari [1/197])

Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu." (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari'at Islam (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 52).

Masruq berkata, "Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah." (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, "Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur'an." (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)

Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, "Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?". Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, "Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?". Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti  menanyainya pada hari kiamat (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Ibnu Baththal berkata, "Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka." (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Waki' bin al-Jarrah rahimahullah berkata, "Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid'ah." (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki', hal. 69)

Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, "Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla." (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 254)

Sa'ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, "Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka." (lihat Ta'liqat Risalah Lathifah, hal. 44).

Ibnus Samak rahimahullah berkata, "Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam." (lihatTa'thirul Anfas, hal. 570)

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi." Ibnul Qoyyim mengatakan, "Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya." (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, "… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik." (lihat al-Fawa'id, hal. 34)

 

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, "Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?". Beliau menjawab, "Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu." (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 44-45)

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya." (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71)

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, "Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?". Beliau menjawab, "Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata." (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71-72)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku  berkata kepadanya, "Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu." Dia berkata, "Daerah kami ini!". Kukatakan, "Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu." Dia berkata, "Daerah kami ini!". Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. "Daerah kami ini?!". Kukatakan, "Iya, benar." Maka dia berkata, "Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama'ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu." (lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amal, hal. 36-37)

Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik keutamaan yang sangat besar." (QS. Al-Anfal: 29)

Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan:

  1. Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka
  2. Dihapuskannya dosa
  3. Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar
  4. Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah)

Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), "Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi- sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya." (QS. Al-Baqarah: 3-4)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Monday, November 26, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Kaidah Fiqih (1), Niat Syarat Seluruh Amal

Posted: 26 Nov 2012 03:00 PM PST

Salah satu ilmu alat yang penting dipelajari adalah ilmu qowa’id fiqh (kaedah fikih). Ilmu ini amat membantu sekali untuk menyelesaikan permasalahan fikih. Dengan menguasai dan memahami kaedah, berbagai permasalahan bisa terjawab. Bahkan satu kaedah bisa berlaku untuk banyak bab. Di antara bahasan Qowa’id Fiqh yang menarik dipelajari adalah bait sya’ir yang disusun oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah. Mudah-mudahan kami bisa menuntaskan pembahasan ini dan menggali-gali faedah berharga di dalamnya.

النِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ العَمَلِ

بِهَا الصَّلاَحُ وَالفَسَادُ لِلْعَمَلِ

Niat syarat seluruh amal

Karena niat akan baik atau jeleknya suatu amal

Kaedah ini adalah kaedah yang amat bermanfaat dan paling mulia. Kaedah ini berlaku pada setiap cabang ilmu.

Baiknya amal badan dan amal maliyah (harta), begitu pula amal hati dan amal anggota badan, semuanya tergantung niat. Rusaknya amal-amal tersebut juga tergantung niat.

Jika niat seseorang baik, maka baik pula ucapan dan amalannya. Namun jika niat seseorang jelek, maka jelek pula ucapan dan amalan. Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan."[1]

Niat itu ada dua fungsi

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu 'ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah muthlaq). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Yang termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas. Ikhlas yang dimaksudkan adalah kadar tambahan dari sekedar niat beramal semata. Dalam ikhlas ada tambahan selain niat beramal, ada pula niat kepada sasaran ibadah (al ma'mul lahu). Inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas artinya seorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan wajah Allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.

Di antara contoh penerapan kaedah ini

Kaedah ini berlaku untuk seluruh ibadah seperti shalat yang wajib dan yang sunnah, zakat, puasa, i'tikaf, haji, 'umroh, seluruh ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, udhiyah (qurban), hadyu (sembelihan di Makkah), nadzar dan kafarot, jihad, memerdekakan budak, dan membebaskan budak mudabbar.

Kaedah ini juga berlaku untuk perkara yang mubah. Jika perkara yang mubah diniatkan agar kuat dalam melakukan ketaatan pada Allah, atau perkara mubah sebagai sarana kepada ketaatan, contohnya adalah makan, minum, tidur, mencari nafkah, nikah, maka amalan ini pun bernilai pahala. Contoh lainnya adalah hubungan biologis dengan istri atau dengan budak wanitanya dengan maksud untuk menjaga diri dari zina, atau tujuannya untuk menghasilkan keturunan yang sholeh atau untuk memperbanyak umat, jika niatannya seperti ini, maka akan membuahkan pahala.

Hal yang perlu diperhatikan

Perkara yang ditujukan pada hamba ada dua macam, yaitu (1) perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan dan (2) perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan.

Untuk perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan, maka harus ada niat di dalamnya. Niat ini adalah syarat sahnya amalan tersebut dan juga syarat untuk memperoleh pahala. Contoh ibadah yang diperintahkan adalah shalat.

Untuk perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan, seperti menghilangkan najis pada pakaian, badan atau tempat, seperti pula  melunasi utang yang wajib, maka untuk hal melepaskan kewajiban semacam ini tidak disyaratkan adanya niat. Tetap sah, walaupun tidak berniat.

Adapun agar amalan itu bernilai pahala, maka harus ada niat di dalamnya, yaitu niat mendekatkan diri pada Allah. Wallahu a'lam.

***

Alhamdulillahillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diterjemahkan dari Al Qowa'idul Fiqhiyah, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, terbitan Darul Haromain, 1420 H, hal. 15-17.

Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

 

Sunday, November 25, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Jazakallah Khoiron, Membalas Orang Lain yang Berbuat Baik

Posted: 25 Nov 2012 03:00 PM PST

 بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين, وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Tulisan ini menyebutkan tentang bagaimana sikap seorang muslim memberikan ucapan sebagai tanda penghargaan atas kebaikan orang lain.

Berterima kasih atas pemberian orang lain adalah tanda bersyukur kepada Allah Ta'ala

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ ».

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia." HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, 1/702.

Penjelasan yang sangat menarik

Berkata Al Khaththaby rahimahullah:

هذا يتأول على وجهين:
أحدهما: أن من كان طبعه وعادته كفران نعمة الناس وترك الشكر لمعروفهم كان من عادته كفران نعمة الله تعالى وترك الشكر له.
والوجه الآخر: أن الله سبحانه لا يقبل شكر العبد على إحسانه إليه إذا كان العبد لا يشكر إحسان الناس ويكفر معروفهم. اهـ

"Hadits ini ditafsirkan dengan dua makna:

Pertama: "Bahwa barangsiapa yang tabiat dan kebiasaannya adalah kufur terhadap nikmat (kebaikan) orang dan tidak bersyukur atas kebaikan mereka, maka niscaya termasuk kebiasaannya adalah kufur terhadap nikmat Allah Ta'ala dan tidak bersyukur kepada-Nya.

Kedua: "Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak menerima syukurnya seorang hamba atas kebaikan-Nya kepadanya, jika seorang hamba tidak bersyukur kepada kebaikan orang lain dan kufur terhadap kebaikan mereka."  Lihat kitab Sunan Abu Daud dengan Syarah Al Khaththaby, 5/ 157-158.

Beberapa cara membalas kebaikan dan pemberian orang lain

1. Membalas pemberian tersebut
2. Memuji orang tersebut
3. Mengucapkan Jazakallah khairan kepada orang tersebut
4. Mendoakan orang tersebut

Perhatikan hadits-hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ ».

Artinya: "Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan maka hendaknya ia membalasnya, jika ia tidak mendapati maka pujilah ia, barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya, barangsiapa menyembunyikannya sungguh ia telah kufur." HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 617.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَتَى إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَلْيُكَافِئْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَذْكُرْهُ فَمَنْ ذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ تَشَبَّعَ بِمَا لَمْ يَنَلْ فَهُوَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ ».

Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang diberikan kepadanya sebuah kebaikan, hendaklah ia membalasnya dan barangsiapa yang tidak sanggup maka sebutlah (kebaikan)nya, dan barangsiapa yang menyebut (kebaikan)nya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya dan barangsiapa yang puas dengan sesuatu yang tidak ia miliki, maka ia seperti seorang yang memakai pakaian palsu." HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Taghib Wa At Tarhib, no 974.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَتِ الْمُهَاجِرُونَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبْتِ الْأَنْصَارُ بِالْأَجْرِ كُلِّهِ، مَا رَأَيْنَا قَوْمًا أَحْسَنَ بَذْلًا لَكَثِيرٍ، وَلَا أَحْسَنَ مُوَاسَاةٍ فِي قَلِيلٍ مِنْهُمْ، وَلَقَدْ كَفَوْنَا الْمُؤْنَةَ؟ قَالَ: «أَلَيْسَ تُثْنُونَ عَلَيْهِمْ بِهِ، وَتَدْعُونَ اللهَ لَهُمْ؟» قَالُوا: بَلَى قَالَ: «فَذَاكَ بِذَاكَ»

Artinya: Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Berkata Kaum Muhajirin: "Wahai Rasulullah, kaum Anshr pergi dengan (membawa) pahala seluruhnya, kami tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik pemberiannya dengan sangat banyak, tidak pernah lebih baik tengga rasanya dala perihal yang sedikit dibandingkan mereka, mareka telah mencukupkan kebutuhan kami?", beliau bersabda: "Bukankah kalian telah memuji mereka atas itu dan berdoa kepada Allah untuk mereka?", mereka menjawab: "Iya", beliau berkata: "Maka itu dengan dengan itu." HR. An Nasai di dalam Sunan Al Kubra dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Taghib Wa At Tarhib, no 977.

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ ».

Artinya: "Usamah bin Zaid berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang dibuatkan kepadanya kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya: "Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian." HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al jami', no. 6368.
Berkata Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abady;

فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّ مَنْ قَالَ لِأَحَدٍ جَزَاك اللَّه خَيْرًا مَرَّة وَاحِدَة فَقَدْ أَدَّى الْعِوَض وَإِنْ كَانَ حَقّه كَثِيرًا. انتهى.

"Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan kepada seseorang "Jazakallah khairan" sekali, sungguh ia telah menunaikan gentian, meskipun haknya banyak." Lihat kitab 'Aun al Ma'bud.
Berkata Al Munawi rahimahullah:

(إذا قال الرجل) يعني الإنسان (لأخيه) أي في الإسلام الذي فعل معه معروفا (جزاك الله خيرا) أي قضى لك خيرا وأثابك عليه : يعني أطلب من الله أن يفعل ذلك بك (فقد أبلغ في الثناء) أي بالغ فيه وبذل جهده في مكأفاته عليه بذكره بالجميل وطلبه له من الله تعالى الأجر الجزيل ، فإن ضم لذلك معروفا من جنس المفعول معه كان أكمل هذا ما يقتضيه هذا الخبر ، لكن يأتي في آخر ما يصرح بأن الاكتفاء بالدعاء إنما هو عند العجز عن مكافأته بمثل ما فعل معه من المعروف.
ثم إن الدعاء المذكور إنما هو للمسلم كما تقرر ، أما لو فعل ذمي بمسلم معروفا فيدعو له بتكثير المال والولد والصحة والعافية

"(Jika seorang mengatakan) yaitu seorang manusia (kepada saudaranya) yaitu persaudaraan Islam yang telah berbuat kepada kebaikan (jazakallah khairan) yaitu semoga Allah menentukan kebaikan untukmu dan memberikan pahala atasnya, yaitu aku memohon dari Allah untuk melakukan itu denganmu (maka sungguh ia telah melebihkan di dalam pujian) yaitu ia telah berbuat lebih di dalam pujian itu dan telah mengerahkan usahanya di dalam pembalasannya terhadapnya dengan menyebutkannya dengan kebaikan dan permintaanya untuknya dari Allah Ta'ala pahala yang besar, dan jika digabungkan hal itu dengan jenis apa yang telah ia lakukan kepadanya, niscaya ini akan lebih sempurna apa yang disebutkan oelh riwayat ini, tetapu disebutkan di akhir hadits, yang menjelaskan bahwa mencukupkan dengan doa, maka sesungguhnya ini adalah ketika tidak sanggup untuk membalas seperti apa yang telah ia lakukan kebaikan kepadanya. Kemudian sesungguhnya doa yang disebutkan di dalam hadis hanya untuk seorang muslim sebagaimana yang telah ditetapkan, adapun kalau ada seorang kafir berbuat kebaikan kepada seorang muslim maka ia mendoakannya agar mendapatkan harta, anak, kesehatan dan 'afiyah." Lihat kitab Faidh Al Qadir, 1/526.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ ».

Artinya: "Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindunglah ia, barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah maka berilah ia, barangsiapa yang mengundang kalian maka hadirilah (undangannya), dan barangsiapa yang berbuat kepada kalian kebaikan maka balaslah, jika ia tidak mendapati sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah ia, sampai kalian melihat bahwa kalian sudah membalasnya.' HR. Abu Daud. Wallahu a'lam. Semoga terjawab pertanyaan pada judul dan semoga bermanfaat.

 

Ahad, 4 Muharram 1434H, Dammam Arab Saudi

 

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Artikel Muslim.Or.Id

Info Donasi: Memperluas Jaringan Penyebaran Buletin At Tauhid

Posted: 24 Nov 2012 08:10 PM PST

Buletin At Tauhid merupakan salah satu buletin dakwah yang diterbitkan rutin setiap pekan oleh Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari (YPIA) Yogyakarta. Pada penerbitan tahun pertama (2005), jumlah buletin yang dicetak dan disebar di sekitar kampus UGM Yogyakarta berjumlah 500 eksemplar. Dengan pertolongan dari Allah, di tahun ke-8 buletin At Tauhid mampu  dicetak 15.000 eksemplar pada setiap pekannya. Jumlah tersebut secara rutin disebarkan setiap hari Jum'at di kurang lebih di 150 masjid di sekitar Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Magelang. Di samping itu, terdapat pula permintaan berlangganan dari luar Yogyakarta yang juga terus berdatangan.

Secara substansi, materi pokok yang disajikan di buletin At Tauhid adalah masalah Tauhid.  Namun demikian, sesekali dibahas pula berbagai materi keislaman yang lain yang penting diketahui oleh setiap muslim. Hal tersebut dilakukan atas dasar misi utama buletin At Tauhid yaitu menebarkan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mengajak kaum muslimin untuk kembali ke jalan Nabi shallallahu 'alaihi wa salam dan para Sahabatnya, baik dalam hal aqidah, ibadah, manhaj, atau pun akhlak.

Kontributor Artikel Buletin Dakwah At Tauhid saat ini adalah santri dan alumni Ma'had Al 'Ilmi Yogyakarta, para ustadz yang menjadi pengajar di berbagai pondok pesantren di Yogyakarta, ditambah dengan para ustadz yang saat ini sedang belajar/mengajar di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia.

Biaya produksi buletin At Tauhid dalam beberapa tahun terakhir berasal dari beberapa orang donatur dan dari hasil infak para distributor. Dalam beberapa kali, penerbitan buletin At Tauhid sempat terhambat karena keterbatasan biaya dan tidak adanya kas tetap. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang ingin ikut andil dalam penerbitan dan penyebaran buletin At Tauhid dengan memberikan bantuan donasi, bisa menyalurkan donasinya ke rekening berikut:

  1. Bank BNI Syariah dengan no. rekening 0241913801 a.n Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari
  2. Bank Muamalat dengan no. rekening 0001247776 a.n Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta
  3. Bank Syariah Mandiri dengan no. rekening 0300132637 a.n YPIA Yogyakarta
  4. Bank CIMB Niaga Syariah dengan no. rekening 508.01.00028.00.0 a.n Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari

Dengan adanya bantuan dari kaum muslimin diharapkan jumlah produksi dari buletin At Tauhid bisa meningkatkan di setiap pekannya sehingga jaringan penyebaran bisa diperluas.

Bagi kaum muslimin yang telah memberikan donasinya diharapkan bisa mengirimkan SMS konfirmasi ke No. 085747223366 dengan format SMS: Nama#Tanggal Transfer#Jumlah Transfer#Rekening yang Ditransfer#At Tauhid. Atas perhatian dan bantuan kaum muslimin kami ucapkan jazakumullahu khairon.

Sedangkan kaum muslimin yang hendak berlangganan baik di dalam maupun luar kota Yogyakarta bisa menghubungi 0856.4331.9284.

link website: http://buletin.muslim.or.id/

Jangan Lupakan Tauhid

Posted: 24 Nov 2012 08:00 PM PST

Masalah tauhid adalah masalah yang sangat penting. Ia merupakan asas tegaknya agama. Muatan utama ayat-ayat al-Qur'an dan misi pokok dakwah seluruh para nabi dan rasul.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut." (QS. An-Nahl: 36)

Sebuah materi dakwah yang tidak akan lekang oleh zaman dan terus dibutuhkan oleh siapa saja; orang miskin maupun orang kaya, orang tua maupun anak muda, penduduk kota maupun penduduk desa, pejabat maupun rakyat jelata.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan ingatlah ketika Luqman memberikan nasehat kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar." (QS. Luqman: 13)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah." (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Sholah [425] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [33])

Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya.

Beliau berkata:

Masalah paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan, akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal…

Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, "Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas…Betapa sering aku berusaha menyingkirkan riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan warna yang berbeda."

Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan.

Sahl bin Abdullah berkata, "Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun." Senang dipuji, suka disanjung… Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan (ambisi)…

Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat." Semoga Allah merahmati beliau.

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah daripada niatku… Karena ia sering berbolak-balik."

Oleh sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya sendiri dan juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya.

Hendaknya mereka memohon kepada Allah jalla wa 'ala supaya Allah membantu mereka untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka untuk itu…

Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian…

Beliau juga menjelaskan:

Manusia, bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya…

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak secara rinci… maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya…

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci… maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang tauhid…serta terus mempelajarinya dan tidak berhenti darinya…

Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid." atau mengatakan, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau berkata, "Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja kepada isu yang lain."

Tidak demikian…

Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya…tetapi tauhid harus senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara…

Beliau juga menegaskan:

Jadi, tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun. Semisal, kita katakan, "Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb." yang dengan alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj dakwah.

Atau mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak, atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu… Tidaklah demikian. Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul…

Inilah dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di atasnya dan mati di atasnya pula. Baarakallahu fiikum.

Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net

Demikianlah cuplikan nasehat ulama yang bisa kami sajikan ke tengah pembaca sekalian. Semoga bisa menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah ta'ala. 

Artikel Muslim.Or.Id

Saturday, November 24, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Boleh Berpuasa Hari Asyura pada Hari Sabtu

Posted: 23 Nov 2012 09:00 PM PST

Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh berpuasa hari Asyura meskipun bertepatan hari Sabtu, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa berpuasa hari sabtu dilarang kecuali puasa wajib.

Pendapat yang kedua berdalil:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ السُّلَمِىِّ عَنْ أُخْتِهِ – وَقَالَ يَزِيدُ الصَّمَّاءِ – أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلاَّ لِحَاءَ عِنَبَةٍ أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهُ ».

Artinya: "Abdullah bin Busr As Sulamy meriwayatkan dari saudarinya – Yazid berkata: "Ia adalah Ash Shama'"- bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jangan kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali dalam hal yang diwajibkan atas kalian, dan jika salah satu kalian tidak mendapatkan satu butir kurma atau satu ranting pohon maka hendaklah ia menggigitnya." HR. Abu Daud dan dihasankan oleh At Tirmidzi serta dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, no.960.

Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini, dengan dalil-dalil:

1. Diperbolehkan puasa hari Jumat jika berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, dan telah dimaklumi setelah hari Jumat adalah hari Sabtu

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ » .

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku telah mendengar nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah salah satu dari kalian berpuasa pada hari Jumat, kecuali berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya." HR. Bukhari dan Muslim.

عَنْ جُوَيْرِيَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ « أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى » .

Artinya: "Juwairiyyah bintu Al Harits radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya pada hari Jumat ketika ia berpuasa, lalu beliau bertanya: "Apakah kamu berpuasa kemarin?", ia menjawab: "Tidak", beliau bertanya (lagi): "Apakah kamu ingin berpuasa besok?", ia menjawab: "Tidak", beliau bersabda: "Kalau begitu, berbukalah." HR. Bukhari.

2. Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulan, dan bisa dipastikan beberapa hari akan mendapati hari Sabtu

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ غُرَّةِ كُلِّ شَهْرٍ وَقَلَّمَا يُفْطِرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ.

Artinya: "Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu berpuasa tiga hari dari awal setiap bulan, dan sedikit sekali berbuka pada hari Jumat." HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Sunan An Nasai, no. 2368

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ .

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Khalily (orang terdekatku) mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara, aku tidak akan meninggalkannya sampai mati; berpuasa 3 hari dari setiap bulan, mengerjakan shalat Dhuha dan tidur dalam keadaan sudah berwitir." HR. Bukhari.

3. Dianjurkan berpuasa tanggal 13, 14, 15 di setiap bulan, dan bisa dipastikan bahwa terkadang akan didapati salah satunya akan mendapati hari Sabtu

عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا صُمْتَ شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ ».

Artinya: “Musa bin Thalhah berkata: “Aku teah mendengar Abu Dzarr di daerah Ribzah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Jika kamu berpuasa beberapa hari dari satu bulan, maka berpuasalah tigabelas, empatbelas, dan lima belas.” HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Abani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, no. 947.

4. Dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawwal, dan bisa dipastikan akan mendapati hari Sabtu

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ .

Artinya: "Abu Ayyub Al Anshary radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang telah berpuasa ramadhan kemudian ia ikutkan dengan enam hari dari bulan Syawwal, maka seperti berpuasa setahun." HR. Muslim.

5. Diperbolehkannya berpuasa Daud, berpuasa sehari berbuka sehari dan ini akan endapati puasa hari Sabtu

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ : أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَقُولُ : « صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلام وَهُوَ أَعْدَلُ الصِّيَامِ »

Artinya: "Abdullah bin 'Amr bin Ash berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berpuasalah satu hari dan berbuka satu hari dan itu adalah puasa nabi daud 'alaihissalam dan ia adalah puasa yang paling utama." HR. Bukhari dan Muslim. 

6. Diperbolehkan berpuasa lebih dari tiga setiap bulan, bisa diperakirakan akan mendapati hari Sabtu salah satunya

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِيكَ زَيْدٍ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَحَدَّثَنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذُكِرَ لَهُ صَوْمِي فَدَخَلَ عَلَيَّ فَأَلْقَيْتُ لَهُ وِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ حَشْوُهَا لِيفٌ فَجَلَسَ عَلَى الأَرْضِ وَصَارَتْ الْوِسَادَةُ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَقَالَ لِي : أَمَا يَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاثَةُ أَيَّامٍ ؟ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : خَمْسًا قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : سَبْعًا قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : تِسْعًا قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : إِحْدَى عَشْرَةَ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : لا صَوْمَ فَوْقَ صَوْمِ دَاوُدَ شَطْرَ الدَّهْرِ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ .

Artinya: "Abu Al Mulaih berkata: "Aku masuk bersama bapakmu menemui Abdullab bin 'Amr, lalu beliau meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, diceritakan kepada beliau perihal puasaku, lalu beliau menemuiku, lalu aku letakkan untukknya sebuah bantal dari kulit yang dibungkus dengan lif, lalu beliau duduk di atas lantai dan menjadikan bantal antara aku dan beliau, kemudian beliau berkata: “Apakah tidak cukup bagimu berpuasa dari setiap bulan tiga hari?”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “lima hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Tujuh hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Sembilan hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Sebelas hari”, aku berkata: “Wahai Rasulullah”, beliau berkata: “Tidak ada puasa di atas puasa Nabi Daud, setengah tahun, berpuasa sehari berbuka satu hari.” HR. Bukhari dan Muslim.

Perkataan para ulama rahimahumullah yang berpendapat dengan pendapat kedua:

Berkata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Hendaknya diketahui bahwa puasa hari Sabtu mempunyai beberapa keadaan:

الحال الأولى: أن يكون في فرضٍ، كرمضان أَدَاءً، أو قضاءً، وكصيام الكَفَّارَةِ، وبدل هدي التَّمَتُّع، ونحو ذلك؛ فهذا لا بأس به ما لم يخصه بذلك مُعتَقِدًا أن له مزية.

الحال الثانية: أن يصوم قبله يوم الجمعة؛ فلا بأس به.

الحال الثالثة: أن يُصَادِف صيام أيام مشروعة؛ كأيام البيض، ويوم عرفة، ويوم عاشوراء، وستة أيام من شَوَّال – لمن صام رمضان – وتسع ذي الحجة؛ فلا بأس؛ لأنه لم يصمه لأنه يوم السبت، بل لأنه من الأيام التي يُشْرَع صومها.

الحال الرابعة: أن يُصادِف عادةً، كعادة من يصوم يومًا وَيُفْطِر يَوْمًا فَيُصَادِف يوم صومِهِ يوم السبت؛ فلا بأس به، كما قال النبي – صلى الله عليه وسلم – لما نهى عن تقدم رمضان بصوم يوم أو يومين: ((إلا رجلاً كان يصوم صوما فليصمه))، وهذا مثله.

الحال الخامسة: أن يَخُصَّهُ بصوم تَطَوُّع؛ فيفرده بالصوم؛ فهذا محل النَّهي إن صَحَّ الحديثُ في النهي عَنْهُ”. انتهى.

Keadaan pertama: hari Sabtu dalam keadaan puasa wajib seperti Ramadhan atau Qadha’, seperti puasa kaffarat, atau pengganti hadyu tamattu’, atau yang semisalnya, maka ini tidak mengapa dikerjakan puasa hari Sabtu selama itu tidak mengkhususkan karena ia meyakini bahwa berpuasa hari Sabtu mempunyai keistmewaan.

Keadaan kedua: berpuasa hari Sabttu sebelumnya hari Jumat, maka hal ini tidak mengapa.

Keadaan ketiga: bertepatan dengan puasa hari-hari yang disyri’atkan untuk berpuasa, seperti hari-hari putih, hari Arafah, hari ‘Asyura, enam hari di bulan Syawwal, bagi siapa yang telah berpuasa ramadhan dan hari ke Sembilan dari bulan dzulhijjah, maka tidak mengapa berpuasa padanya, karena ia berpuasa bukan karena hari Sabtu, tetapi karena hari-hari yang disyariatkan berpuasa padanya.

Keadaan keempat: berpuasa hari sabtu bertepatan dengan kebiasaan, seperti kebiasaan siapa yang berpuasa sehari dan berbuka sehari, maka akan bertabrakan hari puasanya dengan hari Sabtu, maka ini tidak mengapa, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melarang puasa Ramadhan di dahului dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya: “Kecuali bagi yang biasa berpuasa”dan (puasa sabtu) ini semisal dengannya.

Keadaan kelima: dia mengkhususkan puasa hari sabtu, ia menjadikan puasa sabtu sendirian, maka ini adalah yang dilarang di dalam hadits, jika hadits larangan tersebut shahih.” Lihat kitab Majmu’ Fatawa wa Rasail ibnu Utsaimin,20/57.

Berkata Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah: 

قال القاضي : ويستثنى ما إذا وافق سنة مؤكدة كأن كان السبت يوم عرفة أو عاشوراء

“Dan dikecualikan (dari larangan puasa hari Sabtu), jika bertepatan sebuah sunnah yang ditekankan, seperti hari Sabtu adalah hari Arafah atau hari ‘Asyura.” Lihat kitab Faidh Al Qadir, 6/433.

Disebutkan di dalam kitab Ma’ani Al Atsar:

وَقَدْ أَذِنَ رَسُولُ اللَّهِ j فِي صَوْمِ عَاشُورَاءَ وَحَضَّ عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقُلْ إنْ كَانَ يَوْمَ السَّبْتِ فَلاَ تَصُومُوهُ . فَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى دُخُولِ كُلِّ الأَيَّامِ فِيهِ .

“Dan diizinkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkannya dan beliau tida menyebutkan jika bertepatan hari Sabtu maka janganlah kalian berpuasa padanya. Jadi, di dalam ini terdapat dalil akan masuknya setiap hari di dalamnya.’ Lihat kitab Ma’ani Al Atsar, 4/141.

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah:

” قال أصحابنا : يكره إفراد يوم السبت بالصوم … والمكروه إفراده , فإن صام معه غيره ; لم يكره ; لحديث أبي هريرة وجويرية . وإن وافق صوما لإنسان , لم يكره ” انتهى .

 Artinya: “Berkata kawan-kawan kami (dari madzhab hanbaly): “Dimakruhkan menyendirikan hari Sabtu dengan puasa…dan yang makruh adalah menyendirikannya, jika ia berpuasa bersama hari lainnya, maka tidak dimakruhkan, berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juwariyyah radhiyallahu ‘anhuma, dn juga jika bertepatan hari kebiasaan berpuasa seseorang , maka tidak dimakruhkan.” Lihat kitab Al Mughni, 3/52.

Berkata Ath Thiby:

وقال العلامة علي القاري :[ قال الطيبي : قالوا النهي عن الإفراد كما في الجمعة والمقصود مخالفة اليهود فيهما والنهي فيهما للتنزيه عند الجمهور وما افترض يتناول المكتوب والمنذور وقضاء الفوائت وصوم الكفارة وفي معناه ما وافق سنة مؤكدة كعرفة وعاشوراء ، أو وافق ورداً ]

“Mereka mengatakan bahwa larangan (berpuasa hari Sabtu) adalah untuk menyendirikan (puasa sabtu) sebagaimana di dalam perihal (puasa) hari Jumat, dan maksudnya adalah menyelisihi kaum Yahudi di dalam keduanya, dan larangan di dalamnya untuk penjauhan menurut mayoritas ulama, dan maksud dari apa ayang diwajibkan mencakup  puasa yang diwajjibkan, puasa nazar, puasa qadha wajib yang ketinggalan, puasa kaffarat dan yang semakna dengannya selama tidak sesuai dengan puasa sunnah yang ditekankan seperti puasa hari ‘Arafah dan puasa hari ‘Asyura atau bertepatan dengan kebiasaan.” Lihat kitab Mirqat Al mafatih Syarah Misykat Al Mashabih, 4/599.

Berkata An Nawawi rahimahullah:

[ والصواب على الجملة ما قدمناه عن أصحابنا أنه يكره إفراد السبت بالصيام إذا لم يوافق عادة له ]

“Dan pendapat yang benar dari apa yang telah kami sebutkan tentang pendapat kawan-kawan kami (dari madzhab Syafi’ie) adalah bahwa dimakruhkan puasa hari Sabtu secara tersendiri, jika tidak bertepatan dengan kebiasaannya.” Lihat kitab Al Majmu’, 6/440.

وقالت اللجنة الدائمة للإفتاء برئاسة الشيخ العلامة عبد العزيز بن باز رحمه الله:

[ يجوز صيام يوم عرفة مستقلاً سواء وافق يوم السبت أو غيره من أيام الأسبوع لأنه لا فرق بينها لأن صوم يوم عرفة سنة مستقلة وحديث النهي عن يوم السبت ضعيف لاضطرابه ومخالفته للأحاديث الصحيحة ] فتاوى اللجنة الدائمة 10/396 .

 Berkata Ibnu Hibban rahimahullah:

(فصل في صوم يوم السبت ذكر الزجر عن صوم يوم السبت مفردا)

 ”Pasal di dalam puasa hari Sabtu, penyebutan peringatan keras tentang puasa hari Sabtu secara tersendiri.” Lihat kitab Shahih Ibnu Hibban, 8/379.

Beliau juga berkata:

( ذكر العلة التي من أجلها نهى عن صيام يوم السبت مع البيان بأنه إذا قرن بيوم آخر جاز صومه)

“Disebutkan sebab karenanya dilarang puasa hari Sabtu bersamaan penjelasan bahwa jika digandengkan dengan berpuasa hari lain, maka boleh berpuasa pada hari (sabtu)nya.” Lihat kitab Shahih Ibnu Hibban, 8/381.

Dan ini semua, kalau dinilai hadits tentang larangan puasa hari Sabtu adalah hadits yang shahih, karena sebagian ulama fikih atau hadits atau peneliti mengatakan hadits larangan berpuasa hari Sabtu adalah lemah atau Syadz atau mudhtharib atau mansukh, seperti Ibnu Syihab Az Zuhry, Al Auza’iy, Imam Malik, Yahya bin Sa’id Al Qaththan, Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al Atsram, Abu Daud, An Nasaiy, Ath Tahawy, Ibnu Al ‘Araby, Ibnu taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, Ibnu Hajar rahimahumullah.

Terakhir, perlu diingat…

Bahwa ini adalah permasalahan yang terjadi adalah perbedaan pendapat diantara ulama rahimahumullah, dan tidak perlu dijadikan perpecahan diantara kaum muslim apalagi para penuntut ilmu di dalamnya dan karenanya, dan hendaklah ia mengikuti pendapat yang menurutnya lebih kuat dari sisi dalil dan pemahaman para ulama, tanpa merendahkan pendapat yang menyelisihi pendapatnya. Wallahu a’lam

Sabtu, 10 Muharram 1434 H, Dammam Arab Saudi.

 

Artikel Dakwahsunnah.com, dipublish ulang oleh Muslim.Or.Id