Monday, October 8, 2012

Radio Assunnah 92.3 FM

Radio Assunnah 92.3 FM


Jalan Menuju Surga (1)

Posted: 08 Oct 2012 02:42 AM PDT

Jalan Menuju Surga
Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas
Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad

عَنْ أَبِـيْ عَبْدِِ اللهِ جَابِِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأ َنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْـمُكْتُوْبَاتِ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَأَحْلَلْتُ الْـحَلاَلَ ، وَحَرَّمْتُ الْـحَرَامَ ، وَلَـمْ أَزِدْ عَلَـى ذَلِكَ شَيْئًا ، أَأَدْخُلُ الْـجَنَّةَ ؟ قَالَ : « نَعَمْ». قَالَ : وَاللهِ ، لاَ أَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا [ رواه مسلم ]

Dari Abu 'Abdillâh Jâbir bin 'Abdillâh al-Anshâri Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu ia berkata, "Bagaimana pendapat Anda jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?" Beliau menjawab, "Ya." Laki-laki itu berkata, "Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak akan menambah sedikit pun atas yang demikian itu."

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 15 (18)), Ahmad (III/316, 348), dan Abu Ya'ala (no. 1936, 2291), Abu 'Awânah (I/4-5), dan Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 137).

SYARAH HADITS
Orang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini ialah an-Nu'mân bin Qauqal al-Khuzâ'i Radhiyallahu anhu, seorang Sahabat yang mengikuti Perang Badar dan terbunuh pada Perang Uhud.

1. Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah rahmat bagi seluruh alam Allah Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan yang akan menjerumuskan mereka ke neraka dan menuntun mereka ke jalah hidayah yang akan menyampaikan ke surga. Jalan ke sana adalah jalan yang jelas dan mudah. Allah Azza wa Jalla memberikan batasan-batasannya dan mewajibkan adab-adabnya. Barang-siapa komitmen dan berpegang teguh akan disampaikan ke surga dan barangsiapa melewati batas dan menyalahinya akan dicampakkan ke dalam neraka. Sesungguhnya yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla ada pada batas kemampuan manusia karena Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya. Inilah yang tampak dengan jelas pada petunjuk Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits ini dan hadits-hadits yang semisalnya. [1]

2. Rindu surga dan menempuh jalannya
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya.

Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, "Wahai Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga." Beliau menjawab: "Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan." Orang itu berkata, "Demi (Allah Azza wa Jalla) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini." [2]

Dari Thalhah bin 'Ubaidillâh Radhiyallahu anhu bahwa seorang Arab Badui datang menemui Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya kusut, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Kabarkan kepadaku, shalat apa yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla atasku?" Beliau menjawab, "Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau mengerjakan salah satu yang disunnahkan." Orang itu berkata, "Kabarkan kepadaku puasa apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atasku?" Beliau menjawab, "Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau mau mengerjakan puasa yang sunnah." Orang itu berkata, "Kabarkanlah kepadaku zakat apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atasku?" Kemudian Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkannya tentang syari'at-syari'at Islam. Kemudian orang itu berkata, "Demi (Allah Azza wa Jalla) yang telah memuliakanmu dengan kebenaran, aku tidak mengerjakan suatu amalan sunnah dan aku tidak mengurangi apa yang telah Allah Azza wa Jalla wajibkan atasku sedikit pun." Maka Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika ia benar (jujur), ia akan beruntung." Atau beliau bersabda, "Jika ia benar (jujur), ia akan masuk surga."[3]

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , kemudian dia menyebutkan hadits semakna dengan di atas dan menambahkan di dalamnya, "Haji ke Baitullâh bagi yang mampu menuju ke sana." Maka orang itu berkata, "Demi (Allah Azza wa Jalla ) yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya dan tidak akan menguranginya." Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika ia benar (jujur), sungguh, ia akan masuk surga."[4]

Yang dimaksud oleh orang Arab Badui itu adalah bahwa ia tidak menambahkan ibadah-ibadah sunnah selain dari shalat yang wajib, zakat yang wajib, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh. Jadi, ia bukan bermaksud tidak mengerjakan satu pun dari syari'at-syari'at Islam dan kewajiban-kewajiban selain ibadah di atas. Hadits-hadits di atas tidak menyebutkan sikap menjauhi hal-hal yang diharamkan, karena penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang perbuatan-perbuatan yang memasukkan pelakunya ke surga.[5]

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang melaksanakan kewajiban dan menjauhi apa-apa yang diharamkan maka akan masuk surga. Dan banyak hadits-hadits yang menunjukkan bahwa masuk Surga itu dengan melaksanakan kewajiban mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , di antaranya: diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda:

” مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلاَّ دَخَلَ الْـجَنَّة ” [رواه البخاري ومسلم ]

"Tidaklah seorang hamba mengucapkan, 'Lâ ilâha illallâh (tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla ) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk surga." Aku (Abu Dzar Radhiyallahu anhu) bertanya, "Meskipun ia berzina dan mencuri? " Beliau menjawab, "Meskipun ia berzina dan mencuri." Beliau mengulanginya tiga kali, kemudian pada kali keempat beliau bersabda, "Meskipun Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya." Abu Dzar Radhiyallahu anhu pun keluar dan berkata, "Kendati Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya."[6]
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَـى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْـجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَـى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ” [ متفق عليه ]

"Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu bagi-Nya; bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, bahwa 'Isa adalah hamba Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kalimat dan ruh-Nya yang dimasukkan kepada Maryam, bahwa surga itu benar, dan neraka itu benar, maka Allah Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam surga menurut apa yang ia amalkan." [7]

Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu:

“مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَـى النَّارِ”

"Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dan bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya, melainkan Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka." [8]
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَـى النَّارِ مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ” [متفق عليه]

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, 'Tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla ,' dan ia mencari wajah Allah Azza wa Jalla dengannya." [9]

Sejumlah Ulama mengatakan bahwa sesungguhnya kalimat tauhid sebagai sebab masuk ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Tetapi ia memiliki beberapa syarat, yaitu melakukan berbagai kewajiban dan menjauhi penghalangnya yaitu menjauhi dosa-dosa besar [10]
Al-Hasan rahimahullah berkata kepada al-Farazdaq, "Sesungguhnya kalimat lâ ilâha illallâh memiliki syarat-syarat. Maka jauhilah olehmu menuduh zina wanita-wanita yang menjaga kehormatannya."[11]

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, "Bukankah kalimat lâ ilâha illallâh itu kunci surga?" Ia menjawab, "Benar, tetapi tidak ada satu kunci melainkan ia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan kunci yang bergigi, maka engkau akan dibukakan, jika tidak, tidak akan dibukakan baginya."[12]

Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]

Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allah Azza wa Jalla. Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allah Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allah Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allah Azza wa Jalla , sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla:

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…" [al-Jâtsiyah/45:23]

Al-Hasan rahimahullah berkata, "Orang yang dimaksud ialah orang yang tidak menginginkan sesuatu melainkan menurutinya."

Qatâdah rahimahullah berkata, "Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara' dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya."
Demikian juga orang yang mematuhi setan dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia telah menjadi hambanya. Seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla :

"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?…" [Yâsîn/36:60]

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allah Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:

"…Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun…" [al-An'âm/6:151]

Mujâhid rahimahullah berkata, "Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku."[14]
Dengan demikian menjadi jelaslah makna dari sabda Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam , "Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dengan benar dari hatinya, maka Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka." Dan bahwa orang yang masuk neraka dari orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak lain disebabkan karena minimnya kejujurannya dalam mengatakannya, karena jika kalimat tersebut diucapkan dengan jujur (benar), hati pun menjadi bersih dari apa saja selain Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa benar dalam mengucapkan lâ ilâha illallâh, ia tidak akan mencintai selain-Nya, tidak mengharap kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , tidak bertawakkal kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , dan tidak tersisa pada dirinya untuk lebih mendahulukan dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Kapan saja dalam hatinya terdapat keinginan mendahulukan selain Allah Azza wa Jalla , maka itu disebabkan sedikitnya kejujuran dalam mengucapkannya.[15]

Makna ini diperkuat oleh hadits Mu'âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda:

” مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ ” [ رواه أحمد ]

"Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah lâ ilâha illallâh maka ia masuk surga."[16]
Karena itu, orang yang hampir meninggal dunia hendaklah mengucapkan kalimat ” لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ” dengan ikhlas, taubat, menyesali dosa-dosa yang lalu, dan tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Pendapat ini dipilih oleh al-Khaththâbi dalam kitabnya khususnya tentang tauhid dan itu hal yang baik.[17]

Insya Allah bersambung ke jalan menuju surga (2)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote
[1]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 160).
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta'lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4]. Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/517).
[6]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta'lîqâtul Hisân) dari 'Ubâdah bin ash-Shâmit z .
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari 'Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[10]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/522).
[11]. Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/522).
[12]. Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/522).
[13]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/523).
[14]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/526).
[16]. Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17]. Lihat Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam (I/527).

Sumber: http://www.islamhouse.com/p/403366

No comments:

Post a Comment