Sunday, September 30, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Sujud Sahwi (4): Lupa Melakukan Sujud Sahwi

Posted: 30 Sep 2012 04:00 PM PDT

Jika Lupa Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?

Mengenai masalah ini kita dapat bagi menjadi dua keadaan:

Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal.

Dalam keadaan seperti ini –menurut pendapat yang lebih kuat- selama wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi masih tetap teranggap dan ia melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari Imam Asy Syafi'i, Yahya bin Sa'id Al Anshori, Al Laits, Al Auza'i, Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1].[2]

Di antara alasan pendapat di atas adalah:

Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah dalam lupa sehingga hanya mengerjakan dua atau tiga raka'at, setelah itu malah beliau ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari masjid, terus masuk ke dalam rumah. Lalu setelah itu ada yang mengingatkan. Lantas beliau pun mengerjakan raka'at yang kurang tadi. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam waktu yang lama. Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.

Kedua: Orang yang lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan untuk menyempurnakan shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama waktunya, sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

"Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka kafarohnya (penebusnya) adalah hendaklah ia shalat ketika ia ingat." (HR. Muslim no. 684)

Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.

Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya batal hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti harus mengulangi shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka'at, maka  ia boleh melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [3]

Jika Lupa Berulang Kali dalam Shalat

Jika seseorang lupa berulang kali dalam shalat, apakah ia harus berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya, hal ini tidak diperlukan.

Ulama Syafi'iyah, 'Abdul Karim Ar Rofi'i rahimahullah mengatakan, "Jika lupa berulang kali dalam shalat, maka cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat."[4]

Sujud Sahwi Ketika Shalat Sunnah

Sujud sahwi ketika shalat sunnah sama halnya dengan shalat wajib, yaitu sama-sama disyari'atkan. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak membatasi pada shalat wajib saja.

Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, "Sebagaimana dikatakan dalam hadits 'Abdurrahman bin 'Auf,

إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ

"Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya." Hadits ini menunjukkan bahwa sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat sunnah sebagaimana disyariatkan dalam shalat wajib (karena lafazh dalam hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama yang dulu dan sekarang. Karena untuk menambal kekurangan dalam shalat dan untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah sebagaimana terdapat dalam shalat wajib."[5]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id


[1] Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkhususkan jika memang sujud sahwinya terletak sesudah salam, inilah yang beliau bolehkan. Lihat Majmu' Al Fatawa, 23/32.

[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.

[4] Fathul 'Aziz Syarh Al Wajiz, Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar Rofi'i, 4/172, Darul Fikr

[5] Nailul Author, Muhammad bin 'Ali Asy Syaukani, 3/144, Idarotuth Thoba'ah Al Muniirah.

Pelajaran Dasar Agama Islam

Posted: 29 Sep 2012 10:00 PM PDT

Aqidah

Akhlak

Manhaj

Al Qur’an

Fiqih dan Muamalah

 

Saturday, September 29, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Sujud Sahwi (3): Tata Cara Sujud Sahwi

Posted: 29 Sep 2012 04:00 PM PDT

Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?

Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.  Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib, pen)."[1]

Intinya, jika shalatnya perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.

Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi  sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.

  1. Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam, berarti ia sudah selesai dari shalat.
  2. Jika terdapat kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka'aat-, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi ketika itu untuk menghinakan setan.
  3. Jika seseorang terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka'at, maka hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka'at tadi. Pada saat ini, sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan setan.
  4. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi sesudah salam untuk menghinakan setan.
  5. Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka'at. Jika ternyata shalatnya benar lima raka'at, maka tambahan sujud tadi untuk menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam raka'at, bukan lima raka'at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.

Tata Cara Sujud Sahwi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir "Allahu akbar", begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk bertakbir.

Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits 'Abdullah bin Buhainah,

فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

"Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam." (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

"Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit." (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits 'Imron bin Hushain,

فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

"Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka'at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi." (HR. Muslim no. 574)

Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?

Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom, cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai sujud sahwi yang telah lewat.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, "Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup dengan takbir untuk sujud? Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai dalil."[2]

Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?

Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan hal ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya, dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.

Jadi cukup ketika melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud. Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Tidak ada dalil sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan, maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam, takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi. Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud."[3]

Do'a Ketika Sujud Sahwi

Sebagian ulama menganjurkan do'a ini ketika sujud sahwi,

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

"Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw" (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]

Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو – أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ – قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .

"Perkataan beliau, "Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan tentang dianjurkannya bacaan: "Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw" ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, "Aku tidak mendapatkan asalnya sama sekali."[5]

Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan seperti,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

"Subhaana robbiyal a'laa" [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][6]

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

"Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy." [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][7]

Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi'iyah- disebutkan, "Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma'ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[8] ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk[9] ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat."

Sebagaimana pula diterangkan dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya, "Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?"

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, "Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana sujud dalam shalat. Dzikir dan do'a yang dibaca ketika itu adalah seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud sahwinya terdapat kekurangan satu raka'at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam."[10]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id



[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul 'Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma'rifah, 1379.

[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu' Al Fatawa, 23/49.

[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi' Al Waroq.

[5] At Talkhis Al Habiir, Ibnu Hajar Al Asqolani, 2/6, Al Madinah Al Munawwaroh, 1384.

[6] HR. Muslim no. 772

[7] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484

[8] Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal, yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.

[9] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.

[10] Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh 'Abdur Rozaq 'Afifi sebagai wakil ketua; dan Syaikh 'Abdullah bin Qu'ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta' soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.

Sujud Sahwi (2): Sebab Adanya Sujud Sahwi

Posted: 29 Sep 2012 03:00 AM PDT

Sebab Adanya Sujud Sahwi

Pertama: Karena adanya kekurangan.

Rincian 1: Meninggalkan rukun shalat[1] seperti lupa ruku' dan sujud.

  1. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya sebelum memulai membaca Al Fatihah pada raka'at berikutnya, maka hendaklah ia mengulangi rukun yang ia tinggalkan tadi, dilanjutkan melakukan rukun yang setelahnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  2. Jika meninggalkan rukun shalat dalam keadaan lupa, kemudian ia mengingatnya setelah memulai membaca Al Fatihah pada raka'at berikutnya, maka raka'at sebelumnya yang terdapat kekurangan rukun tadi jadi batal. Ketika itu, ia membatalkan raka'at yang terdapat kekurangan rukunnya tadi dan ia kembali menyempurnakan shalatnya. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
  3. Jika lupa melakukan melakukan satu raka'at atau lebih (misalnya baru melakukan dua raka'at shalat Zhuhur, namun sudah salam ketika itu), maka hendaklah ia tambah kekurangan raka'at ketika ia ingat. Kemudian hendaklah ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.[2]

Rincian 2: Meninggalkan wajib shalat[3] seperti tasyahud awwal.

  1. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mampu untuk kembali melakukannya dan ia belum beranjak dari tempatnya, maka hendaklah ia melakukan wajib shalat tersebut. Pada saat ini tidak ada kewajiban sujud sahwi.
  2. Jika meninggalkan wajib shalat, lalu mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya, namun belum sampai pada rukun selanjutnya, maka hendaklah ia kembali melakukan wajib shalat tadi. Pada saat ini juga tidak ada sujud sahwi.
  3. Jika ia meninggalkan wajib shalat, ia mengingatnya setelah beranjak dari tempatnya dan setelah sampai pada rukun sesudahnya, maka ia tidak perlu kembali melakukan wajib shalat tadi, ia terus melanjutkan shalatnya. Pada saat ini, ia tutup kekurangan tadi dengan sujud sahwi.

Keadaan tentang wajib shalat ini diterangkan dalam hadits Al Mughirah bin Syu'bah. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ

"Jika salah seorang dari kalian berdiri dari raka'at kedua (lupa tasyahud awwal) dan belum tegak berdirinya, maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak, maka janganlah ia duduk (kembali). Namun hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud." (HR. Ibnu Majah no. 1208 dan Ahmad 4/253)

Rincian 3: Meninggalkan sunnah shalat[4].

Dalam keadaan semacam ini tidak perlu sujud sahwi, karena perkara sunnah tidak mengapa ditinggalkan.

Kedua: Karena adanya penambahan.

  1. Jika seseorang lupa sehingga menambah satu raka'at atau lebih, lalu ia mengingatnya di tengah-tengah tambahan raka'at tadi, hendaklah ia langsung duduk, lalu tasyahud akhir, kemudian salam. Kemudian setelah itu, ia melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ingat adanya tambahan raka'at setelah selesai salam (setelah shalat selesai),  maka ia sujud ketika ia ingat, kemudian ia salam.

Pembahasan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas'ud,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Zhuhur lima raka'at. Lalu ada menanyakan kepada beliau, "Apakah engkau menambah dalam shalat?" Beliau pun menjawab, "Memangnya apa yang terjadi?" Orang tadi berkata, "Engkau shalat lima raka'at." Setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sujud dua kali setelah ia salam tadi." (HR. Bukhari no. 1226 dan Muslim no. 572)

Ketiga:  Karena adanya keraguan.

  1. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka'at-, kemudian ia mengingat dan bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia anggap yakin. Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sesudah salam.
  2. Jika ia ragu-ragu –semisal ragu telah shalat tiga atau empat raka'at-, dan saat itu ia tidak bisa menguatkan di antara keragu-raguan tadi, maka ia pilih yang ia yakin (yaitu yang paling sedikit). Kemudian ia nantinya akan melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Mengenai permasalahan ini sudah dibahas pada hadits Abu Sa'id Al Khudri yang telah lewat. Juga terdapat dalam hadits 'Abdurahman bin 'Auf, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلاَثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلاَثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

"Jika salah seorang dari kalian merasa ragu dalam shalatnya hingga tidak tahu satu rakaat atau dua rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaknya ia hitung satu rakaat. Jika tidak tahu dua atau tiga rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung dua rakaat. Dan jika tidak tahu tiga atau empat rakaat yang telah ia kerjakan, maka hendaklah ia hitung tiga rakaat. Setelah itu sujud dua kali sebelum salam." (HR. Tirmidzi no. 398 dan Ibnu Majah no. 1209. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1356)

Yang perlu diperhatikan: Seseorang tidak perlu memperhatikan keragu-raguan dalam ibadah pada tiga keadaan:

  1. Jika hanya sekedar was-was yang tidak ada hakikatnya.
  2. Jika seseorang melakukan suatu ibadah selalu dilingkupi keragu-raguan, maka pada saat ini keragu-raguannya tidak perlu ia perhatikan.
  3. Jika keraguan-raguannya setelah selesai ibadah, maka tidak perlu diperhatikan selama itu bukan sesuatu yang yakin.

Demikian serial pertama mengenai sujud sahwi dari rumaysho.com. Adapun mengenai tatacara sujud sahwi, bacaan di dalamnya dan permasalahan-permasalahn seputar sujud sahwi, akan kami bahas pada kesempatan selanjutnya insya Allah. Semoga Allah mudahkan.

 

-bersambung insya Allah-

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id



[1] Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar'i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,

-          Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

-          Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka'at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.

-          Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/313-314)

[2] Keadaan semacam ini sudah dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah tentang Dzul Yadain yang telah lewat.

[3] Yang dimaksud wajib shalat adalah perkataan atau perbuatan yang diwajibkan dalam shalat. Jika wajib shalat ini lupa dikerjakan, bisa ditutup dengan sujud sahwi. Namun jika wajib shalat ini ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya batal jika memang diketahui wajibnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/328)

[4] Yang dimaksud sunnah shalat adalah perkataan atau perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan dalam shalat dan yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Jika sunnah shalat ini ditinggalkan tidak membatalkan shalat walaupun dengan sengaja ditinggalkan dan ketika itu pun tidak diharuskan sujud sahwi. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/336)

Sujud Sahwi (1): Hukum Sujud Sahwi

Posted: 28 Sep 2012 09:00 PM PDT

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Saat ini kita akan membahas pembahasan menarik mengenai sujud sahwi, sujud karena lupa. Kami akan sajikan dengan sederhana supaya lebih memahamkan pembaca sekalian. Semoga bermanfaat.

Definisi Sujud Sahwi

Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai.[1] Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja.[2]

Pensyariatan Sujud Sahwi

Para ulama madzhab sepakat mengenai disyariatkannya sujud sahwi. Di antara dalil yang menunjukkan pensyariatannya adalah hadits-hadits berikut ini. Hadits-hadits ini pun nantinya akan dijadikan landasan dalam pembahasan sujud sahwi selanjutnya.

Pertama: Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

"Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, "Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk." (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)

Kedua:  Hadits Abu Sa'id Al Khudri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

"Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan." (HR. Muslim no. 571)

Ketiga: Hadits Abu Hurairah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur atau Ashar. Namun pada raka'at kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, "Shalat telah diqoshor (dipendekkan)." Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, "Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?" Jawab mereka, "Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat." Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit." (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Keempat: Hadits 'Imron bin Hushain.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِى ثَلاَثِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ دَخَلَ مَنْزِلَهُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْخِرْبَاقُ وَكَانَ فِى يَدَيْهِ طُولٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَكَرَ لَهُ صَنِيعَهُ. وَخَرَجَ غَضْبَانَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَصَدَقَ هَذَا ». قَالُوا نَعَمْ. فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat 'Ashar lalu beliau salam pada raka'at ketiga. Setelah itu beliau memasuki rumahnya. Lalu seorang laki-laki yang bernama al-Khirbaq (yang tangannya panjang) menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seraya, "Wahai Rasulullah!" Lalu ia menyebutkan sesuatu yang dikerjakan oleh beliau tadi. Akhirnya, beliau keluar dalam keadaan marah sambil menyeret rida'nya (pakaian bagian atas) hingga berhenti pada orang-orang seraya bertanya, "Apakah benar yang dikatakan orang ini?" Mereka menjawab, "Ya benar". Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka'at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi." (HR. Muslim no. 574)

Kelima: Hadits 'Abdullah bin Buhainah.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat Zhuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal)." (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Keenam: Hadits 'Abdullah bin Mas'ud.

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَمْسًا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَزِيدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا صَلَّيْتَ خَمْسًا. قَالَ « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَذْكُرُ كَمَا تَذْكُرُونَ وَأَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ». ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَىِ السَّهْوِ.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lima raka'at. Kami pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menambah dalam shalat?" Lalu beliau pun mengatakan, "Memang ada apa tadi?" Para sahabat pun menjawab, "Engkau telah mengerjakan shalat lima raka'at." Lantas beliau bersabda, "Sesungguhnya aku hanyalah manusia semisal kalian. Aku bisa memiliki ingatan yang baik sebagaimana kalian. Begitu pula aku bisa lupa sebagaimana kalian pun demikian." Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud sahwi." (HR. Muslim no. 572)

Lalu apa hukum sujud sahwi?

Mengenai hukum sujud sahwi para ulama berselisih menjadi dua pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan sunnah. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini dan lebih menentramkan hati adalah pendapat yang menyatakan wajib. Hal ini disebabkan dua alasan:

  1. Dalam hadits yang menjelaskan sujud sahwi seringkali menggunakan kata perintah. Sedangkan kata perintah hukum asalnya adalah wajib.
  2. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukan sujud sahwi –ketika ada sebabnya- dan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa beliau pernah meninggalkannya.

Pendapat yang menyatakan wajib semacam ini dipilih oleh ulama Hanafiyah, salah satu pendapat dari Malikiyah, pendapat yang jadi sandaran dalam madzhab Hambali, ulama Zhohiriyah dan dipilih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[3]

-bersambung insya Allah-

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id



[1] Lisanul 'Arob, Muhammad bin Makrom binn Manzhur Al Afriqi Al Mishri, 14/406, Dar Shodir.

[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/459, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/ 463.

Wednesday, September 26, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Haji Mabrur (2): Sekali Ucapan Talbiyah, Janjinya Surga

Posted: 26 Sep 2012 04:00 PM PDT

Tulisan ini menyebutkan tentang beberapa kedudukan dan keutamaan Ibadah haji yang sangat luar biasa, sebelumnya mari kita pahami dulu pengertian haji dan umrah, sehingga benar-benar jelas maksud dari kedua ibadah tersebut. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Pengertian Haji

Arti haji secara bahasa adalah menuju kepada sesuatu yang diagungkan.Lihat kitab An Nihayah fi Gharib Al Atsar, karya Ibnu Al Atsir, 1/340.

Sedang secara istilah syari'at pengertian haji adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan rangkaian ibadah haji berdasarkan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.Lihat kitab Asy Syarah Al Mumti', karya Ibnu Utsaimin, 7/7.

Ada pula yang mengartikan, haji adalah menuju ke Baitullah dalam keadaan yang khusus, pada waktu yang khusus dengan syarat-syarat yang khusus. Lihat kitab At Ta'rifat, karya Al Jurjani, hal. 115.

Pengertian Umrah

Arti umrah secara bahasa adalah kunjungan.Lihat kitab Mufradhat Al Fazh Al Quran, karya Al Ashfahany, hal. 596.

Sedang secara istilah syari’at arti umrah adalah beribadah kepada Allah Ta’ala dengan mengunjungi/ menziarahi Ka’bah dalam keadaan berihram lalu mengerjakan thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, mencukur atau menggundul rambut kepala kemudian bertahallul. Lihat kitab Manasik Al Hajj Wa Al Umrah, karya Syaikh Said Al Qahthany, hal. 11.

Para pembaca budiman …

Saya yakin Anda sangat menginginkan kualitas ibadah tinggi..

Saya juga sangat yakin, Anda sangat menginginkan ibadah hajinya benar-benar bernilai tinggi di sisi Allah Ta'ala.

Salah satu tipsnya adalah dengan memperhatikan kedudukan dan keutamaan amal ibadah tersebut, sehingga tergugah dan merasa mengagungkan amal ibadah tersebut

Dan akhirnya tumbuh di dalam diri keinginan melaksanakan amal ibadah tersebut dengan baik dan benar, yang menghasilkan kualitas ibadah yang sangat tinggi, bukan hanya sekedar melaksanakan amal ibadah tersebut.

Mari perhatikan kedudukan dan keutamaan ibadah ini yang sangat luar biasa, Subhanallah…

Kedudukan Haji dalam Agama Islam

[1] Haji adalah rukun Islam yang kelima, hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunuaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan" (HR. Bukhari dan Muslim).

[2] Siapa yang meninggalkan haji dengan sengaja karena tidak mengakui kewajibannya maka sungguh ia telah kafir kepada Allah Ta’ala,

يَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam“. (QS. Ali Imran: 97).

[3] Kerugian bagi siapa yang diluaskan rizqinya dan tidak mengunjungi Bait Allah al-Haram, hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 قال الله : إن عبدا صححت له جسمه ووسعت عليه في المعيشة يمضي عليه خمسة أعوام لا يفد إلي لمحروم

 “Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan baginya badannya, aku luaskan rizkinya, berlalu atasnya lima tahun dan dia tidak mendatangiku sungguh dia adalah orang yang sangat merugi”. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib.

Beberapa Keutamaan Ibadah Haji

[1] Tiada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

  Haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali surga". (HR. Bukhari dan Muslim

[2] Ibadah haji berfungsi sebagai penghapus dosa,sehingga seakan seperti keluar dari rahim ibu, bersih tanpa dosa.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

 "Barangsiapa yang berhaji tanpa berbuat rafats (segala syahwat lelaki kepada perempuan) dan kefasikan (maksiat), maka akan kembali dalam keadaan sebagaimana dia dilahirkan ibunya". (HR. Bukhari dan Muslim).

[3] Ibadah haji adalah jalan bagi seseorang agar dibebaskan dari neraka.

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّار مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

 “Tiada suatu hari pun yang di situ Allah membebaskan hamba-Nya dari neraka lebih banyak dari hari Arafah". (HR. Muslim).

[4] Ibadah haji termasuk amalan yang paling mulia.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang amalan apa yang mulia, beliau menjawab:

إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ,  قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ

 "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". "Kemudian apa?”, "Berjihad di jalan Allah"."Kemudian apa?"."Haji mabrur". (HR. Bukhari).

[5] Ibadah haji menghilangkan kefakiran dan dosa.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجِّ الْمَبْرُورِ ثَوَابٌ دُونَ الْجَنَّةِ

 “Ikutilah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana ubupan menghilangkan karat-karat besi, emas dan perak, tidak ada pahal bagi haji mabrur kecuali surga”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Tirmidzi.

[6] Orang yang menunaikan ibadah haji adalah tamu undangan Allah dan akandiberikan apa yang mereka minta.

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْغَازِيفِيسَبِيلِاللهِ،وَالْحَاجُّ،وَالْمُعْتَمِرُوَفْدُاللهِدَعَاهُمْفَأَجَابُوهُ،وَسَأَلُوهُفَأَعْطَاهُمْ “.

 “Orang berperang di jalan Allah, orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah tamu undangan Allah, Allah memanggil mereka lalu mereka memenuhinya dan mereka memohon kepada Allah maka Allah memberikan permintaan mereka”. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah).

[7] Haji adalah jihad bagi wanita muslimah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh Aisyah radhiyallahu 'anha:"Wahai Rasulullah, aku melihat jihad adalah amalan yang paling utama, bagaimana kalau kita berjihad?", beliau menjawab:

لَا, لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

  "Jangan, tetapi jihad yang paling utama (bagi kalian para wanita) adalah haji mabrur". (HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih An Nasai).

[8] Setiap langkah kaki jamaah haji dan hewan tunggangannya bernilai 1 pahala, 1 penghapusan dosa dan 1 tingkat pengangkatan derajat.

Ubadah bin Shamit radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إنَّ لكَ مِن الأَجرِ إِذَا أَمَّمْتَ البيتَ العتيقَ أَنْ لاَ تَرفعَ قدماً وَلاَ تضعَهَا أنتَ ودابتُكَ إِلاَّ كُتِبَت لكَ حسنةٌ ورُفِعَتْ لكَ درجةٌ

"Sesungguhnya pahala yang kamu miliki, jika berjalan menuju Rumah Suci (Ka'bah) adalah tidaklah kamu dan hewan tungganganmu mengangkat telapak kaki atau meletakkannya, melainkan dituliskan bagimu 1 kebaikan dan diangkatkan bagimu 1 derajat". (HR. Ath Thabarani dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib).

Dan di dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 فَإنكَ إذَا خَرجْتَ مِنْ بيتِكَ تَؤمُّ البيتَ الحرامَ لاَ تضعُ ناقتَك خَفاً، ولاَ ترفعُهُ إلاَّ كَتبَ اللهُ لكَ بهِ حسنةً، ومَحاَ عَنْكَ خطيئةً

 "Sesungguhnya jika kamu keluar dari rumahmu menuju Rumah suci (Ka'bah), tidaklah hewan tunggaganmu meletakkan telapak kaki dan mengangkatnya melainkan Allah telah menuliskan bagimu dengan satu kebaikan dan menghapuskan darimu satu kesalahan". (HR. Ibnu Hibban dan menurut Al Haitsamy para perawinyaadalah perawi-perawi yang terpercaya, hadits ini juga dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhi wa At Tarhib).

[9] Wukuf di Arafah bagi jamaah haji menghapuskan dosa meskipun sebanyak butiran pasir atau rintikan hujan atau buih di lautan.

وأَماَّ وقوفُكَ عَشِيَّةَ عرفةَ فإنََّ اللهَ يَهبِطُ إلىَ سماءِ الدنيا فَيُبَاهِي بِكُمُ الملائكةَ يَقولُ عِبادِي جَاؤُوْنِي شَعِثاً مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَميقٍ يَرجُونَ جَنَّتيِ فَلَو كانتْ ذنوبُكُمْ كَعَددِ الرَّملِ أوْ كَقَطرِ المطرِ أوْ كَزَبَدِ البَحرِ لَغَفَرْتُهاَ أَفِيضُوا عِبادي مغفوراً لَكُمْ ولِمَنْ شَفَعْتُمْ لَهُ

 "Adapun wukufmu di Arafah, maka sesungguhnya Allah akan turun ke langit dunia, lalu membanggakan kalian di depan para malaikatnya, seray berfirman: "Hamba-hamba-Ku telah mendatangi-Ku dalam keadaan lusuh, dari setiap penjuru, mereka berharap surga-Ku, meskipun dosa-dosa kalian sebanyak butiran pasir atau rintikan hujan atau buih di lautan, sungguh Aku telah mengampuninya, kembalilah kalian wahai para hamba-Ku dalam keadaan sudah diampuni dosa-dosa kalian dan bagi siapa saja yang telah kalian mintakan syafaat untuknya". (HR. Ibnu Hibban dan Ath Thabrany di dalam kitab Al Mu'jam Al Awsath dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib Wa At Tarhib).

[10] Sekali lemparan Jumrah menghapuskan dosa.

Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

وأمَّا رميُكَ الجِمارَ؛ فَلَكَ بِكُلِّ حَصَاةٍ رَمَيْتَهاَ تَكْفِيْرُ كَبِيْرَةٍ مِنَ المُوبِقاتِ

 

"Adapun lemparan jumrahmu, maka setiap batu yang kamu lemparkan merupakan penebus sebuah dosa besar yang membinasakan". (HR. Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib Wa At Tarhib).

[11] Sekali Ucapan Talbiyah dijanjikan surga.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَا أَهَلَّ مهلٌّ  ، ولا كَبَّرَ مُكبِّرٌ إِلاََّ بُشِّر، قيل: يا رسول الله بالجنة؟ قال: نعم .

Artinya: "Tidaklah seorang mengucapkan talbiyah atau mengucapkan takbir melainkan akan dijanjikan dengan kebaikan". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya: "Wahai Rasulullah, apakah dijanjikan dengan surga?" Beliau menjawab: "Iya". (HR. riwayat Ath Thabrany di dalam kitab Al Mu'jam Al Awsath dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib).

Subhanallah…Allahu Akbar…

Semoga Allah memudahkan seluruh jamaah haji dalam melaksanakan ibadah yang mulia ini. Allahumma amin.

 

Kamis, 24 Syawwal 1432H Dammam KSA.

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Artikel Muslim.Or.Id

Tuesday, September 25, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Mencintai Kebaikan Untuk Sesama

Posted: 25 Sep 2012 04:00 PM PDT

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri." (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

1. Perasaan Senasib Sepenanggungan

Imam Ibnu Daqiq al-'Ied rahimahullah berkata, "Sebagian ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, "Orang-orang yang beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)." (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 119)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara." (QS. al-Hujurat: 10). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain." (QS. at-Taubah: 31)

2. Mencintai Kebaikan Untuk Semua

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, "Sesungguhnya tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, "Tidak beriman salah seorang diantara kalian." Artinya tidak sempurna keimanannya." (lihat Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 103)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Yang lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan di dalam hadits ini dengan persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia mencakup saudara yang kafir maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi saudaranya yang kafir apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu supaya dia masuk ke dalam Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi saudaranya yang muslim untuk tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab itu mendoakan hidayah bagi orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan. Penafian iman di dalam hadits ini maksudnya adalah penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya." (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 118)

3. Dakwah Sebagai Bukti Kecintaan

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, "Ini artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu -apabila dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan lenyap begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang menerima dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Apa pun yang kalian kerjakan berupa kebaikan maka Allah mengetahuinya." (QS. al-Baqarah: 197). Sebagian para nabi 'alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya diterima oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima dakwahnya kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada seorang pun yang menerima dakwahnya." (lihat Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 105)

4. Rendah Hati dan Tidak Hasad

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang mukmin akan merasa susah dengan apa yang membuat susah saudara mukmin yang lain dan dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya yang beriman itu sebagaimana apa yang dia inginkan bagi dirinya. Ini semua hanya bisa terlahir dari hati yang bersih dari sifat curang, perasaan dengki, dan hasad. Karena sifat hasad itu akan membuat orang yang hasad tidak senang apabila ada orang lain yang melampaui dirinya dalam kebaikan atau menyamai dirinya dalam hal itu. Karena dia lebih suka menonjolkan dirinya sendiri di tengah-tengah manusia dengan keutamaan-keutamaannya dan memiliki itu semuanya seorang diri. Padahal, keimanan menuntut sesuatu yang bertentangan dengan sikap semacam itu. Orang yang imannya benar pasti akan menyukai apabila semua orang beriman juga ikut serta merasakan kebaikan yang dianugerahkan Allah kepada dirinya tanpa sedikit pun mengurangi apa yang ada padanya." (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 163)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Itulah negeri akherat yang Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi (kesombongan) dan tidak pula menghendaki kerusakan (kemaksiatan)." (QS. al-Qashash: 83)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Sebagian ulama salaf berkata: Tawadhu'/sifat rendah hati itu adalah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang datang membawanya, meskipun dia adalah anak kecil. Barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya entah itu anak kecil atau orang tua, entah itu orang yang dia cintai atau tidak dia cintai, maka dia adalah orang yang tawadhu'. Dan barangsiapa yang enggan menerima kebenaran karena merasa dirinya lebih besar/lebih hebat daripada pembawanya maka dia adalah orang yang menyombongkan diri." (lihatJami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 164)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Para ulama berbeda pandangan mengenai definisi hasad. Sebagian mengatakan bahwa hasad adalah berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang lain menjadi hilang. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hasad adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau mengatakan: Apabila seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan kepada orang lain maka dia telah hasad kepadanya, meskipun dia tidak mengangankan nikmat itu lenyap." (lihat Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 164)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Apakah mereka menyimpan perasaan dengki terhadap orang-orang atas apa yang Allah berikan kepada mereka dari keutamaan-Nya?" (QS. an-Nisaa': 54). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami lah yang membagi-bagi diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia." (QS. az-Zukhruf: 32). Allah ta'alaberfirman (yang artinya), "Allah lah yang mengutamakan sebagian kalian di atas sebagian yang lain dalam hal rizki." (QS. an-Nahl: 71)

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Download Ebook Website Offline Muslim.Or.Id

Posted: 24 Sep 2012 08:00 PM PDT

Alhamdulillah, kini website Muslim.Or.Id dapat kita buka secara offline -tanpa harus tersambung dengan internet- dalam format CHM. Semoga dengan adanya ebook ini dapat membantu serta memudahkan untuk membaca isi dari website tersebut. Semoga bermanfaat bagi Kaum Muslimin.

Silahkan download ebooknya, klik pada salah satu link dibawah ini (ukuran 14.3 Mb) :

  1. Link Download Satu
  2. Link Kedua
  3. Link Ketiga

Penyusun: Faisal Choir

Monday, September 24, 2012

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Inilah Mereka yang Menghina Nabi

Posted: 24 Sep 2012 04:00 PM PDT

Di saat Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dilecehkan, dihina direndahkan oleh orang kafir, moment seperti ini dapat dijadikan oleh setiap muslim sebagai sebuah barometer, "Apakah ia seorang muslim yang membela Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau malah ia seorang yang menghina atau melecehkannya?!?".

Saudaraku muslim…

Di bawah ini disebutkan tanda-tanda seorang yang menghina, mencela dan tidak menghormati Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

- Mencintai selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan kecintaan yang melebihi cinta kepada beliau.

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ » . فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الآنَ وَاللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « الآنَ يَا عُمَرُ » .

Artinya: "Abdullah bin Hisyam berkata: Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau menggandeng tangan Umar bin Khaththab, lalu Umra berkata: "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai darisegala apapun kecuali dari diriku", Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak (demikian), demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri", Umar berkata: Sesungguhnya sekarang demi Allah, sungguh engkau kebih aku cintai sampai dari diriku." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Sekarang wahai Umar (benar-benar kamu beriman-pen)." HR. Bukhari.

Siapa yang masih lebih mencintai hartanya dibandingkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, perlu dipertanyakan pembelaannya terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Siapa yang masih lebih mentaati selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, patut dipertanyakan, menungkin meremehkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena ketaatan hasil dari kecintaan.

- Menjauhi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara lahir ataupun batin

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]

Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’: 115)

Bagaimana sikap Anda terhadap ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam?

Bagaimana keyakinan Anda dibandingkan keyakinan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; Apakah Anda mentauhid Allah semata, tidak mensyirikkan-Nya, tidak percaya terhadap peramal, dukun, jimat, sesajen dan semisalnya

Bagaimana Ibadah Anda dibandingkan dengan Ibadah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; Apakah shalat Anda mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apakah dzikir Anda sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apakah puasa Anda mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Bagaimana tingkahlaku dan interaksi Anda mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apakah Anda pernah berdusta, berbuat zhalim, sombong menolak kebenaran dan merendahkan oranglain, 4

- Membenci bahkan cenderung menghina ajaran Nabi shallallahu 'alaih wasallam dan melecehkan seorang yang berpegang teguh dengan ajaran dan sunnahnya, termasuk di dalamnya meremehkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dibacakan kepadanya.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يقول: « فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ».

Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukan dariku."

Siapa yang membenci ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, perlu dipertanyakan pembelaanya.

Siapa yang membenci tauhid, sunnah, jilbab wanita muslimah yang sesuai syariat, memanjangkan jenggot, mengangkat celana di atas dua mata kaki, makan dan minum dengan tangan kanan, siapa yang membenci semua ini, perlu dipertanyakan, “apakah ia sedang menghina Rasulullah atau menghinanya shallallahu 'alaihi wasallam?”

- Menolak hadits-hadits shahih

عَنْ أَبِى رَافِعٍ وَغَيْرُهُ رَفَعَهُ قَالَ « لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لاَ أَدْرِى مَا وَجَدْنَا فِى كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ ».

Artinya: "Abu Rafi' radhiyallahu 'anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku tidak mendapati salah seorang dari kalian bersandar di atas kasur mewahnya, datang kepadanya sebuah perintah, yang aku perintahkan atau aku telah melarangnya, ia berkata: "Aku tidak tahu, apa yang kami dapatkan di dalam Al Quran (itu) yang kami ikuti." (HR. Tirmidzi)

Siapa yang menolak hadits yang shahih, baik yang masuk dalam logikanya atau tidak, maka jangan mengaku-ngaku dia membela Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Siapa yang menolak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih karena lebih mendahulukan hawa nafsunya, adatnya, madzhabnya, maka bisa dipastikan ia tidak membela beliau.

- Meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam

Karena keyakinan ini telah bertentangan dengan Firman Allah dan Sabda Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا} [الأحزاب: 40]

Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al Ahzab: 40

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِى بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِىٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى ».

Artinya: “Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dibangkitkan hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku bersatu dengan kaum musyrik, dan samapi mereka menyembah berhala-berhala, dan sesungguhnya akan ada di dalam umatku 30 orang tukang dusta, seluruhnya mengaku bahwa ia adalah seorang nabi padahal aku adalah penutup para nabi tidak ada nabi setelahku.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7418)

- Mendahulukan perkataan seorang makhluk selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ } [الحجرات: 1]

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." QS. Al Hujurat:1.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:

النهي عن التقدم بين يدي الله ورسوله

 وقال تعالى يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم أي لا تقولوا حتى يقول ولا تأمروا حتى يأمر ولا تفتوا حتى يفتي ولا تقطعوا أمرا حتى يكون هو الذي يحكم فيه ويمضيه روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس رضي الله عنهما لا تقولوا خلاف الكتاب والسنة وروى العوفي عنه قال نهوا أن يتكلوا بين يدي كلامه.  والقول الجامع في معنى الآية لا تعجلوا بقول ولا فعل قبل أن يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم – أو يفعل

Artinya: “(Pasal) Larangan Mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ } [الحجرات: 1]

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Maksudnya adalah jangan kalian berkata sebelum ia berkata, jangan kalian memerintah sebelum ia memerintah, jangan kalian berfatwa sebelum ia berfatwa, jangan kalian memutuskan sebuah perkara sampai ia yang menjadi pemutus keputusan di dalamnya dan yang menentukannya, Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Abdullan bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma; “Janganlah kalian berkata yang menyelisihi Al Quran As Sunnah, Al ‘Aufy meriwayatkan dari beliau (juga): “Mereka dilarang untuk berbicara mendahului perkataannya.” Dan Perkataan yang menyeluruh dalam makna ayat (ini): Janganlah kalian tergesa-gesa dengan perkataan atau perbuatan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya atau melakukannya.” Lihat kitab I’lam Al Muwaqqi’in, 1/51.

Dan keyakinan ini akhirnya diamalkan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum sampai kepada para imam, yaitu tidak berbuat dan berkata yang mendahului perbuatan dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan perkataan dan perbuatan siapapun dari makhluk jika sudah jelas perkataan dan perbuatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mari perhatikan perkataan-perkataan berikut:

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

تَمَتَّعَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-. فَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَا يَقُولُ عُرَيَّةُ قَالَ يَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنِ الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَيَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ.

Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berhaji dengan cara tamattu’”, lalu berkata ‘Urwah bin Az Zubair: “Abu bakar dan Umar melarang akan haji tamattu’”, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bertanya: “Apa yang dikatakan oleh Urayyah?”, dijawab: “Ia mengatakan bahwa Abu bakar dan Umar melarang akan haji tamattu’”, maka Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menanggapinya: “Aku berpendapat mereka akan celaka, aku sedang mengatakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dan ia (malah) mengatakan Abu Bakar dan Umar melarang(nya).” HR. Ahmad

Perhatikan saudaraku muslim…

Jika perkataan dua orang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Abu Bakar dan Umar saja tidak boleh ditanding dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana dengan seorang yang kedudukan tidak seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.!!!

Pantaslah dikatakan menghina dan merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang lebih mendahulukan perkataan kyainya, habibnya, tuan gurunya, ustadznya daripada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Perhatikan perkataan Imam Nashir As Sunnah (pembela sunnah) Al Imam Asy Syafi’ie rahimahullah berkata:

( أجمعَ الناسُ على أنه مَن استبانَتْ له سنةُ رسولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم لَمْ يكنْ له أنْ يدَعَها لقولِ أحدٍ )

Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah/ajaran/hadits Rasulullah, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkannya karena perkataan seorangpun.” Lihat kitab Ar Ruh, 264 dan kitab I’lam Al Muwaqqi’in, 2/282, kedua karya Ibnul Qayyim dan kitab Al Ittiba’, hal. 24, karya Ibnu Abu Al ‘Izz.

Perhatikan juga perkataan Imam Ahlus Sunnah Al Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah:

” عجبت لقوم عرفوا الإسناد وصحته ويذهبون إلى رأي سفيان – أي الثوري – والله تعالى يقول : ((فَلْيَحْذَرِ الَذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ)) أتدري ما الفتنة؟ الفتنة الشرك، لعله إذا ردّ بعض قوله ، أن يقع في قلبه شيء من الزيغ فيهلك .

Artinya: “Aku heran terhadap suatu kaum yang telah mengetahui sanad dan keshahihannya, mereka (malah) pergi kepada pendapatnya Sufyan (Ats Tsaury), padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

((فَلْيَحْذَرِ الَذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ))

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”, tahukah kamu apa itu fitnah/cobaan?, fitnah/cobaan itu adalah kesyirikan, mungkin jika ia menolak sebagian sabdanya, akan terdapat di dalam hatinya sesuatu dari penyimpangan maka akhirnya ia binasa.” Lihat kitab Al Furu’, 6/375, karya Ibnu Muflih dan kitab Ash Sharim Al Maslul, karya Syaikhul Islam, 2/116-117.

- Tidak Mengenal Sejarah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Terasa aneh seseorang yang tidak mengenal sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengaku membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi, bukankah pembelaan adalah buah hasil mencintai dan bukti seseorang mencintai adalah selalu mengingatnya, dan mengingatnya tidak akan sempurna kecuali dengan mengenal sejarahnya. Oleh sebab itulah para ulama mengatakan:

إِنَّ مَنْ أَحَبَّ شَيْئًا أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ

Artinya: “Sesungguhnya Barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka ia akan banyak mengingatnya.”

Mungkin ada dari sebagian orang yang mengaku membela Rasulullah lebih mengenal sejarah orang lain dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan lebih ironi lagi orang lain itu adalah orang kafir!!

Padahal umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 63 tahun, yang mana sejarah beliau dengan mudah dibaca apalagi buku-buku sejarah di zaman sekarang sudah diterjemahkan dan diteliti riwayat-riwayatnya!

- Melakukan bid'ah di dalam beragama

Melakukan perbuatan bid’ah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan amalan pelaku bid’ah tidak akan diterima berdasarkan penegasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

” مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ “

Artinya: “Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalannya tertolak.” HR. Muslim

Dan hal ini termasuk meyakini adanya bid’ah hasanah, karena siapa yang melakukan atau mengaku adanya bid’ah di dalam Islam maka secara tidak langsung ia telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah, berkhianat terhadap Allah akan beban risalah yang telah diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada beliau agar disampaikan kepada umatnya. Mari perhatikan perkataan Imam Darul hijrah Al Imam Malik rahimahullah:

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم خان الرسالة ، لأن الله يقول : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فما لم يكن يومئذ دينا ، فلا يكون اليوم دينا

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat bid’ah di dalam agama islam yang ia anggap sebagai bid’ah hasanah, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: “Hari telah Ku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Jadi, apa saja yang pada hari ini bukan sebagai agama, maka tidaklah hari ini dia menjadi agama.” Lihat kitab Al ‘Itisham, 1/49.

- Tidak bershalawat ketika disebutkan nama Nabi shaallallahu 'alaihi wasallam di hadapannya

Seorang yang malas bershalawat terutama ketika diucapkan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya, maka perlu dipertanyakan pembelaannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ia adalah orang yang bakhil!

الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Artinya: “Sesungguhnya orang yang bakhil adalah yang aku disebutkan di hadapannya dan ia tidak bershalawat atasku.” HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih AL Jami’, no. 2878.

Saudaraku muslim…

Masih banyak tanda seorang yang melecehkan, menghina dan merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga yang sedikit ini bermanfaat. wallahu a’lam.

Ahad, 7 Dzul Qa’dah 1433H, Dammam KSA

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc
Artikel Muslim.Or.Id