Wednesday, October 31, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Mahasiswa Harus Berilmu Sebelum Bertindak

Posted: 30 Oct 2012 04:00 PM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kewajiban belajar agama bukan hanya bagi mahasiswa yang duduk di Jurusan Syari'ah atau yang belajar di Universitas Islamiyah. Mahasiswa teknik dan kedokteran serta mahasiswa mana pun punya kewajiban yang sama. Ada kadar wajib dari ilmu agama yang mesti setiap mahasiswa pelajari. Karena tidak adanya ilmu agama itulah yang menyebabkan mahasiswa banyak yang salah jalan dan salah langkah. Akhirnya ada yang asal berkoar, namun bagai tong kosong nyaring bunyinya dan ujung-ujungnya tidak mendatangkan maslahat malah mengundang petaka.

Dasari Segalanya dengan Ilmu

Seorang dokter misalnya tidak bisa mengobati pasien sembarangan, ia harus mendasarinya dengan ilmu. Jika ia nekad, maka bisa berujung kematian pada pasien. Begitu pula halnya dengan seorang muslim. Dalam beramal dan bertindak, ia harus mendasari segalanya dengan ilmu. Imam Syafi'i berkata,

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

"Siapa yang ingin dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang ingin akherat, wajib baginya pula memiliki ilmu." (Dinukil dari Mughnil Muhtaj)

Ilmu tidaklah diperoleh tiba-tiba layaknya ilmu laduni yang diyakini kaum sufi. Namun ilmu itu diraih dengan belajar siang dan malam. Sebagaimana kata Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang ulama di masa tabi'in, di mana beliau berkata,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي

"Siapa yang terburu-buru meraih ilmu dalam jumlah banyak sekaligus, maka akan hilang dalam jumlah banyak pula. Yang namanya ilmu dicari siang demi siang dan malam demi malam." (Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Al Jaami')

Jika seseorang tidak mendasari tindakannya dengan ilmu, ujung-ujungnya hanya mendatangkan bencana. Sebagaimana kata 'Umar bin 'Abdul 'Aziz,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

"Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada mendatangkan maslahat." (Dinukil dari Majmu' Al Fatawa Ibnu Taimiyah, 2: 382)

Ilmu yang Diprioritaskan

Tentu yang lebih diprioritaskan bagi setiap muslim untuk dipelajari adalah ilmu akidah dan tauhid. Karena kaum muslimin -bahkan banyak dari mereka- yang tidak mengetahui apa saja yang merusak akidah dan tauhidnya. Seperti akidahnya masih bercampur dengan pemahaman penolak atau penta'wil sifat. Ketika ditanyakan Allah di mana, jawabannya pun beraneka ragam. Padahal berbagai dalil sudah menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy seperti ayat,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

"(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy" (QS. Thoha : 5). Sebagian ulama besar Syafi'iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur'an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.

Imam Asy Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Allah berada di atas 'Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta'ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya" (Lihat Al 'Uluw lil 'Aliyyil Ghofar, hal. 165). Ini masalah besar tentang Allah, namun banyak yang keliru menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa Allah di mana-mana atau ada yang mengatakan bahwa Allah di dalam hati. Padahal ada perkataan keras dari Abu Hanifah, "Jika seseorang amengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir." Beliau mengatakan demikian setelah ada yang menyatakan bahwa ia tidak mengetahui di manakah Allah, di langit ataukah di bumi (Lihat Al 'Uluw lil 'Aliyyil Ghofar, hal. 135-136).

Begitu pula sebagian mereka memahami bahwa sah-sah saja memberontak atau tidak taat pada penguasa apalagi penguasa yang berbuat maksiat semacam korupsi. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

"Dengarlah dan ta'at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta'at kepada mereka" (HR. Muslim no. 1847).

Dalam Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan mengenai hadits di atas,

فتبين أن الإمام الذي يطاع هو من كان له سلطان سواء كان عادلا أو ظالما

"Jelaslah dari hadits tersebut, penguasa yang wajib ditaati adalah yang memiliki sulthon (kekuasaan), baik penguasa tersebut adalah penguasa yang baik atau pun zholim"

Imam Nawawi rahimahullah juga berkata,

وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ.

"Adapun keluar dari ketaatan pada penguasa dan menyerang penguasa, maka itu adalah haram berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama, walaupun penguasa tersebut adalah fasik lagi zholim"  (Syarh Muslim, 12: 229).

Gara-gara tidak memahami akidah Ahlus Sunnah di atas, sebagian mahasiswa pun salah dalam bertindak ketika menyikapi penguasa yang zholim. Mereka sungguh lancang menggumbar aib penguasa di mimbar-mimbar dan tempat umum. Padahal yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tuntunkan adalah,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

"Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)" (HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Di antara mahasiswa pun ada yang masih percaya dengan ramalan dan hal-hal yang berbau klenik, yang itu semua tidak bisa lepas dari syirik dan menunjukkan cacatnya tauhid. Dari sini menunjukkan bahwa perlu adanya pembinaan akidah dan prinsip beragama yang benar. Setelah akidah dan tauhid ini dibenarkan, yang tidak kalah penting adalah mempelajari ibadah yang harus dikerjakan setiap harinya seperti wudhu, shalat dan puasa. Begitu pula ditambah dengan cara bermuamalah dan berakhlak terhadap sesama tidak kalah penting untuk dikaji dan dipelajari.

Jangan Asal-Asalan Bertindak

Jika kita sudah mengetahui prinsip penting dalam beragama, maka setiap mahasiswa pun harus menyadari bahwa mereka tidak boleh asal-asalan dalam bertindak. Walaupun kadang hasil mereka nyata, namun kalau jalan yang ditempuh keliru, yah kita katakan keliru. Lihatlah kisah yang disebutkan Abu Hurairah berikut.

Abu Hurairah berkata bahwa beliau mengikuti perang Khoibar. Lantas Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada orang yang mengaku membela Islam, "Ia nantinya penghuni neraka." Tatkala orang tadi mengikuti peperangan, ia sangat bersemangat sekali dalam berjihad sampai banyak luka di sekujur tubuhnya. Melihat pemuda tersebut, sebagian orang menjadi ragu dengan sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun ternyata luka yang parah tadi membuatnya mengambil pedang dan membunuh dirinya sendiri. Akhirnya orang-orang pun berkata, "Wahai Rasulullah, Allah membenarkan apa yang engkau katakan." Pemuda tadi ternyata membunuh dirinya sendiri. Rasul pun bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

 "Berdirilah wahai fulan (yakni Bilal), serukanlah: Tidak akan masuk surga melainkan seorang mukmin. Allah mungkin saja menolong agama ini melalui laki-laki fajir (ahli maksiat)." (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111).

Coba kita renungkan kisah di atas. Orang tersebut memang benar memperjuangkan Islam, namun ia keliru dan salah jalan karena ia membunuh dirinya sendiri. Sehingga yang benar adalah tempuhlah jalan yang benar dalam memperjuangkan Islam dan akan diperoleh hasil yang sesuai harapan.

Tidak cukup bermodalkan semangat, segala tindakan itu butuh ilmu. Kata Imam Bukhari, "Ilmu itu sebelum berkata dan bertindak." Wallahu waliyyut taufiq. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

[Dari seorang mahasiswa S2 Teknik Kimia KSU Riyadh KSA yang peduli terhadap sesama]

 

Panggang-GK, 11 Ramadhan 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Tuesday, October 30, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Belajar Akhlak dan Adab Kepada Rasulullah

Posted: 29 Oct 2012 04:00 PM PDT

[1] Amalan-Amalan Paling Utama

Dari Abu 'Amr asy-Syaibani, dia berkata: Pemilik rumah ini -beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas'ud)- menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Amalan apakah yang paling dicintai Allah 'azza wa jalla?". Beliau menjawab, "Sholat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa?". Beliau menjawab, "Kemudian berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Lalu apa?". Beliau menjawab, "Kemudian berjihad di jalan Allah." Beliau -Ibnu Mas'ud- berkata, "Beliau telah menuturkan kepadaku itu semua. Seandainya aku meminta tambahan lagi niscaya beliau juga akan menambahkannya kepadaku." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa'. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 33)

[2] Berbakti Kepada Ibu dan Bapak

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya. Kakeknya berkata, "Wahai Rasulullah! Kepada siapakah aku harus berbakti?". Beliau menjawab, "Ibumu." Lalu aku bertanya, "Kepada siapakah aku harus berbakti?". Beliau menjawab, "Ibumu." Lalu aku bertanya, "Kepada siapakah aku harus berbakti?". Beliau menjawab, "Ibumu." Lalu aku bertanya, "Kepada siapakah aku harus berbakti?". Beliau menjawab, "Ayahmu. Kemudian kerabat yang terdekat dan seterusnya." (HR. Tirmidzi, dinilai hasan al-Albani dalam al-Irwa'. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

[3] Amalan Penebus Dosa

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma, ada seorang lelaki datang menemui dirinya dan menceritakan, "Suatu ketika aku melamar seorang perempuan, akan tetapi dia tidak mau menikah denganku. Lalu ada orang selainku yang melamarnya dan dia pun mau menikah dengannya. Aku pun merasa cemburu kepadanya, hingga aku pun membunuhnya.Apakah aku masih bisa bertaubat?". Beliau -Ibnu Abbas- bertanya, "Apakah ibumu masih hidup?". Maka beliau mengatakan, "Kalau begitu bertaubatlah kepada Allah 'azza wa jalla dan dekatkanlah dirimu kepada-Nya sekuat kemampuanmu." 'Atha' bin Yasar berkata: Aku pun berangkat kepada Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya, "Mengapa engkau bertanya tentang apakah ibunya masih hidup?". Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah 'azza wa jalla daripada berbakti kepada seorang ibu." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

[4] Dosa Besar Yang Paling Besar

Dari Abu Bakrah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Maukah aku kabarkan kepada kalian, dosa besar yang paling besar?" Beliau mengulanginya sampai 3 kali. Mereka -para Sahabat- menjawab, "Tentu saja wahai Rasulullah!". Maka beliau bersabda, "Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau pun duduk setelah sebelumnya bersandar. Lalu beliau meneruskan, "Ketahuilah, demikian pula berbicara dusta." Beliau terus mengulanginya sampai-sampai aku berkata, "Mudah-mudahan beliau diam." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam Ghayat al-Maram, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 37)

[5] Lebih Utama Daripada Berperang

Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ingin ikut berjihad. Maka beliau bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?". Dia menjawab, "Iya." Maka beliau bersabda, "Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa', lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 39)

[6] Keutamaan Doa Anak Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Mayit akan diangkat derajatnya setelah kematiannya. Maka dia pun bertanya, "Wahai Rabbku! Apakah ini?". Maka dijawab, "Anakmu telah memintakan ampunan untukmu." (HR. Bukhari dalamal-Adab al-Mufrad, dinilai al-Albani sanadnya hasan, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 45)

[7] Amalan Yang Tidak Terputus Setelah Meninggal

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Apabila seorang hamba meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya." (HR. Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa', lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 45)

[8] Jalan Menuju Surga

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu saat di tengah-tengah perjalanan ada seorang arab badui muncul dan bertanya kepada Nabishallallahu 'alaihi wa sallam, "Kabarkan kepadaku apakah yang dapat mendekatkan diriku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka?". Beliau pun menjawab, "Engkau beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, lalu kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam at-Targhib, lihatShahih al-Adab al-Mufrad, hal. 48)

[9] Memuliakan Tetangga

Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, beliau berkata: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku punya dua orang tetangga. Kepada siapakah aku harus memberikan hadiah?". Beliau menjawab, "Kepada orang yang lebih dekat pintunya denganmu di antara mereka berdua." (HR. Bukhari, dinilai sahih al-Albani. LihatShahih al-Adab al-Mufrad, hal. 66)

[10] Berbagi Makanan Untuk Tetangga

Dari Ibnu az-Zubair, beliau berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Bukanlah seorang mukmin sejati, orang yang senantiasa merasa kenyang sementara tetangganya kelaparan." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 67)

[11] Berbuat Baik Kepada Teman

Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik teman di sisi Allah ta'ala adalah yang paling berbuat baik kepada temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling berbuat baik kepada tetangganya." (HR. Tirmidzi, dinilai sahih al-Albani dalamash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 68)

[12] Tidak Mengganggu Tetangga

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak bisa merasa aman dari gangguannya." (HR. Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. LihatShahih al-Adab al-Mufrad, hal. 70)

[13] Menyantuni Janda dan Fakir Miskin

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang berusaha untuk menyantuni janda dan orang miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah, dan seperti orang yang rajin berpuasa di siang hari dan menegakkan sholat di malam hari." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 74)

[14] Budak Pun Harus Dimuliakan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seorang budak memiliki hak untuk diberikan makanan dan pakaian, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang dia tidak mampu untuk mengerjakannya." (HR. Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa'. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 91)

[15] Sedekah Yang Paling Utama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallammemerintahkan untuk bersedekah. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Saya punya uang 1 dinar?". Beliau menjawab, "Nafkahilah dirimu sendiri." Lalu dia berkata, "Saya masih punya 1 dinar lagi?". Beliau menjawab, "Nafkahilah istrimu." Lalu dia berkata, "Saya masih punya 1 dinar lagi?". Beliau menjawab, "Nafkahilah pembantumu, kemudian perhatikanlah yang lain." (HR. Nasa'i, dinilai hasan al-Albani dalam Shahih Abu Dawuddan al-Irwa'. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 92)

[16] Membalas Kebaikan Dengan Kebaikan

Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan dari orang lain maka balaslah kebaikannya. Apabila dia tidak memiliki sesuatu yang bisa untuk membalas kebaikannya, maka pujilah dia. Karena apabila dia telah memujinya itu merupakan bentuk syukur/ucapan terima kasih kepadanya. Dan apabila dia justru menyembunyikan hal itu, maka dia telah mengingkarinya. Barangsiapa yang berhias diri dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka seolah-olah dia mengenakan dua lembar pakaian kedustaan." (HR. Tirmidzi, dinilai sahih al-Albani dalam Takhrij at-Targhibdan ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 98)

[17] Termasuk Bentuk Syukur Kepada Allah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak pandai berterima kasih kepada sesama manusia." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 99)

[18] Menjadi Cermin Bagi Saudaranya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata, "Seorang mukmin itu adalah cermin bagi saudaranya. Apabila dia melihat padanya suatu aib/cacat, maka dia pun berusaha untuk memperbaikinya." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sanadnya hasan oleh al-Albani. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 106)

[19] Keutamaan Akhlak Mulia

Dari Abud Darda' radhiyallahu'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan melebihi akhlak yang mulia." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 117-118)

[20] Hakikat Kekayaan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Bukanlah kekayaan itu diukur dengan banyaknya perbendaharaan harta. Akan tetapi hakikat kekayaan adalah jiwa yang merasa cukup." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam Takhrij al-Misykat. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 119-120)

[21] Sebab Yang Menjerumuskan Ke Dalam Neraka

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Tahukah kalian apa yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam neraka?". Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau mengatakan, "Yaitu dua buah lubang: kemaluan dan mulut. Dan apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surgaKetakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia." (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan al-Albani dalam Takhrij at-Targhib. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 123)

[22] Menghormati Yang Lebih Tua, Menyayangi Yang Lebih Muda

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang lebih muda di antara kami dan tidak mengerti hak orang yang lebih tua maka dia bukan termasuk golongan kami." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam Shahih at-Targhib. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 142)

[23] Bergaul dan Bersabar Menghadapi Gangguan Orang

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabarmenghadapi gangguan mereka lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 153-154)

[24] Menjaga Persatuan dan Persaudaraan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki, janganlah saling membelakangi. Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah, sebagai orang-orang yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam." (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam Ghayat al-Maram. LihatShahih al-Adab al-Mufrad, hal. 157)

Wallahu a'lam.

Artikel Muslim.Or.Id

Monday, October 29, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Prinsip Akidah Seorang Muslim

Posted: 28 Oct 2012 04:00 PM PDT

Para ulama sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati.

Para ulama mengatakan, Islam adalah:

الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله

"Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik."

Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid

Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).

Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

"Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At Taubah: 31).

Begitu pula Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5).

Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

"Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan.

Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan

Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.

Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik

Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.

Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim 'alaihis salam  di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau[1] berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah." (QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.

كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

"Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS. Al Mumtahanah: 4).

Dalam ayat lain disebutkan pula,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (QS. Al Mujadilah: 22).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. At Taubah: 23).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia." (QS. Al Mumtahanah: 1).

Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.

Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.

 

(*) Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin 'Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- dalam kitab "Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam", terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.

 

@ Sakan Thullab Mabna 27 King Saud University, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id



[1] Ada yang mengatakan yang bersama beliau yang sama-sama berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya adalah para nabi. Sebagian lainnya maknakan orang beriman. Demikian dua pendapat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir.

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Ayo Belajar Bersuci

Posted: 29 Oct 2012 03:51 AM PDT

RESENSI BUKU ISLAMI
JUDUL BUKU : Ayo Belajar Bersuci
PENULIS : Nizar Sa'ad Jabal Lc.M,Pd
TEBAL BUKU : 64 hlm; 15,5 x 21 cm
PENERBIT : PERISAI QURAN

Buku “Ayo Belajar Bersuci” merupakan seri kedua dari seri pertama yang berjudul “Do’a-do’a Pilihan, Do’a dan Adab”
Buku ini cocok untuk mendampingi putra-putri kita yang sedang belajar menjadi anak yang shalih dan shalihah terutama belajar bagaimana cara-cara bersuci.

Buku ini berisikan berbagai permasalah yang berkaitan dengan bersuci (thaharah), yaitu:
• Jenis-jenis air suci,
• Macam-macan najis,
• Adab buang hajat,
• Wudhu,
• Tayammum
• dan pembatal-pembatalnya

Kelebihan dari buku ini selain disajikan dengan ilustrasi yang menarik dan kertas yang full color, juga di sajikan kepada anak muslim dengan menggunakan beberapa penedekatan, diantaranya adalah:

1. Setiap pembahasan materi pada buku ini dikuatkan dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang disebutkan pada catatan kaki.
2. Disajikan dengan bahasa yang singkat, ringan dan padat sehingga cepat dipahami dan dimengerti oleh anak-anak
3. Pada setiap pembahasan disertai dengan ilustrasi menarik yang sesuai dengannya dan berdasarkan aturan islam, sehingga sesuai dengan pola belajar anak-anak yang menyukai visual.

Demikianlah secara ringkas isi dari buku ini, Insya Allah dengan membaca buku ini anak-anak akan lebih mudah dalam mempelajari cara-cara bersuci yang sesuai dengan Syariat Islam seperti yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Untuk bisa mendapatkan buku ini anda bisa membelinya di toko-toko terdekat dengan harga Rp. 23.000,-.
Untuk Informasi lebih lanjut anda bisa menghubungi nomor telpon di (021) 859 16646 atau Email di: perisaiquran@gmail.com

Dan bagi anda yang berada di Kota Cirebon dan sekitarnya, anda bisa dapatkan buku ini di Gozali Agency dengan alamat di Jl Kalitanjung No. 52B Cirebon.

Ayo belajar bersuci

Silahkan dengankan langsung / download audio resensi dibawah ini:

Sunday, October 28, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Amalan Haji pada Hari Tasyriq

Posted: 28 Oct 2012 05:39 AM PDT

Ada dua amalan penting yang dilakukan Jama'ah Haji di hari-hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) yaitu mabit di Mina dan lempar tiga jumrah yaitu 'Ula, Wustho dan 'Aqobah. Kedua amalan tersebut termasuk wajib haji. Mari kita lihat sekilas mengenai kedua amalan tersebut.

Mabit di Mina pada Hari Tasyriq

Bermalam di Mina adalah wajib pada hari-hari tasyriq. Demikian pendapat jumhur (baca: mayoritas) ulama. Yang disebut mabit atau bermalam berarti tinggal di Mina minimal separuh malam atau lebih.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari-hari tersebut terus berada di Mina. Beliau terus berada di Mina sampai thowaf Wada' ditunaikan. Jadi beliau tetap di Mina siang dan malam.

Kemudian shalat lima waktu yang dikerjakan oleh jama'ah haji di Mina tanpa dijamak, masing-masing shalat dikerjakan di waktunya, hanya cukup diqoshor saja (shalat empat raka'at menjadi dua raka'at). Karena demikianlah yang dilakukan oleh Nabishallallahu 'alaihi wa sallam. Dan jika ia melakukannya secara jamak juga boleh akan tetapi hal itu menyelisihi yang Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- lakukan.

Lempar Tiga Jumrah pada Hari Tasyriq

Pada hari tasyriq, ada tiga jumrah yang dilempar. Waktu lempar jumrah pada hari tasyriq adalah setelah zawal (matahari tergelincir ke barat) hingga tenggelamnya matahari. Demikian yang disepakati oleh para ulama. Namun jika dilakukan pada malam hari, maka tetap sah.

Sedangkan bagaimana jika melempar sebelum zawal, apakah dibolehkan? Boleh jika ada hajat. Namun afdholnya tetap ba'da zawal karena hal ini disepakati oleh para ulama.

Lempar jumrah yang dilakukan sama seperti hari sebelumnya ketika melempar jumrah 'Aqobah dengan tujuh batu untuk tujuh kali lemparan dan setiap kali melempar disunnahkan mengucapkan takbir (Allahu akbar). Sah-sah saja menggunakan batu bekas melempar. Dan sah-sah saja mengambil batu dari tempat mana saja, tidak mesti dari Muzdalifah. Batu-batu tersebut juga tidak mesti dicuci terlebih dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.

Sebagian orang awam menganggap bahwa tiang lempar jumrah adalah setan atau tempat setan. Anggapan ini tidaklah ada landasannya. Semua ini dilakukan dalam rangka ibadah dan dzikir pada Allah. Dari 'Aisyah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

"Sesungguhnya thawaf di Ka'bah, melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah)" (HR. Abu Daud no. 1888, Tirmidzi no. 902 dan Ahmad 6: 46. At Tirmidzi mengatakan hadits inihasan shahih. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho'if)

Urutan lempar jumrah yang dilakukan pada hari tasyriq adalah mulai dari jumrah Ula, lalu jumrah Wustho, lalu jumrah 'Aqobah.

Yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan, beliau melempar jumrah Ula dan menjadikannya di sisi kiri sambil beliau menghadap kiblat. Kemudian setelah itu beliau maju sedikit lalu menghadap kiblat kemudian berdo'a yang lama dengan mengangkat tangan.

Lalu beliau beralih ke jumrah Wustho dan menjadikannya di sisi kanan dan beliau menghadap kiblat lalu melempar. Kemudian beliau maju ke sisi kirinya dan berdo'a dengan do'a yang panjang sambil mengangkat tangan.

Kemudian setelah itu melempar jumrah 'Aqobah dan Mina dijadikan di sebelah kanan sedangkan Masjidil Haram di sisi kiri, lalu melempar. Dan setelah itu tidak disunnahkan untuk berdo'a.

lempar_tiga_jumrah

Nafr Awwal Sebelum Matahari Tenggelam

Boleh bersegar keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada hari tasyriq kedua (tanggal 12 Dzulhijjah). Berarti gugur dari mabit pada malam ketiga dari hari tasyriq dan gugur pula melempar jumrah pada hari tersebut. Hal ini berdasarkan ayat,

فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى

"Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa." (QS. Al Baqarah: 203).

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

 

Referensi:

Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H, hal.183-190.

 

@ Sakan 27 Jami'ah Malik Su'ud, Riyadh, KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H

artikel www.rumaysho.com

 

di publish ulang oleh www.muslim.or.id

Saturday, October 27, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Alasan Mengapa Nabi Muhammad Mempunyai Kedudukan Yang Tinggi

Posted: 26 Oct 2012 04:00 PM PDT

Salah satu jawabannya adalah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  adalah yang paling berat ujiannya dan yang paling sabar.

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Dari Mus'ab dari Sa'ad dari bapaknya berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?" Kata beliau: "Para Nabi, kemudian yang semisal mereka dan yang semisal mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai dosa." (HR. At-Tirmidzi no.2398, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

Mari kita tinjau ujian dan kesabaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mungkin kita tidak membandingkannya dulu  dengan manusia biasa seperti ulama dan orang sholih atau para sahabat radhiallahu 'anhum tetapi kita bandingkan dengan sesama para nabi 'alaihimussalam . Sehingga beliau mendapatkan kedudukan lebih diatas para nabi yang lain.

Pertama: Ketika Nabi Sulaiman 'alaihis salam berdoa dan memohon meminta diberi kerajaan:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

"Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi." (QS. Shad: 38)

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  memilih hidup sederhana sebagai hamba ketika ditawarkan kerajaan, hal ini agar menjadi contoh bagi semesta alam bahwa beliau tidak punya urusan yang banyak di dunia.

كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ، أَنَّ اللهَ أَرْسَلَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ الْمَلَكِ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ جَلَّ يُخَيِّرُكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ نَبِيًّا عَبْدًا، أَوْ نَبِيًّا مَلِكًا، فَالْتَفَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَالْمُسْتَشِيرِ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ تَوَاضَعْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَلْ نَبِيًّا عَبْدًا»

"Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menceritakan bahwa Allah pernah mengutus salah satu malaikat  bersama malaikat  Jibril 'alaihissalam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. kemudian malaikat  tersebut berkata, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa jalla memberikan pilihan bagimu (Muhammad), apakah engkau mau menjadi sebagai seorang hamba dan Nabi, ataukah engkau mau menjadi sebagai seorang nabi dan raja?". Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menoleh kepada Jibril seolah-olah meminta pendapat beliau, maka Jibril memberi isyarat kepada Nabi agar beliau  tawadhu. Kemudian rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku ingin menjadi sebagai seorang nabi dan hamba". (Mu'jam Kabir litthabrani no.10686, tahqiq Hamdi bin Abdul majid As-Salafi, Mu'jam Al-Aushoth no. 6937 dan Az-Zuhdi Al-Kabir lilbaihaqi no. 447)

Kedua: Ketika Nabi Nuh 'alaihis salam berdakwah kepada kaumnya dan tidak ada yang mau beriman kecuali sedikit sekali, maka nabi Nuh'alaihissalam berdoa agar semua orang kafir tersebut dimusnahkan seluruhnya dari muka bumi dengan banjir besar:

وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراًْ وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراً

Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir.' (QS. Nuh: 26-27)

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah ke Thoif sekaligus meminta perlindungan. Kemudian mereka menolak bahkan mengejek dan mencaci maki Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengusir melempar dengan batu sampai tubuh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Akan tetapi  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam malahan mendoakan mereka,

أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

"Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun" (HR. Bukhari no. 3231)

Begitu juga ketika Nabi Yunus 'alaihis salam berdakwah kepada kaumnya dan kemudian menolaknya, maka beliau terlalu cepat meninggalkan kaumnya dan akhirnya beliau masuk ke perut ikan.

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُن كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌْ لَوْلَا أَن تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاء وَهُوَ مَذْمُومٌْ فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

"Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdo’a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh". (QS. Al Qolam: 48-50)

Ketiga: Ketika nabi Ayyub alaihissalam menghadapi nusyuz [ketidakpatuhan] istrinya, maka beliau bersumpah akan memukulnya 100 kali, kemudian Allah Ta'ala dalam Al-Quran memberikan jalan keluar agar beliau tidak membatalkan sumpah dan tidak juga menyakiti istrinya.

وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثاً فَاضْرِب بِّهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

"Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhan-nya) ." (QS. Shaad: 44)

Ketika semua istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam nusyuz [tidak patuh], maka beliau tidak langsung marah, langsung main pukul ataupun langsung mengancam cerai. Tetapi beliau menjauhi semua istrinya selama sebulan. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengalah dengan tinggal dikandang unta atau di riwayat lain di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah tidak dengan mengusir mereka dari rumah beliau.

اِعْتَزَلَ نِسَاءَهُ شَهْرًا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan." (HR. Muslim II/763 no 1084 dari Jabir bin Abdillah)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjauhi sebulan agar para istri tersebut bisa berpikir jernih tentang apa akibat yang mereka perbuat. Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan ayat,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاًْ وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْراً عَظِيماً

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar." (QS. Al Ahzab: 28)

Keempat: Ketika nabi Musa 'alaihis salam pulang dari bukit Thursina dan mendapati kaumnya membuat sesembahan sapi betina. Sedangkan saat itu Nabi Harun 'alaihissalam yang merupakan teman seperjuangan nabi Musa bersama mereka. Maka Nabi Musa langsung marah  (karena Allah) kepada Nabi Harun 'alaihissalam, kemudian melempar kitab suci Taurat dan menarik Nabi Harun 'alaihissalam, baru kemudian nabi Harun 'alaihissalam menyampaikan udzur/alasan, Al-Quran menceritakan,

قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا * أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي * قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

"Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”. Harun menjawab: “Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku” (QS. Thaha : 92-94).

Dan di surat yang lain,

وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفاً قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن بَعْدِيَ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الألْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُواْ يَقْتُلُونَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأعْدَاء وَلاَ تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

"Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu ? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”. (QS. Al A'raf: 150)

Maka ketika salah seorang teman seperjuangan beliau (sahabat) melakukan pembocoran rahasia penyerangan ke Mekkah kepada orang kafir di Mekkah.  Ini adalah pengkhianatan besar, akan tetapi Beliau memaafkannya karena sahabat tersebut punya 'uzdur/alasan. Sahabat tersebut adalah Hatib bin Balta'ah radhiallahu 'anhu.

Ketika Umar bin Al Khattab radhiallahu 'anhu menawarkan diri,

"Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik."

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam dengan bijak menjawab,

"Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni."

Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, "Allah dan rasulNya lebih mengetahui."

Kisah adalah Hatib bin Balta'ah radhiallahu 'anhu diabadikan dalam Al-Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah…." (QS. Al  Mumtahanah: 1]

Demikianlah perbandingan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam dengan para Nabi yang lain. Perlu diingat, ini bukan berarti nabi yang lain tidak sabar dan tidak berat ujiannya. Lihatlah bagaimana kisah cobaan berat nabi Ayyub 'alaihissalam, kisah perjuangan berat dan panjang nabi Musa 'alaihis salam melawan Fir'aun dan kerasnya hati bani Israil, kisah kesabaran nabi Sulaiman yang tidak menggunakan kerajaannya untuk berlaku zhalim dan foya-foya.

Setelah mengetahui perbandingan  ini perlukah kita membandingkan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam dengan sahabat, para ulama dan orang-orang shalih? Atau membandingkan dengan ujian dan cobaan serta kesabaran kita yang sedikit saja terkena ujian langsung berkeluh kesah?

 

Kemudian bentuk ujian dan cobaan lebih berat Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam yang lain:

- Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam jika demam, maka jika sakit, beratnya dua kali lipat:

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu dia berkata: Aku pernah menjenguk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa sakit yang parah. Maka aku berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ قَالَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ» قُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ قَالَ: «أَجَلْ، ذَلِكَ كَذَلِك

"Sepertinya anda sedang merasakan rasa sakit yang amat berat", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "iya benar, aku sakit sebagimana rasa sakit dua orang kalian [dua kali lipat]", aku berkata, "oleh karena itukah anda mendapatkan pahala dua kali lipat." Beliau menjawab, "Benar, karena hal itu". (HR. Al-Bukhari no. 5648 dan Muslim no. 2571)

- Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam harus menanggung sembilan istri. Lho bukannya enak istri banyak? Silahkan tanya kepada meraka yang mempunyai hanya dua istri, bagaimana repot dan susahnya mengurus mereka dengan penuh keadilan dan tanggung jawab. Bagaimana membagi waktu, membagi perasaan. Terkadang bagi yang punya satu istri saja terkadang kelabakan mengurus dan mendidik satu istri terutama ketika "bengkoknya" datang atau sedang sensitif karena haidh.

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam ikhlas menjalankan takdirnya, menikah pertama kali dengan janda sebagai suami ketiga, dan beberapa istrinya telah bersuami dua kali sebelumnya. Mampukah kita demikian?,melawan rasa cemburu dengan suami-suami sebelumnya? Dan sebagian istri beliau ketika menikah berumur di atas 40 tahun. Mampukah kita demikian, maukah kita menikah dengan wanita berumur (atau sekarang disebut –maaf- "tante-tante").

Dan para istri Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam semuanya ridha dengan beliau. Malahan yang ada adalah banyak cerita bahwa istri-istri beliau yang menyusahkan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam . dan belau paling baik terhadap istri-istri beliau.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku." (HR. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan Al Albani menilai hadits tersebut shahih).

Dan komentar salah satu istri beliau, A'isyah radhiallahu 'anha berkata,

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

"Akhlak beliau adalah Al-Quran" [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54]

Jika demikian, bolehkah kita meminta ujian, agar derajat kita naik?

Jawabannya, tidak boleh, karena ketika kita tertimpa ujian, belum tentu kita mampu menghadapinya. Karena iman kita lemah. Sebagaimana kita dilarang berharap-harap bertemu musuh, yang bertemu musuh berupakan ujian.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، واسألوا الله الْعَافِيَةَ

"Jangan berharap bertemu musuh, dan memintalah afiah (kesehatan dan keselamatan) kepada Allah". (HR.Bukhari no. 7237)

Setelah mengetahui semua ini, janganlah kita langsung berkeluh kesah ketika mendapatkan ujian yang kecil, langsung putus asa dan berprasangka negatif kepada Allah. Mari kita membaca buku-buku dan artikel tentang ujian dan kesabaran. Jangan harap kita masuk surga tanpa ada ujian.

Allah Ta'ala berfirman,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَْ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." [Al-Ankabut: 2-3]

Kemudian sebagai penutup, inilah gambaran cobaan para nabi dan orang shalih sebelum kita, bantuan baru datang ketika dada-dada mereka hampir sesak dan sangat lama menanti.

Allah Ta'ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

 

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu ustadz favorit  penulis yang telah berpulang: Ustadz Armen Halim Naro, Lc –rahimahullah-.

Semoga Allah mengampuninya , meluaskan kuburnya dan memasukkannya ke Surga Firdaus.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

7 Syawwal 1432 H

 

Penulis:  dr. Raehanul Bahraen

Editor: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Friday, October 26, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Secercah Cahaya di Tengah Gulita

Posted: 25 Oct 2012 04:00 PM PDT

Berjalan di bawah siraman cahaya hidayah merupakan nikmat yang sangat agung. Sebaliknya, tenggelam dalam kegelapan kesesatan merupakan bencana.

Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur'an dan cahaya iman. Yang keduanya telah dipadukan oleh Allah ta'ala di dalam firman-Nya (yang artinya), "Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki." (QS. asy-Syura: 52)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur'an dan iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya." (al-'Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS. al-An'aam: 122)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah-tengah orang banyak." (al-'Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)

Orang-orang yang beriman, mendapat anugerah bimbingan dari Allah untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir dan para penentang ayat-ayat-Nya serta orang-orang yang berpaling dari petunjuk Rabbnya, maka 'pembimbing' mereka adalah thoghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju gelap gulita.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan." (QS. al-Baqarah: 257)

Begitu pula orang-orang munafik, orang-orang yang sengaja meninggalkan kebenaran dan mencampakkannya, maka Allah ta'ala tidak segan-segan untuk membiarkan mereka berjalan di atas kegelapan yang mereka pilih atas kehendak hawa nafsunya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Perumpamaan mereka -orang munafik- seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali." (QS. al-Baqarah: 17-18)

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, "Ini adalah sifat orang-orang munafik. Dahulu mereka beriman sehingga iman itu menyinari hati mereka sebagaimana api yang menyinari orang-orang yang menyalakan api. Kemudian mereka justru kufur maka Allah pun menghilangkan cahaya yang menyinari mereka dan mencabutnya sebagaimana lenyapnya cahaya dari api tersebut sehingga Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan, tidak dapat melihat." (Tafsir al-Qur'an al-Azhim [1/67])

Semoga Allah melindungi kita dari fitnah dan kemunafikan, dari berpaling kepada kekafiran dan hanyut dalam kemaksiatan setelah Allah berikan kepada kita nikmat hidayah dan ketaatan.

Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Thursday, October 25, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Ketika Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jum’at

Posted: 24 Oct 2012 09:00 PM PDT

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah No. 2358

Pertanyaan: “Tahun ini terkumpul dua Id, hari Jum’at dan hari raya Idul Adha, manakah yang benar, apakah kita mengerjakan shalat Zuhur jika belum mengerjakan shalat Jumat atau shalat Zuhur jatuh jika belum shalat Jumat?”

Jawaban:

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum’at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam  dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia“. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)

Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).

Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.

Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum’at dan shalat ‘Ied dengan Surat Al ‘Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat ‘Ied dan shalat Jum’at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat (‘Ied dan Jum’at)“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (no. 4365), pent)

Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat ‘Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum’at.

Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat.

Komite Tetap untuk pembahasan Ilmiah dan fatwa untuk Kerajaan Arab Saudi
Ketua        :Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil        : Abdurrazzaq Afifi
Anggota    :Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan

Jumat, 03 Dzulhijjah 1433H, Dammam Arab Saudi

 

Baca juga artikel Muslim.Or.Id: Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Artikel Muslim.Or.Id

Berbahagia di Hari Raya

Posted: 24 Oct 2012 04:15 PM PDT

Nilai hari raya dalam pandangan Islam bukanlah semata-mata rutinitas tahunan biasa. Hari raya menjadi sangat berarti karena ia sejatinya berkaitan dengan ibadah-ibadah penting di dalam Islam. Hari raya idul fitri dirayakan setelah kaum muslimin menunaikan ibadah shaum selama satu bulan penuh, rukun Islam keempat. Dan hari raya idul adha, dirayakan kaum muslimin bersamaan dengan ibadah haji yang tengah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin yang telah mampu melaksanakannya, rukun Islam yang kelima.

Ibnul A'rabi, sebagaimana dalam Al Lisan, berkata, "Hari 'ied Disebut 'ied karena ia senantiasa kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru." (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, hal. 309)

Oleh karena itu, hari raya seharusnya dimaknai oleh kaum muslimin sebagai bentuk suka cita karena keutamaan dan karunia Allah, sublimasi dari kebahagiaan karena taat dan ibadah, rasa syukur yang seutuhnya karena takwa dan amal shaleh. Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah Allah 'azza wa jalla dalam Al Qur`an:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

"Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus [10]: 58)

Tampakkan Kebahagiaan Itu

Valid dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ketika beliau datang ke kota Madinah, penduduknya biasa merayakan dua hari raya yang mereka isi dengan bermain pada masa jahiliyyah. Beliau pun bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari dua hari raya itu; idul fithri dan idul adha." (HR Ahmad no: 12006 dan yang lainnya)

Dalam kitab al Badru al Tamam dikatakan, "Pada hadis tersebut terdapat isyarat yang menunjukkan dianjurkannya berbahagia, menampakkan kesemangatan pada dua hari raya." (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/ 409)

Di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dua orang budak wanita bernyanyi menyenandungkan syair-syair hari Bu`ats pada hari raya `ied. Abu Bakar pun marah dan mengingkari perbuatan dua budak wanita tersebut. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda, "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita." (HR Bukhari no: 939, 952 dan Muslim no: 892)

"Dalam hadis tersebut terdapat dalil anjuran menampakkan kebahagiaan dan sebab-sebab yang mendatangkannya pada hari raya." (Ikmaal al Mu'lim 3/307, dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/410)

Ibnu Hajar al 'Asqalany berkata, "Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa menampakkan kebahagiaan pada hari raya termasuk syi'ar agama." (Fathul Baary 2/443 dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/410)

Al Khaththaby berkata, "Dikatakan, dalam hadis tersebut terdapat dalil bahwa hari raya diperuntukkan untuk bersenang-senang, mengistirahatkan jiwa, makan, minum dan jima. Tidakkah anda lihat bahwasannya dibolehkan nyanyian karena alasan hari raya." (Umdah al Qary: 6/274 dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/410)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ketika para pemuda bermain di masjid pada hari raya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita juga ada waktu bersenang-senang, sesungguhnya aku diutus dengan agama yang hanif" (HR Ahmad no: 24855 dengan sanad hasan)

Kegiatan Sosial di Hari Raya

Bukti lain bahwa hari raya adalah hari kebahagiaan kaum muslimin adalah, pada setiap hari raya itu disyariatkan amal ibadah yang mengandung nilai sosial, disamping nilai ketaatan dan ketundukan kepada Allah sebagai tujuan utamanya. Tujuannya adalah, agar secara merata seluruh kaum muslimin dapat merasakan kebahagiaan, termasuk orang-orang yang tidak berkecukupan. Pada hari raya `iedul fithri disyariatkan zakat fithri, mengeluarkan harta dalam bentuk makanan kepada fakir miskin dengan ukuran yang telah ditentukan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang hikmah syariat zakat tersebut,

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Zakat fithri (berfungsi) untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan buruk, dan untuk memberi makan kepada fakir miskin." (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam al Irwa no: 843)

Pada hari raya idul Adha disyariatkan menyembelih hewan kurban dan hadyu bagi yang sedang berhaji. Syariat ini juga mengandung nilai sosial karena sebagian daging dari hewan sembelihan itu diperintahkan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Allah berfirman:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

"Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (QS. Al Hajj [22]: 28)

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Kemudian apabila Telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami Telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur." (QS. Al Hajj [22]: 36)

Bersenang-senang Bukan dengan Cara Bermaksiat

Walaupun pada hari raya dianjurkan untuk menampakkan kebahagiaan dan bersenang-senang, bukan berarti kemudian pada hari raya kaum muslimin bebas melakukan perbuatan apa saja. Bersenang-senang dan mengungkapkan kebahagiaan pada hari raya tetap harus berada pada koridor yang dibenarkan, bukan dengan perbuatan dan aktifitas maksiat.

Bermaksiat pada hari raya sama dengan menodai nilai hari raya itu sendiri. Karena sebagaimana yang telah lalu, bahwa kebahagiaan hari raya adalah kebahagiaan karena taat dan ibadah, karena besarnya karunia Allah atas kita dengan diberikannya kita kemampuan untuk menunaikan perintah-Nya.

Wallahu a'lam, Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Amin

Subang, Malam 9 Dzul Hijjah 1433 H/24 Agustus 2012

 —

Penulis: Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id